• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEPEMILIKAN DAN PENGELOLAAN PERUSAHAAN

D. Sistem Ekonomi yang Berkeadilan (Demokrasi Ekonomi)

Pergulatan pemikiran di seputar topik “negara, pasar dan keadilan sosial”, baik yang bersifat akademik maupun populer merupakan wacana publik yang masih tetap aktual dibicarakan sampai saat ini. Keyakinan kaum Neo-Liberalis bahwa perdagangan bebas yang disertai dengan pengurangan campur tangan negara seminimum mungkin akan mendatangkan kemakmuran dan demokrasi, namun dalam konteks Indonesia justru memunculkan persoalan. Sebab perubahan sistem politik yang tidak mengarah pada demokrasi merupakan prakondisi yang melahirkan reaksi penolakan terhadap sistem perdagangan bebas. Dapat diasumsikan bahwa masyarakat yang dapat menerima perdagangan bebas adalah masyarakat yang liberal, transparan dan demokratis. Jika suatu negara memiliki sistem politik yang otoriter, seperti pada era Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, maka konsep perdagangan bebas

157 Tanri Abeng menyebutkan bahwa berdasarkan hasil penelitian Paul Krugman diketahui pertumbuhan ekonomi Indonesia yang begitu pesat sebelum krisis disebabkan oleh dorongan pertumbuhan investasi, bukan karena efisiensi dan inovasi. Tanri Abeng, “Kelemahan Fundamental Makro Ekonomi Indonesia”, 1999, dalam Sofyan A. Djalil, Good Corporate Governance, (Jakarta: tanpa penerbit, 2002), hal.1.

158 Lihat Paolo Mauro, “Dampak Korupsi pada Pertumbuhan Investasi dan Belanja Pemerintah: Sebuah Analisis Lintas Negara” dalam Kimberley and Elliot, Korupsi dan Ekonomi

Dunia, diindonesiakan oleh A. Rahman Zainuddin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hal. 134-

136. Dapat ditambahkan bahwa menurut laporan Bank Dunia, diperkirakan sekitar 20% dana-dana proyek Bank Dunia telah masuk ke kantong pejabat-pejabat Indonesia. Lihat Forum Keadilan No. 11 (Tahun VII, 7 Sepember 1998), hal. 67.

yang digagas oleh negara-negara maju apabila diterapkan hanya akan menguntungkan kelas “borjuis semu” dan kita terseret semakin menjauh dari cita-cita keadilan ekonomi. Demikian juga halnya dengan industrialisasi, tanpa ditopang oleh sistem politik yang demokratis juga hanya akan menguntungkan pemilik modal besar yang melakukan kolusi dengan oknum-oknum pejabat negara.159

Muhammad Hatta yang merumuskan Pasal 33 UUD 1945 terlahir dalam situasi dan kondisi bangsa yang sedang berjuang meraih kemerdekaan, bukan hadir di tengah kebebasan mimbar akademik seperti sekarang ini. Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan garis besar perekonomian nasional itu memuat keinginan yang kuat untuk merombak struktur perekonomian masyarakat Indonesia, dari sistem ekonomi kolonial yang menindas rakyat menjadi sistem ekonomi nasional yang mensejahterakan rakyat; dari sistem ekonomi yang sangat subordinatif menuju perekonomian yang berlandaskan asas-asas demokrasi (demokrasi ekonomi). Cita- cita untuk dapat merombak struktur ekonomi nasional tersebut dimaknai oleh Muhammad Hatta sebagai kehendak mewujudkan sistem sosialisme Indonesia dengan sistem ekonomi yang menekankan kebersamaan dan kekeluargaan, namun tetap memberi tempat bagi artikulasi individualitas, karena keinsyafan akan harga

159 Heru Nugroho, Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. vi. Bandingkan. Musi Umar mengatakan bahwa keberhasilan suatu negara melaksanakan demokrasi ekonomi akan membuktikan keberhasilannya dalam mengelola bangsa. Demokrasi di bidang politik, tanpa diikuti demokrasi ekonomi, hanya akan melahirkan kesenjangan di antara rakyat. Itu sebabnya, dibutuhkan visi yang kuat untuk melaksanakan demokrasi ekonomi jika tidak ingin melihat bangsa ini hancur. Penyebab kegagalan demokrasi ekonomi di Indonesia ada lima hal: (1) salah memilih konsep pembangunan yang hanya peduli pada pertumbuhan; (2) pembangunan tanpa ideologi pembebasan; (3) pemimpin yang tidak punya keberanian moral untuk berpihak pada perbadayaan kaum pribumi; (4) ekonomi yang pro pasar bebas; dan (5) kualitas sumber daya manusia yang rendah. Lihat “Perlu Visi Kuat untuk Bangun Demokrasi Ekonomi”, Harian Kompas, 14 April 2007.

diri. Dalam hal ini, Muhammad Hatta menolak ekonomi pasar yang bertumpu pada persaingan bebas (survival of the fittest), namun pada saat yang sama juga menampik etatisme negara. Idealnya politik pemerintahan dan politik ekonomi nasional yang bermuara pada demokrasi politik dan ekonomi dirumuskan sebagai berikut:160

“Pendeknya cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian rakyat, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat. Pendek kata rakyat itu daulat alias raja atas dirinya. Tidak lagi orang seorang atau sekumpulan orang pandai atau segolongan kecil saja yang memutuskan nasib rakyat dan bangsa, melainkan rakyat sendiri. Inilah arti kehidupan rakyat! Inilah suatu dasar demokrasi atau kerakyatan yang seluas-luasnya. Tidak saja dalam hal politik, melainkan juga dalam hal ekonomi dan sosial ada demokrasi; keputusan dengan mufakat rakyat yang banyak”.

Dalam Daulat Rakyat yang ditulisnya pada tahun 1933, Bung Hatta menyampaikan pemikirannya tentang bagaimana mengelola perekonomian rakyat Indonesia dalam negara Indonesia merdeka sebagai berikut161:

“Suatu soal yang tidak boleh luput dari perhatian kita di waktu sekarang ialah keadaan ekonomi rakyat kita. Bahwa penghidupan rakyat bertambah lama bertambah sempit, hingga penghasilan bertambah lama bertambah turun, pengangguran bertambah lama bertambah banyak dan gaji atau upah bertambah lama bertambah turun…Keadaan ini hanya dapat diperbaiki berangsur-angsur dangan memberi susunan kepada produksi dan konsumsi rakyat, pendeknya dengan mengadakan koperasi produksi dan koperasi konsumsi dan dibantu dengan koperasi kredit…Yang sanggup mengobati adalah rakyat sendiri. Dan pokok segala usaha adalah kemauan tetap. Kemauan itulah yang harus kita bangkitkan. Ini dasarnya ‘self-help’ yang senantiasa menjadi buah bibir kita”.

160 Sri-Edi Swasono, “Pengantar” dalam Sri Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (ed), Muhammad Hatta: Demokrasi Kita, Bebas Aktif. Ekonomi Masa Depan, (Jakarta: UI Press, 1992), hal. xviii.

161 Lembaga Pengkajian Ekonomi Pancasila, Ekonomi Pancasila, (Jakarta: LPEP, 1982), hal. 49.

Sedangkan pandangannya mengenai persoalan politik perekonomian negara yang akan disusun dalam negara Indonesia merdeka disampaikan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan. Pada sidang ini beliau mengatakan bahwa dalam hal politik perekonomian negara, ekonomi hendaklah disusun atas dasar koperasi dan asas kekeluargaan. Oleh karena Indonesia memiliki kekayaan alam dan bahan mentah yang melimpah ruah, maka pemerintah harus menjaga dan memelihara kekayaan tersebut dengan jalan menguasainya dengan maksud mempergunakannya “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Oleh sebab itu “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Selain itu, pemerintah harus melibatkan diri secara langsung dalam mengusahakan “produksi yang besar-besar yang menguasai hajat hidup orang banyak”.162 Dan ketika berpidato di Bukit Tinggi pada tahun 1932, Bung Hatta ada mengemukakan ciri-ciri dari sistem perekonomian

162 Lihat Dilear Noer, Muhammad Hatta: Biografi Politik, (Jakarta: LP3ES, 1990), hal. 227- 228. Sehubungan dengan politik ekonomi Indonesia, Bung Hatta membedakan pengertian antara “politik perekonomian jangka panjang” dan “politik perekonomian jangka pendek”. Menurut Hatta:”… Politik perekonomian berjangka panjang meliputi segala usaha dan rencana untuk menyelenggarakan berangsur-angsur ekonomi Indonesia yang berdasarkan koperasi… Di sebelah menunggu tercapainya hasil politik perekonomian berjangka panjang ini, perlu ada politik perekonomian jangka pendek, yang realisasinya bersandar kepada bukti-bukti yang nyata…”. Lihat Mubyarto dan Revrisond Baswir,

Pelaku dan Politik Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1989), hal. 33. Menurut Ace

Partadiredja, “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara” adalah semua kegiatan produksi barang dan jasa yang ‘sine qua non’ untuk menjalankan roda pemerintahan yang apabila tidak ada membuat pemerintahan menjadi macet atau paling tidak terhambat. Sedangkan “cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak” adalah semua cabang produksi barang dan jasa yang hasilnya dipakai oleh semua orang, atau hampir semua orang. Jadi termasuk sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan dan pemberian kesempatan kerja, kurang lebih sama dengan konsep ‘basic need’ yang ditawarkan oleh organisasi buruh sedunia (ILO). Namun dari waktu ke waktu selalu terjadi pergeseran suatu barang dari yang tidak menguasai hajat hidup orang kemudian menjadi menguasai hajat hidup orang banyak. Misalnya dahulu “radio pernah menjadi barang mewah yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi sekarang semua keluarga, termasuk yang miskin sekalipun memerlukannya” sebagai sumber informasi dan hiburan. Ibid, hal. 74-76.

yang bersifat sosialis. Dalam hubungan ini, Bung Hatta mengemukakan bahwa sosialisme Indonesia timbul karena tiga faktor, yaitu163:

Pertama, sosialisme Indonesia timbul karena suruhan agama. Karena

adanya etik agama yang menghendaki adanya rasa persaudaraan dan tolong menolong antara sesama manusia dalam pergaulan hidup, orang terdorong ke sosialisme…Jadi sosialisme Indonesia muncul dari nilai- nilai agama, terlepas dari marxisme…Yang ada hanyalah perjumpaan cita-cita sosial-demokrat Barat dengan sosilisme-religius (Islam), di mana marxisme sebagai pandangan hidup materialisme tetap ditolak. Kedua, sosilisme Indonesia merupakan ekspresi daripada jiwa berontak bangsa Indonesia yang memperoleh perlakuan yang sangat tidak adil dari si penjajah.

Ketiga, para pemimpin Indonesia yang tidak dapat menerima marxisme sebagai pandangan yang berdasarkan materialisme, mencari sumber- sumber sosialisme dalam masyarakat sendiri…dasar-dasar bagi sosialisme Indonesia terdapat pada masyarakat desa yang kecil, yang bercorak kolektif, yang banyak sedikitnya masih bertahan sampai sekarang…”

Sebagian dari hasil pemikiran Bung Hatta tersebut kemudian tercermin dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Adapun maksud dan tujuan dari dibentuknya Pasal 33 tersebut terdapat pada penjelasannya sebagai berikut:

“Dalam Pasal 33 tercantum dasar ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.

Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran segala orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya.

163 Abdul Madjid dan Sri-Edi Swasono (ed), Wawasan Ekonomi Pancasila, (Jakarta, 1988), hal. 6.

Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orang seorang.

Bumi dan air dan kekayaan alam terkandung dalam bumi adalah pokok- pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”164

Meskipun dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 dinyatakan bahwa bentuk perusahaan yang sesuai dengan “asas kekeluargaan” adalah koperasi, akan tetapi pengertian “asas kekeluargaan” itu sendiri tidak dijelaskan apa maksudnya sehingga hal ini kemudian telah menimbulkan aneka ragam penafsiran dari berbagai kalangan anggota masyarakat dan pejabat pemerintah.

Dalam tulisannya yang berjudul “Cita-cita Koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945”, Bung Hatta mengatakan bahwa pengertian asas kekeluargaan dalam Pasal 33 tersebut adalah koperasi. Asas kekeluargaan adalah suatu istilah yang diterapkan di Taman Siswa, untuk menunjukkan bagaimana guru dan murid-murid yang tinggal padanya hidup sebagai suatu keluarga. Begitu pulalah hendaknya corak koperasi di Indonesia, di mana hubungan antara anggota-anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan orang-orang yang bersaudara yang merupakan satu keluarga.165 Keinginan Bung Hatta agar koperasi berperan dalam sistem perekonomian nasional berdasarkan pemikiran bahwa prinsip-prinsip koperasi sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Dalam koperasi, hubungan antara anggota koperasi satu sama lain harus mencerminkan orang-orang bersaudara (sekeluarga). Rasa solidaritas dipupuk dan diperkuat dengan cara setiap anggota dididik menjadi orang-orang yang

164 Ibid.

165 Lihat Sri-Edi Swasono (ed), Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: 1987), hal. 16.

mempunyai individualita166, yang selalu menyadari harga dirinya. Dengan kata lain, setiap anggota koperasi harus selalu menyadari, bahwa adanya orang seorang adalah karena adanya masyarakat. Setiap anggota koperasi harus mempunyai rasa tanggung jawab moril dan sosial karena apabila tanggung jawab moril dan sosial tidak ada, maka koperasi tidak akan tumbuh dan tidak akan membuahkan hasil.167

Namun Bung Hatta menggaris-bawahi bahwa konsep “dikuasai oleh negara”

dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tidak berarti bahwa negara sendiri yang menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Akan tetapi kekuasaan negara yang dimiliki oleh pemerintah digunakan antara lain untuk membuat peraturan yang dapat melancarkan jalannya perekonomian dan peraturan yang melarang praktik

“penghisapan” oleh pemilik pemodal terhadap orang atau pemilik usaha kecil yang lemah.168

Dengan mengacu kepada penjelasan Pasal 33 UUD 1945 diketahui bahwa ayat 1, 2 dan 3 Pasal 33 UUD 1945 ini pada dasarnya merupakan landasan dari Demokrasi Ekonomi atau lebih populer dengan istilah Sistem Ekonomi Kerakyatan, adalah suatu sistem perekonomian yang mengutamakan peningkatan partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses penyelenggaraan perekonomian. Dengan demikian maka dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan ini setiap anggota masyarakat tidak hanya diperlakukan sebagai objek, tetapi juga sebagai subjek yang memiliki

166 Menurut Mohammad Hatta, pengertian individualitas dan individualita berbeda. Tidak seperti individualisme yang mengutamakan kepentingan diri sendiri, makna individualita menunjuk kepada kepribadian atau watak seseorang. Lihat Dilear Noer, Op.Cit., hal. 227-228.

167 Mohammad Hatta, (1) “Penjabaran Pasal 33 UUD’45”, (Jakarta: 1980), hal. 27-28. 168 Mohammad Hatta, (2) “Cita-cita Koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945” dalam Sri-Edi Swasono (ed), Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: 1987), hal. 17.

hak untuk berpartisipasi secara langsung dalam penyelenggaraan perekonomian dan sekaligus turut serta mengawasi penyelenggaraannya. Hal ini secara tidak langsung mengemukakan dijaminnya campur tangan negara dalam penyelenggaraan perekonomian sebagaimana secara tegas dinyatakan dalan Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945,169 namun dalam implementasinya ditafsirkan secara keliru oleh berbagai pihak. Para pihak yang ingin mempertahankan keberadaan BUMN cenderung memahami konsepsi “dikuasai oleh negara” sebagai diselenggarakan langsung oleh pemerintah. Berbeda dengan konsepsi dasar yang ditawarkan oleh Bung Hatta, bahwa pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 lebih menekankan pada segi dimilikinya hak oleh negara, bukan pemerintah, untuk mengendalikan penyelenggaraan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Penyelenggaraannya secara langsung dapat diserahkan kepada badan-badan pelaksana BUMN atau perusahaan swasta, yang bertanggung jawab kepada pemerintah, namun operasionalnya dikendalikan oleh negara. Sebaliknya, para pihak yang ingin melakukan privatisasi atau menjual BUMN kepada para pemilik modal perseorangan, cenderung menafsirkan bahwa hak negara untuk mengendalikan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak tersebut hanya semata-mata sebagai hak untuk membuat peraturan perundang-undangan. Padahal terdapat perbedaan

169 Revrisond Baswir, “Privatisasi BUMN: Menggugat Model Ekonomi Neoliberalisme IMF” dalam I Wibowo dan Francis Wahono (ed), Neoliberalisme, (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hal. 213.

mendasar antara hak untuk mengendalikan dan hak untuk membuat peraturan perundang-undangan.170

Dalam hal untuk mengendalikan tersebut, selain mengandung hak untuk membuat peraturan perundang-undangan, juga mengandung hak untuk membangun suatu institusi dengan dasar undang-undang, termasuk hak untuk menyelenggarakan BUMN yang bertujuan untuk menjamin tercapainya tujuan pelaksanaan campur tangan negara dalam perekonomian, yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya, dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan, BUMN dipandang sebagai salah satu instrumen yang sengaja dikembangkan oleh negara untuk meningkatkan kemampuannya dalam menjamin pengutamaan kemakmuran rakyat di atas kemakmuran individu. Dengan kata lain, fungsi BUMN dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah sebagai salah satu instrumen penyeimbang bagi negara untuk mengatur bekerjanya mekanisme pasar secara berkeadilan. Sebagai ilustrasi, jika koperasi adalah instrumen penyeimbang mekanisme pasar yang modalnya dimiliki secara langsung oleh para anggotanya, maka BUMN adalah instrumen penyeimbang mekanisme pasar yang modalnya dimiliki oleh negara atas nama seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, tidak ada alasan bagi BUMN untuk memonopoli suatu cabang produksi tertentu. Hal ini tidak hanya berlaku pada cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Lebih jauh bahkan tidak tertutup kemungkinan bagi BUMN untuk menjual sebagian sahamnya di pasar modal atau membagikannya kepada para karyawan, konsumen, dan kepada pemerintah daerah.

170

Sebaliknya, tidak ada pula alasan untuk mengharamkan keberadaan BUMN atau serta merta memindahkan kepemilikan seluruh BUMN secara penuh kepada para pemilik modal perseorangan. Mengharamkan keberadaan BUMN tidak hanya akan melemahkan kemampuan negara dalam mengendalikan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, tetapi secara langsung mengancam pemenuhan amanat konstitusi untuk mengutamakan kemakmuran rakyat banyak di atas kemakmuran individu.171

Mengenai hubungan antara public utilities dan kekuasaan pemerintah, Bung Hatta mengemukakan bahwa public utilities sebaiknya diusahakan oleh pemerintah dengan pengadaan pelayanan umum seperti listrik, gas, air adalah bidang usaha yang harus digarap pemerintah, ditambah dengan cabang-cabang produksi yang penting lainnya seperti industri pokok dan tambang perlu pula dimiliki atau dikuasai oleh negara. Namun dalam hal ini pengertian “dikuasai” bukan otomatis dikelola langsung oleh pemerintah, tetapi dapat dengan menyerahkannya pada pihak swasta, asalkan tetap berada di bawah pengawasan pemerintah. Kepemilikan perusahaan-perusahaan tersebut sebaiknya di tangan pemerintah, akan tetapi pimpinan perusahaannya

171

Ibid, hal. 215. Menurut Hadori Yunus, pengertian dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat pada hakikatnya merupakan penguasaan negara atas bumi, air dan kekayaan alam untuk kepentingan nasional dan untuk tujuan mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jika kekayaan alam tidak dikuasai oleh negara mengakibatkan setiap orang akan mengeksploitasinya sehingga kekayaan alam itu dikhawatirkan hanya akan dihambur-hamburkan. Hadori Yunus, “Nasionalisme dalam Ekonomi Pancasila”, dalam Mubyarto dan Boediono (ed), Ekonomi Pancasila, (Yogyakarta: BPFE, 1994), hal. 129. Bandingkan dengan Mubyarto yang mengatakan bahwa: (1) penguasaan oleh negara dilakukan karena cabang-cabang produksi tersebut menguasai hajat hidup orang banyak; dan (2) penguasaan bumi, air dan kekayaan alam tersebut adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya, penguasaan oleh negara terhadap cabang-cabang produksi dan kekayaan alam itu dipandang dapat menjamin perlindungan kepentingan orang banyak dan demi kemakmuran rakyat secara maksimal. Mubyarto, Op.Cit., hal. 51- 52.

diberikan kepada tenaga yang cakap, dan kalau perlu manajemen asing dapat disewa dengan persyaratan para tenaga asing tersebut bersedia mendidik orang Indonesia yang kelak akan menggantikan mereka.172

Pada kesempatan lain Bung Hatta menegaskan kembali pengertian usaha bersama atas asas kekeluargaan seperti dimaksud dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut173:

“Usaha bersama atas asas kekeluargaan ialah koperasi, seperti yang dipahamkan dalam sosialisme Indonesia. Pasal 33 UUD membagi pekerjaan membangun ekonomi masyarakat antara koperasi dan negara. Koperasi membangun dari bawah, mengajak orang banyak bekerja sama untuk menyusun dasar-dasar kemakmuran rakyat. Usaha yang besar-besar diselenggarakan oleh negara. Dikuasai oleh negara tidak berarti, bahwa pemerintah sendiri menjadi pengusaha dengan segala birokrasi yang ada padanya. Pemerintah menetapkan politik perekonomian, berdasarkan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

172 Mohammad Hatta, (2), Op.Cit., hal. 18.

173 Mohammad Hatta, (3) “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia”, dalam Sri-Edi Swasono dan Fauzie Ridjal (ed), Demokrasi Kita, Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan, (Jakarta: 1992), hal. 150. Menurut Wilopo istilah “usaha bersama” dalam rumusan Pasal 33 UUD1945 tersebut menunjukkan perbedaan dari usaha swasta, sedangkan istilah “asas kekeluargaan” menyatakan ide tanggung jawab bersama untuk menjamin kemajuan bagi semua orang. Tujuan memajukan usaha bersama bukanlah untuk keuntungan pribadi melainkan kemajuan bagi seluruh masyarakat. Kesadaran tanggung jawab masyarakat menjamin bahwa keadilan akan dapat dilaksanakan. Diantara unsur-unsur khas hubungan kekeluargaan itu terdapat unsur hidup bersama, unsur usaha bersama para anggota demi kebaikan bersama bagi seluruh keluarga, dan pembagian hasil usaha bersama di antara para anggota sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Lihat Sri-Edi Swasono (ed), Sistem Ekonomi dan Demokrasi

Ekonomi, (Jakarta: 1987), hal. 26-27 dan 36. Bandingkan dengan Thoby Mutis yang mengemukakan

bahwa dalam konsep manajemen modern ‘kodeterminasi’, pengelolaan sektor ekonomi dilakukan secara bersama-sama antara manajemen dengan pekerja sebagai perwujudan asas kebersamaan. Budaya ini merupakan unsur penting dalam penetapan suatu budaya perusahaan (corporate culture) yang akan menjadi faktor penentu keberhasilan suatu usaha. Pada manajemen kodeterminasi terdapat prinsip pain sharing, process sharing dan profit sharing dalam pengelolaan suatu sektor ekonomi. Manajemen kodeterminasi berpijak kepada premis bahwa semua pihak menjadi sentral di dalam badan usaha. Dengan demikian tidak ada absolutisme atau mutlak-mutlakan dalam menentukan kebenaran dan kebaikan, melainkan ditentukan secara bersama-sama dalam kematangan sebagai sentra.

Kodeterminasi mengandung tatanan emancipatory dan participatory dalam lingkup timbal balik dan

tidak ada pihak yang mengalami proses marginalisasi. Thoby Mutis, Pendekatan Ekonomi

Pengetahuan dalam Manajemen Kodeterminasi: Jurus Jitu Memenangkan Persaingan, (Jakarta: MM

Pekerjaan dapat diserahkan kepada badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab kepada pemerintah, yang kerjanya dikontrol oleh negara”.

Berdasarkan pendapat Bung Hatta tersebut di atas diketahui bahwa sistem ekonomi nasional dikembangkan oleh tiga pelaku ekonomi utama yaitu koperasi, swasta dan negara. Namun dalam hal ini negara sebagai pelaku ekonomi tidak mutlak harus menjalankan sendiri kegiatan usahanya karena dapat saja dikelola oleh pihak lain yang profesional. Sedangkan bagaimana tata cara pelaksanaan sistem ekonomi nasional semuanya akan ditentukan berdasarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemegang kedaulatan rakyat tertinggi.

Pada tanggal 12 April 1947 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan pengangkatan Panitia Seminar Siasat Ekonomi (Brains Trust) yang melibatkan Bung Hatta sebagai salah seorang pendiri negara Indonesia. Dalam seminar tersebut dilakukan penafsiran terhadap maksud dan tujuan Pasal 33 UUD

Dokumen terkait