BAB II KEBERADAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
D. Pengertian Pemberian Hareuta Peunulang
Pemberian menjadi hal yang biasa terjadi dalam kehidupan masyarakat adat. Menurut Soerojo Wignjodipoero, pemberian adalah pembagian keseluruhan ataupun sebagian daripada harta kekayaan semasa pemiliknya masih hidup.79Eman Suparman mempersamakan hibah dengan pemberian. Menurut Eman Suparman, hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaaan pembagiannya biasanya dilakukan pada waktu
77Wawancara dengan Abdurrahman Kaoy,Wakil MAA,Banda Aceh, 27 November 2013 78Wawancara dengan Abdurrahman,Mantan Ketua PPISB Unsyiah,Banda Aceh, tanggal 25 November 2013
penghibah masih hidup.80 Hibah menurut hukum adat memiliki beberapa ketentuan yaitu :
1. Hibah adalah jenis pemberian yang dilakukan oleh seseorang ketika masih hidup.
2. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan tanpa kontra prestasi dari pihak penerima hibah, atau dengan kata lain perjanjian secara cuma-cuma. 3. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah tersebut bertentangan dengan
hukum adat.
4. Benda-benda yang dihibahkan adalah segala sesuatu benda milik penghibah yang telah ada pada saat dilakukan hibah, baik benda yang bergerak maupun benda tetap.
5. Hibah dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.
Menurut Soepomo, pemberian semasa hidup dilakukan oleh orang tua untuk mewajibkan para waris untuk membagi-bagikan harta dengan cara layak menurut anggapan pewaris dan juga untuk mencegah perselisihan.81Menurut Ter Haar, hibah adalah pembagian harta peninggalan di waktu masih hidup dan diperuntukkan sebagai dasar kehidupan materiil anggota keluarga dan penyerahannya dilakukan dengan seketika.82
Menurut Hilman Hadikusuma, harta pemberian adalah harta yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau kepada suami isteri bersama atau sekeluarga rumah tangga oleh karena hubungan cinta kasih, balas budi, atau jasa, atau karena sesuatu tujuan.83
Bentuk-bentuk pemberian harta benda semasa hidup sebenarnya masih banyak dilakukan di daerah-daerah adat khusunya terhadap pemberian yang dilakukan oleh
80Eman Suparman,Op. cit,Hal. 81 81Soepomo,Op.Cit,hal. 91
82Ter Haar,Azas-azas dan Susunan Hukum Adat,(Jakarta : Pradnya Paramita, 1994), hal. 210 83Hilman Hadikusuma,Op.Cit,hal. 51
orang tua semasa hidupnya seperti di daerah Lampung ada kemungkinan isteri dalam perkawinan jujur mendapat pemberian barang tetap dari orang tua atau kerabatnya disebutTanoh SesanatauSaba Bangunan.84
Di lingkungan masyarakat adat Daya-Kendana Kalimantan Barat kemungkinan pemberian orang tua kepada anak, akan lebih banyak diberikan kepada Anak Pangkalan yaitu anak yang menjamin memelihara mengurus orang tua sampai wafatnya. Begitu pula di daerah Banten pemberian orang tua biasanya dengan cara memberikan rumah kepada anak wanita dan suami si wanita setelah perkawinan mengikuti si isteri. Di Aceh dikenal pemberian perhiasan, emas, rumah, pekarangan dan lainnya diantara ayah atau ibu kepada anak-anaknya ketika orang tua masih hidup yang disebutpeunulang. Jumlah peunulang yang diberikan tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah keseluruhan harta peninggalan pemberi. Pemberian peunulang juga dapat diberikan sebagai tanda balas jasa, dimana hartapeunulangyang telah diberikan tidak dapat diminta kembali.85
Menurut hukum adat, motif dari penghibah tidak berbeda dengan motif tidak memperbolehkan membagikan harta peninggalan kepada ahli waris yang tidak berhak, yaitu harta kekayaan yang merupakan dasar kehidupan materiil yang disediakan bagi warga yang bersangkutan serta keturunannya. Penghibahan ini merupakan cara bagi orang tuanya (si penghibah) untuk memberikan harta miliknya secara langsung kepada anak-anaknya. Penghibahan sebidang tanah kepada seorang
84Ibid,hal. 161 85Ibid
anak merupakan suatu transaksi tanah, tetapi bukan merupakan transaksi jual. Penghibah tanah harus dilakukan dengan bantuan kepala persekutuan supaya menjadi sah serta terang.86
Hibah menurut hukum adat dibedakan dengan wasiat. Hibah ini dilakukan sewaktu anak-anaknya sudah menikah dan dipisahkan dengan membuatkan rumah atau memberikan pekarangan untuk pertanian. Hal tersebut harus dibedakan dengan weling (di Jawa) yang bersifat wasiat, yaitu sebelum seseorang meninggal, maka ia mengadakan ketetapan-ketetapan yang ditujukan kepada ahli warisnya atau istrinya dengan memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana harta bendanya akan dibagi waris jika orang tersebut meninggal. Jadi barang-barangnya itu belum dibagi-bagikan kepada ahli warisnya, melainkan masih dikuasai dan jika ia meninggal maka pembagian harta peninggalannya harus dilakukan pembagian berdasarkan petunjuk-petunjuknya tersebut.87
Masyarakat Aceh pada umumnya sebagaimana masyarakat yang lainnya, orang tua mempunyai kewajiban memelihara, membesarkan, bahkan sampai mengawinkan anak setelah dewasa, hal ini merupakan perwujudan kewajiban alimentasi (kewajiban timbal balik antara orang tua dan anak), namun demikian setelah seorang kawin, tidak berarti terputus hubungan dengan keluarga orang tuanya sebagaimana pada masyarakat yang menganut system kekeluargaanpatrilineal.88
86Suheri,Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan Karena Hibah untuk Anak di Bawah Umur,(Semarang : Tesis, UNDIP, 2010), hal. 17
87Ibid,hal. 17-18
Di Aceh seperti daerah lain di Indonesia, kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga batih, ialah ayah, ibu dan anak-anak yang belum kawin. Sementara anak-anak yang telah kawin maka membentuk lagi keluarga batih yang baru, di dalam sebuah rumah terdapat satu keluarga batih namun terkadang bisa juga dua keluarga batih atau lebih.
Hubungan kekeluargaan antara orang tua dan anak yang telah kawin diwujudkan dalam berbagai bentuk, menurut daerah masing-masing. Dalam masyarakat Aceh setelah seorang anak perempuan kawin, maka anak tersebut beserta suaminya untuk beberapa waktu tetap tinggal dalam keluarganya, mereka tetap dianggap sebagai bagian dari keluarga.
“Secara sosial mereka belum dikategorikan sebagai sebuah keluarga terpisah dari keluarga orang tuanya, konsekuensi bahwa mereka tetap berada dibawah anggung jawab orang tua, sampai mereka dipisahkan secara adat guna membentuk keluarga sendiri”.89
Setelah beberapa waktu, biasanya setelah umur perkawinan lebih kurang setahun atau setelah punya anak, pasangan suami isteri tersebut dipisahkan dari keluarga orang tuanya, guna secara social membentuk keluarga sendirri. Pada saat upacara pemisahan ini dilakukan, kepada anak perempuan diberikan sesuatu benda yang berharga atau bermanfaat sebagai bekal hidup dengan suaminya. Biasanya berupa rumah dan atau tanah lainnya. Acara pemisahan ini dalam masyarakat Aceh
89 Abdurrahman, Hareuta Peunulang Sebagai Suatu Lembaga Adat Aceh, (Banda Aceh : PPISB Unsyiah), hal. 3
dikenal dengan istilahPeumeungkleh dan barang yang diberikan tersebut dinamakan denganHareuta Peunulangatau ada yang menyebutnyapeunulangsaja.90
Pemahaman Peunulang itu sendiri masih beragam, menurut T. Moh Djuned, dalam masyarakat Aceh hingga saat ini masih banyak yang menyamakan Haeuta Peunulangdengan hibah yang terdapat dalam hukum Islam.91
Menurut Muhammad Hoesin Hareuta Peunulang sama dengan hibah, orang Aceh menyebut hibah dengan peunulang dan ini sejak dahulu telah dikenal oleh masyarakat Aceh.92
Peunulangmerupakan pemberian dari orang tua untuk perempuan yang sudah menikah dan terpisah dengan harta warisan. Pemberian tersebut biasanya dalam bentuk rumah beserta tanahnya, sepetak tanah sawah dan sejumlah ternak. Jumlah atau peunulang sangat tergantung kepada kemampuan orang tua si perempuan. Tujuan peunulang adalah untuk memastikan perempuan memiliki bekal minimal untuk memulai hidup berumah tangga. Dan yang lebih penting lagi, apabila terjadi sesuatu terhadap suaminya, seperti meninggal dunia si perempuan telah memiliki rumah sendiri yang tidak dapat diganggu-gugat oleh siapapun. Bahkan dalam bentuk yang paling ekstrem, walaupun tidak diharapkan, apabila terjadi perceraian, maka
90Ibid
91 T. Mohd. Djuned, Peunulang sebagai Salah Satu Bentuk Pewarisan di Aceh, Artikel, Buletin Kanun No. 2 Desember 1991, hal. 6
92 Moehammad Hoesin, Adat Atjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Atjeh, 1970, hal.179
yang turun dari rumah adalah suami (lelaki) dan bukan isteri (aneuk inong). Karena istri adalah pemilik rumoh (ureung po rumoh).93
Penyerahan peunulang biasanya dilakukan melalui sebuah upacara yang diadakan oleh orang tua si istri. Dalam upacara tersebut diundang keuchik gampong, teungku meunasah dan anggota tuha peut untuk menyaksikan prosesi peunulang. Pada kesempatan itu, orang tua pihak perempuan atau yang mewakili menyatakan bahwa ia telah melepaskan anak perempuannya dengan memberikan sejumlah peunulang dan menyebutkannya satu persatu apa-apa yang dijadikan peunulang untuk anaknya tersebut.94
Sebagaimana penjelasan dalam buku Pola Penguasaan Pemilikan Dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang ditebitkan Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Direktorat Sejarah Dan Nilai Tradisional Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1984 / 1985. “Selain dengan cara membuka tanah baru atau menghidupkan tanah yang mati, asal-usul pemilikan atas tanah dapat pula terjadi melalui pemberian yang dalam istilah Aceh lazim disebutpeunulang”.
Menurut adat masyarakat Aceh Besar, setiap anak laki-laki yang baru memasuki jenjang perkawinan, ia tinggal di rumah keluarga isterinya (rumah mertuanya). Tetapi setelah beberapa tahun perkawinan berlangsung (biasanya
93 www.acehinstitute.org Sanusi M. Syarif.com, Ureung Inong & Desain Tradisi (Sebuah Refleksi Hari Adat Sedunia), diakses tanggal 12 Desember 2013
94Snouck Hugronje, 1985.Aceh dimata kolonialis. Jilid I. Terj. Singarimbun, Ng. Maimoen,S & Kustiniyati Muchtar. (Jakarta: Yayasan Soko Guru.Nasruddin Sulaiman, Rusdi Sufi & Tuanku Abdul Jalil, 1985), hal. 408
sesudah mendapatkan anak), kepada suami isteri ini dianjurkan untuk berdiri sendiri. Dalam arti suami isteri itu berpisah periuk dengan orang tua pihak si isteri. Pemisahan seperti ini disebut dengan istilahpeumeukleh.95
Dan biasanya sebelum hal ini dilakukan, pihak orang tua isteri telah mempersiapkan harta pemberian berupa tanah (sawah atau kebun) ataupun benda-benda lain yang bernilai untuk anak perempuannya. Pada saat harta ini akan diberikan, dihadiri oleh para famili, keuchiek dan pemuka masyarakat kampung lainnya yang khusus diundang untuk diketahui oleh mereka. Pemberian harta ini dilakukan secara simbolis kepada si suami, karena dialah yang akan bertanggung jawab untuk mengusahakan harta tanah itu. Namun secara adat harta itu tetap milik isteri, sebab sekiranya terjadi perceraian, harta yang berupa tanah itu akan kembali kepada pihak isteri.96
Berdasarkan penelitian di lapangan melalui wawancara tidak semua responden mampu memberikan pengertian hareuta peunulang secara mutlak, namun mereka memahami peunulang sebagai hibah kepada anak mereka. Meskipun demikian responden tetap menghormati adat tersebut dan menjalankannya.
Hareuta peunulangdipahami oleh para responden secara hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh penulis dalam berbagai daftar bacaan. Hareuta peunulang merupakan harta dalam wujud-wujud tertentu yang diberikan oleh orang tua kepada anak perempuannya setelah anak tersebut berumah tangga.
95
Wawancara dengan Tgk. Bahagia, Tokoh Adat, Aceh Besar, Tanggal 25 November 2013 96Ibid
E. Keberadaan Pemberian Pemberian Orang Tua Kepada Anak Perempuan