• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEPEMILIKAN DAN PENGELOLAAN PERUSAHAAN

B. Pendirian Perusahaan Negara (BUMN) di Indonesia

1. Sejarah Ringkas

Seiring dengan konfrontasi politik di Indonesia pada tahun 1959, Pemerintah telah mengambilalih perusahaan-perusahaan asing termasuk perusahaan Belanda.71 Ketika itu pemerintah menginginkan dan berharap agar perusahaan-perusahaan Belanda yang telah diambil-alih dapat dikelola dan dikembangkan oleh para pengusaha swasta pribumi, akan tetapi kenyataan menunjukkan bahwa para pengusaha swasta pribumi saat itu belum memiliki kemampuan untuk menanganinya karena keterbatasan modal usaha dan sumber daya manusia. Sejumlah pengusaha etnis Tionghoa yang bersedia membeli dan mengelola eks perusahaan-perusahaan Belanda tersebut ditolak Pemerintah dengan alasan pengusaha etnis Tionghoa tidak boleh lagi mendominasi dunia usaha di bidang perdagangan, industri dan pertanian seperti pada jaman pemerintahan kolonial Belanda. Karena itu Pemerintah akhirnya mengambil keputusan mendirikan sejumlah perusahaan negara untuk mengelola eks perusahaan-perusahaan Belanda dimaksud.72

70 Bacelius Ruru, (1), dalam Riant Nugroho D. & Ricky Siahaan (ed), Op.Cit., hal. 129-143. 71 Menurut Martiono Hadianto (ketika menjabat Direktur Jenderal BUMN Depkeu RI), BUMN didirikan dengan latar belakang yang berbeda, misalnya BUMN yang berasal dari nasionalisasi beberapa perusahaan ex Hindia Belanda (Jawatan Kereta Api dan Pegadaian). “Di samping

meneruskan warisan pemerintah Hindia Belanda, pemerintah mendirikan beberapa BUMN di antaranya Garuda, Pelni, Jakarta Liyod (sektor perhubungan), BNI, BRI (sektor perbankan), PT

Semen Gresik dan PT Pupuk Sriwijaya (sektor manufaktur). Selain itu pemerintah juga mendirikan BUMN yang berasal dari pengambilalihan perusahaan Inggris, Malaysia dan Singapura”. Martiono Hadianto, “Peran dan Posisi BUMN dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua” dalam Moh. Arsjad Anwar dkk (ed), Strategi Pembiayaan & Regrouping BUMN: Upaya Menciptakan Sinergi dalam

Rangka Peningkatan Daya Saing BUMN, (Jakarta, 1994), hal. 11-12. 72

Kebijakan yang diambil Pemerintah pada awal tahun 60-an tersebut hampir mengalami kebuntuan karena Indonesia pada masa itu belum memiliki sumber daya manusia yang cukup memadai untuk menjalankan perusahaan-perusahaan berskala besar secara efisien dan produktif. Dalam pada itu, pengusaha pribumi sendiri belum memiliki pengetahuan dan pengalaman yang banyak untuk memimpin unit usaha yang besar. Untuk mengatasi masalah sumber daya manusia ini Pemerintah mengerahkan sumber daya manusia dari kalangan militer yang ketika itu relatif cukup baik. Di Indonesia, kalangan militer telah berpengalaman dalam mengelola kegiatan- kegiatan berskala besar seperti pengadaan personil (rekruitmen, pendidikan dan pelatihan) dan logistik (pengadaan, pengangkutan dan logistik), sehingga boleh dikatakan bahwa kebijakan Pemerintah inilah yang menumbuhkan embrio dwifungsi militer di Indonesia.73

Pada masa ini, perusahaan negara diatur dengan berbagai peraturan perundang- undangan seperti Undang-Undang Perusahaan Negara (Indonesiche Bedrijven Wet/IBW), Undang-Undang Perbendaharaan Negara (Indonesische Comptabliteits Wet/ICW), Kitab

73 Indra Bastian, Ibid, hal. 94. Dapat ditambahkan bahwa posisi dan peranan negara dalam perekonomian nasional pasca kemerdekaan sangat dominan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: (1) Situasi negara yang baru lepas dari penjajahan tidak memiliki social overhead

capital (SOC) sebagai modal pembangunan; (2) Besarnya kerugian dan kerusakan public utilities

sebagai akibat perang; dan (3) Terpinggirkannya pengusaha pribumi (sebagai kelas ketiga setelah pengusaha Eropa dan Keturunan Arab dan China). Berbagai permasalahan tersebut mendorong pemerintah untuk berperan lebih besar dan melakukan beberapa intervensi untuk mendorong tumbuhnya perekonomian nasional. Upaya menggerakkan perekonomian dalam masa demokrasi parlementer diimplementasikan melalui Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) dan Program Benteng yang ditujukan untuk membantu pengusaha pribumi. Beberapa kebijakan ekonomi pemerintah juga diarahkan untuk mendorong perekonomian nasional dengan mendirikan perusahaan negara melalui proses nasionalisasi. Nasionalisasi terutama terjadi pada beberapa perusahaan Belanda di bidang infrastruktur yang bersifat natural monopoly. Lihat Setyanto P. Santosa, “Privatiasi: Penerapan Nasionalisme Pengelolaan BUMN”, http://kolom.pacific.net.id/ind/media/PrivatisasiPenerapan

Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Dagang.74 Pengaturan perusahaan negara dengan berbagai ketentuan tersebut pada akhirnya menimbulkan kesulitan di bidang administrasi dan pengawasan oleh pemerintah. Karena itu, untuk melakukan reorganisasi alat-alat produksi dan distribusi yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, maka Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 19 Tahun 1960. Dengan Perpu ini, pengertian perusahaan negara diseragamkan yaitu semua perusahaan dalam bentuk apapun yang modalnya untuk seluruhnya merupakan kekayaan Negara Republik Indonesia kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-Undang.75

Sistem ekonomi terpimpin di masa Orde Lama (ORLA) memfungsikan perusahaan-perusahaan negara sebagai instrumen industrialisasi ekonomi dan pengelolaannya didominasi oleh militer. Ketika kekuasaan ORLA berakhir pada tahun 1967, perusahaan negara telah mendominasi perekonomian seperti perbankan, perdagangan, perkebunan, pertambangan, perminyakan, industri manufaktur, industri barang modal, bahkan industri berat seperti industri baja, perkapalan, elektronika dan semen. Seiringan dengan itu pula, kalangan pengusaha semakin maju dan berkembang pada sektor perdagangan, transportasi, industri ringan dan industri jasa karena mereka bernaung dalam suatu asosiasi yang dikendalikan oleh Pemerintah. Perusahan-perusahaan negara bisa menjadi kuat karena disubsidi dan diproteksi oleh Pemerintah dengan maksud agar perusahaan-perusahaan negara tersebut dapat

74 Marwah M. Diah, Op.Cit., hal. 184. 75

berperan sebagai agent of industrial growth. Namun kebijakan Pemerintah ini dinilai pilih-kasih dan berdampak buruk terhadap perkembangan peranan swasta dalam konteks pembangunan perekonomian nasional.76

Konsep Presiden Soekarno tentang sistem ekonomi nasional ternyata dipengaruhi oleh “laporan-laporan yang diterima dari Atase Indonesia di Yugoslavia, yang telah menggunakan perusahaan negara sebagai kendaraan untuk pembangunan nasional dengan sukses luar biasa. Perusahaan negara juga merupakan kompromi yang berhasil antara kapitalisme dan komunisme dan secara politis berhasil karena Yugoslavia merupakan anggota blok komunis yang paling condong keluar”.77 Dengan mengembangkan perusahaan negara pada seluruh sektor ekonomi, di mana masing-masing perusahaan negara memiliki wewenang eksklusif atas sektor ekonomi yang vital dan strategis, Presiden Soekarno berharap pembangunan ekonomi nasional bisa berhasil dan meningkat dengan cepat.

Kemudian perubahan mendasar terjadi dalam sistem perkonomin Indonesia ketika Orde Baru (ORBA) mengambil alih kekuasaan pada tahun 1967. Terjadinya perubahan mendasar tersebut terutama dipengaruhi oleh dua lembaga donor internasional, yaitu International Governmental Group on Indonesia (IGGI) dan International Bank for Reconstruction & Development (IBRD). Kedua lembaga donor ini berhasil meyakinkan Pemerintah bahwa upaya pemulihan perekonomian

76 Indra Bastian, Op.Cit., hal. 94.

77 Lihat Robert Pabrikan, “Pertamina: Sebuah Perusahaan Minyak Nasional di Negara Berkembang”, dalam Mulya Lubis dan Richard M. Buxbaum (ed), Peranan Hukum dalam

Indonesia harus didukung oleh bantuan luar negeri. Namun untuk dapat memperoleh bantuan luar negeri tersebut, kedua lembaga donor dimaksud mensyaratkan Pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan “pintu terbuka” untuk memberi jalan masuknya modal asing. Agar bantuan luar negeri tersebut dapat diperoleh, maka Indonesia menerbitkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1969 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang telah mendorong masuknya modal asing ke Indonesia melalui berbagai perusahaan multinasional.

Dalam tahun yang sama, Pemerintah kembali mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 1969 yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 9 Tahun 1969 yang berhasil mengurangi jumlah BUMN dari sekitar 822 menjadi 184 perusahaan. Dengan Undang-Undang ini, BUMN dikelompokkan menjadi tiga bentuk yaitu Perjan, Perum dan Persero. Selain itu, ada lagi bentuk BUMN yang diatur secara khusus dengan undang-undang tersendiri yaitu bank-bank milik pemerintah dan Pertamina.78 Dalam praktiknya, bidang usaha BUMN dibedakan antara public utilities

78 Perjan adalah BUMN yang berusaha di bidang penyediaan jasa-jasa bagi masyarakat termasuk pelayanan kepada masyarakat, permodalannya termasuk bagian dari APBN yang dikelola oleh Departemen yang membawahinya, dan statusnya berkaitan dengan hukum publik (IBW dan ICW); Perum adalah BUMN yang berusaha di bidang penyediaan pelayanan bagi kemanfaatan umum di samping mendapatkan keuntungan, modal seluruhnya milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan dan berstatus badan hukum yang diatur dengan undang-undang; dan Persero adalah BUMN yang bertujuan untuk memupuk keuntungan dan berusaha di bidang-bidang yang dapat mendorong perkembangan sektor swasta dan koperasi, di luar bidang usaha Perjan dan Perum, modal seluruhnya atau sebagian adalah milik negara dari kekayaan yang dipisahkan dan terbagi atas saham-saham serta berstatus badan hukum perdata yang berbentuk perseroan terbatas (PT). Marwah M. Diah, Op.Cit., hal. 184-186.

(perposan, telekomunikasi, listrik, gas, kereta api dan penerbangan), industri vital strategis (minyak, batu bara, besi baja, perkapalan dan otomotif), dan bisnis.79

Setahun kemudian diundangkan pula Undang-Undang No. 6 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang mendorong terciptanya perusahaan-perusahaan raksasa milik sekelompok kecil pengusaha etnis Tianghoa. Seiring itu pula, lahir perusahaan-perusahaan besar milik badan-badan usaha yang terkait dengan sejumlah yayasan dan oknum militer, yang diduga mewakili militer sebagai institusi. Diperkirakan bahwa sejak saat ini mulai tercipta hubungan kepentingan antara berbagai perusahaan swasta dengan militer dan elit politik yang berkuasa dalam berbagai bentuk kerjasama yang ditengarai bernuansa kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).80

Ketika Indonesia memperoleh keuntungan yang sangat besar akibat melambungnya harga minyak dan gas bumi di pasar internasional, tidak bisa dipungkiri fakta bahwa “rejeki nomplok” tersebut memberikan andil yang cukup besar dalam peningkatan perekonomian nasional. Terciptanya kondisi ekonomi yang cenderung semakin baik dan ditopang pula oleh stabilnya kehidupan politik nasional pada awal tahun 1980-an ini, adalah faktor utama pendorong bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan ekonomi nasional. Kurang lebih dua pertiga penerimaan pemerintah bersumber dari minyak dan gas bumi. Namun, booming penerimaan dari migas yang berlimpah dan memberikan keuntungan yang sangat besar bagi

79 Christianto Wibisono, dalam Ibrahim, Prospek BUMN dan Kepentingan Umum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 107.

80

pemerintah saat itu ternyata tidak disertai dengan sistem pengelolaan keuangan yang baik, khususnya dalam tubuh BUMN. Di samping maraknya masalah KKN, pemerintah pusat justru memberi suntikan dana secara besar-besaran kepada beberapa BUMN karena pemerintah merasa mampu memberi subsidi untuk berbagai kegiatan, termasuk membantu kegiatan BUMN yang sebetulnya kurang efisien. Tabel 1 berikut ini dapat menggambarkan betapa besarnya suntikan dana yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN, termasuk untuk BUMN yang merugi, sejak periode 1975- 1980.81

Tabel 1. Suntikan Modal Pemerintah Pusat kepada BUMN

Tahun Rp

(Miliar)

USS (Juta) Tahun Rp

(Miliar) USS (Juta) 1975 109 263 1981 481 770 1976 218 525 1982 337 539 1977 167 402 1983 592 595 1978 129 311 1984 336 312 1979 253 405 1985 412 366 1980 476 762 1986 91 79

Sumber: A. Effendy Choirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2003), hal. 4-5.

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1983 tentang Tata Cara Pembinaan dan Pengawasan Perjan, Perum dan Persero dimaksudkan untuk meningkatkan peranan perusahaan negara dan sekaligus pengendaliannya oleh Pemerintah. Dengan adannya PP ini Pemerintah memiliki kewenangan yang sangat besar dalam hal pengelolaan BUMN dan sekaligus membatasi kewenangan

81 A. Effendy Choirie, Privatisasi Versus Neo-Sosialisme Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2003), hal. 4-5.

pengelolanya (manajemen). Kewenangan Pemerintah ini dilaksanakan oleh Departemen Keuangan sebagai wakil pemegang saham dan departemen teknis sebagai kuasa wakil pemegang saham. Dapat dikatakan bahwa PP tersebut memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan BUMN itu sendiri karena berdasarkan penelitian diketahui bahwa dalam hal rekruitmen direksi dan dewan komisaris, peranan dan kepentingan kedua departemen dimaksud sangat dominan. Direksi dan komisaris bertindak hanya untuk kepentingan dan keuntungan dari departemen yang menunjuk atau mengangkatnya, bukan berdasarkan profesionalisme sehingga kemandirian manajemen BUMN sebagai lembaga bisnis menjadi hilang. Kedua departemen tersebut selalu mencampuri operasionalisasi BUMN sehingga menyulitkan pihak manajemen untuk mengembangkan usahanya. Selain itu, karena dalam prakteknya kedua pimpinan (menteri) dari departemen tersebut seringkali memiliki visi yang bertentangan membuat direksi BUMN sulit untuk dapat mengelolanya dengan baik, terutama dalam hal pengambilan keputusan untuk pengembangan BUMN itu sendiri. Dalam seminar The CEO Business Summit/Profile & Anatomy of Privatization yang diselenggarakan pada tanggal 25 Oktober 1994, tiga direktur utama BUMN mengungkapkan bahwa PP No. 3 Tahun 1983 memang menimbulkan kesulitan bagi mereka dalam pengelolaan dan pengembangan BUMN.82

82 Marwah M. Diah, Op.Cit,, hal. 187-188. Menurut Didiek J. Rachbini, BUMN adalah sistem dan organisasi yang kompleks karena keberadaannya sebagai organisasi bisnis berhadapan langsung dengan organisasi birokrasi dan politik kekuasaan. Sebagai organisasi bisnis, BUMN harus berhadapan dengan pasar dan persaingan yang ketat. Jika gagal menghadapi persaingan tersebut maka kesinambungan usahanya terancam dan bangkrut. Dengan demikian BUMN menghadapi masalah dasar yang sama dengan organisasi bisnis atau perusahaan swasta lainnya sehingga ketahanan perusahaan harus dijaga. Biaya produksi harus ditekan semaksimal mungkin untuk memperkuat

Jatuhnya harga minyak bumi pada tahun 1986 membawa akibat signifikan terhadap perkembangan BUMN. Terpuruknya harga minyak bumi membuat penerimaan negara dari sektor migas menjadi berkurang, sehingga Pemerintah mengambil kebijakan pengetatan anggaran, termasuk pemberian subsidi untuk berbagai kegiatan perekonomian seperti BUMN.83 Untuk memberdayakan kembali peranan BUMN, pemerintah mengeluarkan PP No. 55 Tahun 1990 tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang Menjual Sahamnya Kepada Masyarakat Melalui Pasar Modal. Melalui PP ini pemerintah memberikan otonomi yang luas kepada BUMN yang telah go-public. Artinya, pemerintah memiliki keinginan yang kuat untuk dapat menciptakan BUMN yang mandiri dan memiliki kemampuan yang cukup sebagai pelaku ekonomi dalam menghadapi era perdagangan bebas. Untuk itu pemerintah membebaskan BUMN dari kontrol birokratis. Hubungan antara pemerintah sebagai pemegang saham dengan pengelola BUMN dijalankan secara profesional. Misalnya di dalam pengambilan keputusan, Direksi BUMN cukup hanya dengan melakukan konsultasi dengan Dewan Komisaris. Dalam hal ini jelas bahwa pemerintah berusaha untuk mendorong pengelolaan BUMN dilakukan sesuai dengan

persaingan dan survival. Di sisi lain, BUMN berhadapan langsung (head to head) dengan kompleksitas birokrasi, politik, dan kekuasaan. Undang-Undang BUMN mencabut garis komando kementrian terhadap BUMN karena BUMN menjadi “sapi perah” dan ajang moral hazard. Meski demikian, intervensi politik, birokrasi, dan kekuasaan masih tetap besar sehingga membuat BUMN seperti terikat kakinya. Didiek J. Rachbini, (1), “BUMN dan Pilitik“, Harian Suara Merdeka, Senin, 09 Oktober 2006.

83 Barcelius Ruru, (2) “Restrukrisasi Peran BUMN: Tinjauan Ideologis dan Ekonomis” dalam Kumala Hadi dkk (ed), Liberalisasi Ekonomi dan Politik di Indonesia, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 1997), hal. 332.

prinsip-prinsip usaha swasta dan mengubah statusnya dari Perjan menjadi Perum dan selanjutnya meningkat menjadi Persero.84

Selanjutnya, pengertian “Badan Usaha Negara” dihubungkan dengan keberadaan Bank-Bank Pemerintah, seperti dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968, Pasal 14 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 jo. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Prp Tahun 1960 tentang Bank Pembangunan Indonesia. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 jo. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1968 tentang Bank Negara Indonesia 1946, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1968 tentang Bank Dagang Negara, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1968 tentang Bank Bumi Daya, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 1968 tentang Bank Tabungan Negara, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968 tentang Bank Rakyat Indonesia, Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1968 tentang Bank Ekspor Impor Indonesia. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa Bank Milik Negara adalah

“badan hukum yang modalnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan”. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 diatur bahwa Bank Indonesia adalah milik Negara... dan seterusnya. Selanjutnya Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 mengatur bahwa modal bank

84

“berjumlah Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan”.85

Memperhatikan ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 1972 dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 jo. Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 1967, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 jo. Undang-Undang Nomor 21 Prp Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1968, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1968, dapat disimpulkan bahwa “Badan Usaha Negara” adalah “badan usaha atau perusahaan yang modalnya dimiliki oleh negara, baik seluruhnya maupun sebagian yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan”.86

Jadi, secara prinsip pengertian “BUMN” dan “Badan Usaha Negara” sama, yaitu suatu badan usaha atau perusahaan di mana negara melakukan penyertaan modal, baik sebagian maupun seluruhnya, berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.87

Dokumen terkait