• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hak Tekait Lembaga Penyiaran Televisi Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

TENTANG HAK CIPTA

B. Perlindungan Hak Tekait Lembaga Penyiaran Televisi Ditinjau Dari Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Perlindungan hukum terhadap Neighbouring Right secara universal terdapat dalam Konvensi Roma 1961, dan Neighbouring Rights baru mendapat perhatian publik internasional pada Tahun 1928 yaitu ketika revisi Konvensi Bern di Roma. Konvensi ini memuat 34 pasal serta menganut prinsip national treatment dengan jangka waktu perlindungan selama 20 tahun.

Selain pengaturan melalui Konvensi Roma 1961, bidang distribusi program siaran yang menggunakan jaringan transmisi satelit diatur dalam satu konvensi yaitu

Brussel Convention Relative to the Distribution of Programme Carrying Signal Transmitted by Satelite, dan bidang rekaman diatur oleh konvensi tersendiri yaitu Convention for the Protection of Phonogram Againts Unauthorized Duplication of their Phonogram. Konvensi ini ditandatangani di Jenewa pada tanggal 29 Oktober

1971 yang terdiri dari 13 pasal. Ketentuan yang menonjol dari konvensi tersebut adalah mengenai perlunya mencantumkan tanda ”P” dalam lingkaran yang disertai penunjuk tahun pertama direkam serta nama si pemilik Hak Cipta. Secara lengkap ketentuan tersebut berbunyi: “Pada setiap hasil rekaman perlu dicantumkan tanda (P)

dalam lingkaran yang disertai penunjuk tahun pertama direkam, dan nama pemilik Hak Cipta atas rekaman tersebut”.65

Pencantuman tanda di atas merupakan bagian dari perlindungan. Bagi perlindungan terhadap pelaku, produser rekaman dan organisasi penyiaran dapat ditemukan pada Pasal 14 TRIPS sebagai berikut:

Mengenai penghayatan atas suatu penampilan pada suatu rekaman suara, para pelaku harus juga mempunyai kemungkinan untuk mencegah tindakan-tindakan tanpa izin mereka. Tindakan-tindakan dimaksud untuk dicegah meliputi:

a. Penghayatan atas penampilan yang tidak selesai; b. Reproduksi atas penghayatan tersebut;

c. Penyiaran dengan menggunakan peralatan tanpa kabel; d. Penyebaran kepada masyarakat atas penampilan mereka.

Produser rekaman suara dapat menikmati hak untuk memberi izin atau melarang reproduksi langsung atau tidak langsung atas rekaman suara mereka. Organisasi penyiaran juga berhak melarang tindakan-tindakan yang dilakukan tanpa izin. Mengenai hal ini bila negara peserta tidak memberikan hak tersebut kepada organisasi penyiaran maka harus memberinya kepada pemilik karya cipta tersebut. Kebebasan kepada negara-negara anggota untuk menentukan kondisi, pengecualian dan pembatasan, pelarangan sampai pada perluasan diberikan kepada Konvensi Roma. Berdasarkan Konvensi Roma 1961 akan diuraikan satu persatu mengenai perlindungan bagi mereka yang tergolong sebagai pemilik Neighbouring Rights.

65

1. Para Pelaku (performers)

Pasal 3 huruf a Konvensi Roma 1961 menentukan siapa-siapa yang termasuk sebagai pelaku. Pasal 3 huruf a menentukan: “Performer”means actors, singers,

musicians, dancers, and other persons who act, sing, deliver, declaim, play in, or otherwise perform literary or artistic works. Berdasarkan pasal tersebut di atas

termasuk sebagai pelaku adalah aktor/aktris, penyanyi, pemusik, penari dan orang lain yang melakukan, menyanyikan, menyampaikan, mendeklamasikan, memainkan ataupun sebaliknya pertunjukan karya sastra dan seni.

Perlindungan yang diberikan konvensi kepada para pelaku atas penampilan dalam suatu karya sastra dan seni adalah berupa hak-hak khusus (Exlusive Right). Dalam hal ini konvensi menentukan perlindungan minimum (minimum protection) bagi para pelaku. Perlindungan minimum dimaksud diatur dalam Pasal 7 ayat 1 huruf a, b, dan c sebagai berikut:

1) The protection provided for performers by this Convention shall include the possibility of preventing:

a. The broadcasting and the communication to the public, without their consent, of their performance, except where the performance used in the broadcasting or the public communication is its self already a broadcast performance or is made from a fixation.

b. The fixation without their consent, of their unfixed performance.

if the original fixation it self was made without their consent;

if the reproduction is made for purpose different from these for which the perfomers gave their consent;

if the original fixation was made in accordance with the provisions of Article 15, and the reproduction is made for purpose different from those refrred to in those provisions”66.

Menurut Pasal 7 ayat (1) huruf a, b, c di atas, para pelaku mempunyai hak untuk mencegah:

1. Penyiaran dan pengumuman kepada masyarakat umum atas penampilan mereka tanpa izin .

2. Fiksasi tanpa izin.

3. Perbanyakan tanpa izin atas fiksasi penampilan pelaku apabila fiksasi itu sendiri dibuat tanpa izin, fiksasi itu dibuat untuk tujuan yang berbeda dari tujuan untuk mana izin diberikan, fiksasi dibuat menurut ketentuan Pasal 15 dimana perbanyakan itu dibuat untuk maksud yang berbeda dari pada hal yang ditunjuk Pasal 15.

Perlindungan tersebut diberikan dalam rangka hubungan para pelaku dengan produser rekaman serta organisasi penyiaran. Para pelaku mendapat perlindungan yang sama di negara-negara peserta Konvensi Roma berdasarkan hukum nasional negara-negara peserta konvensi (National Treatment Principle) bila ditemukan

66

kondisi-kondisi yang merupakan syarat pemberian perlakuan yang sama atas para pelaku. Pasal 4 Konvensi Roma menentukan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi agar seorang pelaku mendapat perlindungan tersebut. Pasal 4 menentukan:

Each contracting state shall grant national treatment to performers of any of the following conditions is met:

a. the performance take place in another Contracting State;

b. the performance is incorporated in a phonogram which is protected under Article 5 of this Convention;

c. the performance not being fixed on a phonogram, is carried by a broadcast which is protected by article 6 of this Convention”.

Pasal 4 di atas menyebutkan pelaku yang berasal dari suatu negara, mendapat perlindungan bila pertunjukan itu dilaksanakan di negara yang lain peserta konvensi dan pertunjukan itu digabungkan dalam satu perusahaan rekaman suara yang dilindungi.

2. Para Produser Rekaman Suara (Producers of Phonogram)

Berdasarkan Pasal 10 Konvensi Roma, produser rekaman suara mempunyai hak memberi izin atau melarang perbanyakan dari suatu rekaman mereka. Pihak lain kecuali produser tidak boleh melakukan perbanyakan atas rekaman mereka secara langsung maupun tidak langsung. Produser mempunyai hak eksklusif untuk memperbanyak suatu rekaman dari suatu karya cipta dan sastra.

Agar suatu phonogram maupun salinannya mendapat perlindungan harus memenuhi beberapa formalitas yang ditentukan untuk perlindungannya. Pasal 11 Konvensi Roma menentukan:

a. Semua salinan atau tiruan rekaman suara yang dipulikasikan pada kotak atau wadahnya memuat peringatan berupa simbol (P) disertai dengan tahun publikasi pertama yang ditempatkan dengan suatu pola yang dapat memberi alasan atau klaim perlindungan.

b. Bila salinan maupun kotak atau wadahnya tidak memperkenalkan produser maupun pemegang lisensinya maka peringatan termasuk nama pemilik hak atas nama produser.

c. Jika tiruan atau salinan maupun kotak atau wadahnya tidak memperkenalkan pelaku-pelaku utama maka peringatan adalah berupa nama orang yang di negaranya fiksasi dilakukan.

Apabila ada pihak lain yang mempublikasikan atau memperbanyak rekaman suara secara komersil yang dapat menimbulkan pemakaian lanjutan (secondary used) langsung atau tidak langsung bagi penyiaran maupun pemberitahuan pada masyarakat luas maka para pelaku atau produser atau kedua-duanya berhak mendapatkan ganti rugi yang pantas harus dibayarkan oleh pengguna.

Para produser akan mendapat perlindungan sesuai hukum nasional negara dengan syarat yang ditentukan Pasal 5 ayat (1) dan (2) sebagai berikut:

a. Produser adalah waga negara salah satu peserta konvensi.

c. Rekaman untuk pertama kali dipublikasikan oleh salah satu negara peserta.

Selanjutnya apabila publikasi pertama kali dilakukan di luar negara peserta konvensi, namun dalam waktu 30 hari dipublikasikan juga disalah satu negara peserta konvensi (symultaneously publication) maka publikasi pertama dianggap dilakukan di salah satu negara peserta. Dengan demikian produser tetap memenuhi syarat untuk mendapatkan perlindungan dari konvensi ini.

3. Organisasi Penyiaran (Broadcasting Organization)

Konvensi Roma mengatur beberapa hak minimum bagi organisasi penyiaran. Pengaturan mengenai hak minimum dari organisasi penyiaran diatur dalam Pasal 13 Konvensi Roma dimana menurut ketentuan ini organisasi penyiaran berhak memberi izin atau melarang dilakukannya tindakan-tindakan tertentu antara lain meliputi: a. Penyiaran ulang.

b. Perbanyakan.

c. Penyebarluasan kepada masyarakat.

Organisasi penyiaran mempunyai wewenang memberi izin atau melarang tindakan di atas bila hal itu dilakukan untuk tujuan-tujuan komersil. Jangka waktu perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Roma atas hak pelaku, produser, dan organisasi penyiaran yaitu untuk melarang atau memberi izin atas tindakan-tindakan yang disebut di atas terhadap karya pertunjukan, rekaman suara, dan karya siaran adalah 20 tahun.

Terhadap hak eksklusif yang diberikan kepada pelaku itu, oleh Konvensi Roma diberikan kewenangan kepada negara-negara peserta untuk mengatur dan

menentukan pengecualian atau pembatasan berupa tindakan-tindakan tertentu dimana tindakan itu harus tidak dianggap sebagai pelanggaran atas hak-hak tersebut. Pengaturan yang berisi pembatasan maupun pengecualian dimaksud lebih lanjut diatur dalam hukum nasional negara-negara peserta.

Berdasarkan ketentuan Konvensi Roma, maka pengecualian dan pembatasan terhadap perlindungan Neighbouring Rights ditentukan dalam Undang-undang yaitu Pasal 50 Undang-undang Hak Cipta yang menyebutkan mengenai jangka waktu perlindungan dari Neighbouring Rights:

a. Terhadap pelaku, jangka waktu perlindungan diberikan selama 50 tahun sejak karya tersebut pertama kali dipertunjukan atau dimasukkan ke dalam media audio atau media audioviual.

b. Terhadap prodesur rekaman suara, jangka waktu perlindungan diberikan selama 50 tahun sejak karya tersebut selesai direkam.

c. Terhadap lembaga penyiaran, jangka waktu perlindungan diberikan selama 20 tahun sejak karya siaran tersebut pertama kali disiarkan.

Perhitungan jangka waktu perlindungan terhadap ketentuan di atas dimulai sejak tangal 1 Januari tahun berikutnya setelah karya pertunjukan selesai dipertunjukan atau dimasukkan ke dalam media audio atau media audioviual, karya rekaman suara selesai direkam, karya siaran selesai disiarkan untuk pertama kali (Pasal 50 ayat (2)).

Perlindungan Neighbouring Rights ini hanya diberikan kepada orang-orang yang dikategorikan dalam Pasal 49 Undang-undang Hak Cipta 2002 dan mempunyai hak khusus antara lain:

1. Pelaku di bidang pertunjukan berhak melakukan pengawasan terhadap: a. Penampilan yang digelarkan;

b. Badan penyiaran yang menyiarkan;

c. Perbanyakan/reproduksi penampilan yang berikutnya; d. Penyiaran rekaman pagelaran kepada umum;

Pelaku dalam pasal ini tidak terbatas hanya pada apa yang tertera pada Pasal 1 angka 10 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pelaku juga mencakup seluruh aktivitas manusia yang menunjukkan/menampilkan kebolehannya di depan umum, seperti juga pembawa acara, pembaca berita. Menurut Saidin, yang dikategorikan sebagai pelaku mencakup juga: ”Pemain bola kaki, pesenam, perenang, dan sebagainya dan tidak hanya terbatas pada penampilan yang berlatar belakang kesenian dan kesusastraan.”Sepanjang penayangan kegiatan tersebut dilakukan secara berulang-ulang maka sudah sepantasnya mereka mendapatkan royalti dari penampilan mereka.”67

2. Pihak yang berkecimpung dalam usaha rekaman atau produser rekaman berhak: a. Merekam ulang;

b. Mempertunjukan rekaman kepada umum; c. Menyiarkan rekaman;

67

Produser rekaman suara mendapatkan hak untuk merekam suara dari para penyanyi/musisi atas persetujuan pencipta atau orang yang menerima hak dari pencipta melalui suatu lisensi, barulah setelahnya produser dapat melakukan kegiatan perekaman suara yang selanjutnya diteruskan dengan perbanyakan, dan produser merupakan pihak penerima hak dari pencipta dan ia memegang Hak Terkait. Tanpa keterlibatan produser, lagu/musik tidak dapat diperkenalkan kepada orang lain. Hak produser rekaman suara atas hasil rekaman suara yang diproduksikannya itu dirumuskan sebagai Neighbouring Rights.

3. Badan penyiaran mempunyai hak, diantaranya: a. Menyiarkan dan reproduksi suatu ciptaan; b. Merekam suatu ciptaan;

c. Menampilkan kepada umum;

Kaitannya dengan perlindungan Neighbouring Rights radio dan televisi adalah dapat menyiarkan hasil rekaman dengan membayar royalti kepada pemegang hak eksklusif. Adapun pemegang hak eksklusif adalah lembaga penyiaran pertama atau untuk pertama kalinya menyiarkan acara tersebut.

Pelaku juga mempunyai hak untuk mendapatkan pembayaran yang wajar dari hasil siaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penyiaran, karena lembaga penyiaran mendapatkan keuntungan dari produsen-produsen yang ditawarkan dalam bentuk iklan. Lembaga penyiaran juga mendapatkan keuntungan, sehingga merupakan hal wajar untuk membayar kembali kepada pelaku sejumlah uang tertentu dalam bentuk royalti.

Kerugian pemegang format right yang formatnya ditiru telah menjadi pemicu terjadinya sengketa antara pemegang format right dengan pihak yang dianggapnya telah melakukan peniruan. Salah satu sengketa sejenis yang terjadi adalah tuntutan

fremantle Media terhadap sebuah perusahaan di Uni Emirat Arab.68 Fremantle mengajukan tuntutannya berdasarkan pelanggaran Hak Cipta.

Sebagaimana kasus tuntutan fremantle di atas, beberapa pemegang hak atas format (format right) yang merasa haknya dilanggar mempergunakan ketentuan Hak Cipta sebagai dasar tuntutan atas pelanggaran dimaksud. Sebaliknya pihak yang dituduh melakukan pelanggaran atas format mendalilkan pendiriannya bahwa format program televisi tidak dilindungi oleh Hak Cipta. Perlindungan Hak Cipta ata format program televisi merupakan pertanyaan yang berkembang seiring dengan perkembangan transaksi format program televisi di seluruh dunia.

Sejauh ini belum ditemukan adanya perkara di Pengadilan Indonesia yang mempersengketakan pelanggaran atas format program televisi. Namun di beberapa negara lain terdapat sengketa pelanggaran atas format program televisi. Beberapa sengketa dimaksud mempergunakan perlindungan Hak Cipta sebagai dasar tuntutannya.

Pelanggaran terhadap format program televisi tentu dalam bentuknya sebagai tayangan televisi atau yang dikenal dengan sebutan karya sinematografi. Adapun karya sinematografi yang dimaksud oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 adalah media komunikasi massa gambar gerak (moving images) antara lain meliputi :

68

Dalam sengketa ini fremantle Media menggugat perusahaan lokal yang memperoduksi televisi berjudul “CEO” yang di klaim oleh fremantle telah meniru program televisi “The Apprentice” yang menampilkan juta wan Donald Trump dengan slogan (catchphrase) yang dikenal yaitu “You’re Fired!”). Lihat. Mark Hill, “Format Rights Put To The Test, http/www.web13.epnet.com/citation.asp?. diakses tanggal 25 Februari 2009.

film dokumenter. Film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid , pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, dilayar lebar atau ditayangkan di televisi atau media lainnya. Karya serupa itu dibuat oleh perusahaan pembuat film, stasiun televisi atau perorangan (Penjelasan Pasal 12 huruf k, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002).

Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Undang-undang Hak Cipta berikut penjelasannya maka dapat diketahui bahwa karya sinematografi merupakan ciptaan yang dilindungi Hak Cipta. Program televisi sebagai karya sinematografi merupakan ciptaan yang dilindungi Hak Cipta.

Perlindungan Hak Cipta atas program televisi, sebagaimana juga atas ciptaan lainnya, adalah dalam bentuknya yang khas, bersifat pribadi dan menunjukkan keaslian sebagai Ciptaan, atau keahlian yang lahir berdasarkan kemampuan, kreativitas, atau keahlian sehingga Ciptaan itu dapat dilihat , dibaca, atau didengar (Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002).

Lebih jelas lagi, penjelasan Undang-undang Hak Cipta ini menegaskan bahwa perlindungan Hak Cipta tidak diberikan kepada “ide” atau gagasan. Ketentuan ini sejalan dengan doktrin Hak Cipta yang dikenal secara global yaitu doktrin dichotomy

idea and expression. Doktrin ini menjelaskan bahwa Hak Cipta hanya melindungi

ciptaan dalam bentuk yang diekspresikan dan tidak melindungi “ide” atau gagasannya.

Adapun bentuk perlindungan yang secara tegas diatur dalam Undang-undang Hak Cipta adalah bahwa pemegang Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi atas pelanggaran Hak Ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yagn diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu.

Secara umum Hak Cipta mengenal terminologi pelanggaran Hak Cipta yaitu

infringement. Infringement adalah terminologi yang dipergunakan secara global untuk

menjelaskan terjadinya peniruan ditambah dengan penggunaan materi ciptaan orang lain secara melawan hukum.

Adapaun bentuk pelanggaran (infringement) yang paling umum terjadi menurut Geofrey Robertson, QC adalah copying atau melakukan reproduksi atau duplikasi langsung atas suatu ciptaan misalnya melalui mesin photocopy, alat perekam atau video perekam. Namun di samping itu terdapat juga pelanggaran hak cipta yang disebut sebagai “non-literal copy” dari suatu ciptaan dengan cara menyusun kembali suatu ciptaan baru berdasarkan bahan-bahan yang berasal dari suatu ciptaan lain.69 Tindakan melakukan non-literal copy inilah yang menjadi wacana penting dalam penerapan hukum hak cipta. Penerapan hukum hak cipta akan menggambarkan dan merumuskan tindakan non-literal copy yang mana yang dianggap sebagai pelanggaran hak cipta dan yang mana yang tidak.

Robert P. Merges, memberikan pedoman untuk keadaan yang membuktikan terjadinya peniruan yaitu adanya akses terhadap suatu ciptaan dan adanya kemiripan (similarity). Setelah uraian ketentuan Hak Cipta di atas, guna mengkaji perlindungan

69

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 terhadap format program televisi, perlu ditentukan beberapa acuan berdasarkan beberapa pertanyaan sebagai berikut;

pertama, apakah format program televisi dikategorikan sebagai “ekspresi” ataukah

masih dianggap sebagai bentuk “ide” atau gagasan?. Kedua, apakah sebuah produksi atau “ekspresi” yang meniru format program televisi lain dapat dianggap sebagai telah melanggar Hak Cipta ?. Selanjutnya, Ketiga, apakah terdapat ketentuan hak Cipta yang dapat dipergunakan secara interpretatif untuk melindungi format program televisi ?

Format program televisi adalah kerangka yang menjadi tempat dimana tokoh-tokoh sentral dari program akan beraksi yang akan selalu diulang pada setiap episode termasuk karakter-karakter detail lainnya, setting, tema dan jalan cerita secara umum dari sebuah serial. Format akan menjadi kerangka atau ide dasar untuk produksi suatu program televisi secara berkelanjutan.

Berdasarkan pemahaman di atas, maka format program televisi bukanlah suatu “ekspresi” melainkan “ide” yang mendasari produksi program televisi. Lebih detail lagi, format program televisi lebih dari sekedar “ide” melainkan juga penerapan dari ide-ide tersebut yang kemudian diimplementasikan dalam produksi setiap program yang didasarkan pada format tersebut.

Sejauh ini tidak ada pendapat yang mengatakan bahwa format program televisi adalah “ekpreso”. Meskipun format program televisi bukanlah sebuah ekspresi melainkan “ide”, namun perlu ditemukan apakah sebuah format program televisi telah ditiru dan apakah peniruan tersebut dapat dikategorikan sebagai Pelanggaran Hak Cipta.

Adanya pemberlakuan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta berlandaskan pada Konvensi dunia yang mengatur mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual, yaitu TRIP’s (Trade Related Aspects of Intellectual Property

Rights). TRIP’s merupakan perjanjian yang mengatur penggabungan hukum Hak

Kekayaan Intelektual dengan aturan-aturan yang didasarkan pada perdagangan, yang merupakan bagian perjanjian dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade

Organization = WTO).

Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi perjanjian TRIP’s, sehingga Indonesia wajib memasukkan aturan-aturan yang ada dalam perjanjian TRIP’s ke dalam Undang-undang tentang Hak Cipta. Pelanggaran hak cipta merupakan suatu perbuatan yang dilakukan khusus untuk melanggar hak khusus dari pencipta atau pemegang hak cipta. Terkait dengan pemidanaan, di dalam RUndang-undang Hak Cipta ini diperkenalkan ancaman pidana penjara dan denda minimal bagi pelanggaran pasal-pasal tertentu. Juga, ancaman pidana bagi perbanyakan karya cipta untuk kepentingan komersial secara melawan hukum.

Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur oleh Undang-undang guna mencegah terjadi pelanggaran hak cipta oleh orang yang tidak berhak. Jika terjadi pelanggaran, maka pelanggaran tersebut harus diproses secara hukum, dan bila terbukti melakukan pelanggaran , dia akan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan Undang-undang bidang hak kekayaan intelektual yang dilanggar itu. Undang-undang bidang hak kekayaan intelektual mengatur jenis perbuatan pelanggaran serta ancaman hukumannya, baik secara perdata maupun secara pidana.

Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, dimulai suatu sistem peradilan yang menggunakan nama Peradilan Niaga. Pengadilan Niaga merupakan salah satu sistem peradilan yang berada di bawah naungan Pengadilan Negeri dan berwenang untuk menyelesaikan masalah perniagaan. Setelah kasus kepailitan, maka Undang-undang yang mengatur penyelesaian sengketa di pengadilan yang menggunakan Pengadilan Niaga adalah Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang disebutkan dalam Pasal 60 ayat (1) yang berbunyi: “Gugatan atas pelanggaran Hak Cipta diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga”. Pasal ini menunjukkan bahwa Pengadilan Niaga merupakan pengadilan yang berwenang dalam menyelesaikan masalah hak cipta.

Dalam hal terjadinya peniruan tentunya dapat diteliti apakah telah terjadi penggunaan materi ciptaan milik orang lain secara melawan hukum. Kemiripan (similarity) dapat menjadi pedoman untuk menentukan apakah telah terjadi peniruan atau tidak. 70

Indonesia sendiri menganggap bahwa hak cipta atas format program televisi merupakan objek baru dalam perkembangan hukum hak cipta. Hal ini dibuktikan dengan belum ditemukannya kasus yang menyangkut tentang hak cipta. pelanggaran format program televisi. “Belum ditemukan adanya kasus peniruan program televisi di Indonesia. Format program televisi mendapat perlindungan dari Undang-undang Hak Cipta Indonesia sepanjang peniruan format program televisi dianggap telah

70

Suryomurcito, Hak Atas Kekayaan Intelektual Dan Lembaga Peradilan, Aktualita HaKI, Januari 2003.

menyebabkan terjadinya kemiripan antara satu program televisi dengan program televisi lainnya.”71

Berdasarkan daftar ciptaan yang dilindungi dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 format program televisi bukanlah suatu ciptaan yang mendapatkan perlindungan. Hal ini sejalan dengan doktrin yang mendapatkan perlindungan. Hal ini sejalan dengan doktrin yang diikuti oleh Undang-undang Hak Cipta yakni Hak Cipta melindungi “ekspresi” dan tidak melindungi “ide”. Namun