• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN

A. Pengertian perjanjian terapeutik

Kita sebagai manusia yang hidup bermasyarakat pastilah pernah melakukan suatu tindakan mengikat janji.Perjanjian adalah kesepakatan antara dua orang atau dua pihak, mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek dari perjanjian. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kesepakatan itu timbul karena adanya kepentingan dari masing-masing pihak yang saling membutuhkan. Sebagai manusia kita tidak dapat menghindari atau lari dari kenyataan bahwa manusia dalam hidup bermasyarakat, pastilah memiliki kepentiungan-kepentingan tersendiri baik bersifat individual maupun kelompok tertentu..Perjanjian juga dapat disebut sebagai persetujuan, karena dua pihak tersebut setuju untuk melakukan ataupun tidak melakukan sesuatu yang diperjanjikan atau disepakati.Adapun kata sepakat berarti suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak. Berdasarkan pengertian kata sepakat tersebut berarti apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tetapi secara timbal balik kedua kehendak itu bertemu satu sama lain 14Menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.15

14

R Subekti, Op.cit, hlm.26

15

RM. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 97.

Maksudnya, kedua pihak tersebut sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk ditaati dan dilaksanakan. Kesepakatan tersebut adalah untuk menimbulkan

akibat hukum, yaitu menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga apabila kesepakatan itu dilanggar maka akan ada akibat hukumnya atau sanksi bagi si pelanggar.Dapat dikatakan pula bahwa sebuah perjanjian terjadi karena adanya suatu perikatan. Begitu pula sebaliknya dengan perikatan, dimana perikatan ada karena adanya suatu perjanjian. Namun dalam hal perikatan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1233 BW bahwa perikatan dilahirkan bukan hanya oleh perjanjian(1313 BW) tetapi dikarenakan adanya undang-undang (Pasal 1352 BW). Melalui perjanjian yang dibuat maka akan menimbulkan hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bersepakat. Dengan adanya hak dan kewajiban tersebut menuntut para pihak yang bersepakat atau pihak yang membuat kontrak mematuhi setiap kesepakatan yang telah dibuat.Kesepakatan tersebut pastilah memiliki sanksi apabila dilanggar atau tidak ditepati.Perjanjian dalam hal ini dapat dipaksakan untuk dipatuhi dan diberi sanksi apabila dilanggar.

Pengaturan hukum mengenai perjanjian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).Selain di dalam KUH Perdata, mengenai hukum perjanjian juga diatur dalam sumber hukum perjanjian/kontrak lainnya seperti UU Perbankan dan Keputusan Presiden tentang Lembaga Pembiayaan serta jurisprudensi dan sumber hukum lainnya.16

16

Baron Wijaya & Dyah Sarimaya,Kitab Terlengkap Surat Perjanjian (Kontrak), Laskar Aksara, Jakarta, 2012, hlm.1.

Pembahasan mengenai perjanjian dalam KUH Perdata diatur dalam buku III.Pengertian perjanjian menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Rumusan yang diberikan dalam Pasal1313

KUH Perdata tersebut merupakan pengertian yang tidak sempurna dan kurang memuaskan, karena terdapat beberapa kelemahan, baik itu tidak jelas karena ada dua macam perbuatan yaitu apakah itu perbuatan biasa ataukah perbuatan hukum, selain itu subjek hukum yang disebutkan hanyalah orang perorangan padahal subjek hukum yang kita kenal terdapat juga badan hukum serta perjanjian yang dibuat tidak hanya sepihak melainkan juga ada perjanjian timbal balik.

Dalam hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa Belanda),

contract /agreement (bahasa Inggris), dan sebagainya yang merupakan istilah yang dalam hukum kita dikenal sebagai ”kontrak” atau ”perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah-istilah tersebut memiliki pengertian yang sama,yaitu suatu perbuatan hukum yang saling mengikatkan para pihak ke dalam suatu hubungan hukum, sehingga tidak mengherankan apabila istilah tersebut digunakan secara bergantian untuk menyebut sesuatu konstruksi hukum.Penggunaan istilah kontrak lebih sering digunakan dalam dunia praktik bisnis. Kontrak dibuat sebagai bukti kuat bahwa telah dilakukan dan disetujuinya suatu ikatan atau hubungan hukum antar pelaku bisnis tersebut.Kontrak bisnis tersebut dibuat dalam bentuk tertulis,sehingga kontrak dapat diartikan adalah suatu perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam pengertian perjanjian terdapat adanya suatu perbuatan hukum yang dilakukan. Kita seharusnya telah memahami bahwa setiap perbuatan pastilah ada akibatnya, begitu pulalah dengan perbuatan hukum akan menghasilkan akibat hukum pula. Perbuatan hukum dalam perjanjian diartikan melaksanakan sesuatu yang disebut dengan istilah prestasi. Selanjutnya defenisi dari prestasi tersebut diatur di

dalamPasal 1234 BW yang berbunyi “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu,untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.”17

1. Memberikan sesuatu/menyerahkan sesuatu, misalnya menyerahkan rumah bernuansa minimalis dalam suatu perjanjian jual beli rumah.

Mengenai prestasi tersebut meliputi 3 jenis perbuatan hukum sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 1234 KUHPerdata, maka akan dijelaskan satu persatu,yaitu:

2. Berbuat sesuatu/melakukan sesuatu, misalnya mengerjakan pembangunan got dan jalan raya sesuai surat perjanjian pemborongan.

3. Tidak berbuat sesuatu, tidak dapat menjalin hubungan pertalian suami istri dalam satu instansi yang samasebagaimana disebutkan dalam surat perjanjian kerja.

B. Asas Umum Dan Unsur-Unsur Suatu Perjanjian 1. Asas-asas perjanjian

Asas – asas perjanjian dalam hukum perdata terdiri dari : a. Asas Konsensualisme

Asas konsensualisme diartikan bahwa lahirnya perjanjian ialah pada saat terjadinya kesepakatan.Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah perjanjian, walaupun perjanjian itu belum dilaksanakan pada saat itu juga.Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa perjanjian tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi perjanjian tersebut. Dengan kata lain asas konsensualisme menentukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat dua orang atau

17

lebih telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.18

1. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak. b. Asas Kebebasan Berkontrak

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, di antaranya:

2. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian. 3. Bebas menentukan isi klausul perjanjian.

4. Bebas menentukan bentuk perjanjian.

5. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

c. Asas Mengikatnya Suatu Kontrak (Pacta Sunt Servanda)

Setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang.Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

d. Asas Itikad Baik

18

Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 250.

Ketentuan tentang asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Di Belanda dan Jerman, itikad baik menguasai para pihak pada periode praperjanjian, yaitu dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.

2. Unsur-unsur perjanjian

Suatu perjanjian lahir jika disepakati tentang hal yang pokok atau unsur esensial dalam suatu perjanjian. Penekanan tentang unsur yang esensial tersebut karena selain unsur yang esensial masih dikenal unsur lain dalam suatu perjanjian. Dalam suatu perjanjian dikenal tiga unsur yaitu19

a. Unsur Esensialia

:

Unsur esensialia yaitu unsur yang harus ada dalam suatu kontrak karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsuresensialiaini maka tidak ada kontrak. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli harus ada kesepakatan mengenai barang dan harga karena tanpa kesepakatan mengenai barang dan harga dalam kontrak jual beli, kontrak tersebut batal demi hukum karena tidak ada hal yang diperjanjikan.

b. Unsur Naturalia

19

Ahmadi Miru dan Sakka Pati, 2011, Hukum Perikatan (Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW), Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 63.

Unsur naturalia yaitu unsur yang telah diatur dalam undang-undang sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian, undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian, unsurnaturalia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak. Sebagai contoh, jika dalam kontrak tidak diperjanjikan tentang cacat tersembunyi, secara otomatis berlaku ketentuan dalam KUHPerdata bahwa penjual harus menanggung cacat tersembunyi.

c. Unsur Aksidentalia

Unsur aksidentalia yaitu unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam jual beli dengan angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai membayar utangnya, dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan, dan apabila debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah dibeli dapat ditarik kembali kreditor tanpa melalui pengadilan. Demikian pula klausul-klausul lainnya yang sering ditentukan dalam suatu kontrak, yang bukan merupakan unsur yang esensialia dalam kontrak tersebut.

Salim H.S. menyatakan bahwa unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian dikategorikan sebagai berikut: 20

1) Adanya kaidah hukum

Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis.Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual

20

Salim H.S, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika , Jakarta, 2004 hlm.3

beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.

2) Subyek hukum

Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.Dalam hal ini yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur.Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.

3) Adanya Prestasi

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut: memberikan sesuatu; berbuat sesuatu; dan tidak berbuat sesuatu

4) Kata sepakat

Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan empat syarat sahnya perjanjian seperti dimaksud di atas, dimana salah satunya adalah kata sepakat (konsensus).Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.

5) Akibat hukum

Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang diatur maupun yang belum diatur di dalam suatu undang-undang, Hal ini sesuai dengan kriteria terbentuknya perjanjian dimana berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

C. Syarat Sah Dan Macam – Macam Perjanjian 1. Syarat sah perjanjian

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, yang terdiri dari empat syarat yaitu:

a. Kesepakatan

Sepakat yaitu kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak.Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian.

Dengan diperlakukannnya kata sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.21

Pengertian sepakat merupakan suatu pernyataan kehendak yang telah disetujui antara para pihak, dimana dalam kesepakatan yang terjalin ada terdapat tawaran oleh pihak yang menawarkan dan akseptasi oleh pihak yang menerima tawaran. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan paling akhir dari serangkaian penawaran adalah saat tercapainya kesepakatan.Hal

21

Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman Djamil, dan Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001,hlm. 73.

ini dipedomani untuk perjanjian konsensuil dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.

Adapun beberapa teori yang menjelaskan saat-saat terjadinya perjanjian antara pihak 22

Syarat adanya kesepakatan dalam perjanjian dimaksudkan bahwa kedua pihak yang mengadakan perjanjian secara bebas tidak ada paksaan, penipuan dari siapa pun, menyepakati apa yang diisyaratkan atau diminta oleh masing-masing pihak. Untuk lebih memperjelas lagi, berikut ada empat sebab yang membuat kesepakatan tidak bebas dalam sebuah perjanjian

, yaitu:

1) Teori kehendak (wilstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.

2) Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.

3)Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui tawarannya diterima.

4) Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan.

23

22

Ibid, hlm.74.

23

Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, hlm 58.

(a) Kekhilafan terjadi apabila orang dalam suatu persesuaian kehendak mempunyai gambaran yang keliru mengenai orangnya dan mengenai barangnya.

(b) Paksaan dalam arti luas meliputi segala ancaman baik kata-kata atau tindakan. Orang yang di bawah ancaman maka kehendaknya tidak bebas maka perjanjian dapat dibatalkan (Pasal 1324 BW). (c) Penipuan dilakukan dengan sengaja dari pihak lawan untuk

mempengaruhi ke tujuan yang keliru atau gambaran yang keliru. Penipuan tidak sekedar bohong tetapi dengan segala upaya akal tipu muslihat dengan kata-kata atau diam saja yang menimbulkan kekeliruan dalam kehendaknya (Pasal 1328 BW).

(d) Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena suatu keadaan khusus seperti keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berpikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal, atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum, meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya.

b. Kecakapan

Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian adalah kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum sendiri.Perbedaan antara kewenangan hukum dengan kecakapan berbuat adalah bila kewenangan hukum maka subyek hukum dalam hal pasif sedangkan pada kecakapan berbuat, maka subjek hukumnya aktif.

Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Orang-orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah sebagai berikut :

1) Orang-orang yang belum dewasa

Ketentuan mengenai orang-orang yang belum dewasa terdapat perbedaan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya (Pasal 330 BW), UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan dewasa adalah apabila telah berumur 18 tahun keatas (Pasal 47 UU No.1/1974), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan dalam Pasal 1 angka 5 bahwa anak adalah setiap manusia yang berumur di bawah 18 tahun dan belum menikah, UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menyebutkan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin(Pasal 1 UU No.3/1997).

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan

Orang-orang yang diletakkan di bawah pengampuan adalah setiap orang dewasa yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak, gelap mata, dan pemboros.

Perempuan dalam hal yang ditetapkan dalam undang-undang sekarang ini tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki-laki telah disamakan dalam hal membuat perjanjian. Berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu di sini berbicara tentang objek perjanjian. Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam Pasal 1332 s/d 1334 KUH Perdata, yaitu :

1) Objek yang akan ada (kecuali warisan ), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.

2) Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian)

Dalam membuat perjanjian, objeknya tersebut haruslah jelas atau tidak samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif.

d. Suatu sebab yang halal.

Suatu sebab yang halal memiliki pengertian bahwa dalam sebuah kontrak/perjanjian tidak boleh bertenatngan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan, sebagaimana yang telah disebutkan dalam Pasal 1337 BW “Suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan, baik atau ketertiban umum.24

24

R. Subekti & R.Tjitrosudibio,Op.cit,hlm.342

2. Macam-macam perjanjian

Menurut Satrio jenis - jenis perjanjian dibagi dalam lima jenis, yaitu25 a. Perjanjian Timbal balik dan Perjanjian Sepihak

:

Perjanjian timbal balik (Bilateral Contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Jenis perjanjian ini yang paling umum terjadi dalam kehidupan masyarakat. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya. Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.

b. Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan atas Hak yang Membebani Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dalam mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

c. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian khusus, dan jumlahnya terbatas. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

d. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligator

25

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligator.Perjanjian obligator adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadinya perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak untuk menuntut penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga, pembeli berkewajiban untuk menyerahkan barang. Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.

e. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Riil

Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak. Perjanjian riil adalah perjanjian di samping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata dari barangnya

Secara garis besar, perjanjian yang diatur/dikenal di dalam KUHPer adalah perjanjian jual beli, tukar-menukar, sewa-menyewa, kerja, persekutuan perdata, perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, bunga tetap dan abadi, untung-untungan, pemberian kuasa, penanggung utang dan perdamaian. Dalam teori ilmu hukum, perjanjian-perjanjian di atas disebut dengan perjanjian

nominaat. Dasar hukum perjanjian bernama terdapat dalam Bab V sampai Bab XVIII Buku Ke Tiga KUHPerdata

1) Pasal 1457 KUHPerdata

Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.

2) Pasal 1541 KUHPerdata

Tukar menukar ialah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain.

3) Pasal 1548 KUHPerdata

Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak.

4) Pasal 1601 KUHPerdata

Selain persetujuan untuk menyelenggarakan beberapa jasa yang diatur oleh ketentuan - ketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan bila ketentuan-ketentuan yang syarat-syarat ini tidak ada, persetujuan yang diatur menurut kebiasaan, ada dua macam persetujuan, dengan mana pihak kesatu mengikatkan diri untuk

Dokumen terkait