• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEBERADAAN DAN FAKTOR-FAKTOR YANG

B. Status Hukum Dari Pemberian Melalui Hareuta Peunulang

2. Status Pemberian Orang Tua Melalui Hareuta

A. Pengertian Hukum Waris Islam

Hukum kewarisan sering dikenal dengan istilahfaraidh. Hal ini karena dalam Islam, bagian-bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah ditentukan dalam Al

154

Qur’an. Hukum kewarisan dalam Islam mendapat perhatian besar, karena pembagian warisan sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan.155

Secara etimologis, faraidh diambil dari kata fardh yang berarti taqdir “ketentuan”. Dalam istilah syara’ bahwa kata fardh adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris.156

Sedangkan hukum kewarisan menurut fiqh mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagian-bagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.157

Dalam bahasa Arab berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain disebut Al-miirats.158 Sedangkan makna Al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal menurut syar’i.

Pengertian hukum kewarisan menurut Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan(tirkah)pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. Dalam konteks yang lebih umum, warisan

155

Ahmad Rofiq ,Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 355

156Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006), hal.479

157 http://edon79.wordpress.com/2009/07/10/fiqh-mawaris/,di unduh pada tanggal 27 Desember 2013.

158 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), hal.33

dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup.159

Mewaris berarti menggantikan tempat dari seseorang yang meninggal dalam hubungan hukum harta kekayannya. Hubungan-hubungan hukum yang lain, misalnya hubungan hukum dalam hukum keluarga.160 Dalam redaksi yang lain, Hasby Ash-Shiddieqy mengemukakan, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi, bagian penerimaan setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya.

Waris dalam bahasa Indonesia disebut pusaka, yaitu harta benda dan hak yang ditinggalkan oleh orang yang mati untuk dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Pembagian itu lazim disebut Faraidh, artinya menurut syara’ ialah pembagian pusaka bagi yang berhak menerimanya.161

Menurut Syamsul Rijal Hamid bahwa pengertian warisan adalah berpindahnya hak dan kewajiban atas segala sesuatu baik harta maupun tanggungan dari orang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup.162

Warisan itu menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat tertentu, yaitu ada seorang anggota dari masyarakat itu meninggal dunia.163

159Ahmad Rofiq,Fiqh Mawaris,(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal.4.

160R Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Surabaya Airlangga University Press, hal.3.

161Moh Rifai,Ilmu Fiqih Islam,(Semarang : CV Toha Putra,1978), hal.513

162Syamsul Rijal Hamid,Buku Pintar Agama Islam,(Bogor : Cahaya Salam, 2011), hal.366. 163Wirjono Prodjodikoro,Op. Cit, hal.11.

B. Dasar Hukum Waris Islam

Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan pembagian harta warisan dalam hukum Islam adalah berpedoman pada ayat-ayat Al Qur’an berikut ini, yaitu :

1) Surat An-Nisa’ ayat 7, yang artinya :

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan

kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.”164

2) Surat An-nisa’ ayat 8, yang artinya :

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”165

3) Surat An-Nisa’ ayat 11, yang artinya :

“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orangtuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di 164 Joko Utama, Muhammad Faridh, Mashadi, Al-Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, (Semarang : CV. Putra Toha), hal.62

antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana”.166

4) Dan dasar hukum pelaksanaan pembagian warisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu terdapat dalam Pasal 171-193 KHI.

C. Syarat dan Rukun Pembagian Waris 1. Syarat pembagian waris

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan, yaitu: (a) Meninggal dunianya pewaris

Yang dimaksud dengan meninggal dunia adalah baik meninggal dunia hakiki (sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim) dan meninggal dunia taqdiri (menurut dugaan). Lebih lanjut mengenai pengertian mati hakiki, hukmi dan taqdiri adalah sebagai berikut :

(1) Mati hakiki, yaitu kematian seseorang yang dapat diketahui tanpa harus melalui pembuktian, bahwa seseorang telah meninggal dunia.167

(2) Mati hukmi, yaitu “kematian seseorang yang secara yuridis ditetapkan melalui keputusan hakim dinyatakan telah meninggal dunia. Ini bisa terjadi seperti dalam kasus seseorang yang dinyatakan hilang, tanpa diketahui di mana dan bagaimana keadannya. Setelah dilakukan upaya-upaya tertentu, melalui keputusan hakim orang tersebut dinyatakan meninggal dunia”.168

(3) Mati taqdiri, yaitu anggapan atau perkiraan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya, seseorang yang diketahui ikut berperang ke medan perang. Setelah beberapa tahun, ternyata tidak diketahui kabar beritanya, dan patut diduga secara kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia, maka ia dapat dinyatakan telah meninggal.

166Ibid

167Ahmad Rofiq,Fiqh Mawaris, Op.Cit.,hal.28. 168Ibid

Tanpa ada kepastian bahwa pewaris meninggal dunia, warisan tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli waris169.

(b) Hidupnya ahli waris

Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh karena itu, sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benar-benar hidup.170

(c) Mengetahui status kewarisan

Agar seseorang dapat mewarisi harta orang meninggal dunia, haruslah jelas hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan suami-isteri, hubungan orang tua-anak dan hubungan saudara, baik sekandung, sebapak maupun seibu.171

2. Rukun Pembagian Waris

Adapun beberapa rukun pembagian waris yaitu (1) pewaris, (2) harta warisan, dan (3) ahli waris. Ketiga unsur tersebut saling berkaitan, dan masing-masing mempunyai ketentuan tersendiri.172

D. Hibah dalam Hukum Islam

169Ibid 170Ibid 171Ibid

Hukum Islam memperbolehkan seseorang memberikan atau menghadiahkan sebagian harta kekayaan ketika masih hidup kepada orang lain yang. Pemberian semasa hidup itu lazim dikenal dengan sebutan ”hibah”.

Kaitannya dengan pemberian orang tua melalui hareuta peunulang dalam hal ini dapat dilihat dimana dalam hukum waris Islam warisan dibagi hannya setelah pewaris meninggal dunia sebagai salah satu syarat pembagian warisan dalam hukum Islam. Sementara pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulang sebagaimana telah dijelaskan diberikan oleh orang tua kepada anaknya semasa orang tua masih hidup. Dalam hal ini pemberian harta kekayaan dalam hukum Islam di waktu pewaris masih hidup dikenal sebagai hibah.

Hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan tidak ada penggantian apapun dan dilakukan secara suka rela, tanpa ada kontraprestasi dari pihak penerima hibahdan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup.173

Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf g menyebutkan “hibah adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”.

Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia.

173 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam,Cetakan Kedua (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hal. 113

Secara etimologi kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba yang berarti suatu pemberian. Sedangkan hibah menurut istilah Jumhur Ulama mendefinisikannya sebagai akad yang mengakibatkan pemilikan harta tanpa ganti rugi yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara suka rela.

Ulama Mazhab Hambali lebih detail lagi mendefinisikannya, yaitu

“pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta itu tertentu atau tidak, bendanya ada dan bias diserahkan, penyerahannya diserahkan ketika pemberi masih hidup tanpa mengharapkan imbalan”.174 Sayyid Sabiq mendefiniskan hibah adalah “akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup”.175

Sedangkan Sulaiman Rasyid mendefinisikan hibah adalah “memberikan zat dengan tidak ada tukarannya dan tidak ada karenanya”.176

Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 171 huruf g menyebutkan “hibah adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”. Kata di waktu masih hidup mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak milik itu berlaku semasa hidup. Dan bila beralih sudah matinya yang berhak maka disebut wasiat. Adapun kata tanpa imbalan atau sukarela, berarti itu semata-mata kehendak sepihak (si pemberi) tanpa mengharapkan apa-apa. Apabila mengharapkan imbalan maka dinamakan jual-beli.

174Abdul Azis Dahlan,Ensiklopedi Hukum Islam, Cetakan I(Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), hal 540

175

Sayid Sabiq,Op Cit, hal 167

Adapun dasar hibah menurut hukum Islam adalah firman Allah yang menganjurkan kepada umat Islam agar berbuat baik sesamanya, saling mengasihi dan sebagainya. Islam menganjurkan agar umatnya suka memberi karena memberi lebih baik daripada menerima. Namun pemberian itu haruslah ikhlas, tidak ada pamrih apa-apa kecuali mencari ridha Allah dan mempererat tali persaudaraan, sebagaimana dalam firman Allah yang artinya :

tolong menolonglah kamu sekalian atas kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu sekalian tolong menolong atas sesuatu dosa dan permusuhan”(Q.S Al-Maidah : 2).177

Firman Allah yang lain, Artinya :

“dan memberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak orang miskin, nusafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta”.(Q.S. AL-Baqarah : 17).178

Dan Rasulullah bersabda, yang artinya :

“Dari Abi Hurairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda : saling memberi hadiahlah kamu sekalian niscaya kamu akan saling mencintai”.(HR. Al-Bukhari).

Dasar Hukum Kompilasi Hukum Islam di Indonesia adalah Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Menurut Ismail Suny, sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan, dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah 177Departemen Agama Republik Indonesia, Yayasan Penyelenggara Al-qur’an dan Terjemahannya,(Surabaya : Mahkota, 1989), hal 156

ditetapkan oleh Undang-undang yang berlaku dalam hukum Islam, aritnya, bahwa bagi masyarakat muslim Indonesia yang harus dijadikan pegangan hukum itu adalah Kompilasi Hukum Islam dalam setiap penyelesaian-penyelesaian masalah perkawian, kewarisan, dan wakaf, dan itu adalah hukum Islam yang sudah dilegalisi oleh Undang-undang.179

Di dalam Al-Qur’an maupun Hadits, dapat ditemui ayat dan sabda nabi yang secara langsung memerintahkan untuk berhibah, namun dari ayat-ayat dan hadits di atas dapat dipahami bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan ummat Islam untuk suka menolong sesama, melakukan infaq, sedekah dan pemberian-pemberian lain termasuk hibah.

Sementara syarat-syarat hibah adalah sebagai berikut :180 a. Syarat Bagi Penghibah (Pemberi Hibah)

1) Penghibah adalah orang yang memiliki dengan sempurna sesuatu atas harta yang dihibahkan. Dalam hal terjadi pemindahan milik karena itu mustahil orang yang tidak memiliki akan menghibahkan sesuatu barang kepada orang lain.

2) Penghibah itu adalah orang yang mursyid, yang telah dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya jika terjadi persoalan atau perkara yang berkaitan dengan pengadilan mengenai harta tersebut. 3) Penghibah tidak berada di bawah perwalian orang lain, jadi penghibah itu

haruss orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.

4) Penghibah harus bebas tidak ada tekanan dari pihak lain dipaksa karena hibah disyaratkan kerelaan dalam kebebasan.

5) Seseorang melakukan hibah itu dalam mempunya iradah dan ikhtiyar dalam melakukan tindakan atas dasar pilihannya bukan karena dia tidak sadar atau keadaan lainnya. Seseorang dikatakan ikhtiyar dalam keadaan 179 Ismail Suny, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, dalam Eddi Rudiana Arief, et. Al“Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukkan”, (Bandung :Remaja Rosdakarya ,1991), hal. 44

180 Departemen Agama Republik Indonesia,Ilmu Fiqh Jilid III,(Jakarta : Proyek Pembinaan Prasarana Akan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam, 1986), hal. 201-203

tindakan apabila ia melakukan perbuatan atas dasar pilihannya bukan karena pilihan orang lain, tentu saja setelah memikirkannya dengan matang.

b. Syarat bagi penerima hibah

1) Bahwa ia telah ada dalam arti sebenarnya karena itu tidak sah anak yang belum lahir menerima hibah.

2) Jika penerima hibah itu orang yang belummukallaf,maka yang bertindak sebagai penerima hibah adalah wakil atau walinya atau orang yang bertanggung jawab memelihara dan mendidiknya.

c. Syarat bagi barang atau harta yang dihibahkan :

1) Barang hibah itu telah ada dalam arti yang sebenarnya waktu hibah dilaksanakan.

2) Barang yang dihibahkan itu adalah barang yang boleh dimiliki secara sah oleh ajaran Islam.

3) Barang itu telah menjadi milik sah dari harta penghibah, mempunyai sebidang tanah yang akan dihibahkan adalah seperempat tanah itu, di waktu menghibahkan tanah yang seperempat harus dipecah atau ditentukan bagian dan tempatnya.

4) Harta yang dihibahkan itu dalam kekuasaan yang tidak terikat pada suatu perjanjian dengan pihak lain seperti harta itu dalam keadaan digadaikan. d. Syarat Sigat atau Ijab Qabul

Setiap hibah harus ada ijab-qabul, tentu saja sigat itu hendaklah ada persesuaian antara Ijab dan Qabul, bagi orang yang tidak atau dapat berbicara, maka sigat hibah cukup dengan isyarat, asal isyarat itu benar-benar mengandung arti hibah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berhibah. Pemberi (pihak pertama) hibah dapat dikatakan sah ketika empat syarat berikut terpenuhi yaitu, pertama, barang yang dihibahkan milik nya secara utuh, kedua, bukan dalam keadaan keadaan terhalang seperti karena sakit, ketiga, baligh, dan keempat, akad hibah dalam keadaan ridho (tanpa paksaan). Dalam KHI pasal 210 ayat 1 dijelaskan bahwa orang yang menghibahkan harus berumur 21 tahun, berakal sehat, dan tidak dalam keadaan terpaksa, dan harta yang dihibahkan paling banyak 1/3 dan harus dihadapan dua orang saksi. Kemudian ayat dua menjelaskan bahwa barang yang dihibahkan harus hak milik penghibah. Untuk syarat yang kedua diatas ditanggapi oleh KHI dengan memberikan kesempatan bagi yang ingin menghibahkan

hartanya dalam keadaan sakit dengan catatan izin dari ahli warisnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 213 bahwa Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya. Pembatasan yang ada dalam KHI dalam hal usia dan besar hibah berdasarkan pertimbangan bahwa usia 21 tahun telah dianggap cakap untuk memiliki hak untuk menghibahkan benda miliknya itu. Demikian juga batasan 1/3 harta kecuali dengan persetujuan ahli waris.181

Mengenai pemberian orang tua kepada anak perempuan melalui hareuta peunulangdalam masyarakat Aceh Besar secara prinsip berbeda dengan penghibahan dalam Hukum Perdata Indonesia Berdasarkan Pasal 1666 Kitab Undang–undang Hukum Perdata :

“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu”,

Hibah secara KUH Perdata telah diatur dalam beberapa pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Adapun ketentuan tersebut adalah :

1) Pasal 1667 Kitab Undang-undang Hukum Perdata: “Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada, jika ada itu meliputi benda-benda yang baru akan dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal”

2) Pasal 1668 Kitab Undang-undang Hukum Perdata: “Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda termasuk dalam penghibahan semacam ini sekedar mengenai benda tersebut dianggap sebagai batal”

Hibah adalah pemberian ketika yang punya harta masih hidup, sedangkan warisan diberikan ketika yang punya harta telah meninggal dunia. Walaupun saat pemberiannya berbeda namun keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, terutama hibah itu diberikan kepada anak atau ahli waris karena akan menentukan terhadap bagian warisan apabila hibah tersebut tidak ada persetujuan ahli waris atau setidak-tidaknya ada ahli waris yang keberatan dengan adanya hibah tersebut terutama ahli waris laki-laki yang apabila pemberian orang tua tersebut dapat mengurangi haknya dalam mewaris. Oleh karenanya sering terjadi sengketa antara ahli waris, satu pihak berpendapat bahwa hibah yang sudah diberikan berbeda dengan warisan, sedangkan pihak lain (ahli waris yang tidak menerima hibah) menyatakan hibah yang sudah diterima merupakan harta warisan yang sudah dibagi. Oleh karenanya ahli waris yang sudah menerima hibah tidak akan mendapat harta warisan lagi.

Berkaitan dengan masalah tersebut pasal 211 Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah memberikan solusi yaitu, Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Pengertian “dapat“ dalam pasal tersebut bukan

berartiimperatif (harus), tetapi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa warisan.182

Dengan demikian dari status hukum dilihat dari segi pemberian orang tua kepada anak perempuan melaluihareuta peunulang di dalam masyarakat Kabupaten Aceh Besar yang dilakukan oleh orang tua kepada anak perempuan semasa hidup dapat digolongkan sebagai hibah di dalam hukum Islam, ini dapat dilihat dari syarat dan proses pemberianhareuta peunulangjuga memenuhi syarat yang terdapat dalam ketentuan hibah dalam Islam.

Pengalihan harta dari seseorang ke orang lain dapat di lakukan dengan beberapa cara, salah satunya adalah dengan cara pemberian atas sebagian harta atau hibah. Hukum Islam di Indonesia mengatur mengenai ketentuan hibah sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal (210) sampai dengan pasal (214).

Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan baik secara tertulis maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa ”dalam Hukum Islam, pemberian berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis”. Akan tetapi jika selanjutnya dikehendaki bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam bentuk tulisan. Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis bentuk tersebut terdapat dua macam, yaitu:

182Dede Ibin,Hibah, Fungsi Dan Korelasinya Dengan Kewarisan, (tulisan ini diambil dalam bentuk pdf. Penulis adalah Wakil Ketua PA Rangkasbitung), hal. 6

1) Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah terjadinya pemberian;

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Undang-Undang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN), menentukan pengertian Notaris, yaitu : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”

Sebagai pejabat umum, notaris mempunyai kewenangan-kewenangan yang telah diatur dalam undang-undang khususnya pada Pasal 15 UUJN, adapun kewenangan dari notaries adalah :

(1) “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(2) Notaris berwenang pula :

(a) mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan pada daftar khusus;

(b) membubuhkan surat-surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

(c) membuat copi dari dari surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

(d) melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; (e) memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; (f) membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;

(g) membuat akta risalah lelang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), notaries mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 15 secara keseluruhan menegaskan bahwa wewenang dari notaris adalah bersifat umum tidak turut pejabat lainnya dimana wewenang pejabat lainnya itu hanya bersifat tertentu, tidak melebihi apa yang ditugaskan kepada mereka oleh undang-undang, sedangkan notaris wewenangnya meliputi segala pembuatan akta otentik mengenai semua perbuatan,

Dokumen terkait