• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP DAN RELEVANSINYA

C. Pendidikan Lingkungan Hidup

1. Pengertian Pendidikan Lingkungan Hidup

Gatut Saksono (2008: 73) mengungkapkan pendapat dari Driyarkara mengenai pendidikan. Dikatakan bahwa “pendidikan terjadi dengan dan dalam hidup bersama.” Artinya proses pendidikan merupakan perbuatan ataupun tindakan yang disadari untuk memasukkan manusia muda ke dunia manusia. Hal ini menunjuk bagaimana keberadaan seorang manusia menjadi manusia seutuhnya menjadi hal yang ditekankan.

Bartolomeus Samho (2013: 74) mengungkapkan pandangan Ki Hadjar Dewantara bahwa “pendidikan dan pengajaran adalah daya-upaya yang disengaja secara terpadu dalam rangka memerdekakan aspek lahiriah dan batiniah manusia.” Pengajaran merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Pengajaran adalah pendidikan dengan cara memberikan ilmu ataupun pengetahuan serta memberikan ketrampilan, pengertian dan pelatihan kepada anak yang akhirnya dapat bermanfaat untuk hidup anak tersebut.

Ki Hadjar Dewantara juga menerapkan tiga semboyan pendidikan yang menunjukkan kekhasan Indonesia, yakni “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” (Samho, 2013: 78). Dari penggalan semboyan Ing Ngarsa Sung Tuladha dapat diartikan bahwa di dalam dunia pendidikan, saat seorang pendidik berada di depan ia sebaiknya memberikan teladan kepada murid-muridnya. Seorang pendidik adalah pemimpin yang memberikan contoh baik dalam perkataan maupun perbuatannya sehingga pantas diteladani oleh para muridnya. Kemudian untuk makna Ing Madya Mangun Karsa, bahwa ketika seorang pendidik berada di tengah para muridnya haruslah terus-

menerus memotivasi mereka untuk terus berkarya, membangun niat, semangat dan menumbuhkan ide-ide agar para muridnya produktif dalam berkarya. Sedangkan Tut Wuri Handayani, mempunyai arti bahwa seorang pendidik ketika berada di belakang hendaknya selalu mendorong dan mendukung para peserta didiknya untuk berkarya ke arah yang benar. Ketiga semboyan ini juga sebaiknya diimbangi dengan prinsip pembelajaran learning by doing antara pendidik dan murid. Belajar dengan mengerjakan atau yang sering terkenal dengan istilah learning by doing tentunya bukan hanya sekedar metode pembelajaran tetapi suatu kenyataan hidup. Seluruh aspek di dalam kehidupan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran.

Menurut pandangan Maria Montessori yang diterjemahkan oleh Dariyatno (2008: 356) di jelaskan bahwa “manusia merupakan makhluk yang utuh, namun keutuhan ini harus dibangun dan dibentuk melalui pengalaman aktif di dunia nyata, yang diatur oleh hukum-hukum alam”. Hal tersebut ingin menunjukkan bahwa pengalaman nyata yang dilakukan oleh anak-anak menjadi bekal yang penting bagi keutuhan perkembangan dirinya. Anak tidak hanya terbatas untuk mempelajari hal- hal yang bersifat kognitif saja, namun harus mempraktekkan apa yang telah mereka terima ke dalam pengalaman nyata di kehidupan sehari-harinya.

Sukardjo & Ukim Komarudin (2009: 7) mengungkapkan istilah pendidikan berasal dari kata paedagogie yang secara etimologik kata ini “berasal dari bahasa Yunani yaitu paedagogia yang berarti pergaulan dengan anak. Perkataan untuk pedagogi juga berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu paid yang bermakna anak dan ogogos yang berarti membimbing”. Pendidikan adalah proses pembinaan yang memungkinkan anak mampu mengembangkan semua potensi dan kemampuan yang ia miliki yang dapat bernilai positif di dalam masyarakat sekitar ia tinggal.

Menurut Sukardjo & Ukim Komarudin (2009: 9) “Pendidikan dimulai di dalam keluarga bagi anak yang belum mandiri, kemudian diperluas di lingkungan tetangga atau komunitas sekitar, lembaga prasekolah, persekolahan formal dan tempat-tempat lain”. Pendidikan tidak hanya sekedar mengajarkan sesuatu kepada seseorang terlebih kepada anak, melainkan lebih kepada proses membimbing dan membina. Sudah diketahui sejak dahulu bahwa keluarga adalah tempat yang paling pertama dan terutama dalam proses mendidik seorang anak. Seorang anak menyerap segala sesuatu yang dia peroleh dalam keluarga. Kemudian setelah itu lingkungan sekolah dan masyarakat yang kemudian juga memberikan pengaruh terhadap pendidikan seorang anak.

2. Tujuan Pendidikan menurut Dokumen Konsili Vatikan II Gravisimum Educationis dan Para Ahli

“Semua orang dari suku, kondisi atau usia manapun, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi, mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat atas pendidikan yang cocok dengan tujuan” (GE, art. 1). Pernyataan ini menjelaskan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Tidak ada pengecualian yang mempengaruhi seseorang untuk tidak menerima pendidikan, baik dilihat dari suku, kondisi ekonomi, maupun jenis kelamin karena semua orang mempunyai hak yang sama. Bahkan faktor usia tidak menjadi penghalang untuk terus memperoleh pendidikan, karena pendidikan berlangsung seumur hidup. Tujuan pendidikan adalah perkembangan manusia sebagai suatu pribadi dan akhirnya demi kesejahteraannya sebagai anggota suatu masyarakat.

“Pendidikan itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti telah diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibabtis langkah demi langkah makin mendalami misteri keselamatan” (GE, art. 2). Melalui dunia pendidikan, khususnya pendidikan Kristiani, seseorang yang menerima pendidikan tidak hanya diharapkan mencapai perkembangan pribadinya saja, namun sampai kepada penyadaran karunia iman yang telah diterima sejak dibabtis dan mampu menghayati hidup sebagai manusia baru dalam kebenaran.

Sardy (1985: 3) mengungkapkan gagasan mengenai tujuan pendidikan menurut UNESCO yakni: menjunjung tinggi nilai luhur manusia, pendidikan mengarah kepada kreativitas, orientasi pada keterlibatan sosial, pendidikan adalah pembentukan manusia sempurna.

a. Menjunjung Tinggi Nilai Luhur Manusia

“Pendidikan bertujuan menjadikan orang semakin menjunjung tinggi nilai- nilai luhur manusia. Keluhuran manusia haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah” (Sardy, 1985: 3). Manusia harus dipandang sebagai pribadi yang kongkrit yang hidup dan mempunyai martabat yang tidak boleh diobjekkan. Di antara manusia perlu adanya kesadaran untuk mau menerima orang lain dengan segala perbedaannya dan diharapkan setiap individu tidak menjadikan agama, kepercayaan, ideologinya dan hal-hal yang melekat pada dirinya sebagai patokan bagi orang lain.

b. Pendidikan Mengarah kepada Kreativitas

yang ingin dijadikan aktual oleh pendidikan” (Sardy, 1985: 4). Salah satu tujuan pendidikan adalah menjadikan seseorang agar menjadi pribadi yang kreatif. Segi kekreatifan ini dapat dilihat dalam kehidupan anak-anak dan orang muda, mulai dari semangat kreatif, rasa ingin tahu yang tinggi dan berpikir secara kritis.

c. Orientasi pada Keterlibatan Sosial

“Pendidikan harus mempersiapkan orang untuk hidup berinteraksi dalam masyarakat secara bertanggungjawab” (Sardy, 1985: 4). Kegiatan awal yang dapat dilakukan agar seseorang mampu berinteraksi dengan penuh tanggung jawab dengan cara belajar berpartisipasi dan melibatkan diri secara aktif dalam setiap kegiatan yang ada di masyarakat. Dari segi pendidikan, sekolah menjadi faktor yang penting. Sekolah dapat dijadikan sebagai suatu wadah untuk memfasilitasi hal tersebut. Salah satu tujuan dari pendidikan adalah menolong manusia muda untuk mampu terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat dan sosialnya.

d. Pendidikan adalah Pembentukan Manusia Sempurna.

“Pendidikan bertugas untuk mengembangkan potensi-potensi individual semaksimal mungkin dalam batas-batas kemampuannya, sehingga terbentuk manusia yang pandai, trampil, jujur yang tahu kadar kemampuannya dan batas- batasnya serta kehormatan diri” (Sardy, 1985: 5). Tujuan ini akan tercapai apabila dalam diri seseorang tersebut terjadi proses perpaduan dan keselarasan antara unsur fisik, emosional, intelektual dan unsur lainnya. Proses pendidikan ini berlangsung secara terus-menerus dan seumur hidup.

B.Lingkungan Hidup

1. Pandangan Kitab Suci dan Gereja mengenai Lingkungan Hidup a. Pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama

Chang (2001: 46) menjelaskan bahwa “orang Kristen dan Yahudi tidak menggunakan Kitab Suci sebagai sumber pengetahuan tentang alam semesta. Kitab Suci bukan merupakan buku ilmiah yang mengisahkan sejarah setiap pengada, namun kitab yang mengajarkan manusia untuk hidup dengan adil”. Hal itu dikarenakan para penulis Kitab Suci tidak menggunakan gaya bahasa yang khas mengenai ilmu alam atau ilmu fisika, karena mereka adalah orang-orang yang hidup dalam dunia “prailmiah”. Para penulis Kitab Suci memberikan manusia pada tempat kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan yang hidup berdampingan dengan makhluk ciptaan yang lain.

Chang (2001: 47) mengemukakan pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama mengenai lingkungan hidup, bahwa “Dalam Perjanjian Lama, kosmos dipandang sebagai yang berbeda dari Tuhan. Dunia dilukiskan sebagai suatu keadaan dengan keindahan yang tidak sanggup diungkapkan secara penuh oleh gaya sastra Mazmur- Mazmur dan Kebijaksanaan”. Dunia dan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya diciptakan oleh Tuhan melalui sabda-Nya. Dan kisah penciptaan dalam PL tidak diarahkan kepada pemikiran manusia, namun gagasan di dalamnya diarahkan kepada ajaran iman yang kebenarannya dipertegas secara terus-menerus. Chang (2001: 47) juga mengungkapkan pandangan dari K. Meyer-Abich yakni “kebijaksanaan dalam PL (khususnya Mazmur) memahami dunia sebagai keindahan yang terpotret”. Keindahan ini tidak lain berasal dari mutu seni yang ditentukan secara manusiawi. Keindahan tersebut dapat diartikan sebagai sebuah

norma yang dapat digunakan untuk membentengi diri dari hal-hal negatif yang dapat menyerang manusia.

Berikut adalah pandangan mengenai lingkungan hidup menurut Kitab Kejadian dan Kitab Mazmur.

1) Kitab Kejadian

Menurut pandangan Chang (2001: 48) “dalam Perjanjian Lama, Kitab Kejadian dan Ulangan yang paling banyak berbicara mengenai lingkungan hidup”. Para pengarang dalam kedua kitab ini sering kali mengaitkan pengalaman hidup mereka mengenai lingkungan dengan pemahaman tentang sejarah penyelenggaraan ilahi Israel sebagai bangsa yang dipersatukan dengan Tuhan dan sebagai bangsa yang telah dijanjikan tanah khusus. Para pengarang kedua kitab ini menggolongkan alam semesta ke dalam peristiwa penciptaan manusia dan mereka menyisipkannya ke dalam terjadinya kehidupan.

Dalam Kej 1:27-28 dituliskan:

Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.

Dari kutipan ini, kata-kata “taklukkan” dan “berkuasalah” dijadikan kata kunci yang mengandaikan bahwa tugas manusia adalah menaklukkan dan menguasai bumi dengan segala isinya. Namun menaklukkan dan menguasai di sini bukan berarti dengan bebas dan tanpa aturan. Allah menyuruh untuk menaklukkan dan menguasai dalam artian agar manusia mengelola segala sesuatu yang berada di

bumi untuk memuliakan Allah bukan untuk mengeksploitasi bumi demi mencari keuntungan dan kenyamanan mereka. Masa depan bumi ini diserahkan kepada tangan manusia.

2) Kitab Mazmur

Chang (2001: 49) menyampaikan gagasannya bahwa “Mazmur 19 (ayat 2- 5b) merupakan salah satu contoh kerygma mengenai kosmos sebagai buah tangan Tuhan”. Chang (2001: 50) juga menyampaikan pendapatnya bahwa “Mazmur 104 juga mengumandangkan pandangan bahwa penciptaan alam semesta dalam Kejadian 1 dengan menampilkan unsur-unsur alam, seperti cahaya, gunung, matahari, tumbuh-tumbuhan, hewan, tanah, dll”. Di dalam kutipan-kutipan kitab ini tidak diceritakan tentang peristiwa penciptaan lagi, namun peristiwa penciptaan tersebut direnungkan dan dikidungkan. Kitab Mazmur ini tidak menelusuri dan menerangkan bagaimana asal-muasal suatu penciptaan tetapi lebih bertujuan agar pembaca memahami keindahan dan keteraturan di dalam penciptaan tersebut. Penciptaan alam semesta di dalam Kitab Mazmur dipahami sebagai tindakan sekarang ini dan bukan peristiwa yang telah berlalu.

“Dunia dan sejarahnya adalah karya cinta kasih Allah yang menakjubkan” (Mzm 136). Di dalam kutipan tersebut manusia dapat menemukan kaitan antara cinta kasih yang menghubungkan Tuhan dengan alam semesta dan sejarah manusia. Cinta kasih yang Dia berikan kepada manusia menyelamatkan dan merupakan sumber penciptaan alam semesta. Dari kutipan ini manusia diajak untuk selalu memuji Tuhan dan mengagungkan karya cinta kasih-Nya.

b. Pandangan Kitab Suci Perjanjian Baru

Chang (2001: 51) mengungkapkan sebuah gagasan bahwa “kosmos dalam Perjanjian Baru mengarah pada hidup manusia dalam sejarah”. Dalam artian ini, kosmos berarti suatu himpunan keadaan dan kemungkinan hidup manusia. PB juga mempertimbangkan kosmos dalam kaitan dengan Yesus Kristus. Kata kosmos dalam PB dihubungkan dengan gagasan ‘ruang’ yang dipergunakan untuk melukiskan ‘kemanusiaan’. PB tidak berbicara tentang kosmos dalam dirinya, sebagai benda belaka, namun dikaitkan dengan manusia, tempat Tuhan bertindak dan manusia melakukan sesuatu secara bertanggung jawab.

Salah satu contoh dari Perjanjian Baru yang memberikan perhatian pada lingkungan hidup adalah surat-surat Paulus. Chang (2001: 52) menyampaikan gagasan Paulus bahwa “kosmos adalah segala sesuatu yang bukan Tuhan, yakni alam semesta”. Menurut Paulus, kosmos adalah ruang yang meliputi semua yang berada di luar Tuhan. Namun dunia selalu berada di bawah kuasa tindakan ilahi. Tidak ada satu pun unsur di atas permukaan bumi yang dapat terpisah dari kuasa Kristus.

Chang (2001: 54) menyampaikan gagasan Paulus bahwa “perubahan dunia diwujudkan melalui suatu transformasi mendalam hati nurani”. Dalam suratnya yang pertama kepada Timotius, Paulus juga menyampaikan hal yang serupa, “karena semua yang diciptakan Allah itu baik dan suatu pun tidak ada yang haram, jika diterima dengan ucapan syukur, sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa” (1 Tim 4:4-5). Paulus mempunyai pemikiran, khususnya kepada orang Kristen, bahwa manusia tidak diberikan tugas untuk mengubah dunia, tapi terutama membiarkan diri untuk diubah oleh Yesus Kristus. Tanggung jawab

khusus yang seharusnya dilakukan oleh orang Kristen di hadapan dunia terutama melihat apa yang dikendaki Allah yang diungkapkan dalam diri Yesus Kristus, karena hal tersebut merupakan kebaikan bagi dunia. Orang Kristen mengubah bentuk dunia dari dalam, menghidupi semua keadaan yang ada di dunia menurut Roh Yesus.

c. Ajaran Sosial Gereja

“Sejarah membuktikan bahwa sejak dahulu Gereja memberikan perhatian kepada berbagai segi bidang kehidupan, seperti moral, perdamaian antar bangsa, dll. Namun belakangan ini perhatian Gereja juga memperhatikan permasalahan tentang lingkungan hidup” (Chang, 2001: 62). Chang hanya ingin menekankan bahwa Gereja pun ikut ambil bagian dalam usaha memperhatikan lingkungan hidup. Salah satu tokoh yang sangat memperhatikan pemasalahan mengenai lingkungan hidup ini adalah Paus Paulus VI. Beliau adalah “Paus pertama” yang sungguh-sungguh berbicara mengenai lingkungan hidup dalam teks-teks penting, seperti dalam ensiklik Populorum Progessio pada tahun 1977 dan pesan pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia V yang diadakan pada tahun 1977. Bahkan dalam pesan terakhirnya, Paus Paulus VI berbicara tentang krisis lingkungan hidup serta ancamannya, akibat-akibat yang ditimbulkan oleh polusi industri yang mendesak sejumlah perubahan tingkah laku manusia yang boros dan mengkaitkan lingkungan hidup dengan perkembangan dalam perspektif kerja sama internasional.

Paus Fransiskus mengatakan bahwa ”kesadaran terhadap krisis budaya dan ekologis yang serius harus diterjemahkan ke dalam adat kebiasaan baru” (LS, art. 209). Kemajuan di berbagai bidang yang terjadi saat ini hanya dilakukan untuk

pencapaian kenikmatan saja, belum cukup untuk memberikan suatu makna yang mendalam dan sukacita di dalam hati setiap manusia. Oleh karena itu perlu adanya adat kebiasaan baru yang harus dilakukan oleh manusia di dunia, misalnya saja perubahan pola konsumsi, orang-orang muda juga harus memiliki kepekaan terhadap lingkungan dan semangat yang murah hati untuk membela lingkungan.

2. Pengertian Lingkungan Hidup Piet Go O. Carm (1989: 1) berpendapat:

Dalam bahasa Yunani, lingkungan hidup sering disebut dengan “oikos”, yang berarti rumah atau rumah tangga. Untuk ilmu yang berkisar pada lingkungan hidup dipakai istilah “ekologi”, ilmu mengenai hubungan-hubungan makhluk- makhluk terhadap lingkungannya, atau lebih antropologis: ilmu hubungan- hubungan timbal balik antara manusia sebagai makluk budaya dan lingkungannya.

Dari pernyataan ini dijelaskan bahwa lingkungan hidup digambarkan sebagai rumah, di mana seluruh anggota di dalam rumah tersebut mempunyai hubungan satu sama lain. Berarti dapat dikatakan bahwa pada umumnya lingkungan hidup dimaksudkan keseluruhan persyaratan kehidupan, khususnya bagi manusia yang menjadi pusatnya. Tetapi tetap dilihat dalam keterjalinan serta ketergantungan timbal balik antara manusia dengan makhluk-makhluk lain seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan beserta ruang hidupnya. Hubungan antar makhluk hidup ini merupakan nilai yang penting dalam lingkup lingkungan hidup.

Paus Fransiskus mengatakan bahwa:

Ketika berbicara tentang lingkungan, kita mengacu pada suatu relasi yang khusus, yaitu antara alam dan masyarakat yang menghuninya. Hal itu mencegah kita untuk memahami alam sebagai sesuatu yang terpisah dari kita atau hanya sebagai kerangka kehidupan kita. Kita adalah bagian dari alam, termasuk di dalamnya, dan terjalin dengannya (LS, art. 139).

Melihat pengertian lingkungan yang disampaikan oleh Paus Fransiskus di atas, dapat dikatakan bahwa lingkungan berarti suatu relasi khusus antara alam dan masyarakat di dalamnya. Manusia tidak bisa terpisah dari alam, karena manusia adalah bagian alam. Manusia dan alam saling berhubungan dan saling berpengaruh satu sama lain.

3. Tanggung Jawab atas Lingkungan Hidup

"Permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan hidup, atau yang lebih luasnya mengenai ekologi, terutama disebabkan oleh ulah tangan manusia yang mengerahkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menguasai alam secara berlebihan” (Go, 1989: 6). Jadi dalam kasus ini, menurut Piet Go memang permasalahan ekologi tidak hanya berkaitan dengan sikap manusia yang menggunakannya, namun juga berkaitan dengan faktor ilmu pengetahuan dan teknologi. Walaupun yang menjadi pokok permasalahan memang berasal dari tangan manusia, namun itu semua tidak terlepas dari adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat.

Suprihadi (1984: 16) mengungkapkan bahwa “Manusia mendapat tugas dari Allah untuk memuliakan Tuhan melalui hidup dan hubungannya dengan alam serta lingkungannya”. Hal ini berarti, manusia pada dasarnya adalah manusia yang tak dapat dipisahkan dari alam dan lingkungannya. Manusia dan alam serta lingkungan memiliki hubungan yang saling berkaitan. Jadi dapat dikatakan bahwa manusia benar-benar menjadi manusia kalau ia berada dalam hubungan dengan alam dan lingkungannya. Manusia mendapatkan tugas yang mulia untuk memuliakan Allah melalui segala tingkah laku, sikap hidup dan tindakan nyata yang ia lakukan serta

bagaimana manusia tersebut menjalin relasi dengan alam serta segala sesuatu yang berada di dalamnya.

Lingkungan hidup mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan ini. Lingkungan hidup juga memiliki fungsi sebagai penyangga perikehidupan. Oleh karena itu segi pengelolaan dan pengembangan lingkungan hidup sebaiknya diarahkan untuk mempertahankan kelestarian dan keberadaannya. Berbagai usaha perlindungan dan rehabilitasi serta usaha pemeliharaan keseimbangan antara unsur- unsur yang berada di dalamnya secara terus-menerus dapat dilakukan agar kelestarian lingkungan hidup dapat terjaga, sehingga mutu dan fungsi dari lingkungan hidup dapat dipelihara dan ditingkatkan untuk dimanfaatkan demi kesejahteraan seluruh masyarakat sekarang ini dan generasi selanjutnya.

4. Hubungan antara Manusia dan Alam

Menurut Piet Go (1989: 22) jelas bahwa gangguan keseimbangan lingkungan hidup diakibatkan ulah tangan manusia yang kemampuannya ditingkatkan secara dahsyat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih. Berikut ini beberapa pandangan Piet Go (1989: 25-28) yang relevan mengenai hubungan manusia dan alam:

a. Manusia Sebagai Subjek

“Untuk mengungkapkan kedudukan dan peranan khas manusia kadang- kadang dipakai istilah “antroposentrik” (pandangan yang menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta), yang tak jarang menimbulkan salah paham atau kesan yang kurang tepat” (Go, 1989: 25). Gagasan pribadi manusia sebagai pusat

dari alam semesta ini menunjuk kepada penempatan pribadi manusia sebagai subjek yang diciptakan menurut gambar Allah. Gagasan manusia sebagai subjek ini bersumber pada Kitab Suci dan dijabarkan lebih lanjut dalam teologi dan ajaran Gereja.

b. Alam Sebagai Objek

“Terdapat gagasan bahwa manusia adalah subjek, maka dalam arti dan tingkat tertentu memang dapat dikatakan bahwa alam dimengerti dan diperlakukan sebagai objek” (Go, 1989: 26). Apabila pribadi manusia dianggap sebagai subjek, maka alam dianggap sebagai objek. Namun terdapat pandangan lain yang kurang setuju bahwa alam dipandang sebagai objek. Tetapi tepat tidaknya gagasan ini tergantung juga dari pengertian “objek” yang dipahami oleh masing-masing pihak. c. Kebersamaan Manusia dan Alam

“Pengertian lingkungan hidup harus ditafsirkan dengan baik. Memang di satu pihak manusia membutuhkan aneka bahan yang diambilnya dari kekayaan sumber alam untuk diolah dan dipakai” (Go, 1989: 28). Dalam arti ini alam dipercayakan kepada manusia untuk dibudidayakan dan didayagunakan. Dari sini jelas bahwa hidup manusia terjalin erat dengan alam dan tergantung padanya, hal tersebut dapat terjadi karena manusia adalah bagian dari alam juga. Namun harus diingat bahwa manusia harus menggunakan kekayaan alam dengan bertanggung jawab.

5. Manusia Ditugaskan Memelihara Bumi

dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan- ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi”. Dari kutipan teks Kitab Suci ini, nyata bahwa Allah memberikan tugas kepada manusia untuk mengurus, memelihara dan mengelola bumi baik itu kepada manusia laki-laki maupun manusia perempuan. Dalam pemberian tugas kepada manusia ini terungkap jelas hubungan erat antara manusia dan bumi. Seperti digambarkan dalam Kej 2:8-25 bumi sungguh dimaksudkan oleh Allah sebagai lingkungan hidup bagi manusia yang harus mengusahakan dan memelihara (ay. 15). Dari cerita alkitabiah yang sederhana itu dapat disimpulkan bahwa penyerahan, pengurusan, pemeliharaan, pengelolaan, penanganan oleh Allah kepada manusia