• Tidak ada hasil yang ditemukan

ERPANGIR KU LAU ETNIK BATAK KARO : KAJIAN SEMIOTIKA BUDAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ERPANGIR KU LAU ETNIK BATAK KARO : KAJIAN SEMIOTIKA BUDAYA"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

ERPANGIR KU LAU ETNIK BATAK KARO : KAJIAN SEMIOTIKA BUDAYA

SKRIPSI

DISUSUN OLEH

NAMA : NOVENDRI DADIK

NIM : 130703009

PROGRAM STUDI SASTRA BATAK FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2020

(2)
(3)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul Erpangir Ku Lau Etnik Batak Karo : Kajian Semiotika Budaya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tahapan- tahapan upacara adat Erpangir Ku Lau, bentuk, fungsi, dan makna simbol yang terdapat pada upacara adat Erpangir Ku Lau. Teori yang digunakan untuk menganalisis adalah teori semiotika yang dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode kualitatif.

Adapun hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah : (1) terdapat 3 tahapan yang dilakukan oleh etnik Karo pada saat melaksanakan upacara adat Erpangir Ku Lau, adapun tahapan-tahapan itu adalah : penentuan tempat dan tanggal, persiapan,dan pelaksanaan, (2) terdapat 23 bentuk simbol pada upacara adat Erpangir Ku Lau, terdiri dari 5 kategori yaitu simbol peralatan atau perlengkapan, simbol sajian dan makanan, simbol penanda status, simbol waktu, dan simbol tarian (3) 26 fungsi simbol yang terdapat pada upacara adat Erpangir Ku Lau, terdiri dari 5 kategori yaitu fungsi simbol ekspresif, fungsi simbol direktif, fungsi simbol lomisif, fungsi simbol representatif, fungsi simbol deklaratif (4) 26 makna simbol yang terdapat pada upacara adat Erpangir Ku Lau, terdiri dari 2 kategori yaitu makna denotasi dan makna konotasi.

Kata Kunci : Erpangir Ku Lau, Simbol Semiotika.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan kasih karunianya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Judul skripsi adalah Erpangir Ku Lau Etnik Batak Karo : Kajian Semiotika Budaya, penulis memilih judul skripsi ini dengan alasan karena judul tersebut adalah suatu ritual budaya etnik Karo yang unik dan menarik untuk diteliti. Penulis membuat skripsi ini dengan harapan pembaca dapat memahami dengan kajian yang akan diselesaikan oleh penulis. Untuk memudahkan pembaca memahami tentang apa saja yang akan dibahas dalam skripsi ini dimulai dari :

BAB I merupakan pendahuluan. Pada bab ini, penulis menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

BAB II merupakan tinjuan pustaka, yang mencakup kepustakaan yang relevan dan teori yang digunakan.

BAB III merupakan metode penelitian, yang terdiri dari : metode dasar, lokasi penelitian, sumber data penelitian, instrumen penelitia, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

BAB IV merupakan hasil penelitian dan merupakan pembahasan dari masalah yang ada pada rumusan masalah.

BAB V merupakan kesimpulan dan saran berdasarkan pembahasan penelitian.

(5)

Penulis menyadari hasil penelitian ini belum sempurna dan memilki banyak kekurangan. Oleh sebab itu dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk menyempurnakan hasil penelitian ini.

Medan, Februari 2020 Penulis,

Novendri Dadik NIM : 130703009

(6)

KATA PENARUH

Alu meteruk ukur bujur ras mejuah-juah ibas pemasu-masu Tuhan si enggo mereken penampat man penurat guna ndungi skripsi enda.

Judul skripsi enda emekap Erpangir Ku Lau etnik Batak Karo : Kajian Semiotika Budaya, penurat milih judul skripsi e erkiteken judul e merupaken ritual adat Karo si unik ras jarang i teliti. Mbera arah penulisen skripsi e simbaca bancingakai alu kajian si enggo ibahan penurat. Guna nukahken pengangkan kerna skripsi enda i mulai arah :

BAB I emekap pendahuluan, i bas bab enda penurat mbahas latar belakang masalah, rumusen masalah, tujuan penelitin, ras manfaat penilitin.

BAB II emekap tinjaua pustaka si ncakup kepustakaan si relevan ras teori si igunaken.

BAB III emekap metode penelitian, si i bagi ibas : metode dasar, lokasi penelitin, sumber data penelitin, instrumen penelitin, metode pengumpulen data, ras metode analisis data.

BAB IV emekap hasil penelitin ras pembahasen arah masalah si lit ibas rumusen masalah.

BAB V emekap kesimpulen ras saran arah pembahasen penelitin.

(7)

Penurat ngakui mbue dengan kekurangan ras kelemahen si lit ibas skripsi enda. Alu meteruk ukur penurat ngarapken kritik ras saran guna nempurnaken hasil penelitian enda.

Medan, Februari 2020 Penurat,

Novendri Dadik NIM : 130703009

(8)

Ktpenruh

alumeterku- Ukru- bujru- rs- mejuah- juah- Ibs- pemsumsutuhn- siae^gomerekne- penm- pt- mn- penurt- gunn- du<is- k- rpi- siaen- djudlu- s- k- rpi- siaen- daemekp- aer- p<ir- kulwuaet- nki- btk- krokjian- semiaotikbudypenurt- milhi- judlu- s- k- rpi-

siaeare- tekne- judlu- aemerupken- ritual- adt- krosiUnki- rs- jr^Itelitim- berarh- penulisne- svkvrpi- aesim- bsbn- si<kaialukjian-

siae^goIbhn- penurt- gunnukh- kne- pe<^ktn- ker- ns- k- rpi- siaen- dImulIarh- bb- Iaemekp- pne-

dhuluan- Ibs- bb- aen- dpenurt- m- bhs- ltr-

belk^mslh- rumusne- mslh- tujuan- penelitni- rs- mn- pat- penilitni- bb- IIaemekp- tin- jwnpsu-

tkdin- saku- kepsu- tkan- sirelepn- rs-

teaorisiIgunkne- bb- IIIaemekp- metodepenelitin- siIbgiIbs- metodedsr- lksipenelitni- sum- bre- dtpenelitni- In- s- t- rumne- penelitni- metodepe<um- puln- dtrs- metodeanlissi- dtbb- IIIIaemekp- hsli- penelitni- rs- pme- bhsne- arh- mslh- silti- Ibs- rumusne- mslh- bb- IIIIIaemekp- rs- srn- arh- pme- bhsne- penlitni- penurt- <kuIm- buwede<n- kekur<n- rs- kelemhne- silti- Ibs- s- k- rpi- siaen-

dalumeterku- Ukru- penurt- <rp- kne- k- ritki- rs-

(9)

medn- peb- ruari2020 penurt-

nopne- d- riddki- nmi- 130703009

(10)

Ucapan Terima Kasih

Pada kesempatan ini, dengan setulus hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Budi Agustono, M.S., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, dan Prof. Drs. Mauly Purba, M.A.,Ph.D., Dra. Heristina Dewi, M.Pd, Prof., Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku wakil dekan I, II, dan III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Drs. Warisman Sinaga, M.Hum., selaku Ketua Program Studi Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Drs. Flansius Tampubolon, M.hum., selaku Sekretaris Program Studi Sastra Batak Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Drs. Jekmen Sinulingga, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan waktu, masukan, arahan, bimbingan serta saran dalam penyusunan skripsi ini.

5. Dra. Asriaty R.Purba, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis yang selalu memberikan masukan, saran serta bimbingannya kepada penulis.

6. Alm. Pdt.Eko Suharso dan Frida Maryati Br Hutagalung, Amd.Kep selaku orang tua yang merawat dan membesarkan penulis dari kecil, yang juga merupakan motivator dan inspirasi terbesar penulis dalam menyelesaikan studi, yang semasa hidupnya telah banyak berkorban dalam materi, tenaga, pikiran dan telah banyak melimpahkan kasih sayang serta doa sehingga penulis sampai pada penulisan skripsi ini.

(11)

7. Fitalisya Sorta Risdianningtyas Silalahi, Dwinanda Kristo Abednego, Novendra Bambang Triatmo selaku kakak, abang, dan saudara kembar penulis yang selalu memberikan dukungan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

8. Mami Risdo Saragih, S.S selaku motivator penulis yang selalu setia dalam memberikan motivasi, waktu , dukungan dan doa kepada penulis sampai pada penulisan skripsi ini.

9. Tio Anggreni Lumbanbatu, S.S selaku kekasih tersayang yang selalu memberikan motivasi, dukungan ,waktu, perhatian dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Sesil Laura Frida Sitompul, Darmila Andriani, Rikardo Nadeak selaku sahabat yang sudah banyak memberi masukan dan saran serta motivasi kepada penulis dalam pengerjaan skripsi ini.

11. Girson Tarigan, S.S, Aryanus Gea,S.S, Willy Chandra Pardede, S.S, Tumbur Haryanto Naibaho, S.S, Subur Naibaho, S.S, dan abang kakak stambuk 2010, 2011, 2012 yang saya tidak dapat sebut satu persatu selaku senioran yang sudah penulis anggap sebagai saudara kandung penulis yang selama ini selalu memberi motivasi dan arahan dalam perkuliahan serta dalam penulisan skripsi ini.

12. Dewasa Silalahi, Deddy Rovindo Capah, Wendy Suwery Harahap, Teopilus Purba, Michael T.Saragih, Dodi Sibarani dan teman-teman seperjuangan Sastra Batak stambuk 2013 yang telah bersama-sama mulai dari semester awal hingga akhir.

(12)

13. Adik-adik stambuk 2014,2015,2017,2018,2019 yang penulis tidak dapat sebut namanya satu persatu selaku teman penulis selama perkuliahan dan memberikan semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah tulus memberikan doa dan dukungan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Medan, Februari 2020 Penulis,

Novendri Dadik NIM : 130703009

(13)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

KATA PENARUH ... iv

Ktpenru ... vi

UCAPAN TERIMA KASIH... viii

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 5

1.3.Tujuan Penelitian ... 5

1.4.Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1.Kepustakaan yang Relevan ... 7

2.1.1.Pengertian Erpangir Ku Lau ... 9

2.1.2.Sistem Kepercayaan Tradisional Karo ... 9

2.1.3.Pengertian Semiotika ... 10

(14)

2.2.Teori yang Digunakan ... 13

BAB III METODE PENELITIAN ... 18

3.1.Metode Dasar ... 18

3.2.Lokasi Penelitian ... 19

3.3.Sumber Data Penelitian ... 19

3.4.Instrumen Penelitian... 19

3.5.Metode Pengumpulan Data ... 20

3.6.Metode Analisis Data ... 21

BAB IV PEMBAHASAN... ... 23

Pengantar... ... 23

4.1.Tahapan Upacara Adat Erpangir Ku Lau... ... 24

4.1.1.Penentuan Tanggal dan Tempat... ... 24

4.1.2.Persiapan ... 26

4.1.3.Pelaksanaan Upacara Adat Erpangir Ku Lau ... 27

4.2.Bentuk Simbol Pada Upacara Adat Erpangir Ku Lau ... 34

4.2.1.Bentuk Simbol Peralatan atau Perlengkapan ... 34

4.2.2.Bentuk Simbol Cibal-Cibalen (Sesajen) dan Makanan ... 44

(15)

4.2.3.Bentuk Simbol Penanda Status ... 52

4.2.4.Bentuk Simbol Waktu ... 53

4.2.5.Bentuk Simbol Tarian ... 55

4.3..Fungsi Simbol Pada Upacara Adat Erpangir Ku Lau ... 56

4.3.1.Fungsi Simbol Peralatan atau Perlengkapan ... 58

4.3.2.Fungsi Simbol Cibal-Cibalen (Sesajen) dan makanan ... 62

4.3.3.Fungsi Simbol Penanda Status ... 64

4.3.4.Fungsi Simbol Waktu ... 65

4.3.5.Fungsi Simbol Tarian ... 65

4.4.Makna Simbol Pada Upacara Adat Erpangir Ku Lau ... 67

4.4.1.Makna Simbol Peralatan atau Perlengkapan ... 68

4.4.2.Makna Simbol Cibal-Cibalen dan makanan ... 71

4.4.3.Makna Simbol Penanda Status ... 75

4.4.4.Makna Simbol Waktu ... 76

4.4.5.Makna Simbol Tarian ... 76

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

5.1.Kesimpulan ... 78

(16)

5.2.Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Etnik Batak merupakan salah satu dari sekian banyak suku yang ada di Indonesia, yang memiliki pembagian lima kategori/ subetnis yang terdiri atas:

(1) Etnik Toba; (2) Etnik Karo; (3) Etnik Angkola/ Mandailing; (4) Etnik Simalungung; (5) Etnik Pakpak yang bermukim di sekitar danau Toba, Sumatera Utara

Etnik Karo adalah satu dari lima subetnis Batak yang sudah memiliki upacara adat sendiri sejak dahulu. Daerah persebaran etnik Karo memiliki letak geografis yang berbeda-beda, Karo Jahe yang terletak di Kabupaten Langkat dan Karo Deli yang terletak di Kabupaten Karo. Namun, perbedaan letak geografis tersebut tidak menimbulkan persoalan dalam tata cara pelaksanaan kebudayaannya, karena pada umumnya kebudayaan itu masih mempunyai unsur kesamaan yang sangat besar.

Pada etnik Karo memiliki kepercayaan tradisional yang disebut sebagai pemena. Berbeda dengan agama-agama yang ada sekarang , penganut pemena masih mempercayai roh-roh para leluhur dan masih melakukan upacara ritual-ritual yang disebut dengan Erpangir Ku Lau. Biasanya upacara adat atau ritual adat ini dipimpin atau dibimbing oleh guru/dukun yang dipercaya memahami tata cara pelaksaan upacara adat atau ritual adat menurut kepercayaan tradisional etnik Karo

(18)

Dalam etnik Karo ada beberapa upacara adat yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat yang dipimpin atau dibimbing oleh seorang guru/dukun yang dipercaya memahami tatacara pelaksanaan upacara adat tersebut dan didasari oleh kepercayaan tradisional etnik Karo dengan maksud dan tujuan yaitu (1) mengucap terima kasih kepada Tuhan, (2) menghindari malapetaka, (3) menyembuhkan suatu penyakit dan (4) mencapai maksud tertentu. Salah satu diantara upacara adat itu adalah membersihkan diri (mandi) atau yang sering disebut Erpangir Ku Lau. Upacara adat ini adalah salah satu upacara adat yang masih dilakukan berdasarkan kepercayaan tradisional etnik Karo (pemena).

Seiring dengan perkembangan zaman sekarang ini, telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang kita alami sekarang ini sangat berdampak besar terhadap kehidupan etnik Batak. Salah satu dampak dari perkembangan zaman sekarang ini adalah pada kebudayaan. Kebudayaan etnik Batak telah banyak tergilas oleh perkembangan zaman sekarang ini. hal ini ditegaskan Sibarani dalam bukunya Kearifan Lokal : Hakikat, Peran, dan Metode Penelitian Tradisi Lisan (2014:3) tradisi budaya atau tradisi lisan selalu mengalami transformasi akibat perkembangan zaman dan akibat penyesuaiannya dengan konteks zaman. Kehidupan tradisi pada hakikatnya berada pada proses transformasi itu karena sebuah tradisi tidak akan hidup kalau tidak mengalami transformasi. Dalam tradisi budaya atau tradisi lisan yang mengalami transformasi terdapat inovasi akibat persinggungan sebuah tradisi dengan “modernisasi” atau akibat penyesuaiannnya dengan konteks

(19)

zaman. Berdasarkan pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwasanya kebudayaan suku Batak telah banyak mengalami perubahan, salah satunya adalah perubahan pada Upacara adat Erpangir KuLau Etnik Karo. Oleh karena itu penulis sangat prihatin terhadap hal tersebut sehingga sangat baik untuk diteliti.

Cassirer dalam (Chaer, 2012:39) mengatakan manusia adalah mahluk bersimbol (Animal Symbolicum), setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia hampir seluruhnya menggunkan simbol sebagai media pendukung.

Sebagai contoh, ide atau konsep untuk menyatakan kematian seorang pemerintah negara di Indonesia maka bendera merah putih akan diturunkan setengan tiang, demikian juga ide atau konsep untuk menyatakan penghormatan kepada orang yang memiliki derajat yang lebih tinggi dalam upacara adat Etnik Karo dengan memberikan tikar putih (amak mbentar) sebagai sebuah simbol penghormatan.

Memberikan makna tertentu pada lembaga, gagasan, atau orang adalah realitas sosial budaya yang sudah ada dan tumbuh sejak lama dalam kehidupan sehari-hari, gejala ini disebut gejala sosial budaya (Hoed, 2011 : 175). Dalam hal ini makna yang dikonveksikan dengan simbol tertentu banyak juga didapati dalam upacara adat suku Batak yang memang sebagian besar acaranya banyak menggunakan simbol dan tanda yang memiliki makna yang berbeda pada setiap daerah. Untuk memahami simbol ini peneliti ingin mengkaji salah satu budaya etnik Karo yang memiliki banyak simbol yang digunakan sebagai media pendukung terjadinya sebuah komunikasi yang

(20)

bersifat simbolis.

Dalam penelitian ini akan dijelaskan tentang bagaimana tahapan – tahapan dan simbol yang terkandung dalam upacara adat Erpangir Ku Laupada etnik Karo di Kabupaten Karo. Penelitian terhadap upacara adat Erpangir Ku Lau pada etnik Karo di Kabupaten Karo sangat minim. Meskipun selama ini banyak ahli budaya yang meneliti tentang upacar adat Erpangir Ku Lau di Kabupaten Karo, namun hanya sebatas deskripsi upacara adat Erpangir Ku Lau tidak mengkaji lambang yang ada pada upacara adat Erpangir Ku Lautersebut. Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan mengkaji tentang bagaimana tahapan – tahapan dan simbol – simbol yang adadalam upacara adat Erpangir Ku Lau pada etnik Karo di Kabupaten Karo yang mencakup tentang bentuk, fungsi, dan makna pada simbol yang terdapat pada upacara adat tersebut. Penulis akan mengkaji upacara adat Erpangir Ku Lau pada etnik Karo di Kabupaten Karo ini dari segi semiotika budaya, karena penulis merasa tertarik untuk mengetahui tentang bagaimana tahapan – tahapan dalam upacara adat Erpangir Ku Lau dan bagaimana bentuk, fungsi, dan simbol-simbol yang ada pada upacara adat Erpangir Ku Lau pada etnik Karo di Kabupaten Karo.

(21)

1.2 Rumusan Masalah

Subagyo (1991:79) mengatakan bahwa permasalahan yang dijadikan sasaran untuk pemecahan dalam mencari ada atau tidak adanya suatu kebenaran dalam kaitannya dengan teori atau pengalaman, dapat dijadikan sebagai patokan dan sekaligus sebagai ruang lingkup pembahasan dalam kaitanya dengan pencarian data.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis membuat rumusan masalah pada skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tahapan pelaksanaan upacara adat Erpangir Ku Lau pada etnik Karo di Kabupaten Karo.?

2. Apa saja bentuk simbol yang terdapat pada upacara adat Erpangir Ku Lau pada etnik Karo.?

3. Apa saja fungsi simbol yang terdapat pada upacara adat Erpangir Ku Lau pada etnik Karo.?

4. Apa saja makna simbol yang terdapat pada upacara adat Erpangir Ku Lau pada etnik Karo.?

1.3 Tujuan Penelitian

Pengetahuan yang baik pada kebudayaan daerah akan menunjang pembinaan sikap serta pengertian yang wajar dan tepat terhadap etnik Karo sehingga benar-benar bermanfaat dan dapat memberikan sumbangan yang memiliki sikap sosial yang baik pada kehidupan masyarakat.

Penelitian ini merupakan suatu usaha untuk mengumpulkan data atau

(22)

fakta serta pelaksanaan konsep untuk mencari dan memperoleh atau mendapatkan kebenaran yang sanggup mengamati lebih dalam kebenaran yang sudah ada.

Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan tahapan-tahapan pelaksanaan upacara adat Erpangir Ku Lau.

2. Mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan makna simbol yang terdapat pada upacara adat Erpangir Ku Lau.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pembaca.

Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah yang dijelaskan di atas maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan pemahaman kepada etnik Karo pada umumnya juga kepada pembaca tentang upacara adat Erpangir Ku Lau pada etnik Karo di Kabupaten Karo.

2. Untuk mengetahui simbol-simbol yang terdapat dalam upacara adat Erpangir Ku Lau.

3. Menjadi arsip di Program Studi Sastra Batak untuk dibaca dan agar dapat dijadikan sebagai sumber penelitian bagi ilmu lainnya.

4. Menambah wawasan penulis dan pembaca tentang upacara adat pada etnik Karo khususnya upacara adat Erpangir Ku Lau.

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul skripsi ini, buku-buku yang digunakan dalam pengkajian ini adalah buku-buku tentang semiotika , salah satunya adalah pendapat Pierce. Selain itu, penulis juga menggunakan buku-buku lain yang mendukung dalam penulisan skripsi ini. Adapun buku-buku lain yang digunakan adalah:

1. Hoed (2011) yang berjudul Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya, dalam buku ini dijelaskan tentang pengertian semiotika dan cakupan-cakupan ilmu semiotika menurut pendapat beberapa ahli/tokoh, salah satunya Ferdinand De Saussure, Roland Barthes, Julia Kristeva, Jacques Derida, Charles Sanders Pierce, Marcel Danesi & Paul Perron.

Kontribusi buku tersebut dalam penulisan skripsi ini adalah membantu penulis dalam memahami teori semiotika.

2. Zoest (1993) yang berjudul semiotika tentang tanda, cara kerjanya, dan apa yang kita lakukan dengannya, buku ini menjelaskan pengertian dasar semiotika dan bidang penerapannya.

Kontribusi buku tersebut dalam penulisan skripsi ini adalah membantu penulis memahami pengertian dasar semiotika dan penerapannya.

(24)

3. Sitepu dkk yang berjudul Pilar Budaya Karo, berisi tentang upacara adat etnik karo dan sistem kekerabatan etnik karo.

Kontribusi buku tersebut dalam penulisan skripsi ini adalah membantu penulis mengetahui dan memahami tentang upacara adat etnik Karo dan sistem kekerabatan pada etnik Karo

4. Naibaho (2016) dalam skripsinya yang berjudul Upacara Sulang-Sulang Pahompu pada Etnik Batak Toba : Kajian Semiotika Sosial, Skripsi ini membahas tentang bentuk, makna dan fungsi simbol pada upacara adat tersebut.

Kontribusi hasil penelitian tersebut dalam penulisan skripsi ini adalah membantu penulis memahami bagaimana cara dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Tarigan (2012) dalam skripsinya yang berjudul Upacara Cawir Metua pada Masyarakat Batak Karo di Kabupaten Langkat. Skripsi ini membahas tentang banyaknya simbol yang terdapat dalam upacara cawir metua pada etnik Batak Karo di Kabupaten Langkat.

Kontribusi hasil penelitian tersebut dalam penulisan skripsi ini adalah membantu penulis memahami bagaimana cara dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Sinaga (2016) dalam skripsinya yang berjudul Upacara Adat Sulang- Sulang Pahompu Simalungun : Kajian Semiotik. Skripsi ini membahas makna yang ada pada simbol-simbol dalam upacara adat sulang-sulang pahompu etnik Simxalungun.

(25)

Kontribusi hasil penelitian tersebut dalam penulisan skripsi ini adalah membantu penulis memahami bagaimana cara dalam menyelesaikan skripsi ini.

2.1.1 Pengertian Erpangir Ku Lau

Erpangir Ku Lau berasal dari kata pangir yang berarti langir Sitepu mengatakan dalam bukunya (1996: 166) dalam arti lebih mendalam Erpangir Ku Lau termasuk kepercayaan menciptakan ketenangan bathin dan harapan masa depan yang lebih baik. Atau setelah dilakukan Erpangir Ku Lau, ada perobatan yang dirasakan si pelaku terutama dalam menumbuhkan semangat kerja. Sehingga secara semiotika Erpangir Ku Laudapat diartikan sebagai sebuah simbol.

Ada berbagai alasan Erpangir Ku Lau dilakukan. Hal itu erat sekali hubungannya dengan kepercayaan yang dikaitkan dengan latar belakang kehidupan si pelaku. Erpangir Ku Lau dilakukan dengan alasan : (1) karena adanya mimpi buruk, (2) karena penyakit, (3) karena ingin mendapat rezeki, (4) karena telah mendapat rezeki, (5) membuang kengalen (kesialan), (6) nempaken jinunjung (penabalan)

2.1.2 Sistem Kepercayaan Tradisional pada Etnik Karo

Etnik Karo memilki kepercayaan tradisional yang disebut sebagai Pemena. Pemena memiliki makna kepercayaan yang pertama, yang dipegang dan dipahami oleh etnik Karo. Dalam hal ini pemikiran dan kepercayaan

(26)

etnik Karo yang belum memeluk agama sering disebut erkiniteken yang mempercayai adanya Dibata sebagai pencipta segala yang ada di alam raya dan dunia. Menurut kepercayaan tersebut Dibata yang menguasai segalanya itu terdiri dari : (1) Dibata Idatas atau Guru Butara Atas yang meguasai alam raya/langit, (2) Dibata Itengah atau Tuan Paduka Niaji yang menguasai bumi atau dunia, (3) Dibata Iteruh atau Tuan Banua Koling yang menguasai dibawah atau di dalam bumi.

2.1.3 Pengertian Semiotika

Secara etimologi semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeon” yang memilki arti yaitu tanda. Tanda merupakan alat kamunikasi untuk menginformasikan suatu maksud, arti maupun makna yang terkadang dalam suatu objek. Jadi dapat disimpulkan bahwa semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Ilmu ini menganggap bahwa kebudayaan adalah tanda yang memilki arti. Tanda diartikan sebagai sesuatu yang memiliki ciri khusus yang penting.

Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda ( Eco dalam sobur, 2001 ).

Menurut Zoest (1990 : 1), semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti tanda dan proses yang berlaku bagi pengguna tanda.

Saussure ( dalam Berger, 2005: 3) mengatakan bahwa semiologi

(27)

adalah studi sistematis suatu tanda. Pendapat ini didasarkan pada anggapan bahwa segala perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau berfungsi sebagai tanda. Dimana ada tanda disana ada sistem.

Sedangkan Pierce (dalam Zaimar, 2008: 3) penalaran manusia senantiasa dilakukan melalui tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar melalui tanda. Dalam pemikirannya, logika sama halnya dengan semiotika dan dapat diterapkan pada segala macam tanda.

Preminger (dalam Sobur, 2007) menyebutkan bahwa semiotika merupakan ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial, masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda. Semiotika itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut memiliki arti.

Semiotika sebagai ilmu berfungsi untuk mengungkapkan secara keseluruhan tanda dalam kehidupan manusia, baik tanda verbal maupun nonverbal sebagai pengetahuan praktis, pemahaman terhadap kebenaran tanda-tanda, khususnya yang dialami dalam kehidupan sehari-hari berfungsi untuk meningkatkan kualitas kehidupan melalui efektivitas dan efisiensi energi yang harus dikeluarkan ( Ratna, 2004:105).

Menurut Pateda ( dalam Sobur, 2001:100-101) semiotika terbagi atas sembilan jenis, yaitu:

1. Semiotik analitik, yakni semotik yang menganalisis sistem tanda.

2. Semiotik deskriptif, yakni semiotik yang memperhatikan tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti

(28)

yang disaksikan sekarang.

3. Semiotik faunal (zoo semiotic), yakni semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan.

4. Semiotik kultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat.

5. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dam cerita lisan (folklore).

6. Semiotik natural, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam.

7. Semiotik normatif, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu- rambu lalu lintas.

8. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang yang berwujud kata maupun lambang yang berwujud kata dalam satuan yang disebut kalimat.

9. Semiotik struktural, yakni semiotik khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

Beberapa pendapat diatas menjelaskan tentang pengertian semiotik, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang fungsi dan makna yang terkandung didalam tanda-tanda dimana tanda-tanda tersebut berhubungan dengan kebudayaan, masyarakat dan kehidupan sehari-hari.

(29)

2.2 Teori yang Digunakan

Teori merupakan landasan fundamental sebagai argumentasi dasar untuk menjelaskan atau memberi jawaban terhadap masalah yang digarap, dengan landasan teori ini maka segala masalah yang timbul dalam skripsi ini akan terjawab.

Secara etimologi, teori berasal dari bahasa Yunani theoriayang berarti kebetulan alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian.

Subagyo (1991: 20), mendefenisikan bahwa teori adalah sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematika dalam gejala sosial maupun nature yang ingin diteliti. Teori merupakan abstraks dari pengertian atau hubungan dari proposisi atau dalil. Ada pendapat lain, FN Kerlinger dalam bukunya Foundation of Behavioral Research (1993) teori adalah sebuah set konsep atau contruct yang hubungan satu dengan yang lainnya, suatu set dari proposisi yang mengandung suatu pandangan sistemanis dari fenomena.

Saussure (1916:2), mengatakan kita dapat menerima suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam kehidupan sosial. Kehidupan sosial tersebut merupakan bagian dari psikologi sosial dan sebagai akibat dari psikologi umum, yang kemudian kita sebut dengan semiologi. Semiologi mengajarkan kita suatu tanda terdiri dari apa saja dan kaidah-kaidah apa yang mengaturnya.

Menurut Danesi dan Perron (dalam Hoed 2011:23) penelitian semiotik

(30)

mencakup tiga ranah yang berkaitan dengan apa yang diserap manusia dari lingkungannya (the world), yakni yang bersangkutan dengan “tubuh”-nya,

“pikiran”-nya, dan “kebudayaan”-nya. Semiontik pada dasarnya menyakut segi “tubuh” (fisik), setidak-tidaknya pada tahap awal. Kemudian melalui representasi berkembang kegiatan dalam “pikiran” dan selanjutnya, bila dilakukan dalam rangka kehidupan sosial, menjadi sesuatu yang hidup dalam

“kebudayaan” sebagai signifying order. Dari sini, kita akan memahami bahwa hubungan yang erat antara “semionis”, “representasi”, dan “signifying order”, yakni antara kemampuan sejak lahir manusia untuk memproduksi dan memahami tanda (semionis), kegiatan dalam kognisi manusia untuk mengaitkan representamen dengan pengetahuan dan pengalamannya (representasi), serta sistem tanda yang hidup dan diketahui bersama kebudayaan masyarakatnya (signifying order).

Ketiga ranah tersebut sejajar dengan teori Pierce tentang proses representasi dan representamen. Representasi tanda menyangkut hubungan antara representamen dan objeknya. Dalam teori semiotik Pierce, representasi tanda tidak sama kadarnya. Pada tahap awal, tanda baru hanya dilihat sifatnya saja yakni bahwa tanda itu adalah tanda dan disebut “qualisign”. Pandangan Danesi dan Perron ini bersangkutan dengan “tubuh” atau “semionis dasar”.

Kemudian pada tahap yang lebih lanjut, representasi tanda sudah berlaku untuk tempat dan waktu tertentu, misalnya, menujunkan sesuatu dengan jari (disini, disana) yang disebut “sin(gular) sign”. Dalam pandangan Danesi dan Perron ini sudah berkatan dengan “pikiran” manusia. Akhirnya sejumah tanda

(31)

berfungsi berdasarkan konvensi dalam suatu masyarakat yang disebut dengan

“legisign”. Yang terakhir ini disebut oleh Danesi dan Perron senbagai “the signifying order”. Proses pemaknaan tanda sudah berlaku secara sosial.

Signifying order adalah sebuah sistem kompleks, terdiri dari berbagai jenis tanda yang berbeda-beda, yang menyatu lewat cara-cara yang bisa yang bisa diprediksi ke dalam pola-pola representasi, yang dimanfaatkan oleh individu atau kelompok untuk membuat pesan atau saling bertukar pesan.signifying orderadalah sebuah sistem kompleks, terdiri dari berbagai jenis tanda yang berbeda-beda, yang menyatu lewat cara-cara yang bisa yang bisa diprediksi ke dalam pola-pola representasi, yang dimanfaatkan oleh individu atau kelompok untuk membuat pesan atau saling bertukar pesan.

dalam melihat kebudayaan sebagai signifying order,kita dapat membedakan empat faktor yang berkaitan satu sama lain dan perlu diperhatikan yaitu : 1. Jenis tanda (ikon, indeks, dan lambang);

2. Jenis sistem tanda (bahasa, musik, gerakan tubuh, dan lukisan);

3. Jenis teks (percakapan, grafik, lagu/ lirik, komik, dan lukisan), dan

4. Jenis konteks/situasi yang mempengaruhi makna tanda (psikologis, sosial, historis, dan kultural).

Pierce ( dalam Hoed, 2011:24) membedakan tanda menjadi tiga yaitu:

1. Ikon (icon), adalah tanda yang ada sedemikian rupa sebagai kemungkinan, tanpa tergantung pada adanya sebuah penanda (denotatum), tetapi dapat dikaitkan dengannya atas dasar suatu persamaan yang secara potensial dimilikinya. Definisi ini mengimplikasikan bahwa

(32)

segala sesuatu merupakan ikon, karena semua yang ada dalam kenyataan dapat dikaitkan dengan suatu yang lain. Sehingga dapat dipahami ikon juga merupakan tanda yang menyerupai objek (benda) yang diwakilinya atau tanda yang menggunakan kesamaan ciri-ciri yang sama dengan yang dimaksud.

2. Indeks (index), adalah sebuah tanda yang dalam hal corak tandanya tergantung dari adanya sebuah penanda (denotatum). Dengan kata lain tanda yang sifatnya tergantung pada keberadaan suatu penanda. Tanda ini memiliki kaitan sebab-akibat dengan apa yang diwakilinya.

3. Simbol/Lambang (symbol), adalah tanda dimana hubungan antara tanda dengan penanda (denotatum) ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum atau kesepakatan bersama (konvensi). Tanda bahasa dan matematika merupakan contoh simbol. Simbol juga dapat menggambarkan suatu ide abstrak dimana tidak ada kemiripan antara bentuk tanda dan arti. Kajian ini dilihat berdasarkan penandaan dan pemaknaan dimana penandaaan (konsep Pierce) dikaji lewat jenis simbol.

Berdasarkan judul skripsi ini, maka teori yang digunakan untuk mengkaji Erpangir Ku Lau pada etnik Karo adalah teori simbol.

Dengan demikian, dalam konsep Pierce simbol diartikan sebagai tanda yang mengacu pada objek tertentu diluar tanda itu sendiri. Hubungan antara simbol sebagai penanda dengan sesuatu yang ditandakan (petanda) yang sifatnya konvensional. Berdasarkan konvensi itu pula masyarakat pemakainya dapat menafsirkan ciri dan hubungan antar simbol dengan objek yang diacu

(33)

dan menafsirkan maknanya.

Pierce juga membagi klasifikasi simbol menjadi tiga jenis yaitu:

1. Rhematic symbol atau symbolik rhemeyakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi nilai umum. Misalnya, dijalan kita melihat lampu merah lantas kita katakan berhenti. Mengapa kita katakan demikian, ini terjadi karena adanya asosiasi dengan benda yang kita lihat.

2. Dicent symbol atau proposition (proposisi) adalah tanda yang langsung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang mengatakan “Pergi” penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak serta merta kita pergi. Padahal dari ungkapan tersebut yang kita kenal hanya kata. Kata-kata yang kita gunakan membentuk kalimat, semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi dalam otak.

3. Argument yakni tanda yang merupakan kesamaan seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu. (http//googleweblight.2014 klasifikasi symbol blog shop.com)

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan teori semiotika yang dikemukakan Pierce. Dimana setiap tanda memiliki makna yang bersifat arbitrer atau mana suka. Dalam konteks di atas, etnik Karo juga memberikan makna pada setiap simbol yang bersifat arbitrer. Artinya, mereka menetukan makna dari sebuah simbol sesuai dengan situasi dan apa yang ingin mereka utarakan yang sesuai dengan adat-istiadatnya. etnik Karo juga menyesuaikannya dengan bentuk dan kebiasaan mereka sehari-hari.

(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah tata cara yang harus dilakukan dalam suatu penelitian. Metode untuk merumuskan ide dan pikiran yang didasarkan pada pendekatan ilmiah ini berarti bahwa metode penelitian diperlukan dalam mencapai suatu sasaran penelitian.

Metode penelitian mencakup enam aspek yaitu: metode dasar, lokasi penelitian, sumber data penelitian, instrument penelitian, metode pengumpulan data, metode analisis data.

3.1 Metode Dasar

Metode dasar adalah metode yang digunakan dalam hal proses pengumpulan data, sampai tahap analisa dengan mengaplikasikan pada pokok permasalahan untuk mendapatkan suatu hasil yang baik, sesuai dengan apa yang diharapkan.

Metode dasar yang digunakan penulis dalam penyelesaian skripsi ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang (Nazir, 2005 :54). Dalam skripsi ini penulis menerangkan jenis-jenis simbol dan makna dari simbol atau tanda yang ada pada upacara adat Erpangir Ku Lau.

(35)

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di Desa Doulu, Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo. Denganalasan dilokasi tersebut masih dilaksanakan upacara Erpangir Ku Lau. Di daerah ini juga masih banyak tokoh adat etnik Karo yang bisa dijadikan sebagai informan sehingga dapat memudahkan penulis dalam mengumpulkan data penelitian sesuai objek yang akan diteliti.

3.3 Sumber Data Penelitian

Arikunto (2010:265) mengemukakan bahwa sumber data dalam suatu penelitian adalah subjek darimana data dapat diperoleh. Secara umum sumber data dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu:

1. Person (orang) adalah tempat peneliti bertanya mengenai variabel yang diteliti.

2. Paper (kertas) adalah berupa dokumen, warkat, keterangan arsip, pedoman, surat keputusan (SK), dan sebagainya.

3. Place (Tempat) adalah sumber data keadaan ditempat berlangsungnya suatu kegiatan yang berhubungan dengan penelitian.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Alat perekam (tape recorder) yang digunakan untuk mewawancarai informan saat pengumpulan data yang sesuai dengan objek penelitian.

2. Kamera yang digunakan untuk mengambil gambar dari objek penelitian

(36)

apabila saat melakukan penelitian ada pelaksanaan upacara adat tersebut.

3. Alat tulis dan kertas yang digunakan untuk mencatat segala hal yang dianggap penting yang diterima dari informan dan berhubungan dengan objek penelitian guna menunjang kelengkapan data dalam penyelesaian skripsi ini.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Subagyo, (1991: 39) mengatakan bahwa secara umum metode pengumpulan data dapat dibagi atas beberapa jenis yaitu:

1. Metode wawancara atau metode pengajuan pertanyaan lansung.

2. Metode angket (kuisioner) atau metode pertanyaan secara tidak langsung.

3. Metode observasi atau metode pengamatan.

Maka metode yang digunakan penulis dalam pengumpulan data lapangan antara lain:

1. Metode observasi yaitu penulis langsung ke lepangan melakukan pengamatan lansung terhadap objek penelitian.

2. Metode wawancara digunakan untuk memperoleh gambaran apa makna yang terkandung pada upacara adat Erpangir Ku Lau. wawancara ini ditujukan kepada etnik Karo yang berada di Desa Doulu.

3. Metode Kepustakaan yaitu pengumpulan data melalui buku-buku yang berhubungan dan berkaitan erat dengan penelitian tersebut.

(37)

3.6 Metode Analisis Data

Metode analisis data merupakan cara dalam pengolahan data, fakta atau fenomena yang sifatnya mentah dan belum dianalisis. Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis sehingga menjadi data yang cermat, akurat dan ilmiah.

Metode analisis data juga merupakan proses pengaturan data, mengorganisasikannya kedalam suatu pola, kategori dari suatu uraian dasar.

Pada dasarnya analisis adalah kegiatann untuk memanfaatkan data sehingga data diperoleh untuk mendapatkan kebenaran yang diperlukan dalam pengolahan hasil penelitian. Dimana dalam penelitian diperlukan imajinasi dan kreatifitas sehingga dapat diuji kemampuan peneliti dalam mengkaji sesuatu.

Dalam penelitian ini data yang telah diperoleh akan diolah dan dianalisis secara kualitatif. Fokus penelitian ini adalah makna simbolis yang terkandung dalam upacara adat Erpangir Ku Lau pada etnik Karo. Makna simbolis dapat diketahui dari orang-orang yang mengetahui seluk beluk mengenai upacara tersebut. Untuk menganalisis data dalam penelitian ini digunakan analisis semiotika.

Adapun langkah-langkah metode analisis data ini adalah sebagai berikut:

1. Data diklasifikasikan sesuai objek pengkajian.

2. Setelah data diklasifikasikan, data-data dianalisis sesuai dengan kajian yang ditetapkan yaitu bagaimana tahapan serta bentuk fungsi, danmakna

(38)

simbol terkandung pada upacara adat Erpangir Ku Lau.

3. Menginterpretasikan hasil analisis dalam bentuk tulisan yang sistematis sehingga semua data dapat dipaparkan dengan baik.

(39)

BAB IV

PEMBAHASAN

Erpangir Ku Lau merupakan salah satu dari berbagai upacara religius yang sampai sekarang masih dilakukan oleh etnik Karo. Berbeda dengan agama-agama modern sekarang di mana waktu dan caramya sudah atur dan wajib dilakukan oleh penganutnya. Erpangir Ku Lau dan upacara religius kepercayaan tradisional etnik Karo lainnya hanya dilakukan bila diperlukan saja dan dengan alasan-alasan tertentu.

Erpangir Ku Lau juga dilakukan dengan berbagai alasan tertentu menurut latar belakang atau kejadian yang dialami oleh si pelaku misalnya karena telah mendapat rezeki, diganggu roh atau mahkluk halus, karna kesialan , sebagai ucapan syukur kepada dibata, dan berbagai alasan lainnya. Upcara adat Erpangir Ku Lau juga merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh etnik Karo dalam hal menyucikan diri atau membersihkan diri. Masyarakat etnik Karo percaya menyucikan diri merupakan hal yang penting untuk dilakukan sebelum menyampaikan doa atau permohonan kepada dibata. Dalam konteks upacara adat Erpangir Ku Lau si pelaku adalah orang atau keluarga etnik Karo yang melakukan atau melaksanakan upacara adat tersebut.

Alasan tersebut sangat berhubungan erat dengan peralatan dan sesajen yang akan dipakai pada saat melakukan upacara adat tersebut sehingga setiap alasan dan tujuan dilakukannya upacara adat Erpangir Ku Lau akan memakai peralatan dan sesajen yang berbeda.

Peralatan dan sesajen inilah yang akan menjadi simbol pada upcara adat Erpangir Ku Lau, etnik Karo juga meberikan fungsi dan makna pada setiap simbol

(40)

yang dipakai pada upacara adat tersebut. Oleh karena perbedaan itu maka pada pembahasan skripsi ini penulis hanya akan membahas atau fokus membahas upacara adat Erpangir Ku Lau dalam konteks mengucap syukur kepada dibata.

Dalam konteks ini penulis akan membahas (1) tahapan upacara adat Erpangir Ku Lau, (2) mengidentifikasi bentuk simbol yang terdapat pada upacara adat Erpangir Ku Lau, (3) mengkaji fungsi simbol yang terdapat pada upacara adat Erpangir ku Lau, (4) menemukan makna didalam simbol yang terdapat pada upacara adat Erpangir Ku Lau. Keempat hal tersebut di uraikan sebagai berikut :

4.1 Tahapan upacara adat Erpangir Ku Lau.

Upacara adat Erpangir Ku Lau tidak memiliki tahapan yang spesifik seperti upacara adat lainnya, namun terlepas dari itu upacara adat Erpangir Ku Lau tetap memilki tahapan yang di lakukan oleh etnik Karo sampai pada pelaksanaan upacara adat tersebut. Untuk menjelaskan hal itu penulis membagi tahapan upacara adat Erpangir Ku Lau menjadi 3 tahapan yaitu :

4.1.1 Penentuan Tanggal dan Tempat.

Sama halnya dengan upacara adat lainnya upacara adat Erpangir Ku Lau tidak terlepas dari penentuan tanggal, penentuan tanggal itu sendiri disesuaikan dengan maksud atau alasan si pelaku dalam melakukan upacara adat tersebut dalam hal ini si pelaku adalah seorang atau sekolompok keluarga yang akan terlibat atau melakukan upcara adat Erpangir Ku Lau. Tanggal yang tepat untuk melakukan upacara adat Erpangir Ku Lau biasanya dilihat melalui penaggalan atau kalender etnik Karo, di mana menurut kepercayaan etnik Karo itu sendiri tanggal 14 hari

(41)

bulan pada kalender etnik Karo atau yang biasa disebut hari belah Purnama raya, adalah tanggal yang tepat dalam melakukan upacara adat Erpangir Ku Lau untuk mengucap syukur kepada Dibata.

Upacara adat Erpangir Ku Lau dilakukan di tempat yang menjadi sumber air atau di tempat yang terdapat air seperti sungai, danau, sumur dan mata air, penentuan tempat itu sendiri juga disesuaikan berdasarkan maksud dan alasan si pelaku dalam melakukan upcara adat tersebut. Erpangir Ku Lau yang dilakukan dengan alasan membuang kesialan harus dilakukan di tempat air mengalir seperti sungai, pancuran atau mata air. etnik Karo percaya bahwa air yang mengalir itu akan membawa kesialan yang menimpa si pelaku, namun Erpangir Ku Lau dengan maksud yang lain termasuk dengan maksud mengucap syukur kepada Dibata dapat dilakukan di tempat air yang tidak mengalir seperti danau atau sumur.

(42)

4.1.2 Persiapan.

Pada tahapan ini etnik Karo haruslah melakukan persiapan sebelum melaksanakan upacara adat Erpangir Ku Lau dengan tujuan kelancaran dan kesuksesan upacara adat tersebut.

Adapun persiapan yang dilakukan antara lain:

1. Persiapan diri.

Si pelaku harus mempersiapkan diri sebelum melakukan upcara adat Erpangir Ku Lau dalam hal ini persiapan maksud dan alasan dalam melakukan Erpangir.

2. Mencari guru atau dukun (guru mbelin).

Guru atau dukun berperan penting dalam pelaksanaan upacara adat sebagai pembimbing atau penuntun pada saat melaksanaan upacara adat religius etnik Karo.

Untuk itu si pelaku harus mencari guru atau dukun yang benar-benar paham dan mengerti dalam melaksanakan upacara adat tersebut.

3. Mempersiapkan pelaratan yang dibutuhkan.

Untuk melaksanakan upacara adat Erpangir Ku Lau si pelaku harus mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan sebelum atau pada saat melakukan upacara adat Erpangir Ku Lau.

4. Mempersiapkam makanan dan sesajen (cibal-cibalen).

Sebelum upacara adat Erpangir Ku Lau dilaksanakan si pelaku atau keluarga yang terlibat dalam upacara adat tersebut harus sudah mempersiapkan makanan dan sesajen yang akan di makan bersama atau yang akan dijadikan sesajen untuk roh penunggu yang ada di sekitar tempat upacara adat Erpangir Ku Lau atau yang disebut dengan tendi pada etnik Karo. Berbeda dengan makanan dalam mempersiapkan sesajen ini si pelaku tidak boleh sembarangan dalam memilih

(43)

sesajen apa yang akan disiapkan ada ketentuan atau peraturan adat yang harus di perhatikan. karena pada setiap sesajen yang akan digunakan pada upacara adat tersebut terdapat makna dan fungsi tersendiri yang dipercaya oleh etnik Karo menurut kepercayaan mereka. Sesajen dalam bahasa etnik Karo disebut dengan cibal-cibalen.

4.1.3 Pelaksanaan Upacara Adat Erpangir Ku Lau.

Setelah hari dan tanggal sudah ditentukan dan persiapan sudah dipenuhi maka upacara adat Erpangir Ku Lau dapat dilaksanakan. pertama-tama si pelaku bersama dengan guru atau dukun akan datang ke tempat di mana upacara adat Erpangir Ku Lau akan dilaksanakan dengan membawa segala jenis peralatan, makanan dan cibal- cibalen yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Pada tahap awal si pelaku akan memberikan amak mbentar yang sudah diikat bersama kampil yang telah diisi dengan beras kepada guru/dukun yang akan membimbing si pelaku dalam melaksanakan upacara adat Erpangir Ku Lau. amak mbentar dan kampil yang sudah diisi dengan beras ini adalah simbol ucapan terima kasih dan penghormatan dari si pelaku kepada si guru/dukun karena telah berkenan membimbing si pelaku dalam melakukan upacara adat Erpangir Ku Lau. setelah memberikan amak mbentar dan kampil yang sudah diisi dengan beras si pelaku akan meletakan cibal-cibalen yang akan di berikan kepada tendi yang ada disekita tempat dilakukannya upacara adat Erpangir Ku Lau. Sesajen ini akan dilletakan di pinggir tempat si pelaku akan melakukan upacara adat Erpangir Ku Lau adapun sesajen itu adalah (1) daun sirih 11 lembar dengan kapur dan pinang yang sudah di belah di letakan diatas daun sirih terebut, (2) 1 sisir galuh emas (pisang emas), (3) rokok, (4)

(44)

korek, (5) manuk sangkepi, (6) rimo mukur (jeruk purut) semua sesajen itu diletakan diatas 7 bulung galuh (daun pisang) yang disusun berlapis.

Setelah semua sesajen selesai diletakan maka si pelaku dan keluarga akan mempersiapkan air yang akan digunakan untuk melakukan upacara adat Erpangi ku lau .Air yang digunakan adalah air yang sudah dicampur dengan rimo mukur dan penguras setelah itu si pelaku dan keluarga akan melakukan keramas atau membersihkan diri dengan air dan dilanjutkan dengan menari mengikuti alunan gendang yang dimaikan. tarian ini bermaksud untuk mengundang tendi yang ada disekitar tempat dilakukannya upacara adat Erpangir Ku Lau agar datang ke tempat dilakukannya upacara adat tersebut.

Ada 4 tarian yang akan ditarikan oleh guru dan si pelaku,pada masing-masing tarian memiliki fungsi yang berbeda yang dipercaya oleh etnik Karo. keempat tarian itu akan dilakukan secara bergantian sesuai dengan alunan gendang serta arahan dari guru/dukun yang membimbing pelaksanaan upacara adat tersebut sekaligus menjadi media agar si pelaku dapat berkomunikasi dengan tendi yang ada disekitar tempat itu adapun 4 tarian itu adalah :

1. Tari Pengari – ngari.

Tarian ini merupakan sebuah panggilan atau undangan kepada tendi agar mau datang ke tempat Erpangir Ku Lau dilakukan.

2. Tari Mari-Mari.

Masyrakat etnik Karo percaya bahwa pada saat si pelaku upacara adat Erpangir Ku Lau melakukan tarian ini maka tendi yang ada disekitar tempat itu akan bersiap-siap untuk datang ke tempat Erpangir Ku Lau di lakukan.

(45)

3. Tari Odak-Odak.

Setelah melakukan tari mari-mari si pelaku akan melanjutkan dengan tarian odak- odak, etnik Karo percaya tarian ini merupakan sebuah simbol pengantar yang akan mengantar tendi yang ada disekita tempat itu dalam perjalanan meuju lokasi Erpangir Ku Lau dilakukan.

4. Tari Silenggguri.

Tarian ini adalah simbol penyambutan kepada tendi yang sudah sampai di tempat dilakukannya Erpangir Ku Lau dengan cara marasuki tubuh guru yang melakukan tarian tersebut.

Kemudian melalui guru/dukun tersebutlah si pelaku dapat berkomunikasi dengan tendi untuk meminta kesembuhan, pembersihan diri, berterima kasih, tergantung maksud dan tujuan si pelaku dalam melakukan upacara adat Erpangir Ku Lau.

Setelah si pelaku menyampaikan maksud dan tujuannya kepada roh penunggu yang merasuki tubuh guru/dukun maka setelah itu roh penunggu yang merasuki tubuh guru/dukun itu akan keluar dan meninggalkan tempat dilakukannya upacara adat Erpangir Ku Lau. Pada tahap akhir pelaksanaan upacara adat Erpangir Ku Lau maka si pelaku akan melepaskan seekor ayam mbentar. Ayam mbentar ini adalah bentuk ucapan terima kasih atau syukur kepada dibata (tuhan).

Setelah seluruh rangkaian adat selesai maka si pelaku, guru dan seluruh keluarga yang terlibat akan melakukan makan bersama sebagai penanda bahwa upacara adat Erpangir Ku Lau telah selesai..

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan kategori pembagian simbol dalam upacara adat Erpangir Ku Lau pada etnik Karo. Diantaranya adalah :

1. Simbol Peralatan atau Perlengkapan.

(46)

- Piso Tumbuk Lada - Kampil

- Bulung galuh - Penguras

- Mangkuk mbentar - Dagangen

- Amak Mbentar

- Minyak air mata duyung - Kumenen

- Beras Piher

2. Simbol Cibal-cibalen ( Sesajen ) dan Makanan.

- Cimpa - Rimo (Jeruk) - Belo (Sirih) - Galuh Emas - Tinaruh Manuk - Isap (Rokok) - Manuk sangkepi - Manuk Mbentar 3. Simbol Penanda status.

- Kalimbubu - Senina - Anak Beru 4. Simbol Waktu.

(47)

Galuh Emas Beras Piher Belo

Bulung Galuh - Belah Purnama (14 Hari Bulan)

5. Simbol Tarian.

- Tari Pengari-ngari - Tari Mari-mari - Tari Odak-odak - Tari Silengguri

Minyak Air Mata Duyung Rimo Mukur

Kampil

Piso Tumbuk Lada Mangkuk Mbentar Isap

(48)

Dagangen

Manuk Mbentar Penguras

Rimo Kumenen

Amak Mbentar

Manuk Sangkepi

(49)

4.2 Bentuk Simbol pada Upacara Adat Erpangir Ku Lau.

Setiap simbol yang ada pada upacara adat Erpangir Ku Lau memiliki bentuk yang berbeda.

Untuk menjelaskan bentuk simbol yang ada pada upcara adat Erpangir Ku Lau penulis akan menjelaskannya berdasarkan kategori simbol yang sudah dibagi diatas.

Cimpa

Tinaruh Manuk

(50)

4.2.1 Bentuk Simbol Peralatan atau Perlengkapan.

1. Piso Tumbuk Lada

Dok.foto novendri dadik 2017

Pisau yang digunakan dalam upacara adat Erpangir Ku Lau adalah pisau khusus yang biasa di sebut piso tumbuk lada oleh etnik Karo. Pisau ini memilki beberapa motif ukiran pada gagang pisau atau pada pangkal pisau antara lain (1) ukiran pucuk merbung, (2) ukiran cekili kambing, (3) ukiran pakau-pakau, (4) ukiran pantil manggis, (5) ukiran desa siwaluh, (6) lukisan tonggal.

Dalam pembuatan Piso tumbuk lada diperlukan berbagai bahan antar lain: besi dari 5 kerajaan, tanduk kerbau atau gading gajah, kayu lemak sawa, kayu petarum, emas atau perak atau swasa. Pada upacara adat Erpangir Ku Lau simbol pisau tumbuk lada biasa digunakan untuk memotong ayam yang akan menjadi sesajen dan mengiris jeruk yang akan dipakai untuk berpangir.

Etnik Karo memiliki cara yang unik dalam menentukan pemilik dari pisau tersebut yaitu : (1) dengan mengukur panjang pisau mulai dari pangkal besi hingga ke ujung pisau menggunkan ibu jari, (2) menantikan pentunjuk lewat mimpi dengan membawa pisau tersebut ketika tidur. Jika mendapat mimpi baik maka pisau tersebut dapat dikatakan serasi atau cocok. Kedua cara itu juga tidak terlepas dari arahan atau bimbingan seorang guru/dukun.

(51)

2. Kampil.

Dok.foto novendri dadik 2017.

Kampil adalah kantung anyaman berwarna putih atau dalam bahasa etnik Karo disebut dengan mbentar berbentuk segi empat dengan motif gerga Karo, Kampil pada umumnya di pakai oleh kaum wanita etnik Karo sebagai tempat sirih dan kelengkapannya seperti kapur sirih, tembakau, gambir dan pinang. Kampil juga sering dipakai pada upacara – upacara adat etnik Karo salah satunya upacara adat Erpangir Ku Lau.

Dalam upacara adat Erpangir Ku Lau kampil juga digunakan sebagai tempat sirih beserta perlengkapannya. Kampil juga digunakan sebagai tempat untuk meletakan sesajen yang akan diberikan kepada tendi (roh penunggu) yang ada disekitar tempat Erpangir Ku Lau dilaksanakan. Nantinya kampil yang sudah di isi dengan belo (sirih) atau dengan cibal-cibalen akan ditekan di pinggir atau disamping didekat tempat dilakukannya upacara adat Erpangir Ku Lau.

3. Bulung Galuh

(52)

Dok.foto novendri dadik 2017

Bulung galuh merupakan bahasa etnik Karo yang berarti daun pisang. Bulung galuh yang di pakai pada upacara adat Erpangir Ku Lau adalah daun pisang muda yang masih berwarna hijau lalu dipotong bagian pangkalnya dan diambil ujung nya. Daun pisang ini akan diletakan disekitar tempat dilakukannya Erpangir Ku Lau. Daun pisang digunakan sebagai alas untuk meletakan sesajen yang akan diberikan kepada kepada tendi yang ada disekitar tempat dilakukannya upacara adat Erpangir Ku Lau.

Bulung galuh akan diletakan secara berlapis sebanyak 7 lapis nantinya sesajen yang akan diberikan kepara tendi akan disusun rapi diatas bulung galuh tersebut.

4. Penguras.

Dok.foto novendri dadik 2017

(53)

Penguras adalah sebuah ramuan yang terdiri dari beberapa bahan rempah-rempah yang akan di campurkan menjadi satu dengan air. Rempah-rempah yang digunakan untuk membuat ramuan penguras ini antara lain: (1) kunyit, 2) ketumbar, (3) lada, (4) bawang mbentar, (5) garam. Nantinya ramuan penguras ini akan dicampur atau disatukan dalam satu wadah dengan rimo mungkur yang sudah diiris.

wadah yang dipakai biasanya adalah mangkuk mbentar yang berukuran besar.

Setelah disatukan didalam satu wadah air hasil campuran antara penguras dengan rimo mungkur akan digunakan sebagai air untuk melakukan upacara adat Erpangir Ku Lau.

5. Mangkuk Mbentar.

Dok.foto novendri dadik 2017

Mangkuk mbentar pada etnik Karo berarti mangkuk yang berwarna putih. Mangkuk mbentar yang digunakan adalah mangkuk berbahan keramik yang berwarna putih polos tanpa ada corak dibagian dalam ataupun luar mangkuk. Pada upacara adat Erpangir ku Lau mangkuk mbentar digunakan sebagai wadah minyak air mata duyung yang dipercaya oleh etnik Karo dapat mengundang tendi yang ada disekitar

(54)

tempat dilakukannya Erpangir Ku Lau agar berkenan datang ke tempat tersebut.

mangkuk mbentar juga digunakan sebagai wadah air yang akan digunakan untuk berkeramas pada upacara adat Erpangir Ku Lau.

6. Dagangen

Dok.foto novendri dadik 2017

Dagangen yang berarti kain putih pada bahasa etnik karo adalah kain yang berwarna putih polos tanpa corak berbentuk persegi panjang. dagangen ini biasa di pakai pada upacara religi kepercayaan etnik Karo sebagai alas meletakan cibal-cibalen dan juga sebagai penutup kepala yang digunakan oleh penganut kepercayaan tradisional etnik Karo (pemena).

(55)

Sama hal dengan penjelasan diatas pada upacara adat Erpangir Ku Lau dagangen juga digunakan sebagai alas untuk meletakan cibal-cibalen yang akan diberikan kepada tendi yang ada disekitar tempat dilakukannya upacara adat Erpangir Ku Lau.

dagangen akan disusun rapi disekitar tempat dilakukannya upacara adat tersebut.

Dok.foto novendri dadik 2017

Pada upacara adat Erpangir Ku Lau selain digunakan sebagai alas. dagangen) juga digunakan sebagai penutup kepala oleh etnik Karo yang menganut kepercayaan tradisional (pemena).

7. Amak Mbentar

Dok.foto novendri dadik 2017

Amak Mbentar adalah tikar berwarna putih dan biasanya terbuat dari anyaman pandan, amak mbentar memiliki beberapa ukuran tergantung dengan kegunaannya.

(56)

Pada upcara adat etnik Karo biasanya amak mbentar digunakan sebagai alas duduk atau sebagai pembuka dimulainya upacara adat.

Pada tahap persiapan untuk melakukan upacara adat Erpangir Ku Lau amak mbentar akan diikat bersama dengan kampil yang sudah diisi beras dengan menggunkan dagangen.

Amak mbentar digunakan sebagai pembuka upacara adat Erpangir Ku Lau dengan cara memberikan amak mbentar yang sudah diikat bersama dengan kampil kepada guru/dukun yang membimbing upacara adat Erpangir Ku Lau. Nantinya amak mbentar inilah yang akan digunakan guru/dukun sebagai alas duduk selama membimbing upacara adat Erpangir Ku Lau dari awal hingga selesai.

Amak mbentar juga diberikan kepada kalimbubu yang melakukan upacara adat Erpangir Ku Lau. Sama halnya dengan guru/dukun amak mbentar juga akan digunakan sebagai alas duduk untuk kalimbubu selama upacara adat Erpangir Ku Lau dilakukan.

8. Minyak Air Mata Duyung.

Dok.foto novendri dadik 2017

(57)

Minyak air mata duyung merupakan sejenis minyak wangi yang sama seperti minyak wangi pada umumnya namum memiliki bahan yang berbeda, minyak air mata duyung biasanya dipakai oleh guru-guru atau dukun pada ritual kepercayaan yang mereka percaya.

Pada upacara adat Erpangir Ku Lau minyak air mata duyung digunakan sebagai pengharum atau wewangian. Etnik Karo percaya aroma wangi dari minyak air mata duyung ini dapat mengundang tendi yang ada disekitar tempat dilaksanakannya upacara adat Erpangir Ku Lau untuk datang ke tempat upacara adat Erpangi Ku Lau dilaksanakan. Nantinya minyak air mata duyung ini akan dicipratkan keseluruh peralatan ataupun sesajen yang akan digunakan dalam pelaksanaan upacara adat Erpangir Ku Lau. hal bermaksud agar aroma wangi dari minyak air mata duyung ini melekat pada peralatan ataupun sesajen yang akan dipakai.

9. Kumenen.

Dok.foto novendri dadik 2017

Kumenen adalah getah pohon kemenyan yang diambil dengan cara menggoreskan batang pohon kemenyan hingga mengeluarkan getah, getah pohon kemenyan ini akan mengeras dan membentuk kristal, kristal-kristal getah inilah yang akan di bakar hingga mengeluarkan asap yang memiliki aroma dari getah kemenyan tersebut.

(58)

Kumenen biasanya dipakai pada ritual-ritual kepercayaan. sama halnya dengan minyak air mata duyung aroma dari asap kumenen juga dipercaya oleh etnik Karo dapat mengundang tendi yang ada disekitar tempat dilakukannya upacara adat Erpangir Ku Lau.

Berbeda dengan minyak air mata duyung yang dicipratkan. Kumenen yang sudah dibakar hingga mengeluarkan asap akan dibawa berkeliling dan didekatkan keseluruh peralatan atau sesajen yang akan di pakai dalam pelaksanaan upacara adat Erpangir Ku Lau. Hal bermaksud agar aroma dari asap kumenen dapat melekat keseluruh peralatan dan sesajen yang akan dipakai dalam pelaksanaan upacara adat Erpangir Ku Lau.

10. Beras Piher.

Dok.foto novendri dadik 2017

Beras piher sering dipakai dalam berbagai upacara adat etnik Karo salah satunya upacara adat Erpangir Ku Lau. Beras Piher yang dipakai dalam upacara adat Erpangi Ku Lau adalah beras dan telur ayam kampung yang diletakan didalam kampil.

Beras piher akan diberikan kepada guru/dukun yang membimbing upacara adat Erpangir Ku Lau. Setelah selesai menari beras nantinya akan dihamburkan keatas

(59)

sebagai bentuk penyambutan kepada tendi yang telah datang di tempat dilakukannya upacara adat Erpangir Ku Lau.

4.2.2 Bentuk Simbol Cibal-cibalen dan Makanan.

1. Cimpa.

Dok.foto novendri dadik 2017

(60)

Cimpa adalah makanan khas etnik Karo yang sering digunakan pada upacara adat etnik Karo, Cimpa terbuat dari ketan dan gula merah ada 7 jenis Cimpa yang di gunakan pada upacara adat Erpangir Ku Lau antara lain : (1) Cimpa lepat, (2) Cimpa unung-unung, (3) Cimpa tuang, (4) Cimpa gulamai, (5) Cimpa pustaka, (6) Cimpa rambai rambai, (7) Cimpa Matah.

Perbedaan dari ketujuh Cimpa tersebut terletak pada proses pembuatan dan bentuknya. Cimpa-cimpa tersebut digunakan sebagai cibal-cibalen yang nantinya akan diletakan disekitar tempat dilakukannya Erpangir Ku Lau. Pada akhir pelaksanaan upacara adat Erpangir Ku Lau ke tujuh jenis cimpa yang digunakan sebagai cibal-cibalen akan menjadi santapan yang akan dimakan bersama oleh si pelaku bersama dengan seluruh peserta upacara adat Erpangir Ku Lau.

2. Rimo.

Dok.foto novendri dadik 2017

Jeruk dalam bahasa bahasa Karo disebut Rimo. Rimo mengambil peran penting pada upacara adat Erpangir Ku Lau. terdapat 7 jenis rimo yang dipakai atau digunakan antara lain rimo mungkur, rimo malem, rimo kejaren, rimo bunga, rimo keling, rimo kelele, rimo gawang.

(61)

Pada upacara adat Erpangir Ku Lau terdapat perbedaan dalam menggunakan rimo.

Enam jenis rimo digunakan sebagai cibal-cibalen yang akan diberikan kepada tendi.

Ke enam rimo akan diletakan bersamaan dengan cibal-cibalen lainnya disekitar tempat yang menjadi sumber air. Dan yang satu yaitu rimo mungkur merupakan bahan pokok yang akan dicampurkan dengan air bersama dengan penguras. Nantinya air dari campuran ini yang akan dipakai si pelaku untuk berkeramas.

Rimo mungkur yang akan digunakan untuk berkeramas akan diukir berbentuk bintang 7 atau bintang 9 pada bagian atas dan bawah rimo mungkur. Setelah diukir rimo mungkur akan diiris menjadi potongan kecil dan akan dicampurkan dengan air bersama dengan penguras

. .

Dok.foto novendri dadik 2017

3. Belo (Sirih).

Referensi

Dokumen terkait

Menurut kepercayaan lama masyarakat Karo (yang belum beragama) di Kabupaten Langkat, orang yang meninggal cawir metua apabila tidak dilakukan upacara adat yang layak pada

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa terdapat berbagai makna simbolik (tanda) pada “Parjambaron” Upacara Adat Kematian “Saur Matua” Batak Toba diantaranya

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dari tahapan-tahapan tradisi mbengket bages etnik Batak Pakpak dan tradisi mengket rumah

simbol yang terdapat pada upacara Sulang-sulang Pahompu, ada 10 bentuk simbol pada upacara Sulang-sulang Pahompu yaitu: tudu-tudu sipanganon, dengke daur,

Dalam upacara Sulang-sulang Pahompu, pihak Hula-hula yang sangat berperan penting adalah pihak hasuhuton parboru , karena tujuan pelaksanaan upacara adat tersebut adalah

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa simbol yang terdapat pada tradisi nengget pada etnik Karo dibagi dalam empat

Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini, yaitu Mengetahui dan mendeskripsikan mitos, makna denotatif dan makna konotatif yang terdapat di dalam tradisi upacara adat Karo

Manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai bahan masukan bagi komunitas suku Karo agar tetap menggunakan bahasa Karo dan melestarikan tradisi suku Karo, khususnya tradisi