• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEBERADAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

B. Status Hukum Dari Pemberian Melalui Hareuta Peunulang

1. Status Pemberian Orang Tua Melalui Hareuta Peunulang

Van Vollenhoven orang pertama yang telah menjadikan hukum adat sebagai ilmu pengetahuan sehingga hukum adat sejajar dengan hukum dan ilmu hukum yang lain, menyatakan sebagai berikut :

“ Hukum adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum ) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatan adat)”.143

Selanjutnya Soepomo dalam karangan beliau “Beberapa catatan mengenai Kedudukan Hukum Adat” memberi pengertian hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib,

142Abdurrahman,Op. Cit,hal. 43

143

namun ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum .144

Sedangkan Soerojo Wignjodipoero berpendapat sebagai berikut : “Bahwa sistem hukum adat bersendi atas dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang barang tentu berlainan dengan alam pikiran yang menguasai hukum barat. Memahami serta sadar akan hukum adat, orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia.145

Dengan demikian pengertian hukum adat di Indonesia yang seharusnya dipelajari dan diteliti dalam rangka pembinaan hukum nasional adalah semua hukum yang tidak tertulis di dalam bentuk perundangan, baik yang berlaku dalam penyelenggaraan ketatanegaraan/pemerintahan, maupun yang berlaku dalam kehidupan masyarakat tradisional maupun modern, baik merupakan hukum hukum kebiasaan maupun hukum agama.

Unsur-unsur dalam hukum adat dipengaruhi oleh unsur-unsur asli maupun unsur-unsur keagamaan. Jadi hukum adat adalah hukum asli yang tidak tertulis, berazaskan kebudayaan dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang berpedoman pada kehidupan sehari-hari masyarakat yang saling berinteraksi.

Masyarakat Indonesia mengenal adanya tiga sistem hukum waris, yaitu hukum waris adat, sitem hukum waris Islam dan sistem hukum waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

144Soerojo Wignjodipoero,Op Cit, hal. 14

145

Sehubungan dengan hukum waris adat, Soepomo memaparkan sebagai berikut:

“Hukum waris adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses penerusan serta pengoperan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (Immateriele goederan) dari suatu angkatan manusia (Generatie) kepada turunannya. Proses ini telah mulai sejak dalam waktu orang tua masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi “akuul” oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya Bapak atau Ibu adalah suatu peristiwa yang penting dan proses itu akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut”.146

Menurut Ter Haar, hukum waris adat merupakan “peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materil dari suatu generasi berrikutnya.147

Sementara itu Iman Sudiyat mengemukakan bahwa hukum adat waris merupakan “aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses penerusan atau pengoperan dan peralihan atau pemindahan harta kekayaan material dan nonmaterial dari generasi ke generasi berikutnya”.148

Dengan memperhatikan pengertian di atas dapat diketahui bahwa hukum waris adat adalah mengatur tentang cara meeneruskan dan mengalihkan barang-barang harta keluarga, baik yang berwujud atau tidak berwujud, baik yang bernilai uang atau tidak bernilai uang dari pewaris ketika ia masih hidup atau sesudah

146Soepomo,Op. Cit,hal. 79

147 Ter Haar,Asas-asas dan susunan Hukum Adat,diterjemahkan oleh Soebekti Poesponoto, (Jakarta ; Pradnya Paramita, 1986), hal. 179

meninggal kepada para waris terutama ahli warisnya. Dengan demikian, hukum waris adat mencakup pula persoalan mengenai tindakan-tindakan pelimpahan harta benda semasa seseorang masih hidup sesuai keinginannya.

Mengenai proses penerusan harta warisan ini, Prodjodikoro berpendapat bahwa :

“proses peralihan dalam pewarisan itu sudah dapat dimulai ketika pemilik harta kekayaan masih hidup dan proses tersebut terus berjalan hingga masing-masing keturunannya menjadi keluarga-keluarga yang berdiri sendiri yang disebut “mencar” dan “mentas” (Jawa), yang pada saat nanti ia juga akan memperoleh giliran untuk meneruskan proses tersebut kepada generasi berikutnya”.149

Pelaksanaan proses penerusan serta pengalihan kepada orang yang berhak menerima warisan harus memperhatikan hubungan antara seorang yang meninggalkan warisan (pewaris) dengan penerima warisan, serta harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris dengan ahli waris dan sifat lingkungan kekeluargaan dari si pewaris dan ahli warisnya harus sama.

Pewaris menurut hukum waris adat dipengaruhi oleh struktur kemasyarakatan (kekerabatan) yang sistem keturunannya dibedakan antara sistem patrilineial, matrilinial, dan bilateral/parental, disamping adanya perbedaan dalam struktur kemasyarakatan (kekerabatan) tersebut, berlaku sistem pewarisan yang bersifat individual, kolektif dan mayorat.

Pewarisan adalah hubungan hukum atau kaidah hukum yang mengatur hubungan hukum antara pewaris dengan ahli warisnya atas harta warisan yang

ditinggalkan, baik setelah pewaris meninggal ataupun selagi pewaris itu masih hidup.150

Hubungan hukum dimaksud merupakan kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan merupakan keadaan hukum terjadi perubahan hak dan kewajiban secara pasti dan melembaga sehingga perubahan dan peralihan dari satu bentuk ke bentuk yang lain merupakan proses yang harus dilakukan secara tetap dan beraturan. Proses pewarisan itu sendiri bersifat formal dan bukan bersifatb otomatis karena memerlukan acara tersendiri dan sedapat mungkin memenuhi ketentuan hukum.

Untuk dapat terlaksananya pewarisan, ada 3 (tiga) unsur pokok yang harus diperhatikan, yaitu :

a. Pewaris

Pewaris merupakan orang yang meninggalkan warisan di dalam proses pewarisan. Pewaris merupakan unsur yang paling penting sebab tanpa adanya pewaris tidak mungkin ada proses pewarisan. Walaupun si pewaris masih hidup, pembagian warisan sudah dapat dilangsungkan.

b. Ahli Waris

Adalah mereka yang berhak mendapatkan harta warisan yang ditentukan berdasarkan hubungan kekeluargaan dari yang bersangkutan kepada ahli waris.

Dalam ahli waris masyarakat parental, kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan adalah sama dan mendapat bagian warisan dari orang tuanya sama rata, baik harta warisan pusaka keturunan, harta bawaan ayah atau ibunya, ataupun harta pencaharian orang tua mereka. Harta warisan tersebut terbagi-bagi penguasaan dan pemiliknya dalam sistem pewarisan individual. Sistem pewarisan parental ini sebagaimana yang telah di anut oleh masyarakat Aceh. c. Harta Warisan

Hukum waris memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris kepada

para ahli warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia151 Sebagai bagian hal pokok dalam kewarisan adat adalah harta warisan, dimana berdasarkan uraian diatas Harta warisan adalah : Harta kekayaan yang akan diteruskan oleh pewaris ketika ia masih hidup atau setelah meninggal dunia, untuk dikuasai atau dimiliki oleh para ahli waris menurut sistem kekerabatan dan pewarisan yang berlaku dalam masyarakat adat yang bersangkutan.

Di kalangan masyarakat Aceh Besar menurut M. Yusuf Hasan dalam jurnal kanunnya menyatakan harta warisan merupakan bagian dari harta peninggalan yang terdiri dari :

1) Harta Bawaan dari masing-masing pihak suami-isteri, atau harta yang diperoleh dari hadiah, warisan dan pemberian lainnya(peunulang).Jenis harta ini dalam masyarakat Aceh disebutharta tuha.

2) Harta yang diperoleh suami-isteriselama berlangsungnya perkawinanatau harta bersama yang dalam kalangan masyarakat Aceh disebut hareuta sihareukat.152

Proses pembagian warisan menurut Hilman Hadikusuma dapat dilaksanakan pada :153

a. Sebelum pewaris meninggal dunia (masih hidup)

151 Ida Ayu Sri Martini Asthama, Pelaksanaan Pemberian Tanah Kepada Anak Perempuan Kepada Menurut Ketentuan Hukum Waris Adat Bali,Tesis (Semarang : UNDIP, 2005)

152 M. Yusuf Hasan, Kecenderungan Pembagian Warisan dalam Masyarakat Aceh Besar,Jurnal Kanun No 24(Banda Aceh, 1999), hal. 413-414

1) Cara penerusan atau pengalihan

Pewaris masih hidup atau penerusan kedudukan atau jabatan adat, hak dan kewajiban harta kekayaan kepada ahli warisnya. Cara ini biasanya berlangsung menurut hukum adat setempat. Misalnya, terhadap kedudukan, hak dan kewajiban dan harta kekayaan yang tidak terbagi-bagi kepada anak laki-laki sulung atau bungsu di Tanah Batak.

2) Cara penunjukan

Pewaris menunjuk ahli warisnya atas hak dan kewajiban atas harta tertentu, Perpindahan penguasaan dan pemilikan baru berlaku dengan sepenuhnya kepada ahli warisnya pada saat si pewaris sudah meninggal dunia.

3) Pesan atau Wasiat

Pesan atau wasiat ini disampaikan atau dituliskan pada saat pewaris masih hidup akan tetapi dalam keadaan sakit parah. Biasanya diucapkan atau dituliskan dengan terang dan disaksikan oleh para ahli waris, anggota keluarga, tetangga dan tua-tua desa.

b. Setelah pewaris meninggal dunia

Pemberian harta sesudah pewaris meninggal dunia merupakan proses yang universal dalam setiap hukum waris adat. Setelah si pewaris meninggal dunia, harta warisannya diteruskan kepada ahli warisnya dalam keadaan terbagi-bagi atau tidak terbagi-bagi.

Berdasarkan uraian diatas maka pemberian orang tua kepada anak perempuan melaluihareuta peunulang di Kabupaten Aceh Besar dalam aspek hukum waris adat merupakan bagian dari harta warisan yang diberikan sebelum pewaris meninggal dunia. Sesuai dengan pembagian harta warisan dalam masyarakat adat Aceh Besar dan sistem pelaksanaan pembagian waris yang dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia.

Hal ini sesuai dengan pendapat Soerojo yang menyatkan bahwa “apabila seseorang anak mendapatkan sesuatu pemberian semasa hidup bapaknya, demikian banyaknya sehingga boleh dianggap ia telah mendapatkan bagian penuh dari harta peninggalan bapaknya, maka anak ini tidak lagi berhak atas harta yang lain yang dibagi-bagikan setelah bapaknya meninggal dunia. Akan tetapi, setelah melihat banyaknya harta peninggalan, ternyata yang telah diterima anaktersebut masih belum cukup, maka ia akan mendapat tambahan pada saat harta peninggalan bapaknya dibagi-bagi, sehingga bagiannya sama dengan saudara-saudaranya yang lain”.154

2. Status Pemberian Orang Tua Melalui Hareuta Peunulang Dalam Aspek

Dokumen terkait