• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problem: Good Governance sebuah Keharusan

atau tidak melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh pemimpin secara sukarela.”

B. Problem: Good Governance sebuah Keharusan

Citra pemerintahan buruk yang ditandai dengan saratnya tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) telah melahirkan sebuah fase sejarah politik bangsa Indonesia dengan semangat reformasi. Salah satu isu reformasi yang diwacanakan adalah good

governance. Istilah good governance secara berangsur menjadi populer, baik di kalangan pemerintahan, swasta, maupun masyarakat secara umum. Di Indonesia, istilah ini secara umum diterjemahkan dengan pemerintahan yang baik, meskipun beberapa kalangan konsisten menggunakan istilah aslinya karena memandang luasnya dimensi governance yang tidak bisa direduksi hanya menjadi pemerintah.

Istilah good governance pertama kali dipopulerkan oleh lembaga dana internasional seperti World Bank, UNDP, dan IMF dalam rangka menjaga dan menjamin kelangsungan dana bantuan yang diberikan kepada negara-negara sasaran bantuan. Pada dasarnya, badan-badan internasional ini berpandangan bahwa setiap bantuan internasional

untuk pembangunan di negara-negara dunia, terutama negara berkembang, tidak akan berhasil tanpa adanya good governance di negara sasaran tersebut. Oleh karena itu, good governance kemudian menjadi isu sentral dalam hubungan lembaga-lembaga multilateral tersebut dengan negara sasaran. (Wood dalam Saiful Mujani, 2001).

Wacana good governance mendapatkan relevansinya di Indonesia dalam pandangan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI, 2002) paling tidak dengan tiga sebab utama; Pertama, krisis ekonomi dan politik yang masih terus-menerus dan belum ada tanda-tanda akan segera berakhir; Kedua, masih banyaknya korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan dalam penyelenggaraan negara. Ketiga, kebijakan otonomi daerah yang merupakan harapan besar bagi proses demokratisasi dan sekaligus kekhawatiran akan kegagalan program tersebut. Alasan lain adalah belum optimalnya pelayanan birokrasi pemerintahan dan juga sektor swasta dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan publik.

Meskipun istilah good governance sering disebut dalam berbagai kesempatan, istilah tersebut dimaknai secara berlainan. Pada satu sisi ada yang memaknai good governance sebagai kinerja suatu lembaga, misalnya kinerja suatu pemerintahan, perusahaan atau organisasi kemasyarakatan. Menurut MM. Billah, istilah ini merujuk pada arti asli, kata governing yang berarti mengarahkan atau mengendalikan atau memengaruhi masalah publik dalam satu negeri. Oleh karena itu, good governance dapat diartikan sebagai tindakan atau tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau memengaruhi masalah publik untuk mewujudkan nilai-nilai dalam tindakan dan kehidupan keseharian.

Dengan demikian, ranah good governance tidak terbatas pada negara atau birokrasi pemeritahan, tetapi juga pada ranah masyarakat sipil yang direpresentasikan oleh organisasi non-pemerintah (ornop), seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan sektor swasta. Singkatnya, tuntutan terhadap good governance tidak selayaknya ditujukan hanya pada penyelenggara negara atau pemerintahan, melainkan juga pada masyarakat di luar struktur

penyelenggaraan good governance pada negara (MM. Billah, 1996: 40).

Pada sisi lain, good governance sebagai penerjemahan kongkrit dari demokrasi. Tegasnya, menurut Taylor, good governance adalah pemerintahan demokratis seperti yang dipraktikkan dalam negara-negara demokrasi maju di Eropa Barat dan Amerika (Saiful Mujani, 2001). Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dianggap sebagai sistem pemerintahan yang baik karena paling merefleksikan sifat-sifat good governance yang secara normatif dituntut kehadirannya bagi suksesnya suatu bantuan badan-badan dunia. Ia merupakan alternatif dari sistem pemerintahan lain, seperti totalitarinisme komunis atau otoritarianisme militer yang sempat populer di negara-negara dunia ketiga pada masa perang dingin.

Pada dasarnya, konsep good governance memberikan rekomendasi pada sistem pemerintahan yang menekankan kesetaraan antara lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, sektor swasta, dan masyarakat madani (civil society). Good governance berdasar pandangan ini berarti kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani (civil society), dan sektor swasta. Kesepakatan tersebut mencakup keseseluruhan bentuk mekanisme, proses dan lembaga-lembaga yang di dalamnya warga dan kelompok masyarakat mengutarakan kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan di antara mereka.

S an tos a men j ela ska n ba hwa gov ernan c e s ebag aim an a didefinisikan UNDP adalah pelaksanaan politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah bangsa. Pelaksanaan kewenangan tersebut bisa dikatakan baik (good atau sound) jika dilakukan dengan efektif dan efisien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokratis, akuntabel, serta transparan (Mas Ahmad Santosa, 2001: 86).

Sesuai dengan pengertian di atas, pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang baik dalam ukuran proses maupun hasil-hasilnya, semua unsur dalam pemerintahan bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, memperoleh dukungan dari rakyat dan lepas dari gerakan-gerakan anarkis yang bisa menghambat proses lajunya pembangunan. Pemerintahan juga dikatakan baik

jika pembangunan dapat dilakukan menggunakan biaya yang sangat minimal menuju cita kesejahteraan dan kemakmuran sebagai basis model dari pemerintahan. Pemerintahan juga dapat dikatakan baik, jika produktif dan memperlihatkan hasil dengan indikator kemampuan ekonomi rakyat meningkat baik dalam aspek produktivitas maupun daya belinya, kesejahteraan spiritualitasnya terus meningkat dengan indikasi rasa aman, tenang, dan bahagia serta

sense of nationality yang baik. Indikator itu diukur dengan paradigma pemerataan, sehingga kesenjangan itu secara dini terus diperkecil. Proses pelaksana pembangunan sebagai wujud pelaksanaan amanat pemerintahan juga harus dilakukan dengan penuh transparan serta didukung dengan manajemen yang akuntabel.

Good governance sebagai paradigma dapat terwujud apabila ketiga pilar pendukungnya dapat berfungsi secara baik, yaitu negara, sektor swasta, dan masyarakat madani (civil society). Negara dengan birokrasi pemerintahannya dituntut untuk mengubah pola pelayanan dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis. Sektor swasta sebagai pengelola sumber daya di luar negara dan birokrasi pemerintahan pun harus memberikan kontribusi dalam usaha pengelolaan sumber daya tersebut. Penerapan citra good governance pada akhirnya mensyaratkan keterlibatan organisasi kemasyarakatan sebagai kekuatan penyeimbang negara.