• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PELAKSANAAN EKSEKUSI JAMINAN ATAS GADA

A. Pengertian dan Asas-Asas Eksekusi

Prosedur pelaksanaan eksekusi diatur dalam Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 RBG. Namun pada saat ini tidak semua ketentuan pasal-pasal tadi berlaku secara efektif. Beberapa ketentuan yang masih berlaku dalam praktek antara lain Pasal 195 sampai Pasal 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 240 dan Pasal 258 RBG. Sedangkan Pasal 209 sampai Pasal 223 HIR atau Pasal 242 sampai Pasal 257 RBG yang mengatur tentang ”sandera” atau

”glijeling” atau tidak diberlakukan secara efektif. Seorang debitur yang dihukum untuk membayar utangnya berdasarkan putusan pengadilan tidak lagi dapat disandera sebagai upaya memaksa sanak keluarganya melaksanakan pembayaran menurut putusan pengadilan.62

Disamping itu, terdapat beberapa peraturan seperti Peraturan Lelang No. 189/1908 (Vendu Reglement St. 1908/No. 189) dan Pasal 180 HIR atau Pasal 191 RBG yang mengatur tentang pelaksanaan putusan secara serta merta (unit voerbaar bij vorrad) atau provisionally enforceable (to have immidiate effect) yakni pelaksanaan putusan dengan segera dapat dijalankan terlebih dahulu sekalipun putusan yang bersangkutan belum memperoleh kekuatan hukum tetap.

62M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan dan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Garfika, Jakarta, 2006, hal. 2

Pasal-pasal itulah yang menjadi pedoman tindakan eksekusi, yang akan dibahas lebih lanjut secara terperinci. Namun, pembahasan berdasarkan pasal-pasal tersebut sama sekali tidak terlepas dari peraturan lain seperti yang terdapat dalam asas-asas hukum, yurisprudensi, maupun praktek pengadilan sebagai alat pembantu memecahkan penyelesaian masalah eksekusi yang timbul dalam praktek. Misalnya pelaksanaan secara tepat dan sempurna tanpa mengaitkan pasal-pasal eksekusi dengan ketentuan hipotik yang diatur dalam KUH Perdata maupun ketentuan hak tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang Agraria No. 5 Tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Begitu pula untuk memecahkan masalah noneksekutabel (tidak dapat dieksekusi), kreditur yang paling utama kedudukannya dalam eksekusi atas sita jaminn yang sama dan atas suatu barang yang sama tidak bisa terlepas dari patokan atau acuan asas-asas eksekusi. Demikian juga permasalahan eksekusi antara instansi pengadilan dengan PUPN, tidak bisa dipecahkan tanpa mengaitkan aturan pasal-pasal dengan Undang-Undang No. 49 PrP/1960 sebagai sumber hukum yang mengatur kewenangan ”parate eksekusi”, yang dilimpahkan undang-undang kepada instansi PUPN.

R. Subekti dan Ibu Retnowulan Sutantio mengalihkan istilah eksekusi

(excutie) kedalam bahasa Indonesia dengan istilah ”pelaksanaan putusan”. Pembakuan istilah ”pelaksanaan putusan” sebagai kata ganti eksekusi dianggap sudah tepat, sebab jika bertitik tolak dari ketentuan bab kesepuluh bagian kelima HIR atau titel keempat bagian keempat RBH, pengertian eksekusi sama dengan tindakan

”menjalankan putusan” (ten uitvoer legging van vonisser). Menjalankan putusan pengadilan, tidak lain daripada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan ”secara paksa” putusan pengadilan dengan bantuan alat-alat negara apabila pihak yang kala itu mau menjalankannya secara sukarela.63

Pada prinsipnya hanya putusan yang berkekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan putusannya. Dengan demikian, asas-asas atau aturan umum eksekusi adalah sebagai berikut :

1. Eksekusi dilaksanakan hanya terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang bersifat kondematoir

2. Karena keputusan telah berkekuatan hukum tetap, didalamnya mengandung hubungan hukum yang tepat dan pasti antara para pihak yang berperkara 3. Karena hubungan hukum sudah tetap dan pasti (fixed and certain), maka

mesti ditaati dan dipenuhi.

4. Cara mentaati dan memenuhi hubungan hukum yang tepat dan pasti tersebut adalah dengan cara dijalankan secara sukarela atau dengan paksa melalui bantuan alat-alat negara

5. Kewenangan menjalankan eksekusi hanya diberikan kepada Pengadilan Negeri

6. Eksekusi dilaksanakan atas perintah dan dalam pengawasan Ketua Pengadilan Negeri.

63Etto Sunaryanto, Sugiwanto dan Jose Ari Lukito,Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara, Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara, Jakarta, 2006, hal. 3-4

Terdapat beberapa pengecualian atas asas-asas atau aturan umum eksekusi tersebut di atas. Dalam kasus-kasus tertentu, undang-undang memperbolehkan eksekusi terhadap putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap atau eksekusi dapat dijalankan pengadilan terhadap bentuk produk tertentu diluar putusan. Adakalanya eksekusi bukan merupakan tindakan menjalankan putusan pengadilan, tetapi menjalankan pelaksanaan terhadap bentuk-bentuk produk yang dipersamakan oleh undang-undang sebagai putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap pengecualian yang dimaksud, eksekusi dapat dijalankan sesuai dengan ataurn tata cara eksekusi atas putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berikut ini adalah bentuk-bentuk pengecualian tersebut yaitu :

a. Pelaksanaan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu (uitveobaar bij vorrad)

Sesuai dengan ketentuan Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBG hakim dapat menjatuhkan putusan yang memuat amar putusan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, yang lazim disebut ”putusan dapat dieksekusi serta merta”, sekalipun terhadap putusan itu dimintakan banding atau kasasi.

b. Pelaksanaan putusan provisi

Sesuai dengan ketentuan Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBG pada kalimat terakhir mengenai ”gugatan provisi” yang tuntutan lebih dahulu yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara. Apabila hakim

mengabulkan gugatan atau tuntutan provisi, putusan tersebut dapat dieksekusi eskalipun perkara pokoknya belum diputus.

c. Akta perdamaian

Bentuk pengecualian lain adalah akta perdamaian yang diatur dalam Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBG. Menurut ketentuan pasal tersebut, selama persidangan berlangsung, para pihak yang berperkara dapat berdamai, baik atas anjuran hakim maupun atas inisitif pihak yang berperkara. Apabila tercapai perdamaian dalam persidangan, maka hakim akan membuat akta perdamaian yang harus ditaati oleh para pihak. Sifat akta perdamaian yang dibuat di dalam persidangan mempunyai kekuatan eksekusi seperti putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. d. Eksekusi terhadap grosse akta

Pengecualian lain yang diatur dalam undang-undang adalah menjalankan eksekusi terhadap grosse akta baik grosse hipotik maupun grosse akta pengakuan hutang, sebagaimana diatur dalam Pasal 224 HIR atau Pasal 258 RBG. Eksekusi yang dijalankan adalah memenuhi isi perjanjian yang dibuat para pihak dengan ketentuan perjanjian itu berbentuk grosse akta karena dalam bentuk grosse akta melekat titel eksekutorial, sehingga memiliki kekuatan eksekutorial.

e. Eksekusi terhadap hak tanggungan dan jaminan fidusia

Atas obyek yang telah dibebankan dengan hak tanggungan atau menjadi jaminan secara fidusia, pihak debitur dapat langsung meminta dilakukan eksekusi melalui penjualan secara lelang karena diperjanjikan klausul menjual.