• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEPEMILIKAN DAN PENGELOLAAN PERUSAHAAN

B. Pendirian Perusahaan Negara (BUMN) di Indonesia

3. Pengertian dan Hakikat Pendirian

Pada hakikatnya pengertian BUMN tidak terpisahkan dari amanat UUD 1945. Pasal 33 ayat (2) menetapkan, bahwa cabang-cabang produksi atau usaha-usaha yang

102 Hadi Soesastro, dkk (ed), Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir: Krisis dan Pemilihan Ekonomi, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hal. 31-32.

Lihat juga Mawardi Simatupang, yang antara lain mengemukakan bahwa BUMN saat ini secara umum cenderung dibebani dengan berbagai tugas yang selain tidak produktif, bahkan cenderung mendistorsi kegiatan utama dari perusahaan tersebut. Makin banyaknya biaya jenis ini akan menurunkan tingkat efisiensi perusahaan. Dari sisi pendapatan, terlalu rendahnya pendapatan yang diperoleh BUMN bisa bersumber dari rendahnya harga penjualan produk BUMN yang bisa disebabkan oleh kondisi-kondisi sebagai berikut: (1) Terjadinya kelebihan pasokan dan/atau kekurangan permintaan. Dalam pasar yang terbuka dan bersaing, tingkat harga sangat dipengaruhi oleh kondisi permintaan dan penawaran pasar dari barang tersebut. Bila terjadi kelebihan pasokan, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri sampai melebihi jumlah yang diminta, maka hal tesebut bisa mengakibatkan tertekannya harga penjualan dari produksi dimaksud; (2) Kualitas produk yang dihasilkan kurang memenuhi standar. Kualitas produk yang berada di bawah standar yang ada secara otomatis akan menyebabkan harga jual lebih rendahnya dari yang seharusnya. Dalam kondisi pasar yang bersaing efek negatifnya terhadap kondisi harga bila lebih buruk dibandingkan bila pasarnya tidak bersaing; (3) Pasar produknya bersifat

monopsonistis. Banyak BUMN mempunyai pembeli tunggal di pasar domestik, misalnya PT. INKA

(persero). Pasar produksi yang bersifat monopsonistis menyebabkan posisi tawar perusahaan menjadi lemah, sehingga bermuara pada relatif rendahnya harga jual dari produk perusahaan tersebut. Untuk itu, BUMN seperti itu harus mencoba untuk membuka pasar luar negeri, agar produknya dapat terjual dengan baik. Mawardi Simatupang, “BUMN PASCA UU BUMN” dalam Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan (ed), BUMN INDONESIA: Isu, Kebijakan, dan Strategi, (Jakarta: Gramedia, 2006), hal. 71- 73.

penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, harus dikuasai oleh negara. Penguasaan negara atas cabang-cabang produksi atau usaha-usaha yang menguasai hajat hidup orang banyak itu sangat penting dan esensial agar kesejahteraan rakyat banyak terjamin dan bisa menikmati sumber-sumber kemakmuran yang sebesar-besarnya dari bumi, air dan kekayaan-kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian Pemerintah sebagai penyelenggara negara dituntut memiliki kemauan yang kuat untuk menjabarkan Pasal 33 UUD 1945 secara lebih bermakna dan rinci, sehingga konsepsi “penting bagi negara” dan “menguasai hajat hidup orang banyak” menjadi lebih jelas dan berorientasi kepada kepentingan kesejahteraan rakyat Indonesia.103

Secara umum BUMN dapat dikelompokkan sebagai BUMN Pionir, BUMN Strategis, BUMN PSO (Public Service Obligation), dan BUMN yang melaksanakan bisnis murni.104 BUMN Pionir adalah jenis BUMN perintis yang belum dapat dilaksanakan oleh swasta namun sangat dibutuhkan oleh masyarakat. BUMN strategis adalah jenis BUMN yang menyangkut kepentingan negara, seperti

103 Lihat juga Ibrahim R yang mengatakan bahwa persepsi publik terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN, baik yang dibentuk untuk kepentingan profit (bisnis) maupun non-profit (kepentingan umum), sangat tidak efisien dan sangat tidak efektif, amburadul, salah urus, manajemen dengan menggunakan kekuasaan, dan terjadinya praktik kong-x-kong. Hal itu dibuktikan oleh sejarah BUMN itu sendiri, dari periode ke periode dijadikan sapi perahan, ladang empuk, dan gondolan bagi yang berkuasa untuk kepentingan pribadi maupun kelompok, karena memang tidak mempunyai grand

unified design lakul pancer ekonomi bangsa. ... Sejarah mencatat bahwa sejak nasionalisasi perusahaan

Belanda berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, sampai detik ini, BUMN dan BUMD merupakan ladang garapan, sapi perahan, sebagian besar elit penguasa (pengusaha), sehingga tidak mampu memberikan kontribusi maksimal sesuai dengan jiwa Pasal 33 UUD 1945 “yang melindungi segenap bangsa dan memajukan kesejahteraan umum yang berkeadilan sosial. Ibrahim R, Op.Cit., hal. 12.

104 Mas Achmad Daniri, Aspek Governance Badan Usaha Milik Negara”,

pertahanan dan keamanan negara. BUMN PSO adalah jenis BUMN pada bidang jasa dan pelayanan masyarakat yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Ketiga jenis BUMN merupakan BUMN pada sektor non-kompetitif. Sedangkan BUMN yang melaksanakan bisnis murni adalah jenis BUMN yang berorientasi keuntungan (profit) dan merupakan BUMN pada sektor kompetitif. Sektor kompetitif adalah sektor yang dapat diperdagangkan, misalnya industri, penerbangan (airlines), budidaya pertanian (agriculture), dan kegiatan pendistribusian. Sektor ini sangat memungkinkan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi secara cepat dan berarti, sepanjang tidak terdapat distorsi ekonomi secara luas.105

Tabel berikut memberikan suatu kerangka kebijakan terhadap pembuat keputusan sebelum melakukan privatisasi dengan memperhatikan keadaan negara:106

105 Bismar Nasution, Privatisasi: Menjual atau Menyehatkan. Makalah disampaikan pada Seminar Program dan Kebijakan Kementerian BUMN 2004 dengan topik: “Restrukturisasi dan Privatisasi BUMN, Manfaat dan Tantangannya dalam Upaya Meningkatkan Kinerja BUMN”, tanggal

4 September 2004, di Ruang IMTGT Biro Rektor Universitas Sumatera Utara, Medan. Lihat juga Sunita Kikeri, Jhon Nellis, Mary Shirley, Op.Cit., hal. 4.

106

Tabel 2. Kerangka Kebijakan Keadaan Negara dengan Keadaan Perusahaan Keadaan Perusahaan

Keadaan Negara

Sektor Kompetitif Sektor Non Kompetitif Kapasitas yang tinggi

untuk membuat regulasi; Pasar yang mendukung

Keputusan :  Dijual Keputusan :  Menjamin atau membuat pengaturan lingkungan secara tepat.  Kemudian mempertimbangkan penjualan.

Kapasitas yang rendah untuk membuat regulasi; Pasar tidak mendukung

Keputusan :  Dijual, dengan memperhatikan keadaan kompetisi. Keputusan :  Mempertimbangkan managemen privatisasi.  Mengusahakan pasar yang mendukung kerangka kebijakan.  Membuat pengaturan lingkungan secara tepat.  Kemudian mempertimbangkan penjualan.

Sumber: Bismar Nasution, Privatisasi: Menjual atau Menyehatkan.

Sampai sejauh ini, boleh dikatakan bahwa pengelolaan dan orientasi pengembangan BUMN telah “melenceng” dari tujuan pendiriannya semula. Hal itu terjadi karena Pemerintah belum dapat sepenuhnya memetakan perusahaan- perusahaan negara yang tepat untuk diinvestasikan sebagai BUMN, mulai dari perkebunan bekas milik pemerintah Hindia Belanda yang dinasionalisasikan hingga usaha bank, pabrik semen, perusahaan penerbangan, dan jenis-jenis usaha negara lainnya. Adanya keinginan kuat Pemerintah menswastakan beberapa BUMN tertentu

untuk dijadikan sebagai pesaing bagi perusahaan swasta (konglomerat), sebenarnya perlu dipertanyakan karena sekalipun dibutuhkan dana segar baru untuk lebih memberdayakan BUMN dimaksud, akan tetapi praktik konglomeratisasi tidak dibenarkan dalam sistem demokrasi ekonomi menurut Pasal 33 UUD 1945, dan pembentukan BUMN itu sendiri pun bukan semata-mata untuk memaksimalkan keuntungan (maximizing profit).

Berikut ini diterakan skema kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diharapkan.

Skema 3. Kondisi BUMN yang Diharapkan

KONDISI BUMN YANG DIHARAPKAN

KOMPETITIF NON KOMPETITIF

Bisnis Murni (Orientasi Profit) PSO & KAMNEG

Contoh : 1. Perbankan (BTN)

2. Industri Baja (Krakatau Steel) 3. Jalan Tol (Jasa Marga) 4. Perkebunan, Pembgn Prmhn, dll

Badan Hukum : PT Persero

Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas dan Penguatan Institusi Pasar Modal/ Bapepam untuk mewujudkan Kepemilikan Saham yang Tersebar dengan

Penerapan GCG.

Perusahaan yang Sehat dan Efisien

Sudah pasti bahwa perusahaan minyak seperti Pertamina harus dikuasai negara karena minyak adalah salah satu aset penting dalam penyelenggaraan negara. Namun selain minyak, aset penting lain seperti hutan juga harus dikelola dan dikuasai oleh negara dalam bentuk BUMN. Hak Pengelolaan Hutan (HPH) yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan swasta perorangan sesungguhnya tidak mencerminkan amanat konstitusi (UUD 1945) dan sebagai konsekuensinya sebagian besar kekayaan hutan Indonesia hanya dinikmati oleh segelintir orang. Perusahaan negara yang lain seperti Pindad, PAL, IPTN dan INKA (industri kereta api) perlu dikuasai oleh negara. Kendati dalam perkembangan usaha BUMN tersebut ternyata membutuhkan dukungan perusahaan-perusahaan swasta, baik yang berkaitan dengan aktivitas produksi, pengadaan maupun distribusinya, masih dapat dibenarkan namun dengan aturan bahwa perusahaan-perusahaan swasta tersebut harus mengikuti dan tetap berada di bawah koordinasi BUMN yang bersangkutan.107

Bahan-bahan pokok kebutuhan rakyat seperti sandang, pangan dan papan sudah seharusnya dikuasai dan sekaligus dimonopoli oleh negara karena masih banyak rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk itu PN Sandang harus berorientasi untuk memproduksi tekstil murah yang terjangkau oleh rakyat banyak. Untuk kasus spesifik seperti ketergantungan hidup orang banyak terhadap industri batik tradisional yang dijalankan sebagai industri rumah tangga (home industry) khususnya di Pulau Jawa, selain memerlukan perlindungan dari

“batik printing”, mungkin perlu dijadikan sebagai perusahaan negara (BUMN) untuk

107

dapat memenuhi kebutuhan rakyat banyak akan tekstil yang murah dan terjangkau. Demikian pula halnya dengan keberadaan perusahaan perumahan rakyat sudah semestinya dikuasai dan dimonopoli oleh sebuah perusahaan negara pula.108

Dalam hal adanya keinginan Pemerintah untuk menjual perusahaan negara kepada swasta (swastanisasi), maka Pemerintah perlu melakukan seleksi yang ketat dan bersikap rasional terhadap BUMN mana yang sesuai dan yang tidak sesuai dengan amanat Konstitusi. Perusahaan negara yang sesuai dengan amanat konstitusi harus tetap dipertahankan menjadi BUMN (minimum 51 persen sahamnya dikuasai oleh negara) dan dilindungi atau dimonopoli oleh negara. Sedangkan perusahaan negara yang tidak sejalan dengan amanat Konstitusi, pihak swasta diperbolehkan membeli seluruh atau sebagian besar sahamnya. Dalam rencana penjualan BUMN kepada pihak swasta, ada beberapa pilihan: (i) dijual kepada perorangan; (ii) go-public; dan (iii) dijadikan koperasi. Namun penjualan BUMN kepada perorangan sebaiknya dihindarkan atau menjadi pilihan terakhir. Hal ini mengacu pada pemikiran demokrasi ekonomi, bahwa hanya usaha-usaha kecil yang sebaiknya menjadi usaha perorangan. Sedangkan usaha-usaha berskala besar seharusnya dimiliki oleh rakyat banyak dalam bentuk koperasi, atau perusahaan terbuka (go-public) dengan ketentuan misalnya maksimum penguasaan saham oleh perorangan bervariasi tidak lebih dari 1 sampai 5 persen. Sebagai contoh perusahaan Garuda

108

misalnya, maksimum 25 persen sahamnya harus dimiliki oleh negara, sedangkan sisanya dijual kepada publik melalui mekanisme pasar modal.109

Diperolehnya dana segar dari masyarakat melalui penjualan saham baru di pasar modal akan memungkinkan Garuda untuk mengembangkan usahanya ke depan, dan tidak tertutup pula kemungkinan saham Garuda akan dijual di pasar-pasar modal luar negeri. Timbulnya keinginan investor asing untuk membeli saham Garuda atau BUMN-BUMN lainnya, baik saham lama maupun yang baru, tidak lain hanya untuk kepentingan investor asing itu sendiri. Keberhasilan investasi yang mereka tanamkan pada perusahaan-perusahaan negara tersebut akan memberikan keuntungan finansial dalam bentuk capital gain atau pembagian dividen. Singkatnya, perusahaan- perusahaan negara yang telah menjadi perusahaan terbuka tersebut juga akan memberi keuntungan yang cukup signifikan bagi pendapatan negara.

Tidak jauh berbeda dengan persoalan batik tradisional di Indonesia, terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan negara (PTP) seperti perkebunan kelapa sawit, bahwa produk minyak sawit yang dihasilkan PTP itu sendiri bukanlah sepenuhnya untuk “memenuhi hajat orang banyak”. Dalam hal menswastakan perkebunan negara, yang menjadi dasar pemikiran adalah banyaknya rakyat petani kelapa sawit yang mengantungkan hidup pada perkebunan kelapa sawit milik negara tersebut, sehingga pilihan swastanisasi yang lebih tepat untuk itu adalah pembentukan badan usaha

109 Berdasarkan data yang ada, seluruh BUMN kemungkinan besar akan dijual, baik sebagian maupun seluruh dari sahamnya. Namun perlu dicatat bahwa tidak seluruh BUMN tersebut layak untuk dijual. Dari penjualan saham lama saja, apabila rencana penjualan ini berhasil, maka paling tidak 50 triliun rupiah bersih dapat diperoleh negara. Sebagian dari itu bisa berbentuk devisa (hasil go- internasional). Oleh sebab itu tidak heran, kalau ada pemikiran bahwa hasil penjualan BUMN akan dipakai untuk membayar utang luar negeri. Ibid, hal. 151-152.

koperasi. Dengan kata lain, saham milik negara pada perkebunan tersebut semuanya dialihkan kepada anggota koperasi yaitu para petani kelapa sawit. Para anggota koperasi (para petani) ini membeli saham PTP dengan cara mengansur dari hasil keuntungan koperasi perkebunan kelapa sawit. Maka pengalihan saham perkebunan milik negara kepada anggota koperasi, dengan capital-gain ataupun tidak, lebih bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup anggota koperasi (para petani) itu sendiri. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa para profesional yang mengelola PTP (pegawai lama) masih tetap bekerja seperti biasa di koperasi, namun mereka tidak lagi digaji oleh PTP, melainkan oleh koperasi perkebunan. Sistem seperti ini, yaitu pemisahan fungsi dan kedudukan antara pemilik dan pengelola koperasi (pihak eksekutif) harus diterapkan untuk menciptakan efektivitas pengawasan internal agar salah satu tujuan pokok pendirian koperasi dapat tercapai, yaitu meningkatkan kesejahteraan hidup para anggota koperasi.110

Terhadap BUMN yang masih tetap dipertahankan keberadaannya, tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan kerjasama dengan pihak swasta, baik dalam patungan modal, dengan persyaratan minimum 51 persen modal usaha tetap dikuasai negara, maupun dalam bentuk pinjaman, yaitu dengan menerbitkan obligasi negara misalnya. Sudah pasti bahwa kerjasama usaha dalam bentuk pinjaman ini, pihak

110 Satu hal penting yang harus diingat dalam pengelolaan perusahaan adalah profesionalisme para eksekutif. Fakta membuktikan bahwa kegagalan banyak BUMN, yang mendorong terjadinya swastanisasi sekarang adalah tingkat profesionalisme para eksekutif yang relatif rendah dalam managerial perusahaan. Di samping itu, adanyanya berbagai macam pemborosan dan high-cost yang akuntabilitasnya tidak dapat dipertanggungjawabkan, maka rusaknya perusahaan-perusahaan negara tidak terlepas dari sikap atau perilaku birokrat (pegawai negeri) sebagai pengelola yang digaji sangat rendah itu.

swasta sebagai pemegang obligasi menghendaki premi bunga yang kompetitif di pasar uang atau pasar modal. Kita ambil contoh misalnya PLN bisa berpatungan dengan modal swasta dan juga dapat menerbitkan obligasi. Dengan cara yang demikian maka tidak ada alasan yang kuat untuk mendirikan perusahaan listrik swasta. Dalam hal adanya sinyalemen bahwa PLN memiliki kinerja yang cukup buruk, itu bisa diperbaiki dengan menyempurnakan struktur organisasinya, misalnya dengan cara membentuk perusahaan-perusahaan listrik daerah, sehingga beban pusat yang cukup berat tersebut bisa dikurangi dengan mendesentralisasikan ke daerah- daerah seperti yang telah dilakukan perusahaan air minum (PAM).

Perusahaan negara di bidang jasa transportasi umum seperti kereta api dan bus kota idealnya disubsidi oleh negara mengingat kepentingannya yang lebih luas yaitu untuk “memenuhi hajat hidup rakyat banyak”. Setiap kota seharusnya memiliki satu perusahaan bus kota yang dimonopoli oleh negara atau pemerintah daerah (Pemda). Paling tidak pemerintah menunjuk suatu perusahaan swasta untuk monopoli usaha bus kota atas nama negara, dengan ketentuan boleh mengambil keuntungan maksimum sekian persen dan tarifnya ditentukan oleh negara. Bahkan bila negara menghendaki, perusahaan bus kota dapat diberikan subsidi agar tarif angkutan bus kota menjadi lebih murah untuk lebih meringankan beban masyarakat di bidang jasa transportasi umum.

Perusahaan negara di bidang industri strategis, antara lain seperti Barata, Bisma Boma Indra (BBI), INKA, PINDAD, PAL dan IPTN, diketahui memiliki berbagai masalah yang cukup kompleks. Sebagaimana perusahaan negara lainnya,

perusahaan di bidang industri stategis, pada dasarnya persoalannya tidak jauh dari masalah modal negara yang dirasakan terlalu sempit dan profesionalisme dalam kaitannya dengan birokrasi dan bisnis. Sejumlah kalangan berpendapat bahwa perusahaan negara juga harus menyetorkan keuntungan dan membayar pajak kepada negara melalui mekanisme APBN. Pendapat seperti ini boleh jadi keliru karena tidak semua perusahaan negara berorientasi untuk meraih keuntungan semata seperti seperti perusahaan bus atau kereta api misalnya. Dengan kata lain, perusahaan negara pun berhak menerima proteksi dari pemerintah pada saat mereka membutuhkan. Dengan tujuan untuk mengembangkan teknologi canggih misalnya, proteksi bisa diberikan kepada PAL, IPTN, atau INKA sampai mereka bisa mandiri. Pemberian proteksi terhadap industri strategis seperti tersebut di atas lebih bisa diterima akal, ketimbang memberikan proteksi kepada pabrik mobil. Di Indonesia, dengan mengambil contoh mobil Kijang yang dijual Rp.30 juta, padahal seharusnya laku Rp.10 juta, disubsidi oleh rakyat dan ekonomi Indonesia sebesar sekitar Rp.20 juta dikalikan dengan produksinya sekitar 250 ribu setahun, atau Rp. 5 trilyun. Dengan kepemilikan dana sebesar itu, hampir dapat dipastikan bahwa industri-industri strategis dimaksud akan bisa memberikan manfaat bagi negara.111

Dari sisi lain diketahui bahwa kondisi PAL tidak sama dengan kondisi IPTN. Sebab pasar pesawat terbang di Indonesia sudah terbentuk, khususnya yang komersial. Dengan demikian secara ekonomis industri pesawat terbang bisa menyerap hasil IPTN, kendati IPTN sendiri pun untuk sementara masih perlu

111

dilindungi sampai produknya menjadi kompetitif baik di pasar domestik maupun dunia. Sedangkan PAL sendiri memiliki persoalan yang lebih berat. Sebab pasar sealines dan sea carriers, belum sepenuhnya terbentuk. Oleh sebab itu industri jasa di bidang kelautan harus diciptakan terlebih duhulu agar mampu menyerap produk PAL. Dengan kata lain, PAL masih memerlukan perlindungan sepanjang belum bisa mandiri. Untuk itu PAL perlu diberi subsidi harga, agar produknya bisa dibeli murah oleh sealiners dan sea carriers, khususnya untuk kebutuhan dalam negeri. Kalau saja PAL misalnya bisa memperoleh order 10 kapal saja setahun dengan kapasitas 10 ribu hingga 30 ribu ton selama 10 tahun. Dengan modal usaha beberapa ratus milyar rupiah, maka dalam rentang waktu itu niscaya pasar jasa kapal Indonesia akan hidup dan berkembang seperti jasa pesawat udara sekarang.112

Dokumen terkait