II. TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Landasan Teori
2.2.3. Pengendalian Mutu
Pengendalian (official control) adalah segala bentuk kegiatan yang
dilakukan oleh Pemerintah yang diberi kewenangan untuk melakukan
verifikasi terhadap kesesuaian antara penerapan sistem mutu oleh pelaku
usaha dengan peraturan/ketentuan dalam rangka memberi jaminan mutu
dan keamanan hasil perikanan (Anonim, 2007).
Telah menjadi sangat jelas bahwa produk bermutu tinggi memiliki
keunggulan mencolok di pasar, bahwa pangsa pasar (market share) dapat
meningkat atau hilang karena masalah mutu. Karenanya mutu menjadi
prioritas bersaing.
Perusahaan berusaha mengendalikan relibialitas (keandalan)
keluaran sistem produksi. Kualitas dan Kuantitas dipantau dengan cara
tertentu, dan hasilnya dibandingkan dengan standar. Meskipun pada
umumnya tertarik pada ukuran kualitas, perubahan pada kuantitas
keluaran mungkin juga merupakan gejala dari masalah reliabilitas. Biaya
pengendalian kualitas dan kuantitas merupakan turunan dari reliabilitas.
Bila hasilnya diinterpretasikan, dapat disimpulkan bahwa proses perlu
keliru, dan dengan demikian memerlukan perbaikan mesin atau pelatihan
kembali dalam operasi. Jika peralatan mengalami kerusakan, maka fungsi
pemeliharaan dibutuhkan. Informasi tentang kualitas dan kuantitas
keluaran juga dapat digunakan untuk melakukan program pemeliharaan
preventif yang dirancang untuk mengantisipasi kerusakan. Jadi, meskipun
interaksi-interaksi penting lain juga berpengaruh, pemastian mutu
dipusatkan pada pengendalian mutu dan pemeliharaan peralatan (Buffa
dan Rakesh, 1996 ).
Pengawasan pada hakekatnya menentukan tolok ukur / standar-
standar, melakukan pemeriksaan hasil-hasil dan pembandingan hasil
dengan standar, melihat penyimpangan-penyimpangan dan umpan balik
sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan (Reksohadiprodjo, 1995).
Kualitas adalah ukuran seberapa dekat suatu barang atau jasa
sesuai dengan standar tertentu. Standar mungkin bertalian dengan waktu,
bahan, kinerja, kehandalan, atau karakteristik (obyektif dan dapat diukur)
yang dapat dikuantifikasikan.
Menurut Reksohadiprodjo (1995), agar supaya terjamin kualitas
maka beberapa organisasi dewasa ini memiliki gugus kendali mutu
(quality control circeles), yaitu kelompok kecil karyawan yang bertemu
secara sukarela secara teratur bertukar ide dalam usaha mengidentifikasi,
menganalisis, dan memecahkan soal yang bertalian dengan kualitas atau
berkurangnya kerusakan, absensi, dan perbaikan serta peningkatan
kepuasan kerja dan produktivitas.
Pengawasan kualitas mencakup pengukuran karakteristik ukuran
kualitas, umpan balik data, perbandingan dengan standar spesifik dan
tindakan perbaikan bila perlu. Bagaimanapun juga kualitas barang
berbeda dengan kualitas jasa. Pendekatan pengawasan kualitas adalah
(1) sampling penerimaan (acceptance sampling) barang yang masuk dan
keluar, dan (2) pengawasan proses (process control) kegiatan
transformasi riil (Reksohadiprodjo, 1995).
Pengendalian mutu produk hasil perikanan disuatu perusahaan
dipengaruhi beberapa hal antara lain:
a. Sistem Manajemen Mutu
ISO 9000 dikeluarkan oleh International Organization for
Standardization (ISO) yang berpusat di Genewa. ISO 9000 merupakan
seri standar internasional untuk sistem mutu yang mengharuskan
persyaratan-persyaratan yang spesifik dan rekomendasi untuk desain dan
penilaian dari suatu sistem manajemen, dengan tujuan menjamin bahwa
pemasok (perusahaan) menyerahkan atau memproduksi barang dan atau
jasa sesuai persyaratan yang ditetapkan. Standar internasional seri ISO
9000 diterbitkan dalam enam dokumen terpisah dengan nama ISO 8402,
ISO 9000, ISO 9001, ISO 9002, ISO 9003 dan ISO 9004 (Hadiwiardjo dan
Seri ISO 9000 direvisi setiap enam tahun sekali dan pada tahun
2000 dilakukan revisi ISO 9000. Menurut Badan Standarisasi Nasional
/BSN (2000) dalam revisi ISO tersebut terdapat empat standar utama, di
bawah ini:
ISO 9000 : sistem manajemen mutu- konsep dan peristilahan
ISO 9001 : sistem manajemen mutu-persyaratan
ISO 9004 : sistem manajemen mutu-panduan
ISO 10011 : panduan pengauditan sistem mutu
Standar ISO tersebut di atas dilebur menjadi standar tunggal ISO 9001,
sehingga dalam ISO 9000 revisi 2000 (ISO 9001:2000) hanya ada satu
standar berisi persyaratan, yaitu ISO 9001.
Manfaat penerapan ISO 9001:2000 menurut Gaspersz (2001)
adalah: (1) meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui
jaminan mutu yang terorganisasi dan sistematik, (2) meningkatkan citra
perusahaan serta daya saing dalam memasuki pasar gobal, (3)
menghemat biaya dan mengurangi duplikasi audit sistem mutu oleh
pelanggan karena dilaksanakan secara berkala, (4) membuka pasar baru
karena nama perusahaan terdaftar pada lembaga registrasi terpercaya,
(5) meningkatkan mutu dan produktivitas kerja manajemen melalui
kerjasama dan komunikasi yang lebih baik, (6) meningkatkan kesadaran
mutu perusahaan, dan (7) mengubah kultur kerja karyawan menjadi kutur
Suatu organisasi untuk berfungsi efektif harus mengetahui dan
mengelola sejumlah kegiatan yang saling berhubungan. Suatu kegiatan
yang menggunakan sumber daya dan dikelola untuk memungkinkan
transformasi masukan menjadi luaran, dapat dianggap sebagai suatu
proses. Seringkali keluaran suatu proses merupakan masukan bagi
kegiatan berikutnya (Anonim, 2000).
Menurut Gaspersz (2001), tahap-tahap penerapan SMM adalah
(1) komitmen dari manajemen puncak, (2) membentuk panitia pengarah
atau koordinator ISO, (3) mempelajari persyaratan SMM ISO 9001:2000,
(4) melakukan pelatihan terhadap semua anggota organisasi, (5) memulai
peninjauan ulang manajemen, (6) identifikasi kebijakan mutu, prosedur-
prosedur yang dibutuhkan dalam dokumen tertulis, (7) implementasi SMM,
(8) memulai audit sistem manajemen mutu dan (9) memilih
register/lembaga sertifikasi mutu yang terpercaya.
Sertifikasi ISO adalah sebagai bukti bahwa perusahaan telah
menerapkan sistem standar ISO-9000. Langkah penting yang harus
dilakukan oleh perusahaan untuk memperoleh sertifikat ISO adalah
membenahi berbagai aspek manajemen yang sifatnya kedalam, yaitu
membudayakan sistem dokumentasi mutu. Sistem dokumentasi mutu
yang harus dipersiapkan antara lain (1) quality manual (manual mutu) (2)
operating procedure (prosedur operasi) (3) support document (dokumen
b. Sistem Manajemen Keamanan Pangan 1). Keamanan Pangan Menurut Undang-Undang RI No.7 Tahun 1996 tentang Pangan,
keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda
lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan.
Menurut Fardiaz (1996), terdapat empat masalah utama dalam sistem
keamanan pangan Indonesia, sebagai berikut :
1. Masih banyak ditemukan produk pangan yang tidak memenuhi
persyaratan kesehatan dan peredarannya.
2. Masih banyak kasus penyakit dan keracunan melalui makanan,
yang sebagian besar belum dilaporkan dan belum diidentifikasi
penyebabnya.
3. Masih banyak ditemukan sarana produksi dan distribusi pangan
yang tidak memenuhi persyaratan, terutama industri kecil atau
industri rumah tangga dan penjual makanan jajanan.
4. Rendahnya pengetahuan dan kepedulian konsumen terhadap
keamanan pangan.
Anonim (2000) mengungkapkan bahwa penyakit karena pangan
(foodborne disease) merupakan penyebab 70 persen dari sekitar 1,5
milyar kejadian penyakit diare, dan setiap tahunnya menyebabkan 3
juta kematian anak berusia dibawah 5 tahun. Parameter utama yang
suatu negara adalah jumlah kasus keracunan yang terjadi akibat
pangan. Data yang diperoleh berdasarkan pelaporan yang diterima
mencakup jumlah Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan,
jumlah orang yang sakit dan jumlah orang yang meninggal.
Sesuai dengan Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen, konsumen berhak untuk mendapatkan
keamanan dan keselamatan dari produk yang digunakan. Oleh karena
itu, produsen wajib untuk menjamin mutu barang dan / atau jasa yang
diproduksi dan/atau yang diperdagangkan sesuai dengan standar mutu
yang berlaku.
Berbagai perangkat diperlukan dalam membangun pendekatan
terstruktur dan terintegrasi dalam menghasilkan produk pangan yang
aman dan bermutu tinggi. Pendekatan terintegrasi dalam pengendalian
keamanan mikrobiologis dan mutu pangan dapat dilihat pada
Gambar 1. Pendekatan terintegrasi dalam pengendalian keamanan mikrobiologis dan mutu pangan (ILSI dalam Jouve, 2000)
Dalam pendekatan tersebut, dokumen Good Manufacturing
Practices (GMP) yang berisi tentang cara-cara memproduksi makanan
yang baik dan syarat-syarat higienis yang menjelaskan kondisi dasar
dalam kegaiatan produksi pangan higienis yang mencakup penggunaan
peralatan pengelolaan pangan higienis, jadwal perawatan dan
pembersihan peralatan dan fasilitas, serta pelatihan dan kesehatan
karyawan. Sistem HACCP merupakan pendekatan terstruktur terhadap
manajemen bahaya yang bertujuan menjaga keamanan pangan produk
dari bahaya biologis, kimia, fisik yang dapat terjadi pada produksi,
distribusi dan penjualan pangan, serta mengendalikannya pada tingkat
yang aman (Jouve, 2000).
Manajemen
Keamanan Pangan Manajemen Mutu
Strategi Manajerial Janka Panjang
Persyaratan Umum
Penentu Khusus Semua Unsur Mutu TQM GMP/GHP (Selalu diterapkan) RENCANA JAMINAN KEAMANAN PANGAN (PRODUK- PROSES)= RENCANA HACCP Sistem mutu (ISO 9000)
2). Good Manufacturing Practice (GMP) dan Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP)
Sistem HACCP sebagai suatu sistem pengendalian keamanan
pangan mutu tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus didasari oleh faktor-
faktor pengendali yang mendasar terhadap resiko bahaya ketidakamanan
pangan dan atau mutu (Wiryanti dan Witjaksono 2001). Faktor pengendali
yang menjadi prasyarat (pre-requisite programs–PRP) efektivitas
penerapan program HACCP sebagai suatu system pengendalian mutu
adalah terpenuhinya persyaratan kelayakan dasar unit pengolahan (CAC,
2003 dalam Girsang, 2007), yang meliputi:
i). Cara berproduksi yang baik dan benar (Good Manufacturing Practices - GMP)
GMP merupakan suatu metode atau cara berproduksi yang baik
yang benar dalam rangka menghasilkan produk dengan mutu yang baik
sesuai dengan harapan. Selanjutnya GMP menyangkut informasi dan
langkah-langkah detil dalam setiap tahapan proses pengolahan. Hal ini
dimaksudkan agar setiap penanggung-jawab proses pengolahan dapat
memahaminya dengan baik sehingga dia bisa mengimplementasikannya
di lapangan bersama para karyawan lainnya. Tahapan proses pengolahan
ini tentu saja berbeda antara satu jenis produk dengan jenis produk
lainnya atau kemungkinan juga berbeda antara satu perusahaan dengan
perusahaan lainnya. Langkah-langkah dalam setiap tahapan ini mengacu
penerimaan bahan baku, perlu dicantumkan dengan detil: Apa saja
kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini?. Bagaimana kondisi tempat
penerimaan bahan baku?. Bagaimana mengantisipasi kemungkinan
kesalahan yang muncul?. Bagaimana pengaturan waktu yang digunakan,
dan sebagainya.
Hal utama yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan faktor teknis
pekerjaan atau GMP di unit pengolahan dan juga pelaksanaan dari
prosedur pemantauan atau monitoring procedure yang dituangkan dalam
sistem pencatatan atau recordkeeping.
Menurut CAC (2003), Good Manufacturing Practices (GMP)
meliputi delapan persyaratan, meliputi:
1) Persyaratan bahan baku
2) Persyaratan bahan pembantu dan tambahan makanan (food
additives)
3) Persyaratan produk akhir
4) Persyaratan penanganan
5) Persyaratan pengolahan
6) Persyaratan pengemasan
7) Persyaratan penyimpanan
8) Persyaratan pengangkutan dan distribusi.
Penerapan HACCP ditingkat produksi dipandang sebagai suatu
alternatif yang menjanjikan dan bukan suatu yang memberatkan sesuai
pragmatis / praktis. Keyakinan tersebut harus tertanam baik oleh
pengambil keputusan, pembina / penyuluh, petani ataupun kalangan
industri hasil perikanan sehingga kesepakatan mudah dicapai, pekerjaan
mudah dilaksanakan dan kriteria mutu mudah dipenuhi (Suhartono, 2007).
ii). Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP)
SSOP merupakan suatu prosedur standar dalam menciptakan
sanitasi di ruang proses pengolahan makanan. Pada intinya SSOP
memfokuskan pada aspek-aspek yang terkait dengan kondisi fisik dalam
ruang pengolahan. SSOP harus mencakup semua aspek sanitasi di unit
pengolahan termasuk personil dan harus dilakukan pemantauan
perusahaan setiap hari sebelum, selama dan sesudah proses dilakukan.
Penetapan SSOP harus mencakup tujuan dan prosedur untuk setiap
aspek sanitasi (Anonim, 1999).
Konsepsi HACCP dalam penerapannya ditetapkan dalam delapan
kunci pengawasan pelaksanaan SSOP (Darwanto dan Murniyati, 2003).
Menurut Food and Drug Administration USA SSOP umumnya meliputi
delapan aspek. Delapan (8) kunci SSOP yang terdiri dari:
1) Keamanan air dan es yang digunakan
2) Kondisi dan kebersihan dari permukaan yang kontak dengan bahan
pangan.
3) Pencegahan kontaminasi silang.
4) Fasilitas pencuci tangan, sanitasi dan toilet serta peralatan yang
5) Proteksi/perlindungan dari bahan-bahan kontaminan.
6) Pelabelan, penyimpanan dan penggunaan bahan berbahaya (toksin)
7) Kondisi Kesehatan personil/ karyawan.
8) Pencegahan/pengendalian hama / pest dari unit pengolahan.
iii). Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP)
HACCP adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan
terjadinya masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di
dalam tahap penanganan dan proses produksi. HACCP merupakan salah
satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin
keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang
dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang
aman bagi konsumen (Bogor Agriculture University, 2005). HACCP
merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi, dan
mengontrol setiap tahapan proses yang rawan terhadap resiko bahaya
signifikan yang terkait dengan ketidakamanan pangan (Codex
Alimentarius Commission, 2001). Sistem HACCP ini dikembangkan atas
dasar identifikasi titik pengendalian kritis (critical control point) dalam
tahap pengolahan dimana kegagalan dapat menyebabkan resiko bahaya
(Wiryanti dan Witjaksono, 2001 dalam Winarno, 2002). Lebih lanjut
Anonim (2007) mengemukakan bahwa syarat HACCP perlu
mempertimbangkan prinsip yang terkandung dalam Codex Alimentarius.
Syarat tersebut harus cukup fleksibel untuk diterapkan di segala situasi,
titik tersebut. Demikian pula syarat penentuan ‘batas kritis’ tidak bearti
bahwa nilai batas tertentu dapat digunakan untuk semua kasus.
Keharusan untuk menyimpan dokumen pun perlu cukup fleksibel agar
tidak membebani bisnis yang sangat kecil.
Konsepsi HACCP pertama kali diperkenalkan oleh National Food
Protection dalam suatu konferensi pada tahun 1972. Dengan adanya isu
food safety, sejak tahun 1987 sistim HACCP banyak didiskusikan dan
berkembang secara internasional, termasuk di Indonesia.
c. Kebijakan Pemerintah di Bidang Mutu Hasil Perikanan
Negara maju tujuan ekspor seperti Uni Eropa, AS, Kanada, dan
Jepang memberlakukan ketentuan HACCP, Menteri Pertanian RI
melegalkan program PMMT menjadi Sistem Manajemen Mutu Terpadu
Hasil Perikanan pada tahun 1998. Sehingga Indonesia memiliki sistem
pengawasan mutu berkekuatan hukum baru, yang tertuang dalam Surat
Keputusan Menteri Pertanian RI No. 41/Kpts/IK.210/2/98 tentang sistem
Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan. Selanjutnya Dirjen Perikanan
menindaklanjuti SK Mentan tersebut dengan mengeluarkan “Petunjuk
Pelaksanaan Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan”, tertuang
dalam Surat Keputusan Dirjen Perikanan Nop. 1428/Kpts/Ik.120/12/98.
Perubahan lembaga pemerintahan di tahun 1998, yang
menempatkan Ditjen Perikanan di bawah Departemen Kelautan dan
Perikanan (DKP), maka SK Mentan No.41 tahun 1998 tadi diperbaharui
01/MEN/2002 tentang “Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan”
Keputusan ini mengatur bahwa sistem mutu hasil perikanan dituangkan
dalam bentuk Sertifikasi (Mangunsong, 2009).
2.2.4. Bauran Produk ( product mix / produk assortment ) Produk adalah apa saja yang dapat ditawarkan ke dalam pasar
untuk diperhatikan, dimiliki, digunakan atau dikonsumsi sehingga dapat
memuaskan keinginan atau kebutuhan. Termasuk di dalamnya adalah
obyek fisik, jasa, orang, tempat, organisasi, dan gagasan (Kotler, 1991).
Pelanggan membeli produk lebih karena nilai yang terkandung di dalam
produk tersebut.
Setiap produk mengandung beberapa tingkatan, mulai dari core
benefit, basic product, expected product, augmented product hingga
potential product. Produk dapat digolongkan berdasarkan wujud dan
ketahanannya, yaitu durability, dan tangibility, serta jenis pendek, yaitu
produk konsumer (consumer product) dan produk industri (industrial
product).
Selain mengembangkan fitur produk, pemasar juga harus berupaya
agar konsumen mampu mengidentifikasi produknya. Ada 3 alat untuk
membuat konsumen mampu mengidentifikasi produk, yaitu branding
(mengelola merek), packaging (kemasan), serta labelling (memberikan
label).
Menurut Kotler (1991), bauran produk (product mix/produk
suatu perusahaan kepada pembeli. Bauran produk suatu perusahaan
dapat digambarkan dengan lingkup kelebaran tertentu, kepanjangan
tertentu, kedalaman tertentu dan konsistensi tertentu.
Bauran produk (product assortment) terdiri dari width atau
kelebaran suatu bauran produk (seberapa banyak perbedaan lini produk
perusahaan); length (jumlah total item produk yang ada dalam bauran);
depth (seberapa banyak variasi yang ditawarkan oleh setiap produk dalam
satu lini); consistency (seberapa dekat hubungan antara berbagai lini
produk).
Dengan memahami keempat dimensi di atas, perusahaan akan
lebih mudah menetapkan strategi produknya. Perusahaan akan mampu
mengembangkan usahanya dengan empat cara. Pertama, perusahaan
menambah lini produk baru, sehingga sama saja dengan memperlebar
bauran produk. Dengan cara ini lini baru akan memanfaatkan kesempatan
dari reputasi perusahaan dalam lini-lini yang lain. Cara kedua menurut
Kotler (1991) ialah memperpanjang lini produk yang ada sehingga menjadi
satu perusahaan dengan lini produk yang lebih lengkap. Cara ketiga
dilakukan dengan menambah ukuran, formula, atau ciri yang lain dari
setiap produk, sehingga akan memperdalam bauran produk. Yang terakhir
ialah menambah atau mengurangi konsistensi lini produk, tergantung
pada apakah perusahaan ingin meraih reputasi kuat pada satu bidang
Kotler (1991) menjelaskan perencanaan bauran produk sebagian
besar merupakan tanggungjawab para perencana strategi perusahaan.
Dengan informasi yang dihimpun dari para tenaga pemasaran
perusahaan, para perencana strategi ini harus meneliti dan memutuskan
lini produk mana yang harus dikembangkan, mana yang harus
dipertahankan saja, mana yang tinggal dipetik hasilnya, atau yang harus
ditarik dari peredaran.
2.2.5. Ikan Tuna dan Proses Pengalengannya a. Ikan Tuna
Tuna adalah ikan yang paling popular untuk dikonsumsi mentah
dan sebagai bahan pengolahan ikan yang mahal karena daging ikannya
mengandung lemak tidak jenuh dari mulai sedang sampai tinggi, tekstur
kuat, unik tapi lembut apalagi karena kelezatannya tuna dikenal hampir di
seluruh dunia (Anonim, 2006).
Tuna dan cakalang merupakan anggota famili Scombridae. Ada
beberapa jenis ikan tuna yang dapat diekspor yang tertangkap dari
perairan Indonesia diantaranya adalah Madidihang atau Yellowfin tuna
(Thunnus albacores), tuna mata besar atau Bigeye tuna (Thunnus
obesus). Albakora atau Albacores (Thunnus allalunga) dan tuna sirip biru
atau Bluefin tuna (Thunnus maccoyi). Selain itu ada kelompok tuna yang
dapat diekspor yang disebut sebagai Little tuna, diantaranya adalah
Tuna menyebar diseluruh perairan di Indonesia. Hasil penangkapan
ikan di Indonesia bagian Barat yang meliputi Samudera Hindia, sepanjang
pantai Utara dan Timur Aceh, pantai Barat Sumatera, Bali dan Nusa
Tenggara, maupun di perairan Indonesia Timur yang meliputi laut Banda,
Flores, Halmahera, Maluku, Sulawesi, perairan Pasifik di sebalah Utara
Irian Jaya dan Selat Makasar (Uktolseja et al, 1991).
b. Proses Pengalengan Ikan Tuna Proses pengolahan pengalengan ikan tuna pada prinsipnya sama
antara industri yang satu dengan yang lainnya. Ikan tuna memiliki dua
jenis daging yakni daging putih dan daging merah. Bahan baku ikan tuna
kalengan berasal dari jenis daging putih. Jenis ikan yang banyak
digunakan di Indonesia dalam industri pengolahan adalah skipjack
(Katsuwonus pelamis), dan yellowfin (Neothunnus macroptenus).
Pengalengan ikan tuna merupakan salah satu bentuk pengolahan
pangan yang sudah umum dilakukan. Proses pengalengan ini dimulai dari
awal penerimaan bahan baku berupa ikan tuna beku. Sebelum ikan tuna
beku diproses, dilakukan sortasi untuk memisahkan ikan yang layak
diproses dan yang tidak layak diproses. Tahap-tahap proses pengalengan
tuna berdasarkan Canadian Food Inspection Agency (1997), dapat dilihat
1. Penerimaan kaleng 2.Penyimpanan kaleng 3.Can depalletizing 4.Pembersihan kaleng 5.Penerimaan bahan bumbu dan label 6.Penyimpanan 7. Pencampuran bahan untuk bumbu 8. Penambahan bumbu 9. Penerimaan tuna segar 10.Penyimpanan tuna segar 11. Penerimaan tuna beku 12. Penyimpanan tuna beku 13. Thawing 14.Butchering 15.Grading/sorting 16.Racking 17.Staging 18.Pre-cooking 19.Cooling Pre-Cooked 20.Loin Cleaning 21.Shaper/packer 22.Weighing Machine 23.Can Fill Maonitoring
24.Coding
25.Double seaming 26.Can Washer 27.Basket Loading 28.Retorting
29.Air berklorin 30.Cooling
31.Air cool & dry
Finished product evaluation 32.Warehouse
33.Labelling & Box Up 34.Shipping
Berdasarkan SNI 01-2712 2-1992, teknik pengalengan tuna adalah
sebagai berikut :
1. Penerimaan bahan baku
Setiap bahan baku yang diperoleh harus diperiksa mutunya paling
tidak secara organoleptik dan ditangani sesuai dengan persyaratan
teknik sanitasi dan hygiene. Ikan yang tidak memenuhi persyaratan
bahan baku harus ditolak. Untuk bahan baku segar (harus segera
dilakukan pencucian menggunakan air mengalir dengan suhu
maksimum 5oC. Bahan baku yang diterima dalam keadaan beku,
apabila menunggu proses penanganan selanjutnya maka harus
disimpan dalam es yang bersuhu -25 oC. Bahan baku yang dalam
keadaan segar apabila menunggu proses penanganan selanjutnya
harus disimpan pada suhu chilling (0 oC).
2. Persiapan
Apabila bahan baku masih dalam keadaan beku maka dilakukan
pelelehan (thawing) dalam air mengalir yang bersuhu 10 o-15oC.
Untuk ikan dalam keadaan utuh, dilakukan pemotongan kepala, sirip
dan pembuangan isi perut. Sedangkan ikan yang berukuran besar
dilakukan pemotongan bagian badan menjadi bagian yang sesuai
dengan alat precooking dan selanjutnya ditempatkan dalam rak pre-
3. Pemasakan pendahuluan (pre-cooking)
Ikan tuna yang telah disiapkan dalam rak dimasukkan ke dalam alat
pemasak menggunakan uap panas (steam). Waktu yang dibutuhkan
untuk pemasakan pendahuluan tergantung pada ukuran ikan, namun
umumnya berkisar 1-4 jam (mampu mereduksi 17,5% kadar air dari
daging ikan) dengan suhu pemasakan 100-105oC.
4. Penurunan suhu
Ikan yang telah masak dikeluarkan dari alat pemasak dan diturunkan
suhunya sampai ikan dapat ditangani lebih lanjut (30 oC) dalam waktu
maksimum 6 jam.
5. Pembersihan daging
Daging ikan dibersihkan dari sisik, kulit, tulang dan daging merah
menggunakan pisau yang tajam. Kulit, tulang dan daging merah yang
terbuang ditampung dalam wadah yang terpisah.
6. Pemotongan
Daging putih yang telah bersih dari kulit, tulang dan daging merah,
dipotong-potong dengan ukuran yang disesuaikan dengan ukuran
kaleng. Pada tahap pemotongan ini sekaligus dilakukan sortasi
terhadap daging yang rusak. Daging putih yang telah dipotong
7. Pengisian
Pengisian daging ke dalam kaleng dilakukan dengan cara menata
daging ikan ke dalam kaleng sesuai dengan tipe produk (solid, chunk,
flake, standard, grated)
a) Solid : 1-2 potong daging putih, bebas serpihan
b) Standard : 2-3 potong daging putih, serpihan maksimum 2%
c) Chunk : serpihan daging putih + satu kali makan, serpihan
flake maksimum 40%.
d) Flake : potongan daging kecil < chunk
e) Grated : daging kecil (flake, tidak seperti pasta)
8. Penambahan medium
Medium (media) ditambahkan sesaat sebelum kaleng ditutup. Suhu
medium antara 70-80oC. Pengisian media hingga batas head space
atau antara 6-10% dari tinggi kaleng.
9. Penutupan kaleng
Penutupan kaleng dilakukan dengan sistem double seaming dan
dilakukan pemeriksaan secara periodik.
10. Sterilisasi
Sterilisasi dilakukan di dalam retort dengan nilai Fo sesuai dengan
jenis dan ukuran kaleng, media dan tipe produk dalam kemasan atau