• Tidak ada hasil yang ditemukan

BENTUK-BENTUK HAK DARI LEMBAGA PENYIARAN TELEVISI

A. Pengertian Lembaga Penyiaran Televisi

Televisi saat ini adalah sarana elektronik yang paling digemari dan dicari orang. Untuk mendapatkan televisi tidak lagi sesusah zaman dahulu dimana perangkat komunikasi ini adalah barang yang langka dan hanya kalangan tertentu yang sanggup memilikinya. Saat ini televisi telah menjangkau lebih dari 90 persen penduduk di negara berkembang. Televisi yang dulu mungkin hanya menjadi konsumsi kalangan dan umur tertentu saat ini bisa dinikmati dan sangat mudah dijangkau oleh semua kalangan tanpa batasan usia.28

Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, pada Pasal 13 ayat 2 ditegaskan bahwa jasa penyiaran diselenggarakan oleh:

1. Lembaga penyiaran swasta 2. Lembaga penyiaran publik 3. Lembaga penyiaran komunitas 4. Lembaga penyiaran berlangganan.

Siaran televisi di Indonesia, mungkin di seluruh dunia, akan menghadapi kontroversi antara "disukai dan tidak disukai". Di satu sisi siaran tv "disayangi"

28

Dwi Kurnia, “Tugas PTK Televisi”,

http://dwikurniakj05.wordpress.com/2008/05/03/tugas-ptk-televisi/, diakses tanggal 10 Juni 2009.

karena memberi banyak kenikmatan, di sisi lain, "tidak disenangi" karena dianggap mendatangkan banyak perubahan yang sering dikaitkan dengan moral, etika, nilai-nilai tradisi dan dianggap terlalu "agresif" dalam persaingan antarmedia massa, cetak, elektronik, maupun film.29

Kita juga tidak cukup memberi perhatian pada perkembangan industri televisi yang kini berjalan bak berprinsip neoliberal, menyerahkan perkembangan industri sepenuhnya kepada pasar bebas.30

Dalam Kompas 11 Desember 1995 Dirjen Kebudayaan mengatakan, gencarnya serbuan informasi atau program asing melalui siaran televisi merupakan masalah paling umum kini. Pernyataan ini kiranya mewakili pendapat betapa siaran televisi telah membawa banyak masalah dalam kehidupan kebudayaan kita. Apakah semua masalah itu hanya menjadi "beban" penyelenggara siaran semata? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita tidak hanya menilai keluarannya (out put) televisi, namun membahas bagaimana sesungguhnya selama ini kita memperlakukan dan mengatur keberadaan televisi di Indonesia demi terciptanya manfaat yang optimal dan bukan sebaliknya.31

Media massa umumnya memiliki kebijakan masing-masing dalam menentukan isi atau program, untuk memperoleh kekhasan profil khalayak sasaran yang mereka inginkan. Kebijakan tersebut sekaligus menentukan mutu media massa

29

Kuswandi, Wawan. Komunikasi Massa : Sebuah Analisis Media Televisi, Rineka Eka Cipta, Jakarta, 1996, hal. V.

30

Amir Effendi Siregar, “Industri Televisi Kita,” http://www.mail-archive.com/forum-pembaca-kompas@yahoogroups.com/msg84522.html, diakses tanggal 20 Juni 2009.

31

William L Rivers, Jay W. Jensen, Theodore Peterson, Media Massa dan Masyarakat

yang bersangkutan, termasuk iklan-iklan yang dimuat atau ditayang oleh media massa tersebut.

Pengertian televisi itu sendiri dapat diartikan sebagai sebuah alat penangkap siaran bergambar. Kata televisi berasal dari kata tele dan vision, yang mempunyai arti masing-masing jauh (tele) dan tampak (vision).32 Jadi televisi berarti tampak atau dapat melihat dari jarak jauh. Penemuan televisi itu sendiri dapat disejajarkan dengan penemuan roda, karena penemuan ini dapat merubah peradaban dunia. televisi selalu indentik dengan kata siaran televisi, dimana menurut Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia Nomor : 54 / B KEP / MENPEN / 1971 Tentang penyelenggaraan Siaran Televisi di Indonesia siaran televisi berarti siaran-siaran dalam bentuk gambar dan suara yang dapat ditangkap ( dilihat dan didengarkan ) oleh umum baik dengan system pamancaran dalam gelombang-gelombang elektro-magnetik maupun lewat kabel-kabel.

Kritik khalayak tidak hanya terjadi pada segi redaksional (media pers) atau program (media elektronik), tetapi seringkali juga pada iklan-iklan yang dimuat atau ditayangkan media massa tersebut. Adakah upaya media massa selama ini untuk menentukan kebijakan mutu iklan yang dimuat atau ditayangkan oleh mereka? Sebagai "pintu terakhir" untuk menyaring iklan yang melanggar etika, apa upaya media massa untuk turut mewujudkan swakrama?

32

Ruedi Hofmann, Dasar-dasar Apresiasi Program Televisi, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1999, hlm. 9.

Ada kesan, bahwa media massa lebih suka menyerahkan tugas penyaringan etika iklan kepada pihak lain, misalnya; perusahaan periklanan, pengiklan atau Lembaga Sensor Film, dan sebagainya.33 Padahal dalam Tata Krama Periklanan Indonesia jelas-jelas dinyatakan, bahwa Media Periklanan bertanggung jawab atas kesepadanan antara pesan iklan yang disiarkannya dengan nilai-nilai sosial-budaya dari profil khalayak sasarannya.

Salah satu lembaga penyiaran yang ada di Indonesia adalah Deli TV. Deli TV (DTV) adalah stasiun televisi lokal pertama di Medan dan Sumatra Utara. Memiliki stasiun pemancar di Sibolangit dan Studio & kantor di jl.wartawan simp.intertip Nomor1 Medan, Indonesia . Diluncurkan tgl 18 Desember 2005. Siaran dimulai jam 10.00 - jam 24.00 , dengan kontent hampir 50% program lokal. Hanya dalam 2 tahun, Delitv telah eksis dengan didukung hampir 70% sponsor atau iklan lokal.34

Tak diragukan lagi, bahwa sebenarnya tujuan diciptakan televisi memiliki banyak manfaat yang positif. Setidaknya seperti apa yang dikatakan oleh Drs. Wawan Kuswandi dimana dikatakakan bahwa tujuan dari media televisi seharusnya (hal ini dalam konteks luas, tetapi tak tertutup juga dalam konteks keindonesiaan) :35

1. Sebagai alat informasi 2. Hiburan 3. Kontrol sosial 33 Ibid. 34

Hasil wawancara dengan ibu Yose Piliang, Executive Produser Deli TVMedan, tanggal 2 Juni 2009.

35

Iwan Sutiawan, “ Menyibak ‘Budaya’ Latah Tayangan Televisi,” dalam http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0705/02/0805.htm, diakses tanggal 20 Juni 2009.

4. Penghubung wilayah secara geografis.

Mari kita lihat apakah tujuan dari media televisi sudah sesuai dengan apa yang diharapkan khususnya dengan porsi acara televisi di Indonesia yang disuguhkan oleh beberapa stasiun televisi di Indonesia, khususnya stasiun televisi swasta yang tumbuh menjamur baik coverage nasional maupun lokal. Bila ia sebagai alat informasi tak jarang hanya lebih banyak diisi dengan berita infotainment, berapa banyak berita yang bersifat interaktif dan memperkaya wawasan seseorang justru tidak ditempatkan pada slot acara yang dikategorikan prime time, berarti hal ini secara tidak langsung menjadikan sisi hura-hura (lepas dari hasrat para pemasang iklan) lebih banyak diangkat di televisi dibandingkan dengan sisi yang seharusnya menjadikan rakyat Indonesia lebih merasakan dan sensitif terhadap permasalahan sosial di sekitarnya. Masyarakat lebih suka dan lebih peduli dengan siapa selebritis yang hari ini bercerai dibandingkan dengan kasus mengapa seorang ibu tega membunuh ketiga anaknya. 36

Bila sebagai hiburan, maka tak jauh hiburan yang disuguhkan lebih banyak kepada fokus acara sinetron (sinema elektronik). Adapun sinetron yang ada, sangat tak mewakili seluruh provinsi di Indonesia, yang ada hanya lingkup sentralistik Jakarta dan memukul rata seluruh provinsi di Indonesia. Lihatlah sinetron ‘remaja’ yang muncul belakangan telah menjadikan para remaja menjadi sosok-sosok yang hedonis dan egois. Lihat pula dengan trend ‘terkenal-instan’ yang telah menjadikan masyarakat Indonesia berharap menjadi masyarakat instant pula, lihat juga trend dengan sinetron yang katanya ‘religius’ dan mengingatkan orang akan mati menjadi

36

latah di seluruh stasiun televisi swasta membuat sinetron ‘islami’ yang sama, dan sederetan hiburan yang tak jelas nilai pendidikkannya apalagi hubungan sosial yang ada di masyarakat Indonesia.

Bila ia sebagai kontrol sosial, rasanya tujuan ini jauh dari harapan. Disebabkan televisi telah menjadikan masyarakat Indonesia individu-individu yang hedonis, kapitalis, bahkan egois. Televisi telah berhasil menempatkan posisinya di hati rakyat Indonesia sebagai guide life yang rasanya ‘kotak ajaib’ itu mesti ada di rumah-rumah keluarga Indonesia, bayangkan dari mulai rumah gedongan sampai bantaran sungai dan kolong jembatan, dari yang bermerek asli sampai imitasi, dari yang bergaransi sampai hasil mencuri, televisi sudah menjadi hajat hidup orang banyak. Lantas bagaimana mau menjadi kontrol sosial, yang ada justru malah menjadikan masyarakat Indonesia para social climber dalam memperlebar stratifikasi sosial dan diferensiasi sosial di masyarakat Indonesia ketika melihat realita bahwa mengikuti televisi sudah menjadi kewajiban tersendiri. Jadi jangan harap televisi menjadi sebuah kontrol sosial, yang ada malah masalah sosial selama tayangan televisi yang ada masih seperti ini.

Siaran-siaran televisi akan memanjakan orang-orang pada saat-saat luang seperti saat liburan, sehabis bekerja bahkan dalam suasana sedang bekerjapun orang-orang masih menyempatkan diri untuk menonton televisi. Suguhan acara yang variatif dan menarik membuat orang tersanjung untuk meluangkan waktunya duduk di depan televisi. Namun dibalik itu semua dengan dan tanpa disadari televisi telah

memberikan banyak pengaruh negatif dalam kehidupan manusia baik anak-anak maupun orang dewasa.

Hadirnya teknologi komunikasi telah membawa perubahan yang besar bagi kehidupan. Banyak sisi positif yang dihasilkan dari hadirnya teknologi televisi sekarang ini, namun sisi negatifnya tidak sedikit juga. Televisi yang berfungsi sebagai alat hiburan, penyampai informasi, pengetahuan/pendidikan, membujuk namun juga dapat menyesatkan dan membohongi publik dengan program-program acara tertentu.37 Komunikasi tanpa batas telah banyak mengakibatkan pergeseran moral. Banyak teyangan televisi saat ini yang sudah kehilangan fungsi. Sebagai lat komunikasi yang seharusnya memberikan manfaat positif, memberikan hiburan yang membangun akhlak namun justru melukai pemirsa baik anak-anak maupun orang dewasa.

Di antara media yang ada, televisi dipandang yang paling mempunyai kelebihan, karena mampu memvisualisasikan barang yang ditawarkan secara nyata, membentuk “image”, juga dilengkapi suara. Penyebaranyapun sangat luas, hampir ke seluruh pelosok nusantara. Untuk itu, televisi telah dimanfaatkan oleh kalangan bisnis umumnya untuk promosi atau iklan, dan nonbisnis untuk kepentingan pendidikan, kampanye/propaganda, penyampaian hasil pembangunan serta lainnya.

Keampuhan televisi seperti itu, tentu akan bermanfaat dan tidak berdampak negatif., jika kita mampu menyajikan pesan-pesan iklan yang benar dan tidak

37

tendensius. Namun sebaliknya, jika iklan tersebut hanya menyajikan mimpi , maka hal itu akan berdampak merugikan konsumen.

Pada Bab I angka 1 TKTCPI (Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia) dinyatakan tentang definisi periklanan sebagai : “salah satu sarana pemasaran dan sarana penerangan”. Dengan demikian bagi perlindungan konsumen, iklan adalah alat pemasaran produk konsumen dan juga alat penerangan (informasi) produk konsumen yang ditawarkan. Sebagai sarana pemasaran, peran iklan adalah untuk mendorong penciptaan kebutuhan produk konsumen yang diiklankan, memantapkan dan atau meningkatkan pangsa pasar produk tersebut.

Mungkin harapannya adalah fungsi televisi sebagai penghubung wilayah geografis, dalam hal ini khususnya Indonesia yang wilayahnya luas dan terbagi menjadi beribu-ribu pulau (sampai banyak pulau yang belum diberi nama dan pulau yang hilang ketika pasirnya digerus negara tetangga). Setidaknya televisi dapat menjadi bermanfaat dengan tayangan breaking news-nya baik ketika gempa dan tsunami di NAD, gempa dan tsunami di Yogyakarta, gempa dan tsunami di Pangandaran. Televisi menjadi sarana yang efektif dalam menayangkan berita tersebut dengan sangat cepat (walaupun untuk mengatakan tepat sangat disangsikan, sebab seringkali informasinya meleset).38 Termasuk juga dengan adanya beberapa stasiun televisi yang menayangkan program acara petualangan ke daerah-daerah terpencil di Indonesia sehingga dapat memperkaya wawasan dan menjadikan

38

Sztompka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial (alih bahasa Tri Wibowo Budi Santoso), Prenada Media, Jakarta, Juli 2005, hlm. 23.

masyarakat kota berkaca (tapi itu dia kesemua acara tersebut tidak ditaruh pada slot prime time, jadi akhirnya masyarakat kota pun masih bisa berkaca dengan filem barat dan sinetron murahan).

Terdapat suatu asumsi bahwa televisi memiliki dampak destruktif yang luar biasa, terlebih pada perusakan sistem budaya. Nilai dan norma budaya masyarakat Indonesia yang telah diwarisi secara turun-temurun dapat berubah 360 derajat dengan kehadiran sebuah ‘kotak ajaib’ di rumah-rumah penduduk Indonesia.39

Gaya hidup western setidaknya telah memberikan warna tersendiri, atau justru bahkan mungkin lebih westernis dibandingkan dengan orang western yang ketika ada trend baru sangat sayang untuk dilewatkan oleh generasi belakangan. Gaya hidup

western dan instant pulalah yang menimbulkan masalah sosial baru dikalangan

masyarakat, tumbuhnya generasi hedon baru yang individualistik dan pesimis dalam menatap hidup telah merebak menjadi trend tersendiri di Indonesia.

Betapa tidak, hampir seluruh wilayah di Indonesia berubah menjadi Jakarta. Penulis pernah berkesempatan ke suatu wilayah di Jawa Tengah dan mengunjungi sebuah pasar pakaian murah, dan alangkah kagetnya saya ketika melihat beberapa penjualnya telah menjadi ‘orang Jakarta’ yang berdialek Jawa. Gaya pakaian si-mba yang cukup full pressed body, rambut yang disisir ke pinggir di rebonding dan colouring, gaya bicara medoknya ketika mengucapkan lu-gue, hingga interaksi

39

Wirodono, Sunardian., Matikan TV-Mu, Teror Media Televisi Di Indonesia, Yogyakarta: Resist Book, Maret 2006

dengan teman yang lain benar-benar Jakarta. Kalau tetap seperti ini mungkin budaya lokal dan tradisi adat yang asli akan pudar dan luntur digerus oleh televisi.