• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Konsep Autopoiesis Dalam Sistem Kerja

d) Penelitian dilakukan pada waktu tidak terjadi gejolak moneter, sosial, politik serta bencana alam yang luar biasa sehingga tidak ada perilaku komponen sistem

ERGONOMICS Praxeologies

4.5. Pengembangan Konsep Autopoiesis Dalam Sistem Kerja

Dari hasil penelitian mengenai kondisi beban kerja, kondisi lingkungan fisik, persepsi pekerja serta beban kerja tebang angkut dapat disimpukan bahwa sebagian besar kondisi kerja tidak nyaman, kurang ergonomis dan beban kerja bervariasi. Sebagian kecil pekerja pabrik memberikan persepsi bahwa pekerjaan mereka berat, sementara yang lain menganggap ringan sampai sedang. Secara umum kondisi lingkungan kerja, beban fisik, persepsi dan analisis fenomena tersebut disajikan pada Tabel 30.

Tabel 30 Kondisi lingkungan kerja, beban fisik, persepsi pekerja dan analisis sistem kerja tebang angkut giling

Kondisi kerja di pabrik Kondisi kerja di lahan saat tebang angkut

Kondisi lingkungan kerja

Kondisi di pabrik kurang ergonomis terutama temperatur dan kebisingan

Temperatur kerja cukup tinggi, pagi hari mencapai 30 – 320C, sedangkan untuk siang hari rata-rata berkisar antara 31 – 380C

Beban fisik Untuk stasiun boiler beban kerja Fisik antara sedang sampai berat

1) Pekerja tidak berpengalaman memiliki IRHR rata-rata yang tinggi

2) Pekerja berpengalaman memiliki IRHR yang rendah. Terjadi penurunan nilai IRHR pekerja mulai dari tahun pertama sampai tahun keenam mengikuti pola logaritmik.

Persepsi 1) Beban kerja : sedang sampai berat

2) Kelelahan: ringan 3) Kecelakaan kerja: sedang

sampai berat

4) Lingkungan organisasi sangat baik

Analisis 1) Persepsi beban kerja sesuai dengan kondisi lingkungan fisik 2) Terdapat kontradiksi antara

persepsi kelelahan dengan kecelakaan. Persepsi kelelahan dan kecelakaan juga berbeda dengan persepsi terhadap beban kerja.

3) Terjadi proses adaptasi pekerja pabrik namun kecepatan adaptasi pekerja PG Jatitujuh tidaksama dengan pekerja PG Bunyamayang

Pengalaman kerja menentukan tingkat kejerihan pekerja. Untuk pekerja berpengalaman, nilai IRHR menunjukkan lebih rendah dari pekerja pemula. Hal ini terjadi karena pekerja melakukan penyesuaian diri yaitu beradaptasi dengan kondisi kerja yang dihadapi. Proses ini berlangsung sampai mencapai kondisi keseimbangan antara beban luar yang diterima dan tingkat kejerihan pekerja.

Secara konseptual, jika mengikuti kaidah-kaidah ergonomi khususnya prinsip fit the task to the man, dalam kondisi kerja yang tidak sesuai (fit) dengan manusia/pekerja, akan menimbulkan tingkat beban kerja berat dan tingkat kelelahan tinggi. Keadaan ini akan berpotensi menyebabkan kecelakaan kerja yang tinggi. Namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan respon dari pekerja, yaitu untuk pekerja yang berpengalaman memiliki ketahanan yang baik sehingga mamapu beradaptasi yang ditunjukkan dengan tingkat kejerihan atau beban kerja yang relatif rendah atau sedang. Fenomena ini dapat dijelaskan dengan pendekatan konsep lain yang

menyatakan bahwa proses interaksi dalam sebuah komunitas atau sistem mengikuti pola yang disebut autopoiesis. Dari Tabel 30 dapat dilihat bahwa fenomena lapangan persepsi pekerja dan respon beban kerja berubah dengan bertambahnya pengalaman.

Data pendukung lain proses adaptasi yang didapat di lapangan adalah hubungan antara pengalaman kerja dengan jumlah absensi (kemangkiran) pekerja tebang angkut. Sampel yang dipilih adalah pekerja PG Jatitujuh yang seluruhnya adalah penebang dari daerah Jawa Timur (sebagian besar dari Kediri dan Trenggalek). Sedangkan pekerja tebang angkut PG Bungamayang tidak dipilih karena sebagian besar pekerja adalah petani setempat. Dari hasil wawancara dengan mandor dan pekerja PG Jatitujuh, sembilan puluh persen (90%) alasan absensi adalah karena kelelahan pekerja. Hal ini karena mereka adalah pendatang yang kehadirannya di Cirebon, Jawa Barat untuk bekerja, sehingga ketidakhadiran mereka di tempat kerja lebih banyak disebabkan oleh faktor kelelahan. Ketidakhadiran karena kebutuhan kemasyarakatan/sosial sangat minim sebab mereka tinggal di mess buruh yang ada di dalam lokasi kebun, tidak berinteraksi langsung dengan masyarakat di sekitarnya. Absensi pekerja di Bungamayang tidak dapat dijadikan rujukan karena sebagian besar mereka adalah penduduk setempat yang memanen di tanah mereka sendiri secara bergotong royong. Penyebab absensi lebih bervariasi karena banyak kebutuhan dan urusan mereka dalam komunitas. Hubungan antara pengalaman terhadap absensi pekerja PG Jatitujuh ditampilkan pada Gambar 35 .

Dari Gambar 35 dapat disimpulkan bahwa pada awal pekerja berkenalan dengan sistem kerja tebang angkut, tingkat kelelahan cukup tinggi diindikasikan dengan banyaknya absensi pekerja. Absensi semakin menurun dan setelah bekerja lebih kurang selama 6 tahun, pekerja mengalami kelelahan yang cenderung konstan, diindikasikan dengan jumlah absensi yang cenderung konstan. Artinya pekerja rata-rata memerlukan waktu 6 tahun untuk beradaptasi dengan lingkungan dan beban kerjanya.

Gambar 35 Hubungan antara pengalaman dan absensi pekerja (dalam 2 bulan)

Untuk menjelaskan fenomena adaptasi dan bagaimana hubungannya dengan konsep ergonomi, dilakukan kajian lebih mendalam untuk mencermati konsep-konsep ergonomi tersebut. Menurut Bridger (2005), dalam perancangan sistem kerja, perancangan akan mempertimbangkan 2 komponen yang saling terkait yaitu komponen manusia dan komponen pekerjaan. Manusia akan selalu berinteraksi dengan pekerjaan dengan segenap kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki. Di lain fihak sistem menuntut agar pekerjaan dapat diselesaikan tanpa banyak kesalahan, menghasilkan kualitas produk yang baik dan dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat. Keberhasilan dari sebuah sistem kerja dapat dilihat dari tingkat efektifitas, efisiensi dan produktifitas kerja. Dalam melakukan perancangan sistem kerja, perancang dihadapkan dengan 2 pilihan prinsip perancangan yaitu prinsip ‘fit the man to the job’ (menyesuaikan manusia kepada tuntutan pekerjaan), dan prinsip ‘fit the job to the man’ (menyesuaikan pekerjaan dengan kemampuan dan keterbatasan manusia). Dari kedua prinsip tersebut, prinsip fit the job to the man yang mendasarkan metode perancanan sistem kerja dengan menitik-beratkan kepada manusia/pekerja adalah prinsip yang disebut lebih ergonomis. Perancang akan melihat karakteristik manusia sebagai pertimbangan utama dalam menentukan tingkat kesulitan dari sebuah alat. Karakteristik yang

dimaksud mencakup karakter anatomi, fisiologi dan psikologinya. Jika sebuah alat disesuaikan dengan kemampuan manusia, maka pada waktu penggunaan alat tersebut akan dapat berjalan dengan lancar, operator tidak banyak melakukan kesalahan dan dengan demikian efisiensi dan efektifitas juga akan meningkat.

Pendekatan lain hubungan manusia dalam sistem kerja adalah Man-Machine Model dari Leamon, di mana manusia berinteraksi dengan alat dan lingkungan kerja sepanjang kerjanya. Manusia memberikan aksi kepada alat/mesin, alat merespon dengan bekerja dan menunjukkan kondisi kerjanya melalui display. Tampilan display akan ditangkap dengan panca indera, kemudian informasi ini dikirim ke otak, dicerna, dibandingkan dengan meori yang dimiliki kemudian jika terdapat perbedaan persepsi kondisi mesin, manusia akan memberikan aksi ke mesin untuk mengendalikan. Demikian seterusnya proses terjadi dalam lingkungan kerja berupa ruangan kerja, lingkungan fisik dan lingkungan organisasi.

Berdasarkan konsep tersebut, sistem kerja yang ergonomis adalah jika sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan manusia. Jika terjadi ketidaksesuaian misalnya tuntutan tenaga fisik untuk menangani alat lebih dari kemampuan, keterampilan untuk menyelesaikan tugas melebihi kemampuan atau kondisi lingkungan kerja yang di luar ambang batas, maka akan terjadi kelelahan yang tinggi bahkan berpotensi pada kecelakaan kerja. Pekerja akan memberikan respon negatif jika kondisi kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasannya.

Fakta temuan pada penelitian ini menunjukkan dengan bertambahnya pengalaman, pekerja yang sudah cukup lama menghadapi kondisi kerja, memberikan respon terhadap kelelahan dan beban kerja yang cenderung menurun. Proses ini dapat dijelaskan dengan konsep autopoiesis, yaitu setiap entitas dalam sebuah sistem akan melakukan proses swa-atur. Proses penyesuaian ini merupakan salah satu bagian dari mekanisme autopoiesis. Waktu yang diperlukan untuk melakukan swa-atur sehingga manusia dapat nyaman dengan kondisi kerja dan lingkungan sangat tergantung pada masing-masing individu. Berdasarkan pada definisi ini, maka proses penyesuaian

dalam sistem kerja dapat diarahkan atau dikendalikan dengan baik jika memiliki pemahaman utuh terhadap pola adaptasi masing-masing komponen. Pengembangan pemikiran ini sejalan dengan beberapa pemikiran dalam ranah filsafat yang ternyata dapat menjelaskan beberapa fenomena menyimpang dari kaidah ergonomi yang selama ini berkembang. Menurut Hunex (1986), Marinoff (2003) dan Collinson (2001) salah satu yang menarik adalah pernyataan, bahwa pengetahuan dan kekuatan manusia menjadi satu. Tanpa mengetahui sebab maka akibat tidak dapat dihasilkan. Aturan alam hendaknya dipenuhi. Seluk beluknya lebih besar dari seluk beluk penginderaan dan pemahaman. Filososi lain yang menarik disampaikan oleh Heraclitus, yang menyatakan bahwa tidak ada yang bertahan kecuali perubahan. Phytagoras juga menyatakan bahwa tidak ada orang bebas yang tidak dapat memberi perintah kepada diri sendiri. Bahkan Frederich Nietzshe lebih ekstrim lagi menyampaikan bahwa apapun yang tidak membunuhku secara langsung, membuatku lebih kuat. Dari berbagai kajian tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia bukanlah benda statis namun merupakan makhluk dinamis yang sanggup merubah dirinya sehingga dapat beradaptasi dengan kondisi di sekitar.

Secara diagramatis konsep autopoiesis, fit the job to the man dan fit the man to the job dapat digambarkan seperti pada Gambar 36. Dari Gambar 36 dapat ditunjukkan bahwa perancangan sistem kerja merupakan tuntutan dari kinerja sistem yang dikehendaki. Misalnya dikehendaki peningkatan kinerja sistem (system performance – SP) dari posisi 1 ke posisi 2 (proses I). Untuk mencapai kinerja tersebut desainer harus merancang pekerjaan (job demand -JD) dengan meningkatkan dari posisi JD1 ke JD2. Dalam proses ini harus mempertimbangkan aspek kemampuan dan keterbatasan manusia, sehingga konsep yang digunakan adalah konsep fit the job to the man (FJM). Hasil rancangan pekerjaan selanjutnya dihadapkan pada pekerja/human dengan kapasitas (human capacity – HC) pada posisi HC1. Untuk dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, pekerja akan berusaha untuk dapat melakukan tugas dengan cara menyesuaikan kemampuan yang dimiliki dengan yang dituntut oleh pekerjaan yaitu menjadi HC2, kapasitas yang dituntut oleh JD2. Dalam tahapan ini pekerja mengikuti prinsip fit the man to the job (FMJ). Artinya

pekerja menyesuaikan dengan pekerjaan. Setelah mencapai HC2, kondisi ini adalah kondisi fit, kondisi kesesuaian antara pekerja dan pekerjaannya. Proses peningkatan kapasitas HC1 ke HC2 adalah proses adaptasi pekerja. Pada awal peningkatan kemampuan akan terjadi fenomena produktivitas yang rendah dan tingkat kelelahan yang tinggi. Dengan berjalannya waktu pekerja semakin dapat menyesuaikan dirinya sehingga produktivitas meningkat dan tingkat kelelahan menurun. Penurunan tingkata kelelahan mengikuti kurva logaritmik seperti hasil penelitian hubungan IRHR dan pengalaman. Setelah pekerja memiliki kapasitas HC2 dan melaksanakan pekerjaan dengan kondisi JD2, pekerja akan mengalami kondisi yang cenderung stabil baik tingkat produktivitas maupun tingkat kelelahannya.

Gambar 36 Skema proses autopoiesis dalam ergonomi sistem kerja Siklus rancangan berikutnya akan berulang dari posisi SP2 ke SP3 dengan metode yang sama, yakni dimulai dengan peningkatan job demand

dengan prinsip FJM, penyesuaian dengan peningkatan human capacity denga prinsip FMJ, sampai tercapai kondisi keseimbangan, demikian seterusnya. Batasan rancangan sistem kerja yang utama adalah kapasitas manusia.

Proses yang senantiasa menggabungkan antara konsep FJM dan FMJ inilah yang mengikuti konsep autopoiesis. Proses yang senantiasa terjadi self-adapting dan self-organizing. Agar tujuan kinerja sistem dapat dicapai, perancang harus memiliki pengetahuan tentang kemampuan manusia saat ini, tingkat kinerja sistem yang akan dicapai, tingkat teknologi yang dapat dimanfaatkan dan yang sesuai, bagaimana rekayasa kemampuan manusia, serta perlu data histori untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan manusia untuk beradaptasi dengan kondisi kerjanya.

Manusia memiliki kemampuan namun juga keterbatasan. Kemampuan fisik manusia secara umum dapat diteliti dan diketahui batasan-batasannya, namun kemampuan lain misalnya kemampuan kognitif dan motivasi sangat sulit ditentukan batasnya. Namun demikian, secara hukum alam apapun jenis kemampuan manusia tetap memiliki batasan. Berdasarkan pada pandangan ini, seperti pada Gambar 36 jika kemampuan manusia sudah mendekati batas yang ditandai dengan kondisi bahwa peningkatan tuntutan pekerjaan sudah tidak dapat diimbangi oleh manusia, pada saat tersebut harus dilakukan rekayasa yaitu dengan membuat alat bantu sehingga dengan keterbatasan manusia tetap dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik. Pengoperasian alat bantu tersebut tetap harus memperhatikan kemampuan manusia. Tujuannya adalah dapat mengurangi penggunaan kapasitas manusia, atau hanya memerlukan sedikit tambahan kapasitas.

Skema pada gambar 36 dapat menjelaskan fenomena lapang yang terjadi pada proses tebang angkut. Kinerja sistem (misalnya posisi SP2) yang dikehendaki dalam hal ini adalah jumlah hasil tebang (dalam ikat) dan lama waktu yang diperlukan untuk mengangkut tebu ikat ke atas truk sampai penuh. Untuk dapat memenuhi kinerja tebang diperlukan tuntutan pekerjaan (job demand–JD2) meliputi cara memotong tebu, cara membersihkan daun kering, acara memotong pucuk tebu, cara meletakkan tebu melintang di atas guludan, serta cara mengikat tebu. Untuk dapat memenuhi kinerja angkut diperlukan tuntutan pekerjaan meliputi cara mengangkat tebu ke atas pundak, cara berjalan menuju truk serta cara meniki tangga bambu/kayu ke atas truk. Tuntutan pekerjaan ini harus dipenuhi oleh kemampuan manusia (human capacity-HC2).

Kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan fisik, kemampuan psikis/skill, serta motivasi yang kuat untuk mencapai target kerja. Jika sesorang pekerja pada waktu pertama kali memulai pekerjaan memiliki kemampun HC1, maka dia harus meningkatkan kemampuan tersebut menjadi HC2. Selama peningkatan tersebut harus ada usaha untuk beradaptasi, meningkatkan kemampuan dan daya tahan. Pada awal masa adaptasi gap antara HC2 dan HC1 cukup besar, artinya selisih kemampuan ini akan menimbulkan tingkat kejerihan yang tinggi. Seiring dengan berjalannya waktu, pekerja makin meingkat kemampuannya, gap antara HC2 dan HC1 makin kecil, semakin menurun pula tingkat kejerihan yang dialami pekerja, sampai suatu saat kondisi pekerja memiliki kemampuan HC2, sehingga posisi pekerja sudah teradaptasi, pada saat itu terjadi tingkat kejerihan yang cenderung konstan. Kejerihan (beban kerja yang dirasakan) tetap akan ada walaupun untuk pekerja berpengalaman, sebab hal tersebut menunjukkan bahwa pekerja telah menerima sejumlah beban tertentu dan memanfaatkan kemampuannya untuk menahan beban tersebut. Jika bebannya konstan dan kemampuan menahan beban sudah stabil, maka tingkat kejerihan juga akan stabil, dan nilainya akan jauh lebih rendah jika dibanding pada awal masa adaptasi. Pada saat berikutnya dilakukan evaluasi sistem kerja, misalnya karena adanya tuntutan peningkatan kapasitas produksi pabrik, tuntutan persaingan usaha, kemampuan produksi lahan yeng meningkat atau karena kebijakan ekspansi lahan. Jika kemudian manejemen memutuskan untuk meningkatkan kinerja sistem menjadi SP3, maka proses selanjutnya adalah merancang tuntutan kerja ke posisi JD3 dengan prinsip fit the job to the man, serta pekerja akan meningkatkan kemampuannya sampai mencapai HC3 secara fit the man to the job. Proses ini akan senantiasan berulang dan itulah yang dimaksud dengan proses autopoiesis.

Kemiringan kurva kinerja sistem (SF) dapat berbeda untuk satu individu dengan yang lain, tergantung kecepatan individu tersebut untuk dapat memenuhi tuntutan pekerjaan (JD). Kemiringan yang lebih tajam seperti kurva SF’ menunjukkan bahwa individu tersebut lebih cepat beradaptasi dan mencapai kemampuan yang dituntut oleh pekerjaan. Dalam waktu yang sama individu tersebut dapat meningkatkan kemampuannya (HC) yang lebih tinggi

sehingga dapat mencapai kinerja sistem yang lebih tinggi. Kurva yang lain dapat memiliki kemiringan yang lebih landai, artinya kemampuan seseorang untuk beradaptasi cukup lama, sehingga kinerja sistem yang dapat dicapai dalam waktu yang sama juga rendah.

Dalam kasus tebang angkut, pekerja yang telah memiliki kemampuan tertentu (usia 15 sampai 17 tahun) pada saat memulai menjadi pekerja tebang angkut, akan menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaanya. Dalama masa adaptasi ini, pekerja akan mengalami kelelahan (yang ditunjukkan dengan nilai IRHR) yang tinggi dan akan semakin berkurang secara logaritmik setelah memiliki pengalaman kerja dalam waktu tertentu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara garis besar waktu penyesuaian pekerja tebang angkut lebih kurang 5 sampai 10 tahun, namun demikian kesimpulan ini masih perlu dibuktikan dengan penelitian lanjutan dengan jumlah data yang jauh lebih banyak. Faktor-faktor individu yang menjadi penyebab munculnya tingkat kelelahan yang berbeda-beda menurut temuan lapangan adalah tiga hal yaitu; perbedaan antara tuntutan kemampuan fisik dengan kemampuan fisik pekerja, perbedaan keterampilan/skill antara tuntutan pekerjaan dan keterampilan pekerja serta tinggi rendahya motivasi pekerja untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan. Di antara 3 aspek tersebut, aspek motivasi memegang peranan terpenting. Menurut Hendrick (2000) dan Bridger (1985) motivasi seseorang akan menumbuhkan usaha untuk penyelarasan diri dengan kondisi organisasi. Konsep pendukung bahwa motivasi memegang peranan penting adalah konsep need fullfil compensation, the power of suggestion, dan

common goal. Konsep need fullfil compensation menurut Al Rasyid (2005) adalah, seseorang akan dituntut oleh dirinya sendiri untuk mememuhi kebutuhan hidupnya. Segala hal dapat dilakukan jika tujuannya adalah untuk mempertahankan kehidupan, baik untuk diri sendiri, keluarga maupun orang terdekat di sekitarnya. Jika kebutuhan hidupnya tercukupi apalagi dapat lebih dari yang lain, seseorang akan memiliki motivasi tinggi untuk tetap bekerja walaupun dalam kondisi yang kurang baik. Pembiasaan ini akan berubah menjadi perilaku yang pada akhirnya mengarah kepada kenyamanan individu. Dengan demikian seseorang akan memiliki daya dalam dirinya untuk berbuat

sesuatu yang akan memberikan keuntungan bagi dirinya. Ini adalah konsep the power of suggestion. Dorongan internal ini menjadi energi positif bagi seseorang sehingga memberikan sugesti untuk mendapatkan hasil terbaik dan dalam waktu yang sama menolak hal-hal negatif. Salah satu contoh adalah bahwa jika dalam kondisi normal seseorang berada dalam kondisi panas, kotor, berdebu, beban kerja berat maka tidak akan dapat mengerjakan pekerjaan tebang angkut dengan baik. Apalagi jika berfikir negatif tentang kemungkinan kecelakaan, hasil yang didapat tidak cukup, pekerjaan tidak pantas dan sebagainya, maka tidak mungkin pekerja akan bertahan dalam kondisi tersebut. Yang menjadi sugesti adalah bagaimana mendapatkan rizki untuk menghidupi keluarga bahkan menyekolahkan anaknya supaya mereka memiliki masa depan yang jauh lebih baik dari bapaknya. Sugesti yang berangkat dari fikiran positif ini menurut Elfiki (2009) akan mempengaruhi keyakinan dan tata nilai serta membentuk perilaku. Dorongan ini tertanam dalam benak mereka sehingga panas dingin hujan dan kotoran dijadikan teman, bukan ancaman. Dalam penelitian ini pekerja tebang angkut yang sudah lama bertahan rata-rata memiliki motivasi tinggi untuk tetap bekerja, untuk dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya, dengan kesadaran kemampuan dan peluang yang dimiliki. Pekerja muda mengalami kelelahan lebih tinggi sebab motivasinya tidak seutuh para pekerja berpengalaman, disamping faktor fisik dan keterampilan.

Pengembangan konsep autopoiesis yang lebih luas dapat dilakukan yaitu dengan menambahkan konsep common goal. Dalam sebuah komunitas terjadi interaksi antar individu dengan sebuah tata aturan yang disepakati bersama. Aturan yang dimaksud adalah norma kemasyarakatan, norma keagamaan, keluhuran budaya, kepentingan bersama sampai dengan budaya kerja perusahaan. Seluruh aturan tersebut dibuat dan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan bersama dalam komunitas. Budaya kerja perusahaan misalnya, merupakan budaya yang dikembangkan untuk mendukung tercapainya visi misi dan tujuan perusahaan. Hasil akhirnya harus meguntungkan seluruh stakeholder perusahaan tersebut. Jika perusahaan dapat menunjukkan bahwa

menguntungkan satu fihak dengan yang lain, maka budaya tersebut akan dipatuhi dan dilaksanakan oleh seluruh karyawan walaupun pada awalnya harus merubah sikap dan perilaku sehingga tidak nyaman. Dalam jangka panjang budaya tersebut akan menjadi budaya individu, menjadi pijakan etos kerja dan memberikan keuntungan kepada semuanya. Dalam kasus tebang angkut salah satu contoh common goal adalah bahwa produktivitas perusahaan harus tinggi, bahan baku tebu giling harus dapat dipasok oleh seluruh kelompok tebang. Proses giling berlangsung selama 24 jam, artinya tidak boleh ada kekurangan dalam hari tersebut, sebab kekurangan berarti kerugian yang besar buat perusahaan. Seluruh kelompok tebang harus bertanggungjawab memasok jumlah tebu tebangan seperti yang sudah ditentukan. Pengaturan ini juga harus mempertimbangkan bahwa proses tebang angkut giling maksimum selesai dalam waktu 24 jam, sebab jika lebih akan mengakibatkan rendemen gula menurun, artinya gula yang dihasilkan akan berkurang sehingga merugikan perusahaan dan petani/pemiliki lahan. Berdasarakan pada common goal ini seluruh pekerja tebang angkut memiliki tanggung jawab bersama untuk dapat menjaga kesinambungan pasokan dengan tetap menjaga kualitas rendemen tebu.

Pemahaman terhadap konsep autopoiesis yang terjadi pada sistem kerja khususnya sistem kerja tebang angkut dapat diterapkan pada industri gula. Pada proses tebang angkut selama ini pekerja baru mengikuti pekerjaan tersebut dengan belajar mandiri, mencontoh pada pekerja lain yang sudah berpengalaman. Pada pekerjaan tebang, di mana diperlukan keterampilan yang lebih khusus, sebaiknya perusahaan menetapkan metode kerja terbaik serta standardisasi alat tebang. Pekerja pemula perlu diberikan pelatihan bagaimana menebang yang baik, efektif, dan memiliki kemampuan menggunakan alat tebang dengan mahir. Instruktur tebang harus memberikan pengarahan bagaimana melakukan penebangan yang baik, memenuhi standar, dapat menghemat waktu, mengurangi gerakan-gerakan tidak ekonomis, serta bagaimana mengatur tenaga untuk dapat bertahan selama 1 hari kerja. Ritme penebangan dan pengaturan ini dapat dilatih dan dengan pengawasan instruktur tebang pekerja pemula akan lebih cepat beradaptasi dengan tugasnya.