• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dan Perkembangan Kota

sebagai tempat yang padat dan dihuni oleh orang-orang yang heterogen (beragam).”

C. Sejarah dan Perkembangan Kota

Setiap kota mengalami sejarah pertumbuhan dan perkembangan sehingga menjadi kota besar. Proses pembentukan kota tidak lepas dari segala aktivis manusia. Banyak kota di dunia berawal dari desa. Desa adalah pemukiman yang penghuninya terikat dalam kehidupan dan bergantung pada wilayah di sekelilingnya. Dalam perjalanan

menjadi kota (pemekaran kota). Kemudian sejarah terbentuknya sebuah kota yang berada di suatu negara biasanya bervariasi, tetapi memiliki inti yang sama. Terbentuknya kota juga bisa dikatakan sebagai awal sebuah tempat pertemuan antarapenduduk desa dengan penduduk di sekitar desa itu baik untuk transaksi keperluan hidup, tempat pengumpulan barang, atau tukar menukar barang. Lama-kelamaan ada yang bermukim di sekitar tempat itu dan kemudian pemukiman itu menjadi semakin besar. Berdatangan pula penduduk dari daerah sekitar ke tempat itu serta daerah lainnya, kemudian membentuk sebuah kota atau bahkan menjadi kota besar.

Gideon Sjoberg dalam S. Meno dan Mustamin Alwi (1992: 18) menjelaskan bahwa ada tiga tingkatan pergerakan masyarakat manusia hingga menuju menjadi masyarakat kota, yaitu:

1. preurban feudal society, yaitu masyarakat feodal sebelum adanya atau menjadi kota-kota;

2. preindustrial feudal society, yaitu masyarakat feodal sebelum adanya industri;

3. moderen industrial feurial society, yaitu masyarakat feodal dengan industri maju.

Lebih lanjut, JH. De Goode dalam S. Meno dan Mustamin Alwi (1992: 18) menjelaskan sebuah masyarakat berkembang menjadi kota apabila memiliki beberapa faktor berikut:

1. jumlah penduduk keseluruhan; 2. penguasaan atas alam lingkungan; 3. kemajuan teknologi; dan

4. kemajuan dalam organisasi sosial.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kota bisa berkembang apabila ada jumlah penduduk yang cukup besar untuk mendukung kegiatan kota itu sendiri. Kemudian, mampu menguasai sumber-sumber daya alam di sekelilingnya sehingga sanggup memanfaat-kannya untuk kesejahteraan dan kemakmuran mereka. Ditunjang bidang teknologi dan ilimu pengetahuan, tercipta inovasi dan invensi dalam rangka kemajuan ke arah yang lebih maju dan lebih

baik. Dilihat dari pemanfatan ilmu pengetahuan dan teknologi, perkembangan kota terdiri atas tiga tahap, yaitu:

1. fase teknik, yang bertumpu pada eksploitasi sumber daya tenaga air dan angin oleh manusia (kincir-kincir yang digerakkan oleh tenaga air dan angin);

2. fase palaeo teknik, yaitu tahap pengembangan uap sebagai sumber tenaga, dengan batu bara sebagai bahan bakarnya; dan

3. fase neoteknik, di mana sumber tenaganya adalah listrik dan bahan bakarnya adalah bensin. Saat ini dikembangkan tenaga matatrari dan nuklir.

Dari urutan atau fase perkembangan kota di atas, dari pemanfaatan kincir, gerakan angin hingga pemanfataan tenaga matahari, jelas bahwa bahwa kemajuan kota dapat dilihat dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga mampu menguasai sumber daya alam untuk kemanfaatan manusia. Oleh karena itu, hampir setiap kota selalu mencirikan tingginya tingkat ilmu pengetahuan dan teknologi. Kawasan kota tersebut sudah beralih, yaitu bukan bermata pencarian yang berkaitan langsung dengan alam, melainkan bermata pencarian yang berhubungan dengan bidang pemerintahan, industri, dan jasa.

Kota-kota di Indonesia ternyata memiliki sejarah dan perkembangannya tersendiri. Menurut Koentjaraningrat dalam S. Meno dan Mustamin Alwi (1992: 21) menjelaskan bahwa kota-kota di Indonesia bermula dari adanya kota-kota istana, kemudian kota pusat keagamaan, dan terakhir kota pelabuhan. Kemudian, muncul pula istilah kota administrasi.

Kota istana. Dicirikan oleh susunan spatialnya yang men-cerminkan konsepsi rakyat tentang alam semesta. Raja dan istananya dipandang sebagai pusat alam semesta dan penjaga keseimbangan. Contoh kota-kota istana ini adalah Gianyar dan Klungkung di Bali, Yogya dan Solo di Jawa Tengah).

Kota pusat keagamaan. Susunan spatialnya berkisar di makam raja-raja, sebuah bangunan suci berupa candi, stupa, dan lain-lain.

mereka yang bertugas memelihara bangunan-bangunan suci dan pusat-pusat keagamaan. Contohnya kota Gede dekat Yogyakarta.

Kota pelabuhan. Susunan spatialnya terdiri atas bagian-bagian tempat tinggal para penguasa pelabuhan, yang dekat dengan pelabuhan, dan beberapa perkampungan tempat bermukimnya para pedagang asing, yang terpisah-pisah, dan disebut kampung menurut nama negeri asal mereka. Seperti kampung Arab, kampung Cina kampung Parsi, kampung Keling, kampung Melayu, kampung Maluku, dan lainnya. Contoh kota pelabuhan adalah Banten, Demak, Gresik, dan Ujung Pandang (Makassar).

Kota administrasi. Masuknya bangsa-bangsa Eropa ke Indonesia, khususnya ketika Belanda mulai menjajah negeri ini, maka muncullah kota-kota bentuk baru, yaitu berupa kota-kota administrasi. Kota-kota ini mengambil lokasi di Kota-kota-Kota-kota sebagaimana penjelasan di atas. Susunan spatial kota administrasi ini berkisar disekeliling sebuah lapangan atau alun-alun. Pada lingkaran depan atau pertama sekeliling alun-alun itu tedapat rumah kediaman kepala pemerintahan daerah itu (gubernur, residen, kontrolir, bupati, dan sebagainya). Juga terdapat gedung-gedung penting seperti gedung pemerintahan, gedung gereja, mesjid, bank, dan penjara. Pada lingkaran berikutnya terdapat rumah-rumah para pamong praja atau pejabat-pejabat eselon dalam pemerintahan.

Lain lagi dengan Lewis Mumford dalam Daldjoeni (1997: 141-142). Ia menjelaskan enam tahap perkembangan sejarah kota, yaitu sebagai berikut.

1. Eopolis. Kota ini menempati suatu pusat dari daerah pertanian dengan adat-istiadat yang bercorak kedesaan dan serba sederhana,.

2. Polis. Sebutan ini berasal dari zaman Yunani dan Romawi. Kota merupakan pusat hidup keagamaan dan pemerintahan. Bentuknya saja semacam benteng yang kuat; di dalamnya terdapat tempat khusus untuk peribadatan, pasar yang ramai yang bertalian erat dengan kegiatan macam industri kecil. Penduduknya terdiri atas beragam tukang dengan macam keahliannya. Ada pula berbagai lembaga pendidikan, tempat-tempat hiburan dan stadion besar untuk olahraga.

3. Metropolis. Dalam kota besar ini bertemulah orang dari berbagai bangsa untuk berdagang dan tukar-menukar harta budaya rohani. Juga terdapat percampuran perkawinan antarbangsa dan ras dengan akibat munculnya filsafat dan kepercayaan baru. Selain keagungan kota secara fisik kota menyajikan kontras yang menonjol antaragolongan kaum kaya dan kaum miskin. Contoh kota metropolis adalah Amsterdam, Paris, dan Tokyo.

4. Megalopolis. Sebenarnya ini suatu peningkatan dari tahap sebelumnya. Gejala sosiopatologis merajalela; pada satu pihak ada kekayaan dan kekuasaan dengan birokrasi yang amat menonjol, sedangkan pada pihak lain meluas kemiskinan dan berontaklah kaum proletar. Contoh-contoh megalopolis adalah Alexandria (abad ke-3), Roma (abad ke-2), Konstantinopel (abad ke-10), kemudian New York dalam abad sekarang. 5. Tyranopolis. Kota besar dilanda oleh kepincangan yang berupa

degenerasi dan korupsi. Moral pada penduduknya merosot; ada relasi erat antarapolitik, ekonomi dan kriminalitas, dan di samping itu kaum proletar menjadi kekuatan yang tidak diremehkan.

6. Necropolis. Aartinya peradaban kota runtuh, kota menjadi bangkai (nekros). Misalnya Babylon, Nineve dan Roma kuno, yang runtuh dan hilang lenyap dari permukaan bumi.

Perkembangan kota kekinian pada hakikatnya menyangkut berbagai aspek kehidupan. Perkembangan adalah proses perubahan keadaan dari keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda. Perkembangan dan pertumbuhan kota berjalan sangat dinamis.

Menurut Branch (1995: 37), beberapa unsur yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kota adalah sebagai berikut. 1. Keadaan geografis, yaitu pengaruh letak geografis terhadap

perkembangan fisik dan fungsi yang diemban oleh kota. Kota pantai misalnya akan berkembang secara fisik pada bagian daratan yang berbatasan dengan laut dengan perkembangan

sebagai kota perdagangan dan jasa serta sebagai simpul distribusi jalur transportasi pergerakan manusia dan barang 2. Tapak (site), merujuk pada topografi kota. Sebuah kota akan

berkembang dengan memperhitungkan kondisi kontur bumi. Dengan demikian, pembangunan saran dan prasarana kota akan menyesuaikan dengan topografinya agar bermanfaat secara optimal.

3. Fungsi yang diemban kota, yaitu aktivitas utama atau yang paling menonjol yang dijalankan oleh kota tersebut. Kota yang memiliki banyak fungsi, seperti fungsi ekonomi dan kebudayaan, akan lebih cepat perkembangannya daripada kota berfungsi tunggal.

4. Sejarah dan kebudayaan yang melatarbelakangi terbentuknya kota juga berpengaruh terhadap perkembangan kota karena sejarah dan kebudayaan memengaruhi karakter fisik dan masyarakat kota.

5. Unsur-unsur umum, yaitu unsur-unsur yang turut memengaruhi perkembangan kota seperti bentuk pemerintahan dan organisasi administratif, jaringan transportasi, energi, pelayanan sosial dan pelayanan lainnya.

Semua unsur tersebut saling berkaitan dan memengaruhi dan dalam tampilan fisik tercermin dari bentukan fisik perkotaan yang mengemban fungsi-fungsi tertentu.

Ada juga yang mengatakan bahwa perkembangan kota lebih cenderung dianalisis dari pertumbuhan penduduk perkotaan. Dimensi perkembangan dan pertumbuhan kota dapat ditinjau dari pengaruh pertumbuhan penduduk yang tidak terlepas dari proses yang disebut urbanisasi. Menurut Herlianto (1986: 5), urbanisasi ditinjau dari konsep keruangan (spasial) dan ekologis sebagai suatu gejala geografis. Konsep pemikirannya didasarkan pada adanya gerakan atau perpindahan penduduk dalam suatu wilayah atau perpindahan penduduk keluar dari suatu wilayah tertentu. Gerakan atau perpindahan penduduk tersebut disebabkan salah satu komponen dari ekosistem yang kurang atau tidak berfungsi dengan baik, sehingga terjadi ketimpangan dalam ekosistem setempat, serta

terjadinya adaptasi ekologis baru bagi penduduk yang pindah dari daerah asalnya ke daerah baru (perkotaan).

Menurut Catanese (1998), faktor yang dapat memengaruhi perkembangan kota ini dapat berupa faktor fisik maupun nonfisik. Faktor-faktor fisik akan memengaruhi perkembangan suatu kota di antaranya:

1. Faktor lokasi. Faktor lokasi dimana kota itu berada akan sangat memengaruhi perkembangan kota tersebut, hal ini berkaitan dengan kemampuan kota tersebut untuk melakukan aktivitas dan interaksi yang dilakukan penduduknya.

2. Faktor geografis. Kondisi geografis suatu kota akan memengaruhi perkembangan kota. Kota yang mempunyai kondisi geografis yang relatif datar lebih cepat berkembang dibandingkan dengan kota di daerah bergunung-gunung yang akan menyulitkan dalam melakukan pergerakan, baik orang maupun barang.

Adapun faktor-faktor nonfisik yang berpengaruh terhadap perkembangan suatu kota dapat berupa berikut ini.

1. Faktor perkembangan penduduk. Perkembangan penduduk dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu secara alami (internal) dan migrasi (eksternal). Perkembangan secara alami berkaitan dengan kelahiran dan kematian yang terjadi di kota tersebut, sedangkan migrasi berhubungan dengan pergerakan penduduk dari luar kota masuk ke dalam kota sebagai urbanisasi. Urbanisasi mempunyai dampak positif maupun negatif. Perkembangan dikatakan positif apabila jumlah penduduk yang ada tersebut merupakan modal bagi pembangunan, dan berdampak negatif apabila jumlah penduduk membebani kota itu sendiri.

2. Faktor aktivitas kota. Kegiatan yang ada di dalam kota, terutama kegiatan perekonomian. Perkembangan kegiatan perekonomian ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam kota itu sendiri (faktor internal) yang meliputi faktor produksi seperti lahan, tenaga kerja, modal serta faktor-faktor yang berasal dari luar daerah (faktor eksternal), yaitu tingkat permintaan dari

daerah-daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan oleh daerah yang bersangkutan

Dari waktu ke waktu, perkembangan kota terus berubah. Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya jumlah kebutuhan kehidupan, meningkat pula kebutuhan ruang kekotaan yang besar. Karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, meningkatnya kebutuhan akan mengambil ruang di pinggiran kota. Gejala pengambil alihan lahan ke arah luar disebut “urban sprawl” (Hadi Yunus, 2002: 125). Secara garis besar, ada tiga macam proses perkembangan kota dengan cara perluasan areal kekotaan (urban sprawl), yaitu sebagai berikut. 1. Perembetan konsentris (concentric developmant/low density

continous development). Tipe ini merupakan jenis perembetan areal kekotaan yang paling lambat. Perembetan berjalan perlahan-lahan terbatas pada semua bagian luar kenampakan fisik kota. Peran transportasi terhadap perembetan tidak terlalu besar

2. Perembetan memanjang (ribbon development/linier development/

axial development). Tipe ini menunjukkan ketidamerataan perembetan areal kekotaan di semua bagian sisi-sisi luar daripada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur transportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota. Daerah sepanjang rute transportasi utama merupakan tekanan paling berat dari perkembangan. Membumbungnya harga lahan pada kawasan ini telah memojokkan lahan pertanian, dengan makin banyaknya konversi lahan pertanian ke lahan nonpertanian. 3. Perembetan yang meloncat (leap frog development/checkerboard

developmemt). Tipe ini dianggap paling merugikan, tidak efisien dalam arti ekonomi maupun estetika. Perkenbangan lahan kekotaanya terjadi berpencar secara sporadis. Keadaan ini sangat menyulitkan dalam membangun prasarana-prasarana/ fasilitas. Pembiayaan untuk pembangunan jaringan-jaringannya sangat tidak sebanding dengan penduduk yang diberi fasilitas. Khususnya apabila dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di areal kekotaan yang kompak.

Hingga akhirnya perkembangan dan sejarah kota, jika dirangkum terbagi kepada beberapa tipe kota berikut.

Kota kuno merupakan pengertian kota yang paling sederhana. Di kota kuno ini didapati pada gua, lembah atau tempat berlindung, beberapa jalur tepi sungai yang letaknya strategis yang menjadi cikal bakal terbentuknya kota. Ciri utama kota ini adalah mata pencaharian penduduknya non-agraris dan penduduknya memiliki pekerjaan dan kebutuhan yang relatif heterogen. Di kawasan kota kuno ini juga dapat ditemui prasarana dan sarana umum serta beberapa pusat pemerintahan yang hidup dengan nilai-nilai tertentu. Pada kota kuno ini, kotanya mulai terbentuk pada tahap pastoral/tahap menetap. Tahap-tahap perkembangan manusia dimulai dari hunting

and fishing, pastoral, agricultural, handicraft, dan industrial.

Kota praindustri merupakan kota yang lebih berkembang dari kota kuno yang telah memiliki ciri seperti tahap agricultural yang menonjol sehingga penduduk mulai mengenal teknik bertanam yang baik. Perpindahan penduduk juga mulai terlihat, kebutuhan dikota semakin beragam dengan berdatangannya kelompok masyarakat ke kota maka pemukiman di kota semakin menonjol serta pembangunan fisik dan prasarana kota pada kota ini menjadi lebih teratur dan meluas. Pola perkotaan di kota pra-industri memiliki gejala yang biasa ditemui empat pusat kegiatan, seperti pusat pemerintahan, ruang publik (tempat masyarakat berinteraksi), tempat beribadah, pasar tradisional (tempat distribusi barang dari desa ke kota atau sebaliknya), dan tempat pemenuhan barang-barang kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat desa dan kota. Keempat pusat kegiatan ini letaknya relatif berdekatan dan itu merupakan kegiatan pokok dari suatu kota praindustri. Pada masa ini status seseorang didasarkan pada keturunan (ascribed status), yaitu seseorang yang dilahirkan dari kelompok bangsawan, ia memiliki status sebagai bangsawan. Dikarenakan status dan strata sangat kuat dipertahankan oleh masing-masing kelompok strata, pola pemukiman masyarakat kota pra-industri ini cenderung berkelompok-kelompok (pengelompokan berdasarkan status, etnis/suku bangsa, dan ragam pekerjaan).

Kota Industri merupakan kota yang lebih berkembang dari kota pra-industri. Kelahiran dunia industri di kota ini memerlukan

maupun kasar. Teknologi mulai berkembang dan pusat-pusat industri yang bertebaran di kota, sehingga lebih menunjukkan adanya surplus kapital pada masyakarat dan mereka memiliki kemampuan dalam pengumpulan modal untuk mendirikan suatu industri. Kota industri lahir karena masyarakat kota memiliki surplus tertentu. Surplus ini tidak hanya surplus kapital tetapi juga teknologi, sumber daya manusia, dan manusia. Pola pemukiman di kota industri ini tidak memiliki keteraturan sehingga penataan kota berjalan lambat. Pada kota ini, kegiatan industri sangat menonjol, sistem kemasyarakatan agraris berubah menjadi industris. Sistem ekonomi natural berganti menjadi kapital dan pada masa perubahan yang drastis ini menyebabkan kota mengalami kekacauan fisik dan manajemen.

Kota modern terbentuk setelah adanya masa industrialisasi pada abad 17. Adanya pengaruh ini menyebabkan munculnya semangat revolusi industri dan menumbangkan kekuasaan raja yang absolut. Kemenangan rakyat atau penduduk atas raja ini menandai perhatian teknologi dan ilmu pengetahuan untuk kepentingan rakyat banyak. Sistem pemerintahan pada masa ini berubah dari sistem kekuasaan absolut ke bentuk baru yang lebih berpihak pada rakyat, seperti sistem demokrasi, sistem pemerintahan republik, atau federal. Pada kota ini, sisi negatif pada masa kota industri di atasi dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan etika. Kota post-modern modernisasinya lebih berkembang. Masyarakat lebih menghargai nilai pluraritas, muncul ide-ide baru, teknologi dan ilmu pengetahuan yang lebih canggih, beragam, dan digunakan untuk kegiatan seolah di luar pikiran masyarakat awam sebelumnya. Kota post-modern memiliki tingkat globalisasi yang tinggi, interaksi dan kerja sama yang saling menguntungkan dapat terjadi dengan kota lain. Kota post-modern ini diisi dengan era informasi, jasa, dan pelayanan. Kebutuhan hidup dipenuhi secara teknologis dan komputerisasi yang canggih.

K ot a G l o b a l bi sa di k at a k an s eb a g ai s u a tu k o t a y an g masyarakatnya memiliki kebiasaan untuk melakukan relasi dengan kota lain antarnegara. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di dunia berakibat semakin pesatnya perkembangan teknologi dan penemuan dalam berbagai bidang dan skala yang diperkenalkan pada dunia. Kota global memiliki kekuatan politik, menduduki posisi nasional dan internasional, perdagangan dunia,

dan organisasi perusahaan tingkat dunia. Aktivitas tertentu mewarnai kota di bidang sosial dan ekonomi yang menunjukkan status sebagai pusat-pusat aktivitas yang profesional dan potensi kota yang satu sering berdampak pada kota yang lain di antara dua negara atau lebih. Ciri kota global, yaitu sebagian masyarakatnya dalam pemenuhan kebutuhan tidak selalu berorientasi pada kotanya sendiri. Masyarakat ini juga harus siap menerima kedatangan orang asing dengan segala potensi yang dimiliki kota itu. Jadi, interaksi yang bersifat timbal balik dibutuhkan untuk mencapai status sebagai kota global.

Kota kosmopolitan merupakan kota yang masyakaratnya memiliki pandangan alam secara utuh menyeluruh. Kota kosmopolitan terben tuk dengan prasyarat tertentu, yaitu penduduknya mampu menghargai dan menghormati keragaman alam beserta isinya. Masyarakat kosmopolitan akan menjaga secara seimbang antarakepentingan dirinya dengan kepentingan msyarakat. Ada kecenderungan masyarakat kosmopolitan merupakan kelompok bangsawan baru, yang memiliki tujuan hidup yang mapan serta menjaga citra. Gejala kosmopolitan tampak pada dominasi individu penduduk kota yang memiliki tingkat kesejahteraan yang tinggi dan pemilikan industri berskala besar. Teknologi pada era ini berkembang lebih jauh dan kota ini adalah kota dengan kebutuhan desain yang bersifat neo-universal (modernisme yang disentuh dengan seni modern). Budaya dan seni lokal yang bersifat agraris-religius pada masa ini akan ditinggalkan apabila tidak disertai inovasi atau dijaga keasliannya. Kosmopolitan merupakan akomodasi peradaban dari post-modernisme yang tumbuh secara linier, liar, dan tidak terkendali. Kota ini merupakan kota masa depan yang masih merupakan impian, yaitu kota berusaha ditata secara sempurna. Namun, pada awalnya, kota ini masih dihantui dengan masalah kesenjangan sosial ekonomi antarnegara antara kota.

Kota juga dikatakan sebagai tempat pertemuan yang berorientasi keluar. Sebelum menjadi tempat pemukiman yang tetap, awalnya kota adalah tempat orang pulang-balik untuk berjumpa secara teratur sehingga menimbulkan daya tarik para penghuni yang ada di luar kota untuk mengadakan kontrak, memberi dorongan untuk kegiatan rohaniah dan perdagangan, serta kegiatan lain yang

Kota juga sebagai pusat pemerintahan pada umumnya banyak dijumpai pada zaman sebelum Revolusi Industri. Kebanyakan kota ini merupakan kota lama bekas kerajaan yang mampu bertahan sebagai ibukota sampai pada zaman modern. Pada zaman modern, kota menjadi pusat industri, produksi, dan jasa. Pada dasarnya, kota terbentuk karena diikuti dengan kepadatan penduduknya. Penyebab kepadatan penduduk terjadi karena ada aktivitas tertentu yang menyebabkan orang-orang berdatangan. Kota dapat dipandang sebagai gaya hidup, yang memungkinkan penduduknya berkontak dengan orang asing, mengalami berbagai perubahan pesat, dan perubahan mobilitas sosial. Kota akan muncul ketika jika kelebihan yang berada di daerah pedalaman, tetapi terbentuknya menjadi sebuah kota yang “baru” harus mengalami perkembangan teknologi untuk menghasilkan sarana transportasi. Setelah kota baru itu berdiri, barulah kota itu mampu memberikan jasanya kepada wilayah yang lain.

Memang dari sudut karakter, perkembangan dan pertumbuhan kota-kota yang semakin besar, menunjukkan berbagai karakter pada kota-kota tersebut. Kota metropolitan atau kota primat, yaitu kota yang sangat besar, misalnya cenderung memperlihatkan watak parasitismenya terhadap masyarakat nasional, dan berusaha menarik bagian modal yang relatif besar sehingga dapat menjadi hambatan bagi daerah pedesaan maupun kota-kota yang lebih kecil. Gejala itu dapat kita jumpai pada kota Jakarta. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana (jalan-jalan tol bertingkat, gedung, tempat rekreasi dan olahraga) terus digalakkan. Hal ini terjadi karena kedudukannya yang ganda, yaitu sebagai ibukota negara dan sekaligus pusat perdagangan dan niaga serta industri.