• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

A. Tinjauan Umum Desa…

1. Pengertian Desa

Ketika orang menyebut desa tentunya akan menimbulkan pertanyaan, apakah desa pada dasarnya merupakan konsep yang menunjuk suatu wilayah geografis, ataukah desa merupakan suatu konsep yang menyangkut komunitas golongan tertentu dalam masyarakat dengan ciri-ciri tertentu. Jika desa merupakan suatu konsep mengenai komunitas dalam sebuah daerah tertentu, maka bagaimana mereka mengatur kehidupan dalam suatu komunitas tersebut, bagaimana aturan main yang berkembang.Pertanyaan selanjutnya adalah, dari mana aturan-aturan main tersebut berasal, apakah aturan tersebut murni berasal dari akar tradisi atau merupakan hasil intervensi dari pihak luar (eksternal). Bagaimana komunitas tersebut memenuhi kebutuhan hidupnya dan faktor apa saja yang mempengaruhi proses pemenuhan kebutuhan tersebut.45

Pertanyaan-pertanyaan diatas sangat diperlukan untuk memperdalam pengertian dari desa, untuk keperluan pembahasan ini maka perlu dikaji dari berbagai sudut pandang yaitu sudut pandang secara umum

45 Bayu Suraningrat, Pemerintahan Administrasi Desa Dan Kelurahan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992), hlm. 11-14.

(awam/popular), sudut pandang ekonomi, sudut pandang sosiologis, dan sudut pandang hukum-politik. Adapun pengertian umum adalah pengertian yang banyak dipergunakan masyarakat secara umum memahami desa sebagai tempat dimana bermukim pendudukdengan peradaban yang lebih terbelakang dari pada kota, biasanya dicirikan dengan bahasa ibu yang kental dan tingkat pendidikan yang relatif rendah serta mata pencaharian bagi sebagaian besar atau bahkan seluruh penduduknya adalah dari sektor pertanian. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa desa adalah : (1) sekelompok rumah diluar kota yang merupakan kesatuan kampong, dusun; (2) udik atau dusun (dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan kota), (3) tempat; tanah; daerah.46

Pengertian dari sosiologis seperti dijabarkan oleh Mashuri Maschab47 dalam bukunya “Politik Pemerintahan Desa Di Indonesia”, desa digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung dari alam. Lebih jauh lagi bahwa diasosiasikan dengan suatu masyarakat yang hidup sederhana, pada umunya hidup dari lapangan pertanian, ikatan sosial yang kuat, kental dengan nuansa adat dan tradisi yang masih kuat, sifat jujur dan bersahaja

46 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Pusat Bahasa Depdiknas, 2008), hlm. 345.

47

Mashuri Maschab, Politik Pemerintahan Desa Di Indonesia, (Yogyakarta: POLGOV UGM, 2013), hlm. 1-2. Lihat juga Ni‟matul Huda, Hukum Pemerintahan Desa, (Malang : Setara Press, 2015), hlm. 32.

39

dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah sehingga sangat diperlukan adanya modernisasi. Modernisasi dipahami sebagai bentuk pembaharuan sosial sejalan dengan masuknya mesin-mesin berteknologi (madya dan tinggi) yang diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa pada umumnya.

Pengertian desa dari segi ekonomi lebih menekankan pada sisi produksi dimana desa sebagai komunitas masyarakat yang saling ketergantungan antar kelompok-kelompoknya dalam bingkai ikatan kekeluargaan untuk memenuhi kebutuhannya dengan menekankan di bidang pertanian dan peternakan, dengan menekankan pada bidang produksi, konsumsi dan investasi sebagai hasil keputusan keluarga secara bersama. Hatta sebagaimana dikutip oleh Tjiptoherijanto, menyebutkan bahwa model produksi itu pula yang menjadi dasar dari demokrasi khas desa, “di desa-desa sistem demokratis yang masih kuat dan hidup sehat

sebagai bagian dari adat istiadat yang hakiki, dasarnya adalah pemilikan tanah secara komunal yaitu setiap orang merasa bahwa ia harus bertindak berdasarkan persetujuan bersama sewaktu mengadakan kegiatan ekonomi”.48

Dilihat dari sudut pandang hukum dan politik yang lebih menekankan pada tata aturan yang menjadi dasar pengaturan kehidupan masyarakat, desa dipandang sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana

48 Yamiko M. Prijono dan Prijono Tjiptoherijanto, Demokrasi Di Pedesaan Jawa, (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 17-19

bertempat tinggalnya suatu masyarakat, yang berkuasa (mempunyai kewenangan) untuk mengadakan pemerintahan sendiri. 49 Pengertian tersebut menekankan adanya otonomi untuk membangun tata cara kehidupan desa bagi kepentingan penduduk, dimana kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa hanya bisa diketahui dan disediakan oleh masyarakat desa dan bukan dari pihak luar (eksternal).

Berdasarkan pengertian dari nomenklatur desa, UU No. 6 Tahun 2014 berbeda dengan UU yang ada sebelumnya, dilihat dari Pasal 1 yang dimaksud dengan Desa adalah desa dan desa adat yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yan memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebelum lahirnya UU No.6 Tahun 2014desa diatur secara rinci melalui Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, bahwa desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwnang untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

41

Sedangakan dalam Pasal 1 angka 12 UU No 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa “desa atau yang disebut dengan nama lain,selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untukmengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut dengan Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan Nasional berada di daerah kabupaten. Desa berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979 adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendefinisian ini bahkan memicu gerakan masyarakat adat, karena upaya pemerintah dengan pemaksaan sistem yang seragam dalam pemerintahan lokal yang didasarkan pada desa administratif.Menurut wakil masyarakat adat (AMAN), sistem tersebut sebagai upaya memecah komunitas lokal yang ada di Indonesia, bahkan meleburkannya kedalam unit-unit baru

yang notabene tidak mempunyai kesamaan adat.50Sedangakan dalam UU No. 5 Tahun 1974 penjelasan dari nomenklatur desa tidak ditemukan sama sekali. Sedangkan dalam UU No 19 tahun 1965 Pasal 1 menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan Desapraja dalam undang-undang ini adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri”.

Dari beberapa istilah dan pengertian desa dalam peraturan di atas dapat dilihat bahwa desa semenjak reformasi melalui UU No. 22 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2004,PP No.72 Tahun 2005 dan UU No. 6 Tahun 2014 kembali diakui dan bersifat otonom berdasarkan hak asal-usul yang dimiliki desa dan menyelenggarakan pemerintahan tanpa dituntut harus adanya keseragaman antar satu desa dengan desa lain yang ada dalam NKRI. Di bawah pemerintahan orde baru, otonomi desa dihapuskan secara habis-habisan karena melalui UU N0. 5 Tahun 1974 dan UU No.1979, desa langsung diletakkan di bawah camat dan dipaksakan untuk melakukan keseragaman dalam penyelenggaraan pemerintahan. Peralihan definisi ini menunjukkan tingkat demokrasi bagi desa, yang awalnya hanya sebagai masyarakat hukum, selanjutnya menjadi sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah dan akhirnya desa

50 Greg Acciocioli, “Dari Pengakuan Menuju Pelaksanaan Adat : Konseptualisasi Ulang

Ruang Lingkup Dan Signifikasi Masyarakat Adat Dalam Indonesia Kontemporer”, dalam, Jamie S

Davidson dkk (Penyunting), Adat Dalam Politik Indonesia, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 338.

43

diartikan sebagai desa51 dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, hal ini menunjukkan bahwa UU No. 6 Tahun 2014 berusaha memperbaiki

mindset yang melekat bahwa desa adalah entitas yang berasal dari Jawa,

padahal tidaklah demikian.

Dengan dinyatakannya secara ekplisit pengertian desa mencakup desa adat, maka masyarakat adat yang berada di seluruh Indonesia berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional, sehingga memberikan legitimasi penuh bagi masyarakat adat, tidak seperti pengertian sebelumnya yang „enggan‟menyebutkan secara ekplisit desa adat. Hal ini juga sesuai dengan Pasal 18 B UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati masyarakat adat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setidaknya ketentuan ini dapat dikatakan sebagai upaya preventif bagi pengabaian atau menomorduakan masyrakat hukum adat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.