• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Teori yang Berkenaan dengan Variabel yang Diambil

2. Pengertian Ekuitas Merek

Menurut Aaker (1996:23), ekuitas merek adalah seperangkat aset dan

menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh sebuah barang atau

jasa kepada perusahaan atau para pelanggan perusahaan.

Menurut Kotler dan Keller (2007:334) ekuitas merek adalah nilai

tambah yang diberikan pada produk dan jasa, nilai ini bisa dicerminkan

dalam cara konsumen berpikir, merasa, dan bertindak terhadap merek,

harga, pangsa pasar, dan profitabilitas yang dimiliki perusahaan. Ekuitas

merek merupakan aset tak terwujud yang penting, yang memiliki nilai

psikologis dan keuangan bagi perusahaan.

Sedangkan Philip Kotler dan Gary Armstrong (2008:282) berpendapat

bahwa ekuitas merek adalah pengaruh deferensial positif bahwa jika

pelanggan mengenal nama merek, pelanggan akan merespon produk atau

jasa.

Sejauh ini terdapat dua model dari brand equity, yaitu model Aaker

(yang kita gunakan dalam penelitian ini) dan model Keller. Dalam model

Aaker, brand equity diformulasikan dari sudut pandang manajerial dan

strategi korporat, meskipun landasan utamanya adalah perilaku konsumen.

Sedangkan dalam model Keller lebih berfokus pada perspektif perilaku

konsumen yang berasumsi bahwa kekuatan sebuah merek terletak pada apa

yang dipelajari, dirasakan, dilihat, dan didengarkan konsumen tentang

merek tersebut sebagai hasil dari pengalamannya sepanjung waktu

(Tjiptono, 2011:97)

Aaker (1991) berpendapat bahwa brand equity dapat dikelompokkan

a. Kesadaran merek (brand awareness), menunjukkan kesanggupan seorang

calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali suatu merek dari

produk atau jasa perusahaan. Kesadaran merek memiliki beberapa

tingkatan mulai dari tingkat tidak mengetahui adanya merek tersebut,

sampai pada tingkat sangat mengenal merek tersebut (top of mind

awareness). Tingkat paling rendah adalah apabila pengenalan merek

dilakukan melalui alat bantu tes untuk mengingat kembali suatu merek

(an aided recall test). Pengenalan merek adalah tingkat minimal dari

kesadaran merek. Tingkat berikutnya adalah mengingat kembali suatu

merek (brand recall), yaitu mengingat kembali suatu merek berdasarkan

pada kemampuan seseorang untuk menyebut suatu merek tanpa alat

bantu (unaided call). Tahap selanjutnya adalah apabila suatu merek

disebutkan pertama kali dalam mengingat suatu produk atau jasa, pada

tahap ini merek tersebut telah berada dalam pikiran paling utama (top of

mind awareness), atau dengan kata lain merek tersebut menjadi merek

yang paling diingat di dalam pikiran seseorang.

b. Asosiasi merek (brand association), adalah segala kesan yang muncul di

benak konsumen yang terkait dengan ingatannya mengenai suatu merek.

Kesan-kesan yang terkait dengan merek akan semakin meningkat dengan

semakin bertambahnya pengalaman konsumen dalam mengkonsumsi

suatu merek atau semakin sering kemunculan merek tersebut dalam

strategi komunikasi perusahaan. Suatu merek yang telah mapan akan

asosiasi yang kuat. Berbagai asosiasi merek yang saling berhubungan

akan menimbulkan suatu rangkaian yang disebut brand image. Semakin

banyak asosiasi yang saling berhubungan, maka semakin kuat brand

imageyang dimiiki oleh merek tersebut

c. Persepsi kualitas merek (brand perceived quality), adalah persepsi

pelanggan terhadap kualitas dari suatu merek produk/jasa perusahaan.

Perceived quality ini akan membentuk persepsi kualitas dari suatu

produk di mata pelanggan karena perceived quality merupakan persepsi

konsumen. Produk tidak akan disukai dan tidak akan bertahan lama di

pasar jika perceived quality pelanggan negatif, sebaliknya jika perceived

quality pelanggan positif, maka produk akan disukai dan dapat bertahan

lama di pasar.

d. Loyalitas merek (brand loyalty), adalah cerminan tingkat keterikatan

konsumen dengan suatu merek produk/jasa. Loyalitas merek sangat

berpengaruh terhadap kerentanan pelanggan dari serangan pesaing, hal

ini sangat penting dan berkaitan erat dengan kinerja masa depan

perusahaan. Seorang pelanggan yang sangat loyal kepada suatu merek

tidak akan dengan mudah memindahkan pembeliannya ke merek lain,

maka hal tersebut apat menunjukkan loyalitas terhaap merek tersebut

rendah.

e. Aset-aset ekuitas merek lainya (other proprietary brand asssets) dapat

memberikan nilai, baik bagi perusahaan maupun bagi konsumen.

dimensi utama dari brand equity yaitu brand awareness, brand

association, brand perceived quality dan brand loyalty.

Gambar. 2.1

Elemen Ekuitas Merek Model Aaker (Brand Equity Element Aaker Mode)

Sumber: Tjiptono, 2011:101

Sementara itu, model brand equity Keller (Tjiptono, 2011:98) lebih

berfokus pada perspektif perilaku konsumen. Dengan model ekuitas merek

berbasis pelanggan (CBBE = Consumer-Based Brand Equity), model ini

berasumsi bahwa kekuatan sebuah merek terletak pada apa yang dipelajari,

dirasakan, dilihat, dan didengarkan konsumen tentang merek tersebut sebagai

hasil dari pengalamannya sepanjung waktu.

Keller (Tjiptono, 2011:99) mengatakan terdapat empat langkah dalam

proses membangun merek yaitu:

1. Menyusun identitas merek yang tepat,

2. Menciptakan makna merek yang sesuai,

3. Menstimulasi respon merek yang diharapkan

4. Menjalin relasi merek yang tepat dengan pelanggan. Brand Equity Brand Awareness Brand Association Brand Perceived Quality Brand Loyalty

Dengan kata lain, keempat langkah ini mencerminkan empat pertanyaan

fundamental yaitu: (1) identitas merek, (2) makna merek, (3) respon merek, (4)

relasi merek. Proses implementasi keempat tahap ini membutuhkan enam

building blocks utama yaitu: brand salience, brand performance, brand

imagenary, brand judgments, brand feelings, dan brand resonance.

Gambar. 2.2

Piramida Ekuitas Merek Berbasis Pelanggan Model Keller (Customer-Based Brand Equity Pyramid Keller Mode)

Resonance Judgments Feelings Performance Imagery Salience Sumber: Tjiptono, 2011:101 1. Identitas Merek 2. Makna Merek 3. Respon Merek 4. Relasi Merek

1. Brand salience, berkenaan dengan aspek-aspek awareness sebuah merek,

seperti seberapa sering dan mudah sebuah merek diingat dan dikenali dalam

berbagai situasi? Faktor ini menyangkut seberapa bagus elemen merek

menjalankan fungsinya sebagai pengidentifikasi produk. Brand awareness

bukan hanya sekedar menyangkut apakah konsumen mengetahui nama

merek dan pernah melihatnya, namun berkaitan pula dengan mengkaitkan

merek (nama merek, logo, simbol, dan seterusnya) dengan asosiasi-asosiasi

tertentu dalam memori konsumen bersangkutan.

2. Brand performance, berkenaan dengan kemampuan produk dan jasa dalam

memenuhi kebutuhan fungsional konsumen. Secara garis besar, ada lima

atribut dan manfaat pokok yang mendasari kinerja merek:

(1) unsur primer dan fitur suplemen; (2) reliabilitas; durabilitas, dan

serviceability produk; (3) efektivitas, efisiensi, dan empati layanan; (4)

model dan desain; serta; (5) harga.

3. Brand imagery, menyangkut extrinsic properties produk atau jasa, yaitu

kemampuan merek dalam memenuhi kebutuhan psikologis atau sosial

pelanggan. Brand imagery bisa terbentuk secara langsung (melalui

pengalaman konsumen dan kontaknya dengan produk, merek, pasar sasaran,

atau situasi pemakaian) dan tidak langsung (melalui iklan dan komunikasi).

Empat kategori utama brand imagery meliputi:

(1) profil pemakai, baik berdasarkan faktor demografis deskriptif (seperti

usia, gender, ras, atau pendapatan) maupun psikografis abstrak (seperti

(2) situasi pembelian (berdasarkan tipe saluran distribusi, toko spesifik,

kemudahan pembelian, dan sejenisnya) dan pemakaian (kapan dan dimana

merek digunakan); (3) kepribadian dan nilai-nilai; (4) sejarah, warisan

(heritag), dan pengalaman.

4. Brand judgments, berfokus pada pendapat dan evaluasi personal konsumen

terhadap merek berdasarkan kinerja merek dan asosiasi citra yang

dipersepsikannya. Aspek brand judgments meliputi:

(1) brand quality, yakni persepsi konsumen terhadap nilai dan kepuasan

yang dirasakannya;(2) brand credibility, yaitu seberapa jauh sebuah merek

dinilai kredibel dalam hal expertise (kompeten, inovatif, pemimpin pasar),

trustworthiness (bisa diandalkan, selalu mengutamakan kepentingan

pelanggan) dan likeability (menarik, fun, dan memang layak untuk dipilh

dan digunakan); (3) brand consideration, yaitu sejauh mana sebuah merek

dipertimbangkan untuk dibeli atau digunakan konsumen; dan (4) brand

superiority, yakni sejauh mana konsumen menilai merek itu unik dan lebih

baik dibandingkan merek-merek lain

5. Brand feelings, yaitu respon dan reaksi emosional konsumen terhadap

merek. Reaksi semacam ini bisa berupa perasaan warmth, fun excitement,

security, social approval, dan self-respect.

6. Brand resonance, mengacu pada karakteristik relasi yang dirasakan

pelanggan terhadap merek spesifik. Resonasi tercermin pada intensitas atau

kekuatan ikatan psikologis antara pelanggan dan merek, serta tingkat

uang, usaha dan waktu yang dicurahkan untuk mencari informasi merek,

dan seterusnya). Secara spesifik, resonasi meliputi loyalitas behavioral

(share of category requirements), loyalitas attitudinal, sense of community

(identifikasi dengan brand community), dan keterlibatan aktif (berperan

sebagai brand evangelist dan brand ambassadors).

Model Aaker dan model Keller memiliki kesamaan prinsip, yaitu

brand equity mencerminkan nilai tambah yang didapatkan sebuah produk

sebagai hasil investasi pemasaran sebelumnya pada merek yang

bersangkutan (Tjiptono, 2011:102).

Dokumen terkait