• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Erpangir Ku Lau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepustakaan yang Relevan

2.1.1. Pengertian Erpangir Ku Lau

Erpangir Ku Lau berasal dari kata pangir yang berarti langir Sitepu mengatakan dalam bukunya (1996: 166) dalam arti lebih mendalam Erpangir Ku Lau termasuk kepercayaan menciptakan ketenangan bathin dan harapan masa depan yang lebih baik. Atau setelah dilakukan Erpangir Ku Lau, ada perobatan yang dirasakan si pelaku terutama dalam menumbuhkan semangat kerja. Sehingga secara semiotika Erpangir Ku Laudapat diartikan sebagai sebuah simbol.

Ada berbagai alasan Erpangir Ku Lau dilakukan. Hal itu erat sekali hubungannya dengan kepercayaan yang dikaitkan dengan latar belakang kehidupan si pelaku. Erpangir Ku Lau dilakukan dengan alasan : (1) karena adanya mimpi buruk, (2) karena penyakit, (3) karena ingin mendapat rezeki, (4) karena telah mendapat rezeki, (5) membuang kengalen (kesialan), (6) nempaken jinunjung (penabalan)

2.1.2 Sistem Kepercayaan Tradisional pada Etnik Karo

Etnik Karo memilki kepercayaan tradisional yang disebut sebagai Pemena. Pemena memiliki makna kepercayaan yang pertama, yang dipegang dan dipahami oleh etnik Karo. Dalam hal ini pemikiran dan kepercayaan

etnik Karo yang belum memeluk agama sering disebut erkiniteken yang mempercayai adanya Dibata sebagai pencipta segala yang ada di alam raya dan dunia. Menurut kepercayaan tersebut Dibata yang menguasai segalanya itu terdiri dari : (1) Dibata Idatas atau Guru Butara Atas yang meguasai alam raya/langit, (2) Dibata Itengah atau Tuan Paduka Niaji yang menguasai bumi atau dunia, (3) Dibata Iteruh atau Tuan Banua Koling yang menguasai dibawah atau di dalam bumi.

2.1.3 Pengertian Semiotika

Secara etimologi semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeon” yang memilki arti yaitu tanda. Tanda merupakan alat kamunikasi untuk menginformasikan suatu maksud, arti maupun makna yang terkadang dalam suatu objek. Jadi dapat disimpulkan bahwa semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Ilmu ini menganggap bahwa kebudayaan adalah tanda yang memilki arti. Tanda diartikan sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting.

Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda ( Eco dalam sobur, 2001 ).

Menurut Zoest (1990 : 1), semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti tanda dan proses yang berlaku bagi pengguna tanda.

Saussure ( dalam Berger, 2005: 3) mengatakan bahwa semiologi

adalah studi sistematis suatu tanda. Pendapat ini didasarkan pada anggapan bahwa segala perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau berfungsi sebagai tanda. Dimana ada tanda disana ada sistem.

Sedangkan Pierce (dalam Zaimar, 2008: 3) penalaran manusia senantiasa dilakukan melalui tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar melalui tanda. Dalam pemikirannya, logika sama halnya dengan semiotika dan dapat diterapkan pada segala macam tanda.

Preminger (dalam Sobur, 2007) menyebutkan bahwa semiotika merupakan ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial, masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti.

Semiotika sebagai ilmu berfungsi untuk mengungkapkan secara keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal sebagai pengetahuan praktis, pemahaman terhadap kebenaran tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui efektivitas dan efisiensi energi yang harus dikeluarkan ( Ratna, 2004:105).

Menurut Pateda ( dalam Sobur, 2001:100-101) semiotika terbagi atas sembilan jenis, yaitu:

1. Semiotik analitik, yakni semotik yang menganalisis sistem tanda.

2. Semiotik deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti

yang disaksikan sekarang.

3. Semiotik faunal (zoo semiotic), yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan.

4. Semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat.

5. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dam cerita lisan (folklore).

6. Semiotik natural, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam.

7. Semiotik normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas.

8. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang yang berwujud kata maupun lambang yang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat.

9. Semiotik struktural, yakni semiotik khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

Beberapa pendapat diatas menjelaskan tentang pengertian semiotik, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang fungsi dan makna yang terkandung didalam tanda-tanda dimana tanda-tanda tersebut berhubungan dengan kebudayaan, masyarakat dan kehidupan sehari-hari.

2.2 Teori yang Digunakan

Teori merupakan landasan fundamental sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberi jawaban terhadap masalah yang digarap, dengan landasan teori ini maka segala masalah yang timbul dalam skripsi ini akan terjawab.

Secara etimologi, teori berasal dari bahasa Yunani theoriayang berarti kebetulan alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian.

Subagyo (1991: 20), mendefenisikan bahwa teori adalah sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematika dalam gejala sosial maupun nature yang ingin diteliti. Teori merupakan abstraks dari pengertian atau hubungan dari proposisi atau dalil. Ada pendapat lain, FN Kerlinger dalam bukunya Foundation of Behavioral Research (1993) teori adalah sebuah set konsep atau contruct yang hubungan satu dengan yang lainnya, suatu set dari proposisi yang mengandung suatu pandangan sistemanis dari fenomena.

Saussure (1916:2), mengatakan kita dapat menerima suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam kehidupan sosial. Kehidupan sosial tersebut merupakan bagian dari psikologi sosial dan sebagai akibat dari psikologi umum, yang kemudian kita sebut dengan semiologi. Semiologi mengajarkan kita suatu tanda terdiri dari apa saja dan kaidah-kaidah apa yang mengaturnya.

Menurut Danesi dan Perron (dalam Hoed 2011:23) penelitian semiotik

mencakup tiga ranah yang berkaitan dengan apa yang diserap manusia dari lingkungannya (the world), yakni yang bersangkutan dengan “tubuh”-nya,

“pikiran”-nya, dan “kebudayaan”-nya. Semiontik pada dasarnya menyakut segi “tubuh” (fisik), setidak-tidaknya pada tahap awal. Kemudian melalui representasi berkembang kegiatan dalam “pikiran” dan selanjutnya, bila dilakukan dalam rangka kehidupan sosial, menjadi sesuatu yang hidup dalam

“kebudayaan” sebagai signifying order. Dari sini, kita akan memahami bahwa hubungan yang erat antara “semionis”, “representasi”, dan “signifying order”, yakni antara kemampuan sejak lahir manusia untuk memproduksi dan memahami tanda (semionis), kegiatan dalam kognisi manusia untuk mengaitkan representamen dengan pengetahuan dan pengalamannya (representasi), serta sistem tanda yang hidup dan diketahui bersama kebudayaan masyarakatnya (signifying order).

Ketiga ranah tersebut sejajar dengan teori Pierce tentang proses representasi dan representamen. Representasi tanda menyangkut hubungan antara representamen dan objeknya. Dalam teori semiotik Pierce, representasi tanda tidak sama kadarnya. Pada tahap awal, tanda baru hanya dilihat sifatnya saja yakni bahwa tanda itu adalah tanda dan disebut “qualisign”. Pandangan Danesi dan Perron ini bersangkutan dengan “tubuh” atau “semionis dasar”.

Kemudian pada tahap yang lebih lanjut, representasi tanda sudah berlaku untuk tempat dan waktu tertentu, misalnya, menujunkan sesuatu dengan jari (disini, disana) yang disebut “sin(gular) sign”. Dalam pandangan Danesi dan Perron ini sudah berkatan dengan “pikiran” manusia. Akhirnya sejumah tanda

berfungsi berdasarkan konvensi dalam suatu masyarakat yang disebut dengan

“legisign”. Yang terakhir ini disebut oleh Danesi dan Perron senbagai “the signifying order”. Proses pemaknaan tanda sudah berlaku secara sosial.

Signifying order adalah sebuah sistem kompleks, terdiri dari berbagai jenis tanda yang berbeda-beda, yang menyatu lewat cara-cara yang bisa yang bisa diprediksi ke dalam pola-pola representasi, yang dimanfaatkan oleh individu atau kelompok untuk membuat pesan atau saling bertukar pesan.signifying orderadalah sebuah sistem kompleks, terdiri dari berbagai jenis tanda yang berbeda-beda, yang menyatu lewat cara-cara yang bisa yang bisa diprediksi ke dalam pola-pola representasi, yang dimanfaatkan oleh individu atau kelompok untuk membuat pesan atau saling bertukar pesan.

dalam melihat kebudayaan sebagai signifying order,kita dapat membedakan empat faktor yang berkaitan satu sama lain dan perlu diperhatikan yaitu : 1. Jenis tanda (ikon, indeks, dan lambang);

2. Jenis sistem tanda (bahasa, musik, gerakan tubuh, dan lukisan);

3. Jenis teks (percakapan, grafik, lagu/ lirik, komik, dan lukisan), dan

4. Jenis konteks/situasi yang mempengaruhi makna tanda (psikologis, sosial, historis, dan kultural).

Pierce ( dalam Hoed, 2011:24) membedakan tanda menjadi tiga yaitu:

1. Ikon (icon), adalah tanda yang ada sedemikian rupa sebagai kemungkinan, tanpa tergantung pada adanya sebuah penanda (denotatum), tetapi dapat dikaitkan dengannya atas dasar suatu persamaan yang secara potensial dimilikinya. Definisi ini mengimplikasikan bahwa

segala sesuatu merupakan ikon, karena semua yang ada dalam kenyataan dapat dikaitkan dengan suatu yang lain. Sehingga dapat dipahami ikon juga merupakan tanda yang menyerupai objek (benda) yang diwakilinya atau tanda yang menggunakan kesamaan ciri-ciri yang sama dengan yang dimaksud.

2. Indeks (index), adalah sebuah tanda yang dalam hal corak tandanya tergantung dari adanya sebuah penanda (denotatum). Dengan kata lain tanda yang sifatnya tergantung pada keberadaan suatu penanda. Tanda ini memiliki kaitan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya.

3. Simbol/Lambang (symbol), adalah tanda dimana hubungan antara tanda dengan penanda (denotatum) ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum atau kesepakatan bersama (konvensi). Tanda bahasa dan matematika merupakan contoh simbol. Simbol juga dapat menggambarkan suatu ide abstrak dimana tidak ada kemiripan antara bentuk tanda dan arti. Kajian ini dilihat berdasarkan penandaan dan pemaknaan dimana penandaaan (konsep Pierce) dikaji lewat jenis simbol.

Berdasarkan judul skripsi ini, maka teori yang digunakan untuk mengkaji Erpangir Ku Lau pada etnik Karo adalah teori simbol.

Dengan demikian, dalam konsep Pierce simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu diluar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) yang sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya dapat menafsirkan ciri dan hubungan antar simbol dengan objek yang diacu

dan menafsirkan maknanya.

Pierce juga membagi klasifikasi simbol menjadi tiga jenis yaitu:

1. Rhematic symbol atau symbolik rhemeyakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi nilai umum. Misalnya, dijalan kita melihat lampu merah lantas kita katakan berhenti. Mengapa kita katakan demikian, ini terjadi karena adanya asosiasi dengan benda yang kita lihat.

2. Dicent symbol atau proposition (proposisi) adalah tanda yang langsung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang mengatakan “Pergi” penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak serta merta kita pergi. Padahal dari ungkapan tersebut yang kita kenal hanya kata. Kata-kata yang kita gunakan membentuk kalimat, semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi dalam otak.

3. Argument yakni tanda yang merupakan kesamaan seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu. (http//googleweblight.2014 klasifikasi symbol blog shop.com)

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori semiotika yang dikemukakan Pierce. Dimana setiap tanda memiliki makna yang bersifat arbitrer atau mana suka. Dalam konteks di atas, etnik Karo juga memberikan makna pada setiap simbol yang bersifat arbitrer. Artinya, mereka menetukan makna dari sebuah simbol sesuai dengan situasi dan apa yang ingin mereka utarakan yang sesuai dengan adat-istiadatnya. etnik Karo juga menyesuaikannya dengan bentuk dan kebiasaan mereka sehari-hari.

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah tata cara yang harus dilakukan dalam suatu penelitian. Metode untuk merumuskan ide dan pikiran yang didasarkan pada pendekatan ilmiah ini berarti bahwa metode penelitian diperlukan dalam mencapai suatu sasaran penelitian.

Metode penelitian mencakup enam aspek yaitu: metode dasar, lokasi penelitian, sumber data penelitian, instrument penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data.

3.1 Metode Dasar

Metode dasar adalah metode yang digunakan dalam hal proses pengumpulan data, sampai tahap analisa dengan mengaplikasikan pada pokok permasalahan untuk mendapatkan suatu hasil yang baik, sesuai dengan apa yang diharapkan.

Metode dasar yang digunakan penulis dalam penyelesaian skripsi ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 2005 :54). Dalam skripsi ini penulis menerangkan jenis-jenis simbol dan makna dari simbol atau tanda yang ada pada upacara adat Erpangir Ku Lau.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Desa Doulu, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo. Denganalasan dilokasi tersebut masih dilaksanakan upacara Erpangir Ku Lau. Di daerah ini juga masih banyak tokoh adat etnik Karo yang bisa dijadikan sebagai informan sehingga dapat memudahkan penulis dalam mengumpulkan data penelitian sesuai objek yang akan diteliti.

3.3 Sumber Data Penelitian

Arikunto (2010:265) mengemukakan bahwa sumber data dalam suatu penelitian adalah subjek darimana data dapat diperoleh. Secara umum sumber data dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu:

1. Person (orang) adalah tempat peneliti bertanya mengenai variabel yang diteliti.

2. Paper (kertas) adalah berupa dokumen, warkat, keterangan arsip, pedoman, surat keputusan (SK), dan sebagainya.

3. Place (Tempat) adalah sumber data keadaan ditempat berlangsungnya suatu kegiatan yang berhubungan dengan penelitian.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Alat perekam (tape recorder) yang digunakan untuk mewawancarai informan saat pengumpulan data yang sesuai dengan objek penelitian.

2. Kamera yang digunakan untuk mengambil gambar dari objek penelitian

apabila saat melakukan penelitian ada pelaksanaan upacara adat tersebut.

3. Alat tulis dan kertas yang digunakan untuk mencatat segala hal yang dianggap penting yang diterima dari informan dan berhubungan dengan objek penelitian guna menunjang kelengkapan data dalam penyelesaian skripsi ini.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Subagyo, (1991: 39) mengatakan bahwa secara umum metode pengumpulan data dapat dibagi atas beberapa jenis yaitu:

1. Metode wawancara atau metode pengajuan pertanyaan lansung.

2. Metode angket (kuisioner) atau metode pertanyaan secara tidak langsung.

3. Metode observasi atau metode pengamatan.

Maka metode yang digunakan penulis dalam pengumpulan data lapangan antara lain:

1. Metode observasi yaitu penulis langsung ke lepangan melakukan pengamatan lansung terhadap objek penelitian.

2. Metode wawancara digunakan untuk memperoleh gambaran apa makna yang terkandung pada upacara adat Erpangir Ku Lau. wawancara ini ditujukan kepada etnik Karo yang berada di Desa Doulu.

3. Metode Kepustakaan yaitu pengumpulan data melalui buku-buku yang berhubungan dan berkaitan erat dengan penelitian tersebut.

3.6 Metode Analisis Data

Metode analisis data merupakan cara dalam pengolahan data, fakta atau fenomena yang sifatnya mentah dan belum dianalisis. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sehingga menjadi data yang cermat, akurat dan ilmiah.

Metode analisis data juga merupakan proses pengaturan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dari suatu uraian dasar.

Pada dasarnya analisis adalah kegiatann untuk memanfaatkan data sehingga data diperoleh untuk mendapatkan kebenaran yang diperlukan dalam pengolahan hasil penelitian. Dimana dalam penelitian diperlukan imajinasi dan kreatifitas sehingga dapat diuji kemampuan peneliti dalam mengkaji sesuatu.

Dalam penelitian ini data yang telah diperoleh akan diolah dan dianalisis secara kualitatif. Fokus penelitian ini adalah makna simbolis yang terkandung dalam upacara adat Erpangir Ku Lau pada etnik Karo. Makna simbolis dapat diketahui dari orang-orang yang mengetahui seluk beluk mengenai upacara tersebut. Untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan analisis semiotika.

Adapun langkah-langkah metode analisis data ini adalah sebagai berikut:

1. Data diklasifikasikan sesuai objek pengkajian.

2. Setelah data diklasifikasikan, data-data dianalisis sesuai dengan kajian yang ditetapkan yaitu bagaimana tahapan serta bentuk fungsi, danmakna

simbol terkandung pada upacara adat Erpangir Ku Lau.

3. Menginterpretasikan hasil analisis dalam bentuk tulisan yang sistematis sehingga semua data dapat dipaparkan dengan baik.

BAB IV

PEMBAHASAN

Erpangir Ku Lau merupakan salah satu dari berbagai upacara religius yang sampai sekarang masih dilakukan oleh etnik Karo. Berbeda dengan agama-agama modern sekarang di mana waktu dan caramya sudah atur dan wajib dilakukan oleh penganutnya. Erpangir Ku Lau dan upacara religius kepercayaan tradisional etnik Karo lainnya hanya dilakukan bila diperlukan saja dan dengan alasan-alasan tertentu.

Erpangir Ku Lau juga dilakukan dengan berbagai alasan tertentu menurut latar belakang atau kejadian yang dialami oleh si pelaku misalnya karena telah mendapat rezeki, diganggu roh atau mahkluk halus, karna kesialan , sebagai ucapan syukur kepada dibata, dan berbagai alasan lainnya. Upcara adat Erpangir Ku Lau juga merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh etnik Karo dalam hal menyucikan diri atau membersihkan diri. Masyarakat etnik Karo percaya menyucikan diri merupakan hal yang penting untuk dilakukan sebelum menyampaikan doa atau permohonan kepada dibata. Dalam konteks upacara adat Erpangir Ku Lau si pelaku adalah orang atau keluarga etnik Karo yang melakukan atau melaksanakan upacara adat tersebut.

Alasan tersebut sangat berhubungan erat dengan peralatan dan sesajen yang akan dipakai pada saat melakukan upacara adat tersebut sehingga setiap alasan dan tujuan dilakukannya upacara adat Erpangir Ku Lau akan memakai peralatan dan sesajen yang berbeda.

Peralatan dan sesajen inilah yang akan menjadi simbol pada upcara adat Erpangir Ku Lau, etnik Karo juga meberikan fungsi dan makna pada setiap simbol

yang dipakai pada upacara adat tersebut. Oleh karena perbedaan itu maka pada pembahasan skripsi ini penulis hanya akan membahas atau fokus membahas upacara adat Erpangir Ku Lau dalam konteks mengucap syukur kepada dibata.

Dalam konteks ini penulis akan membahas (1) tahapan upacara adat Erpangir Ku Lau, (2) mengidentifikasi bentuk simbol yang terdapat pada upacara adat Erpangir Ku Lau, (3) mengkaji fungsi simbol yang terdapat pada upacara adat Erpangir ku Lau, (4) menemukan makna didalam simbol yang terdapat pada upacara adat Erpangir Ku Lau. Keempat hal tersebut di uraikan sebagai berikut :

4.1 Tahapan upacara adat Erpangir Ku Lau.

Upacara adat Erpangir Ku Lau tidak memiliki tahapan yang spesifik seperti upacara adat lainnya, namun terlepas dari itu upacara adat Erpangir Ku Lau tetap memilki tahapan yang di lakukan oleh etnik Karo sampai pada pelaksanaan upacara adat tersebut. Untuk menjelaskan hal itu penulis membagi tahapan upacara adat Erpangir Ku Lau menjadi 3 tahapan yaitu :

4.1.1 Penentuan Tanggal dan Tempat.

Sama halnya dengan upacara adat lainnya upacara adat Erpangir Ku Lau tidak terlepas dari penentuan tanggal, penentuan tanggal itu sendiri disesuaikan dengan maksud atau alasan si pelaku dalam melakukan upacara adat tersebut dalam hal ini si pelaku adalah seorang atau sekolompok keluarga yang akan terlibat atau melakukan upcara adat Erpangir Ku Lau. Tanggal yang tepat untuk melakukan upacara adat Erpangir Ku Lau biasanya dilihat melalui penaggalan atau kalender etnik Karo, di mana menurut kepercayaan etnik Karo itu sendiri tanggal 14 hari

bulan pada kalender etnik Karo atau yang biasa disebut hari belah Purnama raya, adalah tanggal yang tepat dalam melakukan upacara adat Erpangir Ku Lau untuk mengucap syukur kepada Dibata.

Upacara adat Erpangir Ku Lau dilakukan di tempat yang menjadi sumber air atau di tempat yang terdapat air seperti sungai, danau, sumur dan mata air, penentuan tempat itu sendiri juga disesuaikan berdasarkan maksud dan alasan si pelaku dalam melakukan upcara adat tersebut. Erpangir Ku Lau yang dilakukan dengan alasan membuang kesialan harus dilakukan di tempat air mengalir seperti sungai, pancuran atau mata air. etnik Karo percaya bahwa air yang mengalir itu akan membawa kesialan yang menimpa si pelaku, namun Erpangir Ku Lau dengan maksud yang lain termasuk dengan maksud mengucap syukur kepada Dibata dapat dilakukan di tempat air yang tidak mengalir seperti danau atau sumur.

4.1.2 Persiapan.

Pada tahapan ini etnik Karo haruslah melakukan persiapan sebelum melaksanakan upacara adat Erpangir Ku Lau dengan tujuan kelancaran dan kesuksesan upacara adat tersebut.

Adapun persiapan yang dilakukan antara lain:

1. Persiapan diri.

Si pelaku harus mempersiapkan diri sebelum melakukan upcara adat Erpangir Ku Lau dalam hal ini persiapan maksud dan alasan dalam melakukan Erpangir.

2. Mencari guru atau dukun (guru mbelin).

Guru atau dukun berperan penting dalam pelaksanaan upacara adat sebagai pembimbing atau penuntun pada saat melaksanaan upacara adat religius etnik Karo.

Untuk itu si pelaku harus mencari guru atau dukun yang benar-benar paham dan mengerti dalam melaksanakan upacara adat tersebut.

3. Mempersiapkan pelaratan yang dibutuhkan.

Untuk melaksanakan upacara adat Erpangir Ku Lau si pelaku harus mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan sebelum atau pada saat melakukan upacara adat Erpangir Ku Lau.

4. Mempersiapkam makanan dan sesajen (cibal-cibalen).

Sebelum upacara adat Erpangir Ku Lau dilaksanakan si pelaku atau keluarga yang terlibat dalam upacara adat tersebut harus sudah mempersiapkan makanan dan sesajen yang akan di makan bersama atau yang akan dijadikan sesajen untuk roh penunggu yang ada di sekitar tempat upacara adat Erpangir Ku Lau atau yang

Sebelum upacara adat Erpangir Ku Lau dilaksanakan si pelaku atau keluarga yang terlibat dalam upacara adat tersebut harus sudah mempersiapkan makanan dan sesajen yang akan di makan bersama atau yang akan dijadikan sesajen untuk roh penunggu yang ada di sekitar tempat upacara adat Erpangir Ku Lau atau yang

Dokumen terkait