• Tidak ada hasil yang ditemukan

kehidupan manusia yang mungkin paling kompleks.”

F. Pengembangan Wilayah

Konsep tata ruang berkaitan dengan pengembangan wilayah suatu daerah. Dalam sejarah perkembangan konsep pengembangan wilayah di Indonesia, terdapat beberapa landasan teori yang mewarnai keberadaannya. Pertama, Walter Isard sebagai pelopor Ilmu Wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab-akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yaitu faktor fisik, sosial-ekonomi, dan budaya. Kedua, Hirschmann (era 1950-an) yang memunculkan teori polarization effect dan trickling-down effect dengan argumen bahwa perkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development).

Ketiga Myrdal (era 1950-an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antarawilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash and spread effect. Keempat, Friedmann (era 1960-an) yang lebih menekankan pada pembentukan hierarki guna mempermudah pengembangan sistem pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. Keenam, adalah Douglass (era 70-an) yang memperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa-kota (rural-urban linkages) dalam pengembangan wilayah.

Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah di atas diperkaya oleh gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran cemerlang putra-putra bangsa di antaranya adalah Sutami (era 1970-an) dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumber daya alam akan mampu mempercepat pengembangan wilayah. Poernomosidhi (era transisi) memberikan kontribusi lahirnya konsep hierarki kota-kota dan hierarki prasarana jalan melalui Orde Kota.

Selanjutnya, Ruslan Diwiryo (era 1980-an) yang memerkenalkan konsep pola dan struktur ruang yang bahkan menjadi inspirasi utama bagi lahirnya UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang. Pada periode 1980-an ini pula, lahir Strategi Nasional Pembangunan Perkotaan (SNPP) sebagai upaya untuk mewujudkan sistem kota-kota nasional yang efisien dalam konteks pengembangan wilayah nasional. Dalam perjalanannya, SNPP ini pula menjadi cikal-bakal lahirnya konsep Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) sebagai

upaya sistematis dan menyeluruh untuk mewujudkan fungsi dan peran kota yang diarahkan dalam SNPP.

Pada era 90-an, konsep pengembangan wilayah mulai diarahkan untuk mengatasi kesenjangan wilayah, misal antara KTI dan KBI, antarkawasan dalam wilayah pulau maupun antara kawasan perkotaan dan perdesaan. Perkembangan terakhir pada awal abad milennium, bahkan, mengarahkan konsep pengembangan wilayah sebagai alat untuk mewujudkan integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang di dalamnya memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh melalui upaya penataan ruang yang terdiri atas tiga proses utama, yaitu:

1. Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RT/RW). Di samping sebagai “guidance of future actions” RT/RW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/ makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/ makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability).

2. P r os e s p e m an f a at a n r u an g , y an g m e r u p ak a n wu j u d operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri,

3. Proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RT/RW dan tujuan penataan ruang wilayahnya.

Kajian pengembangan wilayah perkotaan di Indonesia selama ini selalu didekati dari aspek sektoral dan aspek spasial. Kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran dari aktivitas masyarakat suatu wilayah perkotaan dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah kegiatan sektoral atau lokasi kegiatan sektoral tersebut.

Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya konsep pengembanan wilayah perkotaan yang harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan ruang sesuai daya dukung, memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik, dan meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah perkotaan yang didasarkan pada penataan ruang.

Kaitan dengan perihal tersebut, ada tiga kelompok konsep pengembangan wilayah, yaitu konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi fungsional dan konsep pendekatan desentralisasi. Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/ kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam RT/RWN.

Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja di antara berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang lain. Adapun konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumber daya manusia.

Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan. Dari kondisi ini, muncullah beberapa konsep untuk menanggapi kelemahan tersebut, tersebut antara lain people center approach yang menekankan pembangunan sumber daya manusia, natural

resources-based development yang menekankan sumber daya alam sebagai modal pembangunan, serta technology based development yang melihat teknologi sebagai kunci dari keberhasilan pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut kurang berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.

Fenomena persaingan antarwilayah, tren perdagangan global yang sering memaksa penerapan sistem outsourcing, kemajuan teknologi yang telah mengubah dunia menjadi lebih

seperti demokratisasi, otonomi, keterbukaan dan meningkatnya kreativitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma dalam pengembangan wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada konsep-konsep yang dijelaskan di atas.

Pilihan yang tepat adalah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola pembangunan di wilayahnya sendiri. Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif berupa kekayaan alam berlimpah, upah murah atau yang dikenal dengan bubble economics, sudah usang karena terbukti tidak tahan terhadap gelombang krisis. Walaupun teori keunggulan komparatif tersebut telah ber-metamorfose dari hanya memperhitungkan faktor produksi menjadi berkembangnya kebijaksanaan pemerintah dalam bidang fiskal dan moneter, ternyata daya saing tidak lagi terletak pada faktor tersebut.

Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula diperoleh dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara menerus. Menurut Porter (1990) dalam Tiga Pilar Pengembangan Wilayah, keunggulan komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Sekalipun demikian, setiap wilayah masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yaitu adanya inovasi untuk pembaruan. Suatu wilayah dapat meraih keunggulan daya saing melalui empat hal, yaitu keunggulan faktor produksi, keunggulan inovasi, kesejahteraan masyarakat, dan besarnya investasi.

Apabila dicermati, paradigma pengembangan wilayah telah bergeser pada upaya yang mengandalkan tiga pilar, yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi. Ketiga pilar tersebut merupakan elemen internal wilayah yang saling terkait dan berinteraksi membentuk satu sistem. Hasil interaksi elemen tersebut mencerminkan kinerja dari wilayah yang berbeda dengan kinerja wilayah lainnya, sehingga mendorong terciptanya spesialisasi spesifik wilayah.

Dengan demikian, terjadi persaingan antarwilayah untuk menjadi pusat spatial network dari wilayah-wilayah lain secara nasional. Akan tetapi, pendekatan ini mempunyai kelemahan, antara lain apabila salah mengelola spatial network, tidak mustahil menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus diterapkan konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan keseimbangan pertumbuhan dan dikelola oleh Pemerintah Pusat. Konsep pareto ini diharapkan mampu memberikan keserasian pertumbuhan antarwilayah perkotaan dengan penerapan insentif-insentif kepada wilayah perkotaan yang kurang berkembang.