• Tidak ada hasil yang ditemukan

d) Penelitian dilakukan pada waktu tidak terjadi gejolak moneter, sosial, politik serta bencana alam yang luar biasa sehingga tidak ada perilaku komponen sistem

2.1 Sistem Kerja Pabrik Gula

Tebu merupakan salah satu komoditi pertanian Indonesia yang memberikan nilai tambah yang cukup besar terhadap produk domestik secara nasional. Lahan tebu tersebar baik di pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Menurut data Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI 2009) terdapat 58 pabrik gula dengan penyebaran 46 pabrik di Jawa dan 12 pabrik di luar Jawa. Total lahan tebu seluruh Indonesia seluas 434 127 ha, yang terdiri dari 279 650 ha di pulau Jawa dan 154 477 ha di luar Jawa, potensi ini sangat mungkin dikembangkan untuk produk-produk turunan selain produk utama gula pasir dan tetes. Potensi ini belum termasuk jika dihitung seluruh lahan tanam yang tersedia.

Pengembangan komoditas tebu masih sangat terbuka dan potensial. Luas lahan tanam masih dapat dikembangkan khususnya di luar pulau Jawa. Demikian juga dengan rendemen dan yeild tebu yang dihasilkan lahan. Menurut prediksi Asosiasi Gula Indonesia (AGI 2009), rendemen yang dihasilkan lahan di Jawa rata-rata 8.72 dan di luar Jawa sebesar 8.14. Nilai ini sangat mungkin dinaikkan dengan teknologi pengolahan lahan yang lebih baik. Permintaan gula untuk pasar dunia menurut FAO (2009) meningkat dari 158.4 juta ton pada tahun 2007 menjadi 162.2 juta ton pada tahun 2008. Sementara produksi gula dunia sebesar 167.6 juta ton tahun 2007 menurun menjadi 158.5 juta ton pada tahun 2008. Dengan demikian produk utama tebu yaitu gula akan langsung terserap pasar dunia karena jumlah permintaan lebih besar dari jumlah produksi.

Jika dilihat dari hasil produksi, hasil utama dari tebu sampai saat ini adalah

raw sugar, white sugar dan tetes. Raw sugar dan white sugar dapat langsung digunakan oleh konsumen akhir maupun industri makanan, obat, dan minuman. Sementara tetes tebu dapat diolah lanjut menjadi MSG atau etanol. MSG dimanfaatkan industri makanan dan minuman sementara etanol dapat diolah lanjut menjadi bio-fuel sebagai bahan bakar alternatif. Tuntutan penggunaan bio-fuel juga meningkat tajam seiring dengan problem lingkungan global yang menjadi issue internasional. Di Amerika dan Brazil, etanol bukan hanya digunakan sebagai campuran bensin 5%, 10% saja, bahkan sudah mencapai 80% - 100% mobil

berbahan bakar etanol. Pengembangan produk ini di masa datang merupakan hal yang sangat potensial dan strategis.

Produk lain yang dihasilkan pabrik gula adalah bagas atau ampas tebu. Produk ini adalah produk sampingan dan merupakan limbah industri. Namun demikian limbah ini masih memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Bagas yang sudah dikeringkan dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar boiler (mesin utama dalam industri gula). Hasil suatu pabrik gula mencukupi untuk mensuplai bahan bakar boilernya. Dengan demikian akan didapatkan efisiensi energi. Setelah dibakar, residu bagas dapat digunakan sebagai bahan baku pupuk organik yang dapat dikembalikan ke lahan atau dilepas ke pasaran sebagai media tanam tanaman lainnya.

Sistem kerja industri gula dimulai dengan proses budidaya tanaman tebu. Proses budidaya terdiri dari dua kategori yaitu Replanting Cane (RPC) dan

Ratoon Cane (RC). RPC adalah tanaman tebu yang ditanam pada areal bekas tanaman tebu yang dibongkar. RC adalah tanaman tebu yang tumbuh dari keprasannya. Dalam proses budidaya tebu terdapat perbedaan antara RPC dengan RC. Pada budidaya tanaman RPC, terdapat proses penyiapan lahan bekas tanaman tebu yang dibongkar. Pembongkaran ini dilakukan untuk mengolah kembali tanah yang telah padat akibat berbagai perlakuan pada tebu keprasan dan dapat memperbaiki kualitas tanah sehingga diharapkan bisa meningkatkan produksi tebu yang dihasilkan.

Sebelum ditanami tebu, lahan dipersiapkan dengan berbagai tahapan yaitu penebaran blotong, aplikasi stillage, penebaran dolomite, pembajakan, penggaruan, trackmarking, penaburan gypsum, ripping, furrowing dan basalt. Setelah lahan siap kemudian mulai ditanami bibit tebu. Bibit yang akan ditanam sebagian besar berasal dari kebun bibit sendiri.

Varietas yang ditanam didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan bahwa varietas tersebut mempunyai potensi gula tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, mudah ditebang, tidak roboh, dan disesuaikan dengan bulan tanam. Bulan tanam berkorelasi dengan tingkat kemasakan tebu. Varietas masak awal ditanam pada bulan April–Juni, varietas masak tengah ditanam pada bulan Juli– Agustus, dan varietas masak akhir ditanam pada bulan September-Oktober. Proses

penanamannya masih menggunakan cara manual oleh tenaga harian atau dengan sistem borongan. Dalam penanaman ini terdiri dari beberapa tahapan yaitu, tebang bibit dan angkut, pembongkaran bibit, pengeceran, pencacahan, penutupan bibit dan pemadatan

Setelah proses penanaman, tahap berikutnya adalah proses perawatan tanaman. Pemeliharaan terhadap tanaman perlu dilakukan sebagai suatu cara untuk mendapatkan pertumbuhan dan hasil yang optimal. Kegiatan perawatan ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu pemeliharaan secara mekanis (mechanical maintenance) dan pemeliharaan secara manual (manual maintenance). Pemeliharaan mekanis meliputi pemupukan, kultivasi, remounding, pre-emergence, serta tabur carbuforan. Sedangkan pemeliharaan manual meliputi penyulaman, post-emergence, hand weeding, dan pengendalian hama secara biologis.

Proses terakhir di lahan adalah proses pemanenan. Pemanenan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan memungut hasil gula yang masih potensial berada pada bagian tanaman tebu di kebun untuk diolah menjadi butiran kristal gula di pabrik. Kegiatan ini dapat dikatakan berhasil apabila; (1) kesegaran tebu (cane freshness), yaitu total jam mulai dari tebu dibakar sampai tebu tersebut digiling dapat terjaga, (2) kebersihan tebu dari kotoran. Kotoran disini adalah dapat berupa klaras, daun pucuk, sogolan, siwilan, batang mati, akar, dan tanah serta gulma, dan (3) tebu tertinggal (cane wastage) berupa lonjoran, tunggul yang tertinggal di kebun, dan batang pucuk seminimal mungkin.

Pemanenan dilakukan pada musim kering, yaitu sekitar bulan April-Oktober. Hal ini berkaitan dengan tingkat kemasakan tebu yang diprogramkan akan mencapai optimal pada musim kering serta kemudahan transportasi tebu dari areal menuju pabrik. Kegiatan panen diawali dengan tahap persiapan yang sekurang-kurangnya tiga bulan sebelum panen dimulai. Tahap persiapan meliputi kegiatan estimasi produksi tebu, pembuatan program tebangan, penentuan kemasakan tebu, dan persiapan sarana dan prasarana tebang. Selain itu juga perlu dilaksanakan analisa kemasakan tebu (Maturity Test) untuk mengetahui periode kemasakan optimal tebu dan untuk memperkirakan kapan tebu harus ditebang.

Pelaksanaan tebangan dilakukan dalam tiga sistem tebang, yaitu manual (bundle cane), semi mekanis (loose cane), dan mekanis (chopped cane).

a) Bundle Cane

Sistem tebang ini adalah sistem tebang dengan menggunakan 100% tenaga manusia (full manual). Proses tebang angkut manual terdiri dari proses penebangan dan pengangkutan. Proses penebangan dimulai dengan pemotongan batang tebu, pembersihan kotoran dan pucuk tebu, peletakan batang tebu di guludan sampai dengan pengikatan batang tebu. Proses pengangkutan mulai dari pengangkatan ikatan tebu dari guludan dinaikkan ke pundak, pengangkutan ke truk dan penaikan ke bak truk. Penebang tebu terdiri dari laki-laki dan perempuan, berusia antara 17 - 55 tahun dengan kondisi fisik yang baik. Rata-rata penebang memiliki kemampuan fisik yang memadai, sebab tuntutan kondisi kerja cukup berat meliputi kebutuhan tenaga untuk menebang, kondisi lahan, kondisi rumpun tebu, lama waktu kerja, serta lingkungan fisik terutama temperatur udara yang cukup tinggi. Proses tebang angkut bundle cane secara umum ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Sistem tebang angkut bundle cane (full manual)

Proses tebang dimulai dengan pemotongan batang tebu menggunakan alat potong berupa sabit atau golok. Kecepatan potong batang tebu secara manual

ditentukan oleh beberapa hal yaitu tenaga penebang, alat yang digunakan, cara melakukan penebangan, serta karakter rumpun batang tebu. Jenis alat yang digunakan bermacam-macam. Sebagian besar perusahaan tidak melakukan hal tersebut dan menyerahkan pemilihan alat tebang kepada masing-masing penebang. Karena faktor kebiasaan setempat yang berlainan, bentuk alat tebang yang digunakan satu dengan yang lain berbeda. Pekerja memilih alat tebang yang paling sesuai untuk masing-masing baik dari segi bentuk maupun ukurannya. Beberapa perusahaan melakukan standardisasi bentuk dan ukuran sabit berdasarkan pada studi yang dilakukan, yaitu berdasarkan karakteristik batang tebu dan biomekanika posisi efektif proses tebang. Cara melakukan penebangan cukup sederhana yaitu dengan mengayunkan alat tebang baik berupa golok atau sabit ke batang tebu, dengan posisi potong ideal maksium 5 cm dari tanah. Posisi potong ini tidak boleh terlalu tinggi sebab nilai rendemen gula dalam batang tebu paling banyak terdapat pada batang bawah. Untuk melakukan pemotongan dan mencapai kondisi ideal ini tidaklah terlalu mudah karena posisi batang tebu satu dengan yang lain seringkali tidak beraturan, saling menyilang. Posisi ini terutama untuk jenis tebu Ratoon Cane (RC), jenis tebu yang sudah mengalami beberapa kali penumbuhan ulang tanpa pembongkaran lahan. Untuk jenis tebu Replanting Cane (RPC), bentuk susunan batang tebu lebih teratur dan lebih mudah dilakukan penebangan sesuai dengan batas ideal. Pada tebu jenis RPC penebang dapat melakukan penebangan beberapa batang tebu dengan sekali ayunan alat potong, dengan demikian proses potong lebih cepat. Sedangkan pada jenis tebu RC, penebang hanya dapat melakukan pemotongan batang tebu 1 atau 2 batang saja, sehingga kecepatan potong lebih rendah dari jenis RPC.

Setelah batang tebu dipotong, penebang akan membersihkan batang tebu dari daun-daun tebu kering yang masih menempel di batang, serta membuang pucuk batang yang masih muda. Kecepatan proses pembersihan ini juga tergantung pada jenis tebu yang dipanen. Tebu jenis RC biasanya lebih banyak daun-daun kering yang tertinggal di batang, sebab pada saat pemeliharaan cukup sulit untuk membuangnya. Tebu jenis RPC lebih sedikit daun kering dan bentuk tebunya lurus sehingga mudah dibersihkan.

Tahap berikutnya adalah meletakkan batang-batang tebu yang sudah dibersihkan melintang di atas guludan. Batang-batang tebu ini selanjutnya akan diikat dengan tali dari bambu atau kulit tebu dengan ukuran berat angkat kira-kira 18 – 25 kg per ikat. Pekerjaan mengikat dilakukan sebagian besar oleh pekerja laki-laki sebab diperlukan tenaga yang cukup besar agar ikatan cukup kuat. Hanya sedikit pekerja perempuan yang dapat melakukan tugas ini. Proses selanjutnya adalah mengangkat dan mengangkut ikatan-ikatan tebu ke atas truk untuk dibawa ke pabrik. Tugas ini dilakukan hanya oleh pekerja laki-laki, bahkan di beberapa tempat tidak semua pekerja laki-laki penebang sanggup melakukan pekerjaan ini. Pekerja angkut harus mengangkat ikatan tebu dari guludan, dinaikkan ke atas pundak, kemudian berjalan melintasi lahan dengan kondisi yang sulit dan licin sampai ke truk pengangkut. Pada saat awal penaikan tebu ke truk posisi truk masih kosong atau baru berisi sedikit tebu, pekerja dapat melemparkan ikatan tebu langsung ke atas truk, satu pekerja lain akan berada di atas truk untuk mengatur tumpukan agar rapi. Setelah bak truk bagian bawah terisi, semakin ke atas pekerja angkut tidak dapat melempar langsung ikatan tebu dari pundak ke atas truk, mereka harus berjalan menaiki tangga bambu atau kayu sambil memikul ikatan tebu. Semakin ke atas tumpukan semakin sulit pekerja menaiki tangga tersebut. Setelah truk terisi penuh, kembali pekerja yang di atas truk harus membersihkan kotoran-kotoran baik daun-daun kering yang masih terlalu banyak atau tanah-tanah yang menempel pada ikatan tebu. Setelah semuanya selesai tebu akan dikirim ke pabrik. Namun demikian, sistem ini merupakan sistem tebangan yang dalam pelaksanaan tebang, ikat, dan pemuatannya dilakukan dengan tenaga manusia, sedangkan pengangkutan ke pabriknya menggunakan truk.

b) Loose Cane

Sistem tebangan semi mekanis ini adalah sistem penebangan dengan kegiatan tebang dilakukan secara manual, namun dalam pemuatannya dilakukan secara mekanik yaitu dengan menggunakan grab loader. Proses tebang sama dengan proses bundle cane, menggunakan 100% tenaga manusia, sampai dengan meletakkan hasil potongan batang tebu di atas guludan dan batang tebu diikat. Setelah itu proses pemuatan ke atas truk dilakukan dengan menggunakan grab loader yang akan mengangkat ikatan tebu dengan lengan mekanis dan diletakkan

di atas trailer atau truk. Tahap selanjutnya, trailer akan ditarik dengan traktor ke pabrik. Proses tebang angkut dengan metode loose cane atau semi manual tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2 Sistem tebang angkut Loose Cane (semi manual)

c) Chopped Cane

Penebangan dengan sistem chopped cane adalah proses tebang angkut yang

full mechanic, artinya mulai dari penebangan sampai pengangkutan seluruhnya menggunakan tenaga mesin. Pekerja hanya bertugas mengoperasikan mesin tersebut. Proses tebang dilakukan dengan menggunakan mesin cane harvester, seperti tersaji pada Gambar 3. Sebelum dilakukan penebangan tebu harus dibersihkan dari kotoran daun-daun kering. Metode pembersihan yang digunakan biasanya menggunakan metode cepat membersihkan kotoran daun-daun kering. Jarak antara waktu pembakaran dan proses giling tidak boleh lebih dari 24 jam, karena akan menurunkan rendemen tebu. Setelah tebu dibakar, harvester akan memotong batang tebu, kemudian tebu masuk ke dalam mesin dipotong-potong menjadi potongan pendek berukuran lebih kurang 40 – 60 cm, dan hasilnya akan dilempar ke dalam truk angkut yang posisinya sudah siap di samping harvester. Mesin pemotong ini berdimensi cukup besar dan posisinya harus di atas guludan,

sehingga setelah panen tanah akan menjadi keras. Oleh karena itu lahan yang dipanen dengan harvester adalah lahan yang akan dilakukan replanting (metode tanam dengan pembongkaran tanah) bukan yang ratoon (metode tanam dengan pemapasan/kepras).

Gambar 3 Sistem tebang angkut Chopped Cane (full mechanic)

Hal lain yang menjadi kendala proses ini adalah kondisi lahan yang belum benar-benar kering, mengurangi jumlah tenaga kerja, investasi awal serta biaya operasi yang cukup besar. Dengan demikian proses ini pada pelaksanaannya hanya dilakukan sebagai penyangga atau membantu memenuhi kuota pengiriman tebu, yaitu jika terjadi kekurangan suplai tebu ke pabrik karena kendala tebang angkut manual, misalnya dilakukan pada kondisi jumlah tenaga kerja yang sedikit dan diperlukan pengiriman tebu dalam waktu yang cepat.

Setelah tebu selesai ditebang, kemudian diangkut ke pabrik dengan truk, dan mulai proses selanjutnya yaitu pabrikasi untuk menghasilkan gula. Dimulai dengan timbangan tebu untuk mengetahui banyaknya tebu yang akan digiling, kemudian tebu dimasukkan ke dalam Cane Yard untuk diproses lanjut. Skema proses pembuatan gula dari tebu dapat dilihat pada Gambar 4.

WATER WATER WATER POLYMER CANE RECEIVING

RAW JUICE POLYMERS

EVAPORATORS CORROSION BIOCIDES OXYGEN SCAVENGERS ANTISCALANTS DISPERSANTS CORROSION INHIBITORS BOILER MILLING VACUUM PANS VISCOSITY MODIFIER CRYSTALIZER CENTRIFUGE DRYER SUGAR STORAGE TO REFINERY FERMENTATION PRODUCT YEAST PREPARATION INTERMEDIATE TANK

BIOCIDE, DISPERSANTS, AND CORROSION INHIBITORS ANTIFOAMS DISPERSAN FERMENTATION CENTRIFUGE ANTISEPTIC POLYMERS ANTISCALANTS FINISHED PRODUCT ALCOHOL NEUTRALIZATION NEUTRALIZATION ALCOHOL ANHYDROUS

ALCOHOL HYDRATE POLYMERS

CLARIFIERANTISCALANTS AND CLEANERS

PHOSPHATE AIR FLOATATION CALCIUM FILTER SULFUR DIOXIDE DISTILLATION CLEANER RAW JUICE COAGULANT 1 3 4 5 6 7 8 9 10 2COOLING TOWER

Gambar 4 Proses pabrikasi gula secara umum (Sumber: PG Jatitujuh Cirebon)

Secara umum proses pabrikasi sampai menghasilkan gula dapat dibagi dalam 4 stasiun operasi yaitu:

a) Proses Ekstraksi

b) Pengendapan Kotoran Dengan Kapur (Liming) c) Proses Penguapan (Evaporasi)

d) Proses Kristalisasi e) Proses Penyimpanan f) Proses Pemurnian g) Proses Pendidihan h) Proses Pengolahan Sisa

a. Proses Ekstraksi

Tahap pertama pengolahan adalah ekstraksi jus atau sari tebu. Di kebanyakan pabrik, tebu dihancurkan dalam sebuah serial penggiling putar yang

berukuran besar. Cairan tebu manis dikeluarkan dan serat tebu dipisahkan, untuk selanjutnya digunakan di mesin pemanas (boiler). Di lain pabrik, sebuah diffuser

digunakan seperti yang digambarkan pada pengolahan gula bit. Jus yang dihasilkan masih berupa cairan yang kotor: sisa-sisa tanah dari lahan, serat-serat berukuran kecil dan ekstrak dari daun dan kulit tanaman, semuanya bercampur di dalam gula. Skema proses ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Proses ekstraksi gula

(Sumber: PG Jatitujuh Cirebon)

Jus dari hasil ekstraksi mengandung sekitar 15% gula dan serat residu, dinamakan

bagasse, yang mengandung 1 hingga 2% gula, sekitar 50% air serta pasir dan batu-batu kecil dari lahan yang terhitung sebagai “abu”. Sebuah tebu bisa mengandung 12 hingga 14% serat dimana untuk setiap 50% air mengandung sekitar 25 hingga 30 ton bagasse untuk tiap 100 ton tebu atau 10 ton gula.

b. Pengendapan kotoran dengan kapur (Liming)

Pabrik dapat membersihkan jus dengan mudah dengan menggunakan semacam kapur (slaked lime) yang akan mengendapkan sebanyak mungkin kotoran untuk kemudian kotoran ini dapat dikirim kembali ke lahan. Proses ini dinamakan liming. Jus hasil ekstraksi dipanaskan sebelum dilakukan liming untuk mengoptimalkan proses penjernihan. Kapur berupa kalsium hidroksida atau Ca(OH)2 dicampurkan ke dalam jus dengan perbandingan yang diinginkan dan jus yang sudah diberi kapur ini kemudian dimasukkan ke dalam tangki pengendap gravitasi: sebuah tangki penjernih (clarifier). Jus mengalir melalui clarifier

keluar merupakan jus yang jernih. Kotoran berupa lumpur dari clarifier masih mengandung sejumlah gula sehingga biasanya dilakukan penyaringan dalam penyaring vakum putar (rotasi) dimana jus residu diekstraksi dan lumpur tersebut dapat dibersihkan sebelum dikeluarkan, dan hasilnya berupa cairan yang manis. Jus dan cairan manis ini kemudian dikembalikan ke proses.

c. Proses Penguapan (Evaporasi)

Setelah mengalami proses liming, jus dikentalkan menjadi sirup dengan cara menguapkan air menggunakan uap panas dalam suatu proses yang dinamakan evaporasi. Terkadang sirup dibersihkan lagi tetapi lebih sering langsung menuju ke tahap pembuatan kristal tanpa adanya pembersihan lagi. Jus yang sudah jernih mungkin hanya mengandung 15% gula tetapi cairan (liquor) gula jenuh (yaitu cairan yang diperlukan dalam proses kristalisasi) memiliki kandungan gula hingga 80%. Evaporasi dalam ‘evaporator majemuk' (multiple effect evaporator) yang dipanaskan dengan steam merupakan cara yang terbaik untuk bisa mendapatkan kondisi mendekati kejenuhan (saturasi).

d. Kristalisasi

Pada tahap akhir pengolahan, sirup ditempatkan ke dalam panci yang sangat besar untuk dididihkan. Di dalam panci ini sejumlah air diuapkan sehingga kondisi untuk pertumbuhan kristal gula tercapai. Pembentukan kristal diawali dengan mencampurkan sejumlah kristal ke dalam sirup. Sekali kristal terbentuk, kristal campur yang dihasilkan dan larutan induk (mother liquor) diputar di dalam alat sentrifugasi untuk memisahkan keduanya, bisa diumpamakan seperti pada proses mencuci dengan menggunakan pengering berputar. Kristal-kristal tersebut kemudian dikeringkan dengan udara panas sebelum disimpan.

Larutan induk hasil pemisahan dengan sentrifugasi masih mengandung sejumlah gula sehingga biasanya kristalisasi diulang beberapa kali. Sayangnya, materi-materi non gula yang ada di dalamnya dapat menghambat kristalisasi. Hal ini terutama terjadi karena keberadaan gula-gula lain seperti glukosa dan fruktosa yang merupakan hasil pecahan sukrosa. Oleh karena itu, tahapan-tahapan berikutnya menjadi semakin sulit, sampai pada suatu tahap di mana kristalisasi tidak mungkin lagi dilanjutkan.

Gambar 6 Sentifugasi gula

Dalam sebuah pabrik pengolahan gula kasar (raw sugar) umumnya dilakukan tiga proses pendidihan. Pertama atau pendidihan “A” akan menghasilkan gula terbaik yang siap disimpan. Pendidihan “B” membutuhkan waktu yang lebih lama dan waktu tinggal di dalam panci pengkristal juga lebih lama hingga ukuran kristal yang diinginkan terbentuk. Beberapa pabrik melakukan pencairan ulang untuk gula B yang selanjutnya digunakan sebagai umpan untuk pendidihan A, pabrik yang lain menggunakan kristal sebagai umpan untuk pendidihan A dan pabrik yang lainnya menggunakan cara mencampur gula A dan B untuk dijual. Pendidihan “C” membutuhkan waktu secara proporsional lebih lama daripada pendidihan B dan juga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terbentuk kristal. Gula yang dihasilkan biasanya digunakan sebagai umpan untuk pendidhan B dan sisanya dicairkan lagi. Sebagai tambahan, karena gula dalam jus tidak dapat diekstrak semuanya, maka terbuatlah produk samping (byproduct) yang manis: molasses. Produk ini biasanya diolah lebih lanjut menjadi pakan ternak atau ke industri penyulingan untuk dibuat alkohol.

e. Penyimpanan

Gula kasar yang dihasilkan akan membentuk gunungan coklat lengket selama penyimpanan dan terlihat lebih menyerupai gula coklat lunak yang sering dijumpai di dapur-dapur rumah tangga. Gula ini sebenarnya sudah dapat digunakan, tetapi karena kotor dalam penyimpanan dan memiliki rasa yang berbeda maka gula ini biasanya tidak diinginkan orang. Oleh karena itu gula kasar biasanya dimurnikan lebih lanjut ketika sampai di negara pengguna.

f. Pemurnian

Proses pemurnian terdiri dari afinasi, karbonatasi, penghilangan warna, pendidihan dan pengolahan sisa (recovery).

Tahap pertama pemurnian gula yang masih kasar adalah pelunakan dan pembersihan lapisan cairan induk yang melapisi permukaan kristal dengan proses yang dinamakan dengan “afinasi”. Gula kasar dicampur dengan sirup kental (konsentrat) hangat dengan kemurnian sedikit lebih tinggi dibandingkan lapisan sirup sehingga tidak akan melarutkan kristal, tetapi hanya sekeliling cairan (coklat). Campuran hasil (‘magma') di-sentrifugasi untuk memisahkan kristal dari sirup sehingga pengotor dapat dipisahkan dari gula dan dihasilkan kristal yang siap untuk dilarutkan sebelum perlakuan berikutnya (karbonatasi). Cairan yang dihasilkan dari pelarutan kristal yang telah dicuci mengandung berbagai zat warna, partikel-partikel halus, gum dan resin dan substansi bukan gula lainnya. Bahan-bahan ini semua dikeluarkan dari proses.

Tahap pengolahan cairan (liquor) gula berikutnya bertujuan untuk membersihkan cairan dari berbagai padatan yang menyebabkan cairan gula keruh.