• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEPEMILIKAN DAN PENGELOLAAN PERUSAHAAN

B. Pendirian Perusahaan Negara (BUMN) di Indonesia

2. Penggunaan Istilah Perusahaan Negara dan BUMN

Istilah lain yang memiliki makna hampir sama dengan BUMN adalah

“perusahaan negara”. Dalam Pasal 1 UU No. 19 Tahun 1960 (UU 19/1960), yang dimaksud dengan “perusahaan negara” semua perusahaan dalam bentuk apapun yang

85 Hambra, “Sejarah Terminologi BUMN”, Majalah BUMN TRACK, Desember 2007, hal. 18. 86 Ibid.

87 Ibid.

modal seluruhnya merupakan kekayaan negara Republik Indonesia, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan undang-undang. UU No. 19/1960 tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mengadakan keseragaman bentuk badan usaha yang dimiliki Negara Republik Indonesia. Dengan pengertian seperti itu, “perusahaan negara” merupakan bagian dari “BUMN” karena hanya ditujukan pada usaha negara yang seluruhnya modalnya dimiliki oleh negara. Dengan demikian, usaha negara yang sebagian modalnya dimiliki negara –walaupun negara memiliki mayoritas modal pada badan usaha tersebut – tidak dapat dikategorikan sebagai “perusahaan negara”, melainkan berada dalam lingkup pengertian “BUMN”.88

Dalam rentang sejarah perkembangan sistem pembinaan BUMN, pada tanggal 26 Oktober 1988, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1988 tentang Pedoman Penyehatan dan Pengelolaan BUMN (Inpres 5/1998). Dalam Inpres 5/1998 tersebut, badan usaha milik negara mempunyai dua pengertian, yaitu BUMN dalam arti sempit dan BUMN dalam arti luas. Pengertian BUMN tersebut kemudian diadopsi oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor 740/KMK.00/1989 tanggal 28 Juni 1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas BUMN (KMK 740).89

Angka I Butir 1 Inpres 5/1988 dan Pasal 1 Angka 2 KMK 740 mengatur bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah: a) Badan Usaha yang seluruh modalnya dimiliki negara; b) Badan Usaha yang tidak seluruhnya dimiliki negara

88 Ibid, hal. 19. 89

tetapi statusnya disamakan dengan BUMN, yaitu pertama, BUMN yang merupakan patungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah; kedua, BUMN yang merupakan patungan antara Pemerintah dengan BUMN lainnya; dan ketiga, BUMN yang merupakan Badan Usaha Patungan dengan Swasta Nasional/Asing di mana negara memiliki saham mayoritas (minimal 51%).90

Dengan demikian, BUMN merupakan suatu unit bisnis yang mempunyai hubungan dengan negara dalam konteks kepemilikannya. Dalam rentang sejarah, istilah yang dipergunakan, ruang lingkup, dan pengertian unit bisnis tersebut sangat beragam.91

Seiring dengan perkembangan BUMN, saat ini terdapat dua istilah yang mengandung makna “keikutsertaan negara dalam badan usaha”. Masing-masing adalah “Perusahaan Negara” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU No. 17/2003) dan “BUMN” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.92

Berdasarkan Pasal 1 Angka 5 UU No. 17/2003, “Perusahaan Negara” adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki Pemerintah Pusat. Pengertian ini sangat luas karena mencakup seluruh badan usaha di mana negara memiliki modal, walaupun modal tersebut sangat kecil, misalnya hanya 0,01%. Menurut penulis, pengertian “Perusahaan Negara” berdasarkan UU No. 17/2003 hanya menggunakan pendekatan kepemilikan modal tanpa memperhatikan

90 Ibid. 91 Ibid. 92

kedudukan “Perusahaan Negara” dalam kerangka hukum korporasi yang berlaku umum. Pengaturan seperti ini kiranya sangat berkaitan dengan substansi pengaturan dalam UU No. 17/2003, yaitu mengenai “keuangan negara”. Apabila pendekatannya kepemilikan modal, sebenarnya lebih tepat apabila UU No. 17/2003 memberikan pengertian atau mempertegas “makna perlakuan” ketatanegaraan terhadap keuangan atau kekayaan negara yang tertanam dalam suatu badan usaha. Sehingga istilah yang dipergunakan bukan mengarah pada subjek (perusahaan), namun lebih pada kegiatan usaha, yaitu “usaha negara”.93

Berbeda dengan UU No. 17/2003 yang menggunakan istilah “Perusahaan Negara”, dalam UU No. 19/2003 istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan

93 Ibid. Lihat juga Bacelius Ruru yang mengemukakan bahwa ada pendapat yang mengatakan bahwa terdapat ketidaksinkronan antara UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara (UUKN) dengan UU No. 19/2003 tentang BUMN (UU BUMN). Berdasarkan penjelasan dari Departemen Keuangan (Tim Perumus UUKN), pada tanggal 26 Maret 2203, di Departemen Keuangan dan dalam “suasana kebatinan” UUKN di DPR dijelaskan sebagai berikut: Pertama, pengertian UMN (Pasal 1 Angka 5 UUKN) adalah Perusahaan Negara yaitu badan usaha atau seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Penjelasannya: (1) istilah Perusahaan Negara (PN) dalam UUKN adalah tidak lain dari BUMN. Istilah PN di dalam UUKN bersifat umum yang perumusannya secara khusus diserahkan kepada UU BUMN; (2) UU BUMN menggunakan istilah BUMN, bukan PN, dan membatasi kriteria BUMN yaitu kepemilikan negara 51%; dan (3) istilah Pemerintah Pusat dalam pemilikan PN dimaksudkan untuk membedakan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kedua, Menteri Keuangan selaku wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara dipisahkan (Pasal 6 ayat (2) huruf a UUKN); dan Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan

pengawasan kepada Perusahaan Negara (Pasal 24 ayat (3) UUKN). Penjelasannya adalah: (1) pengaturan tersebut di atas merupakan penegasan terhadap prinsip-prinsip yang telah dilaksanakan

selama ini; (2) dengan demikian, pelimpahan kepada Menteri BUMN atau instansi lain masih dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur BUMN; (3) kewenangan Menteri Keuangan selaku Pemegang Saham selama ini tidak pernah beralih dari Menteri Keuangan ke Menteri lain; dan (4) ke depan, mengenai keberadaan, kedudukan, dan kewenangan Departemen dan Kementerian akan diatur dengan UU. Ketiga, berkenaan dengan privatisasi. Privatisasi, sesuai dengan pasal 24 ayat 5 UUKN, dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari DPR, dan semua penerimaan negara dari hasil privatisasi harus dimasukkan ke dalam APBN. Penjelasannya adalah: (1) yang dimaksud dengan persetujuan DPR dalam UUKN adalah persetujuan DPR dalam rangka persetujuan DPR atas APBN secara keseluruhan; dan (2) penyetoran hasil privatisasi ke Kas Negara secara netto berdasarkan UU BUMN disesuaikan dengan prinsip-prinsip APBN (pencatatan dan pemantauannya). Bacelius Ruru, (1), dalam Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan (ed), Op.Cit., hal. 129-143.

keikutsertaan negara dalam suatu badan usaha adalah “BUMN”. Dalam UU No. 19/2003, pengertian BUMN telah diperjelas dan dipertegas. Sejak lahirnya UU No. 19/2003 tanggal 19 Juni 2003, “istilah” dan “pengertian” BUMN dikukuhkan dalam suatu undang-undang sebagai suatu kesatuan. Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 UU No. 19/2003, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Pengertian BUMN tersebut mengandung beberapa unsur yang merupakan satu kesatuan makna, yaitu: pertama, berbentuk badan usaha; kedua, kepemilikan negara pada badan usaha tersebut bersifat langsung; dan keempat, modal negara tersebut merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.94

Dengan adanya penegasan bahwa BUMN merupakan suatu badan usaha yang modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, seakan-akan UU No. 19/2003 memberi pesan bahwa BUMN harus dikelola secara profesional dan mandiri untuk mencapai suatu tujuan usaha, yaitu “keuntungan”. Kesimpulan seperti itu dapat diabsahkan sehubungan dengan pengaturan mengenai maksud dan tujuan pendirian BUMN yang salah satunya adalah “mengejar keuntungan”. Di samping itu, makna

“kekayaan negara yang dipisahkan” sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU No. 19/2003 dapat mempertegas kesimpulan bahwa BUMN harus dikelola secara profesional dan mandiri.95

94 Hambra, Op.Cit., hal. 19. 95

Pasal 1 Angka 1 UU No. 19/2003 tersebut juga mempertegas bahwa suatu badan usaha disebut BUMN apabila negara memiliki modal/saham mayoritas atau seluruhnya dan penyertaan negara tersebut bersifat langsung. Dengan penegasan seperti ini, badan usaha yang sebagian kecil saham/modalnya dimiliki negara pun tidak dapat dikategorikan sebagai BUMN. Dalam konteks ini, penulis berpendapat bahwa pengertian BUMN secara tidak langsung dapat dimaknai sebagai suatu badan usaha yang dapat dikendalikan oleh negara melalui kepemilikan saham mayoritas.96

Jika membandingkan pengertian “Perusahaan Negara” berdasarkan UU No. 17/2003 dengan pengertian “BUMN” berdasarkan UU No. 19/2003, terlihat bahwa pengertian “Perusahaan Negara” lebih luas dari pengertian “BUMN”. Pengertian

“Perusahaan Negara” meliputi badan usaha yang modalnya dimiliki Negara (i) seluruhnya (ii) sebagian besar dan (iii) sebagian kecil. Sedangkan pengertian

“BUMN” hanya meliputi badan usaha yang modalnya (i) seluruhnya dan (ii) sebagian besar dimiliki negara.97

Dalam perjalanan BUMN sebagai salah pelaku ekonomi yang memiliki peranan penting dan strategis dalam menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan kemakmuran rakyat banyak yang sebesar-besarnya, dapat dikatakan BUMN telah berhasil mencapai tujuan awalnya sebagai agen pembangunan dan pendorong korporasi, kendati tujuan tersebut belum sepenuhnya tercapai. Kinerja BUMN dinilai belum memadai seperti masih rendahnya keuntungan yang diperoleh dibandingkan

96 Ibid. 97

dengan modal yang diinvestasikan yang seharusnya sudah mampu menyediakan barang dan jasa yang berkualitas tinggi bagi rakyat. Di sisi lain, perkembangan ekonomi dunia berlangsung sangat dinamis terutama kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan liberalisasi dan globalisasi perdagangan yang telah disepakati bersama secara internasional dalam forum World Trade Organization (WTO), ASEAN Free Trade Area (AFTA), dan Asia Pasific Economic Cooperation (APEC).98

Dan pada era globalisasi ekonomi ini, untuk mengoptimalkan peran dan fungsinya serta mampu mempertahankan eksistensinya dalam perkembangan ekonomi dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, maka tidak bisa tidak BUMN perlu menumbuhkan jiwa dan semangat korporasi serta profesionalisme yang tinggi dengan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) guna pencapaian efisiensi yang optimal.99

98 Marwah M. Diah, Op.Cit., hal. 189.

99 Salah satu masalah terpenting perusahan negara (BUMN) yang tidak kunjung terpecahkan hingga pertengahan tahun 1980-an adalah status dan cara kerjanya. Sebagai kelompok usaha, BUMN merupakan konglomerasi bisnis paling raksasa, dengan penguasaan modal domestik terbesar dalam sistem perekonomian nasional. Dengan jumlah total 215 perusahaan pada tahun 1980-an, kegiatan perusahaan negara tersebut dimulai dari bentuk usaha yang sederhana hingga kepada bisnis yang paling rumit, seperti industri pesawat terbang yang dibangun dan dipimpin oleh Dr Habibie, sebagai saingan utama Widjojo dan kawan-kawannya yang sebagian besar usaha mereka terpusat pada pelayanan publik (penerbangan, peralatan, konstruksi), pertambangan (minyak, gas, timah), keuangan dan perbankan, serta industri manufaktur dasar. Apabila ditinjau dari segi ukuran dan pengaruhnya, tampak nyata bahwa perusahaan-perusahaan negara di Indonesia dalam praktiknya merupakan “negara di dalam negara”. Lihat Hal Hill, The Indonesian Economy Since 1966 (London: Cambridge, 1966), hal. 101. Dari sisi eksternal BUMN juga mengalami banyak hambatan. Berbagai permasalahan yang

dihadapi BUMN menjadi makin berat dengan adanya berbagai permasalahan eksternal seperti: (1) lemahnya nilai tukar mata uang rupiah; (2) tingkat inflasi yang tinggi; (3) neraca perdagangan yang

tidak seimbang; (4) resiko politik; (5) peraturan yang tidak stabil; dan (6) kurangnya tekanan untuk melakukan kegiatan secara lebih efisien atau meningkatkan kemampuan teknologi. Kesemuanya itu menjadikan permasalahan BUMN ibarat lingkaran yang tidak berujung pangkal (viciousfundingcycle). Lihat juga Setyanto P. Santosa, Op.Cit.

Dalam sambutan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan

“BUMN Forum dan Indonesia Business-BUMN Exhibition (IBBEX) 2007” tanggal 12 April 2007 di Jakarta, antara lain mengemukakan bahwa:

“Pemerintah selaku pemegang saham terbesar di BUMN, berkeinginan agar BUMN terus melakukan transformasi bisnis. Transformasi itu dapat dilakukan melalui perubahan dari kultur birokrasi menuju kultur korporasi. Hal itu hanya dapat dilakukan, jika BUMN mampu mengedepankan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), serta membersihkan diri dari segala bentuk penyimpangan dan penyelewengan. Ke depan, tidak boleh ada lagi BUMN yang terus menerus merugi. Jangan bangga jadi direktur PT. Rugi Abadi. BUMN yang terus merugi, bukan saja tidak dapat memberikan kontribusi pada perekonomian nasional, tetapi juga menjadi beban bagi keuangan negara.

Mencermati perkembangan di masyarakat akhir-akhir ini ---terutama tentang perlu tidaknya negara terlibat dalam kegiatan usaha--- menurut pendapat saya kita harus mengembalikannya pada jiwa dan kandungan yang ada dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Negara kita dengan tegas menyatakan bahwa, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara. Landasan inilah yang harus kita pegang teguh. Landasan inilah yang harus kita jadikan acuan utama, dalam menentukan sejauh mana negara perlu terlibat dalam bidang usaha.

Sejak tahun 2005 hingga semester pertama tahun 2006, Pemerintah belum melakukan privatisasi BUMN. Beberapa faktor mendasar yang menyebabkan belum dilakukannya privatisasi itu, adalah antara lain karena Pemerintah masih berkonsentrasi pada pelaksanaan restrukturisasi, melalui peningkatan kinerja perusahaan. Kita pun masih menunggu kondisi pasar yang lebih baik agar tidak terjadi yang kita sebut undervalue dari nilai perusahaan kita. Dalam waktu dekat, yang perlu kita lakukan adalah melanjutkan upaya-upaya restrukturisasi dan reformasi BUMN. Restrukturisasi dan reformasi BUMN, sebagaimana saya katakan tadi, sangat diperlukan untuk menyelaraskan strategi internal perusahaan, dengan kebijakan industrial serta pasar tempat beroperasinya BUMN. Strategi dan reformasi BUMN diperlukan untuk memisahkan fungsi komersial dan pelayanan masyarakat pada BUMN, serta mengoptimalkan prinsip- prinsip tata kelola perusahaan yang baik secara utuh.

Salah satu upaya yang harus kita perbaiki bersama-sama adalah, stigma negatif yang melekat pada BUMN. BUMN sering dikategorikan sebagai perusahaan tempat tumbuh suburnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Tindakan hukum yang harus dijalani oleh sejumlah direksi BUMN akhir-akhir ini, seolah-olah membenarkan stigma negatif itu. Pada kesempatan yang baik ini, saya mengajak kepada seluruh jajaran BUMN, marilah kita hapuskan stigma negatif itu. Marilah kita berusaha membersihkan BUMN dari segala bentuk tindakan KKN. Dengan komitmen dan kesungguhan kita, pada saatnya nanti, BUMN harus betul-betul kita kelola sesuai asas good corporate governance, dan budaya korporasi yang sehat. Dengan pengelolaan seperti itu, stigma negatif BUMN sebagai sarang korupsi, lambat laun akan terhapus dengan sendirinya.”

Perkembangan BUMN secara garis besar dapat dibagi dalam 4 (empat) periode sebagai berikut100:

a. Periode sebelum kemerdekaan. Keberadaan BUMN sebelum kemerdekaan diatur dengan ketentuan IBW dan ICW. Di masa ini terdapat sekitar 20

100 Marwah M. Diah, Op.Cit, hal. 186-187. Lihat juga Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan, yang mengatakan bahwa “secara politik-ekonomi, pendirian BUMN di Indonesia mempunyai tiga

alasan pokok. Pertama, sebagai wadah bisnis dari aset asing yang dinasionalisasi. Alasan ini terjadi di tahun 1950-an, ketika pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Peristiwa ini

dimulai pada tahun 1957, ketika kabinet Ali Sastroamidjojo II jatuh disertai krisis ekonomi yang parah. Kejatuhan kabinet ini seakan memperkuat sinyal bahwa Pemerintah Parlementer akan membawa Indonesia ke dalam keterpurukan. Gerakan menuju ke pemerintah Presidensial sesuai dengan UUD 1945 dimulai. ... Kedua, membangun industri yang diperlukan oleh masyarakat, namun masyarakat sendiri (atau swasta) tidak mampu memasukinya, baik karena alasan investasi yang sangat besar. Kita melihat pada pertengahan tahun 1960-an pemerintah mulai mendirikan pabrik-pabrik pupuk urea, mulai di Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Aceh. Pemerintah juga menyelenggarakan usaha penerbangan perintis Merpati Nusantara. Pemerintah mengambil alih Indosat sebagai home-base dari pemilikan dan pengelolaan Satelit Palapa. Pemerintah juga mendirikan industri-industri kelistrikan sebagai bahan bakar energi nasional. Pemerintah mendirikan industri pesawat terbang, IPTN, dengan tujuan menjadi pelaku bisnis regional di bidang pesawat angkut jenis menengah dan kecil. Ketiga, membangun industri yang sangat strategis, berkenaan dengan keamanan Negara. Oleh karena itu, pemerintah membangun industri persenjataan, Pindad, bahan peledak, Dahana, pencetakan uang, Peruri, hingga pengolahan stok pangan, Bulog. Di luar alasan politis- strategis tersebut, terdapat beberapa alasan yang sifatnya self-interest, baik dalam konteks individu, kelompok, maupun institusi - yang merupakan alasan keempat. Pada saat BUMN berada di bawah naungan departemen teknis, terdapat kecenderungan dari beberapa departemen untuk mendirikan BUMN-BUMN-nya, dengan berbagai alasan sebenarnya kurang dapat diterima secara ideal”. Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan (ed), Prolog dalam BUMN Indonesia: Isu, Kebijakan dan Strategi, (Jakarta: Gramedia, 2006). hal. xiii-xiv.

BUMN yang tunduk pada ketentuan IBW yang bergerak di bidang usaha Kelistrikan, Batubara, Timah, Pelabuhan, Pegadaian, Garam, PT, Kereta Api dan Topografi.

b. Periode tahun 1945-1960. Di samping keberadaan BUMN di masa sebelum kemerdekaan, pada periode setelah kemerdekaan (1945-1960) telah didirikan pula sejumlah BUMN antara lain Bank Industri Negara, Sera dan Vaksin serta PT Natour Ltd. Mengingat pentingnya peranan dan fungsi BUMN dalam pembangunan ekonomi nasional dan dalam rangka pembebasan Irian Barat dari penjajahan kolonial Belanda, maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1958 dilakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan swasta eks milik negara Belanda di Indonesia yang beroperasi hampir di semua sektor seperti perbankan, perkebunan, perdagangan dan jasa.

c. Periode tahun 1960-1969. Konsekuensi dari nasionalisasi perusahaan- perusahaan swasta eks milik negara Belanda tersebut, maka dalam periode ini BUMN seluruhnya berjumlah 822 perusahaan dan kemudian jumlah berkurang menjadi sekitar 200 perusahaan setelah pemerintah melakukan penataan berdasarkan Undang-Undang No. 9 Tahun 1969.

d. Periode tahun 1969 sampai sekarang. Semenjak tahun 1969, peranan BUMN semakin meningkat dan penting dalam menunjang Pembangunan Nasional sejalan dengan pelaksanaan program pembangunan Repelita I di era Orde Baru.

Sebagaimana yang diamanatkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui ketetapan Nomor IV/MPR/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, digariskan bahwa BUMN, terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum dan berada dalam sektor usaha yang kompetitif perlu direstrukturisasi agar perusahaan-perusahaan negara dimaksud dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan untuk kesejahteraan rakyat banyak. Untuk itu diperlukan landasan hukum yang kuat untuk melaksanakannya yaitu Undang-Undang tentang BUMN sebagai pengganti ketentuan yang lama karena tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, maka kedudukan dan fungsi BUMN semakin jelas dan terarah. Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang dimaksud dengan jelas menyebutkan, bahwa “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”.

Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia dalam era perdagangan bebas dan juga dengan memperhatikan kebutuhan pembangunan ekonomi nasional, maka Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 secara jelas menyebutkan maksud dan tujuan dilaksanakannya program restrukturisasi dan privatisasi BUMN. Pasal 72 UU ini menyebutkan bahwa maksud restrukturisasi BUMN untuk menyehatkan BUMN agar dapat beroperasi secara efisien, transparan dan profesional. Sedangkan tujuannya adalah untuk: (i) meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan; (ii) memberikan

manfaat berupa dividen dan pajak kepada negara; (iii) menghasilkan produk dan layanan dengan harga yang kompetitif kepada konsumen; dan (iv) memudahkan pelaksanaan privatisasi. Selanjutnya Pasal 74 menyebutkan bahwa privatisasi bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam kepemilikan saham persero, sedangkan maksud privatisasi itu sendiri adalah untuk: (i) memperluas kepemilikan masyarakat atas persero; (ii) meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan; (iii) menciptakan struktur keuangan dan manajemen yang baik serta kuat; (iv) menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif; (v) menciptakan perseroan yang berdaya saing dan berorientasi global; dan (vi) menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar.101

Sampai kepada era reformasi sekarang ini, peranan BUMN masih menjadi isu besar. BUMN yang berjumlah 158, yang menguasai hampir sepertiga aset nasional, ternyata kinerjanya belum juga optimal karena kontribusinya masih relatif kecil bagi penerimaan negara. Dari seluruh BUMN yang ada dengan perkiraan total aset sebesar Rp 1,177,7 triliun dan ekuitas sebesar Rp 481,9 triliun diperkirakan bahwa pada tahun

101 Dikeluarkannya keputusan Kementerian BUMN pada dasarnya untuk memprioritaskan restrukturisasi BUMN merupakan salah satu bentuk sense of crisis yang dimiliki pemerintah sebagai pemegang saham BUMN. Kebijakan ini merupakan awal yang bagus untuk memberikan isyarat bahwa pemilik saham BUMN memiliki keprihatinan terhadap keadaan bisnis perusahaan-perusahaan yang dimilikinya. Para direksi/manajer BUMN sebagai pelaksana amanat yang diberikan pemilik saham mestinya merespon keinginan pemilik saham ini dengan cerdas, dengan mulai melakukan manuver- manuver bisnis yang tepat untuk melakukan penyehatan perusahaan yang ditanganinya. Selain itu Presiden RI sebagai atasan Menteri BUMN juga dapat memberikan dukungan yang diperlukan dengan mengkomunikasikan kebutuhan restrukturisasi BUMN ini kepada rakyat Indonesia sebagai stakeholder BUMN. Muhammad Arfian, ”Menuju Restrukturisasi BUMN yang Menuaikan Hasil”, Inovasi Online, Edisi Vol.6/XVIII/Maret 2006.

2004 keuntungan yang diperoleh hanya sebesar Rp 2,49 triliun. Return on Asset rata- rata diperkirakan sebesar 2,49%, dan Return on Equity rata-rata 6,1% pada periode yang sama. Inefisiensi yang terjadi di banyak BUMN membuat kinerjanya jauh dari memuaskan. Demikian pula terjadinya praktik KKN di BUMN membuat rapor BUMN kelihatan semakin buruk. Oleh karena itulah usaha untuk memperbaiki kinerja BUMN merupakan isu penting melalui program restrukturisasi dan privatisasi yang sampai saat ini masih menimbulkan kontroversi. Lebih jauh dari itu, meskipun pemerintah dan DPR telah mensahkan Undang-Undang BUMN namun demikian hasilnya belum juga kelihatan sampai sekarang.102

Dokumen terkait