• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai budaya adalah nilai yang terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat dalam hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhi dalam mengambil alternative, cara-cara, alat-alat dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia Koentjaraningrat (dalam Warsito, 2012:99). Lebih lanjut Clyde Kluckhold (dalam Waristo, 2012:99) berpendapat bahwa nilai budaya sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diingini dan tidak diingini yang mungkin berkaitan dengan hubungan orang dengan lingkungan dan sesama manusia. Sedangkan Menurut Sumatmadja (dalam Koentjaraningrat, 2002:180), mengatakan bahwa pada perkembangan, pengembangan penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula nila-nilai yang melekat dimasyarakat yang mengatur

keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebutlah yang dikonsepsikan sebagai nilai budaya.

Dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat ditarik simpulkan bahwa nilai budaya yaitu setiap manusia dalam melakukan aktivitas atau tindakan selalu berpedoman pada nilai atau sistem nilai yang ada dalam kehidupan masyarakat itu sendiri dan sangat banyak mempengaruhi tindakan dan prilaku manusia, baik secara individu, kelompok bahkan masyarakat tentang baik, buruk, patut atau tidak patut dan sesuai atau tidak sesuai.

Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok motto suatu lingkungan atau organisasi. Nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam pikiran aebagian besar dari warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arahan dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai budaya itu bersifat umum, luas, dan tidak konkret, maka nilai-nilai dari suatu kebudayaan tidak dapat digantikan dengan nilai-nilai budaya yang lain dalam waktu yang singkat. Dalam masyarakat ada sejumlah nilai budaya yang satu dengan yang lain berkaitan satu sama lain sehingga merupakan suatu sistem, dan sistem itu sebagai suatu pedoman dari konsep-konsep ideal dalam budaya memberi pendorong yang kuat terhadap arah kehidupan masyarakat.

Nilai-nilai luhur masyarakat Bugis pada hakikatnya sama dengan nilai yang dijunjung tinggi masyarakat Makassar. Hanya saja berbeda dari segi bahasa.

Menurut Rahim (1985:144) bahwa nilai-nilai utama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Bugis sekaligus sebagai kearifan lokalnya adalah kejujuran, kecendikian, kepatutan, keteguhan, usaha (kerja keras), dan siri’ atau malu.

Mengacu pada kesamaan tersebut, maka penelitian analisis nilai-nilai budaya pada Film Uang Panai.

Menurut Kluckhohn (dalam Koentjaraningrat, 2015:81), tujuh unsur kebudayaan universal yaitu:

1) Bahasa, suatu pengucapan yang indah dalam elemen kebudayaan dan sekaligus menjadi alat perantara yang utama bagi manusia untuk meneruskan atau mengadaptasikan budaya.

2) Sistem pengetahuan, pengetahuan tentang kondisi alam sekelilingnya dan sifat-sifat peralatan yang dipakai.

3) Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi : kekerabatan (garis keturunan), asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan, sistem kesatuan hidup

4) Sistem peralatan hidup dan teknologi, jumlah keseluruhan teknik yang dimiliki oleh para anggota suatu masyarakat, meliputi keseluruhan cara bertindak dan berbuat dalam dalam hubungannya dengan pengumpulan bahan-bahan itu untuk dibuat menjadi alat kerja, penyimpanan, pakaian, perumahan, alat transportasi dan kebutuhan lain yang berupa benda material.

Unsur teknologi yang paling menonjol adalah kebudayaan fisik yang

meliputi, alat-alat produksi, senjata, wadah,makanan dan minuman, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan serta alat-alat transportasi.

5) Sistem mata pencarian hidup, merupakan segala usaha hidup manusia untuk mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sistem mata pencarian hidup atau sistem ekonomi meliputi, berburu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan, perdagangan.

6) Sistem religi, sebuah sistem yang terpadu antara keyakinan dan praktek keagamaan yang berhubungan dengan hal-hal suci yang tidak terjangkau oleh akal. Sistem religi yang meliputi, sistem kepercayaan, sistem nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan, upacara keagamaan

7) Kesenian, segala hasrat manusia terhadap keindahan.

Etnis Bugis dan etnis Makassar adalah dua diantara empat etnis besar yang berada di Sulawesi Selatan. Pada hakikatnya kebudayaan dan pandangan hidup orang Bugis pada umunya sama dan serasi dengan kebudayaan dan pandangan hidup orang Makassar. Oleh karena membahas tentang nilai budaya Bugis sulit dilepaskan dengan pembahasan tentang budaya Makasssar. Hal ini sejalan dengan pandangan Abdullah (1985:37) yang mengatakan bahwa dalam sistem keluarga atau dalam kekerabatan kehidupan manusia Bugis-Makassar, dapat dikatakan hampir tidak terdapat perbedaan dan didalam kehidupan masyarakat Bugis-Makassar terdapat nilai-nilai budaya yang telah dianut serta menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari diantaranya:

1) Budaya Siri’ (Harga Diri)

Sebagai penanda penting estetika masyarakat Bugis-Makassar adalah harga diri (siri’). Siri’ disepadankan dengan rasa malu Basya (dalam Haslinda, 2019:159). Masyarakat Bugis-Makassar yang memiliki nilai harga diri dalam dirinya akan selalu malu (masiri). Malu untuk berbuat buruk, malu untuk berbuat jahat, malu untuk tidak berbuat baik, malu untuk tidak membantu sesama, malu kalo tidak melaksanakan ibadah (shalat, puasa, sedekah, dll), malu berbuat curang, dan malu dari berbagai aspek lainnya.

Malu bagi masyarakat Bugis-Makassar adalah harga mati yang sebanding dengan nyawa. Orang yang memiliki harga diri atau siri’ akan selalu dihargai dan diteladani. Sedangkan orang yang tidak memiliki nilai siri’ akan selalu dipandang hina dan dipandang rendah. Siri’ juga dibagi atas tiga bagian yaitu siri’ terhadapTuhan, siri’terhadap sesama manusia, dan siri’ terhadap diri sendiri.

2) Budaya Pesse’/Pacce’ (Prikemanusiaan)

Menurut Limpo (1995:91), Pacce secara harfiah berarti perasaan pedis, perih atau pedih. Sedangkan menurut Moein (1990:33), istilah pesse’/pacce’

adalah suatu perasaan yang menyayat hati, pilu bagaikan tersayat sembilu apabila sesama warga masyarakat atau keluarga atau sahabat tertimpa kemalangan. Pesse’/pacce’ (solidaritas) yang merupakan nilai kebersamaan yang kuat sebagai pondasi masyarakat Bugis-Makassar dalam bertindak, bekerja, berperilaku, maupun menentukan undang-undangnya.

3) Budaya Sipakatau (Saling Menghargai)

Menurut Mattulada (1985:88) negara dapat menjadi jaya bukan karena para pemimpinnya keterunan dewa-dewa yang ternama melainkan karena kecakapan dan kejujuran penguasa yang begitu diucapkan ia harus dapat dinyatakan dalam perbuatan. Sipakatau bermakna saling menghargai sebagai individu yang bermartabat. Nilai-nilai Sipakatau menunjukkan bahwa budaya Bugis-Makassar memposisikan manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang mulia dan oleh karenanya harus dihargai dan diperlakukan secara baik.

Semangat ini mendorong tumbuhnya sikap dan tindakan yang diimplementasikan dalam hubungan sosial yang harmonis yang ditandai oleh adanya hubungan intersubyektifitas dan saling menghargai sebagai sesama manusia.

4) Budaya Awaranieng/Barani (Keberanian)

Menurut Mattulada (1985:88), bahwa negara sungguh-sungguh dapat dijadikan negara yang jaya di mana rakyat berbahagia, bukan karena penguasa itu keturunan dewa-dewa yang ternama melainkan karena kecakapan dan kejujuran penguasa yang terwujud begitu diucapkan ia harus dapat dinyatakan dalam perbuatan. Niat yang benar harus bersandar pada keberanian, dan keberanian bertolak dari niat yang benar. Niat yang benar dan keberanian lahir dari kejujuran. Keberanian tidak cukup hanya memiliki nyali besar untuk mengambil tindakan tetapi juga memikirkan segala resiko yang ada.

5) Budaya Reso (Kerja Keras)

Nilai yang menjadi identitas setiap pribadi masyarakat Bugis-Makassar adalah budaya kerja keras sehingga kemana pun merantau prinsip kerja keras menjadi bagian hidup masyarakat Bugis-Makassar. Fakta menunjukkan, suku Bugis-Makassar terkenal sebagai pelaut handal. Kehandalan tersebut lahir dari keyakinan terhadap usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan pantang menyerah (kerja keras), Rahim (dalam Haslinda, 2019:117), menggambarkan bahwa nilai usaha atau kerja keras adalah kunci kesuksesan dari semua nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Bugis-Makassar.

Dalam budaya Bugis-Makassar makna reso merupakan satu sistem dengan nilai kehormatan yang merupakan salah satu bentuk dari manifestasi nilai budaya siri’.

Masyarakat Bugis-Makassar akan sangat merasa malu jika seseorang yang sudah cukup umur namun tidak memiliki pekerjaan, bahkan menjadi beban bagi orang lain. Sehingga, tidak mengherankan jika dalam kebudayaan Bugis-Makassar memegang teguh prinsip reso. Di dalam Lontara, nenek moyang masyarakat Bugis-Makassar mencela dan sangat membenci orang-orang yang tidak mau berusaha atau bekerja keras dan hanya bermalas-malasan untuk menghabiskan waktunya. Sebab, bermalas-malasan akan menjauhkan seseorang dari rahmat sang maha pengcipta (Tuhan).

Dokumen terkait