BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Menurut Undang-Undang
1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No.16
Dalam Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 Perkawinan dijelaskan sebagai sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang memiliki tujuan untuk membina keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan didefinisikan sebagai suatu perjanjian yang terjadi sebagai akibat dari suatu perjanjian dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Setelah itu bisa diuraikan sebagai berikut. Pertama, syarat sahnya perjanjian. Perkawinan merupakan sebuah ikatan, sehingga perkawinan merupaka hubungan hukum yang terlahir dari adanya sebuah perjanjian, dan harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan, cakap, hal tertentu dan kausanya halal (Pasal 1320 KUHPerdata).1
Menurut undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Perkawinan wajib mencukupi syarat dengan adanya
1Trusto Subekti, “Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahunn 1974 Tentang Perkawinan Ditnjau Dari Hukum Perjanjian”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.10 , 3 September 2010, Hal. 333
persetujuan (kesepakatan) antar calon pasangan (Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974).
Lalu, guna memaut suatu perjanjian ataupun memberi suatu perjanjian, seseorang wajib memadai kriteria yang dapat membuat suatu perjanjian, yang meliputi kemampuan untuk mempertanggungjawabkan. Menurut J.Satrio, kemampuan untuk “membuat” ikatan dan janji wajib dilandasi oleh unsur
“niat” (sengaja) serta sesuai dengan “perjanjian” yang hakikatnya adalah kegiatan hukum, sehingga dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 sudah ditetapkan kriteria individu dijelaskan tidak lagi dibawah tanggung jawab orang tua, yang berarti dari hukum dianggap telah dapat bertanggung jawab (cakap),yaitu ketika mencapai umur 18 tahun (Pasal 47 Ayat (2) Undang-undang No.1 Tahun 2019 ). Sepakat dan cakap ini sesuai dengan KUHPerdata adalah persyaratan subyektif dalam memperoleh kesahan perjanjian, sehingga dapat diartikan jika pasangan melakukan pelanggaran syarat subyektif ini maka bisa berakhir batal. Sudah ada syarat tertulis bahwa bagi calon mempelai pria serta wanita sudah mencapai umur 19 tahun (Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974), selain itu juga sudah ditetapkan bahwasanya oleh mereka-mereka yang belum mencapai umur 21 tahun masih harus memperoleh perizinan dari orang tua (Pasal 6 Ayat (2) undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974).2
2Ibid Hal.333
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, tujuan perjanjian itu harus pasti;
Namun demikian, dalam keadaan ini yang menjadi objeknya adalah perkawinan, dan perjanjian ini melahirkan status, yaitu status suami istri menurut hukum keluarga. Substansi dan capaian yang menjadi topik perjanjian merupakan objek perjanjian. Pencapaian tersebut merupakan suatu perilaku (Handeling) tertentu, didalam hal ini perbuatan suami istri. Lalu ditinjau dari kausa yang halal akan suatu perjanjian, dan yang dijelaskan oleh Hamaker yang dikutip J. Satrio menjelaskan bahwasanya kuasa suatu perjanjian merupakan hal yang disengaja untuk timbul dikarenakan sebuah tindakan yang menutup perjanjian, ialah suatu yang menjadi “tujuan mereka” (para pihak bersama) guna menutup perjanjian, juga karena itu pula dinamakan “tujuan obyektif”, guna sebagai pembeda dengan “tujuan subyektif”, yang menurutnya dianggap sebagai motif, atau dapat dijelaskan melalui pengertian lain bahwa kausa perjanjian untuk menimbulkan hubungan hukum, yang mempunyai arti bahwa diantara mereka (para pihak) menjadi terikat dalam berperilaku sesuai pola tertentu, atau melakukan tindakan tertentu.
Kausa akan sebuah perjanjian atau dengan kata lain ikatan perkawinan dalam hal ini bisa dilaksanakan jika diantara mereka tidak adanya hal yang menghalangi untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974). Maka dari itu bagi calon pasangan yang sudah tervalidasi sesuai syarat-syarat perkawinan, hukumnya dianggap sudah memenuhi persyaratan
obyektif dari keabsahan perjanjian. Sebaliknya jika calon mempelai yang tidak mencukupi sebuah persyaratan untuk kawin, di dalam hukum mereka dianggap tidak memenuhi persyaratan obyektif dari sahnya perjanjian, sehingga perkawinan itu tidak bisa terlaksana. 3
Kedua, Asas kebebasan berkontrak. Ide kebebasan berkontrak, sesuai yang didefinisikan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, menyatakan bahwa orang bebas dalam membuat kontrak, mengatur substansi kontrak, serta bentuk dan undang-undang yang akan mengikat pencipta. Mengenai penerapan konsep kebebasan berkontrak dalam perjanjian ini (ikatan perkawinan) yang hanya dapat diterapkan oleh komponen individu-individu bebas yang menutup perjanjian, mengandung pengertian bahwa perjanjian (ikatan perkawinan) diperlukan adanya suatu perjanjian yang didasarkan atas kebebasan untuk menyatakan persetujuan mereka. Tidak ada kebebasan dalam mengelola isi perjanjian dan hukum-hukum yang berlaku dalam perjanjian itu karena perkawinan termasuk dalam bidang hukum keluarga, sehingga isi-isi perjanjian dan hukum-hukum yang berlaku sudah ditetapkan dalam Undang-undang No.
16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, terkecuali tentang hal perjanjian perkawinan yang boleh menyimpang dari undang-undang didalam situasi karena perkawinan tentang harta benda perkawinan saja.
3 Tri Subekti Op-Chit Hal. 333
Ketiga, asas perjanjian mengikat para pihak yang menandatanganinya.
Gagasan ini diabadikan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang mengatur bahwa segala perjanjian yang mengikat secara hukum mengikat orang-orang yang membuatnya. Menurut J.Satrio, yang dimaksud dengan "secara sah" adalah
"memenuhi syarat sahnya perjanjian". Jadi, dalam skenario ini, selain memenuhi asas dan syarat sahnya suatu perjanjian, penerapan kata “sah” juga harus memenuhi asas dan keadaan perkawinan sesuai dalam aturan di Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Selain itu juga disebut jika kata “berlaku sebagai undang-undang” dalam hal ini memiliki arti mengikat pihak-pihak yang membuat perjanjian dengan cara yang sama seperti hukum mengikat orang yang kepadanya hukum itu berlaku. Akibatnya, jika para pihak yang telah menandatangani kontrak, sesuai konteks ini yaitu pengantin pria dan wanita, bisa dianggap bahwa mereka sudah membuat ketetapan hukum untuk diri mereka sendiri.
Perkawinan ialah kejadian hukum jika konteks perkawinan tersebut termasuk kedalam perkawinan yang sah. Sah atau tidaknya sebuah perkawinan ditetapkan didalam Pasal 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang mengatur bahwa :
a. Perkawinan dikatakan sah, jika dilaksanakan sesuai dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
b. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pembentukan undang-undang tersebut memberikan penafsiran bahwa perkawinan semestinya dilaksanakan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan, yang berarti bahwa berlangsungnya sebuah perkawinan akan selalu memiliki kaitananya dengan ajaran masing-masing agama dan kepercayaan. Kalau tidak, pernikahan dianggap batal demi hukum.
definisi perkawinan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No.1 Tahun 1974 tidak lagi hanya merupakan “perbuatan hukum” namun juga sebuah “perbuatan keagamaan”.
Perkawinan diartikan menjadi “perbuatan hukum” apabila dilaksanakan sesuai ketentuan agama serta kepercayaan yang diterima bagi calon mempelai baik pria dan wanita yang akan melaksanakan pernikahan. Penafsiran UU No. 1 Tahun 1974 tentang keabsahan perkawinan didasarkan ke sebuah penafsiran yang sistematis, ialah menginterpretasi keabsahan perkawinan dengan mengaitkan ketetapan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974 dengan ketetapan berisi aturan akan persyaratan dalam perkawinan pada Bab II dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 jo. Pasal 10 ayat (1,2,3) PP No.9 Tahun 1975 jo. Undang-undang No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, yang dapat dijelaskan bahwa perkawinan yang sah yaitu jika
pelaksanaan perkawinan yang dimaksud dilaksanakan dengan mengikuti tata cara perkawinan dan tata cara pencatatan perkawinannya.
Menurut Pasal 10 ayat (1,2 dan 3) PP No.9 tahun 1975,yang menentukan:
1. Perkawinan dilaksanakan pada hari ke-10 setelah pemberitahuan niat perkawinan oleh Pegawai pencatat, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah.
2. Tata cara perkawinan dilaksanakan sesuai hukum itu.
3. Dengan menaati tata cara perkawinan sesuai dengan masing-masing hukum agama dan kepercayaannya, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat serta dihadiri oleh dua orang saksi.
Ada 3 kategori sebuah perjanjian yang di ukur berdasarkan sifat perjanjiannya yakni perjanjian secara umum bisa di ukur melalui kehadiran suatu kesepakatan (Asas konsensus), adanya konsensus juga di ukur dari dipenuhinya formalitas yang disyaratkan oleh Undang-Undang. Didalam persyaratan perkawinan sudah ditetapkan bahwasanya terdapat tatacara perkawinan (formalitas) yang dijelaskan didalam Pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun 1974. Pasal 10 ayat (10,ayat (2) dan ayat (3) PP No.9 Tahun 1975, maka apabila ditinjau melalui Hukum Perdata maka perjanjian (ikatan perkawinan) lebih pas untuk diklasifikasikan sebagai perjanjian formil,
dikarenakan dalam prosesnya pelaksanaam sebuah perkawinan musti ikut akan aturan formalitas berbentuk tatacara perkawinan.4
2. Sumber-Sumber Perkawinan Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019