• Tidak ada hasil yang ditemukan

JUDUL. Oleh: SOVI SANTRI SUSANTI NIM: SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "JUDUL. Oleh: SOVI SANTRI SUSANTI NIM: SKRIPSI"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

JUDUL

KEABSAHAN HAK WARIS SEORANG ANAK DI LUAR KAWIN BERDASARKAN PUTUSAN MK No.46/PUU-VIII/2010 DALAM PRESPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN

KOMPILASI HUKUM ISLAM

Oleh:

SOVI SANTRI SUSANTI NIM: 618110139

SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Mataram

FAKULTAS HUKUM

UNIVERISITAS MUHAMMADIYAH MATARAM MATARAM

2022

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

MOTTO HIDUP

“Apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi maka senangilah apa yang terjadi”

-Ali bin Abi Thalib-

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Keabsahan Hak Waris Seorang Anak Di Luar Kawin Berdasarkan Putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 Dalam Perspektif Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam”.

Penyelesaian skripsi ini akan sangat sulit terwujud jika tanpa bimbingan dan arahan dari berbagai pihak yang membantu baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu melalui kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1) Bapak Rektor Universitas Muhammadiyah Mataram, Drs. H. Arsyad A.

Gani, M.Pd atas kesempatan, waktu, ijin yang diberikan untuk menempuh studi pada Program studi Sarjana Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram.

2) Terimakasih sebesar-besarnya kepada Ibu Rena Aminwara, S.H.,M.Si, selaku pembimbing utama, atas waktu yang diberikan untuk bimbingan, masukan-masukan serta saran yang diberikan juga dorongan untuk secepatnya menyelesaikan skripsi ini.

3) Kepada Bapak Sahrul, S.H.,M.H selaku pembimbing pendamping, saya berterimakasih atas segala masukan,saran dan penjelasan yang diberikan dengan sangat sabar.

4) Dekan Fakultas Hukum Ibu Rena Aminwara, S.H.,M.Si atas kesempatan yang diberikan untuk menempuh studi pada Program studi sarjana (S1) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram.

5) Bapak/Ibu Dosen pengajar pada Program Studi Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram yang telah berbagi ilmu pengetahuan kepada penulis.

6) Pengelolah Program Studi Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram yang telah memberikan bantuan dan pelayanan selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram.

7) Kedua orang tua tercinta yang telah memberikan Do’a dan dukungan penuh kepada saya baik berupa materi dan motivasi di setiap langkah dalam menuntut ilmu, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi dan perkuliahan ini.

8) Kepada kedua saudara kandung saya, yang selalu memberikan semangat dan dukungan di setiap langkah dalam menuntut ilmu.

(9)

9) Sahabat saya yang selalu menemani dalam susah senang dan yang selalu meluangkan waktunya membantu ,saya ucapkan terimakasih kepada, Sintia Yuniar Hariatini, Putri Chalis Tutut Rahayu dan Septia Ayu Ningsi, Amd.,Pjk.

10) Kepada keluarga, teman-teman seperjuangan dan orang-orang terdekat saya yang selalu memberikan support dalam menyusun skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna dalam penulisannya. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat dibutuhkan dalam penyempurnaan skripsi ini.

Mataram, 20 januari 2022

Sovi Santri Susanti

(10)

ABSTRAK

Anak merupakan rahmat dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, kedudukan anak terdiri dari anak sah dan anak luar kawin. Anak luar kawin perlu diakui dan disahkan, apabila tidak ada pengakuan maka tidak terdapat hubungan hukum dengan ayah dan keluarga ayah biologisnya.

Pengesahan membawa dampak bagi anak luar kawin berstatus hukum sebagai anak sah. Putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 terkait kedudukan hukum bagi anak luar kawin tidak bertentangan dengan hukum islam. Hubungan keperdataan berupa nasab bagi anak luar kawin yang orang tuanya tidak terikat perkawinan tidak dihubungkan dengan ayah biologisnya, tetapi anak luar kawin yang orang tuanya melaksanakan perkawinan sah menurut agama dan kepercayaannya tetapi tidak dicatatkan oleh negara. Penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban atas permasalahan yang dirumuskan, yakni keabsahan hak waris seorang anak luar kawin berdasarkan Putusan MK No.46/PUU- VIII/2010 dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam dan mengetahui kedudukan ahli waris anak luar kawin berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan komparasi.

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukan bahwa keabsahan hak waris seorang anak di luar kawin dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni dapat dibuktikan berdasarkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi atau alat bukti lainnya yang menurut hukum memiliki hubungan darah dengan ayahnya tanpa harus mendapatkan pengakuan dari ayahnya. Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam keabsahan waris seorang anak luar kawin tidak mendapatkan warisan karena tidak memiliki hubungan nasab dengan ayahnya, anak luar kawin hanya memperoleh harta peninggalan ayahnya apabila ayah biologisnya membuat surat wasiat.

Kata kunci: Hak Waris, Anak Luar Nikah

(11)
(12)

DAFTAR ISI

KULIT SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN DEWAN PENGUJI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ... iv

MOTTO HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ...viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Orisinalitas Terdahulu ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 14

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ... 14

1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ... 14

2. Sumber-Sumber Perkawinan Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ... 20 3. Asas-Asas Perkawinan Menurut Undang-Undang

(13)

No.16 Tahun 2019 ... 24

4. Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ... 29

B. Tinjauan Umum Tentang Anak Di Luar Kawin/Nikah ... 30

1. Pengertian Anak Di Luar Nikah Menurut Hukum Perdata dan KHI ... 30

2. Tata Cara Memperoleh Keabsahan Anak Diluar Nikah ... 34

3. Undang –Undang Tentang Hak Anak ... 37

C. Tinjauan Umum Tentang Waris ... 42

1. Pengertian Waris ... 42

2. Landasan Hukum ... 46

3. Perincian Jenis Waris ... 48

4. Masalah Pewarisan ... 55

5. Penerapan Hukum Waris Islam bagi Anak ... 57

BAB III METODE PENELITIAN ... 59

A. Jenis Penelitian ... 59

B. Metode Pendekatan Penelitian ... 59

1. Pendekatan Yuridis Normatif (Hukum Positif)... 59

2. Pendekatan Komparasi ... 60

C. Sumber Data ... 60

D. Metode Pengumpulan Data ... 61

E. Teknik Pengelolaan dan Analisis Data ... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62

A. Keabshan Hak Waris Seorang Anak di Luar Kawin Berdasarkan Putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 ... 62

B. Kedudukan Pewarisan Pada Anak diluar Perkawinan Berdasarkan Putusan No.46/PUU-VIII/2010 MenurutHukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam ... 73

(14)

BAB V PENUTUP ... 91 A. Kesimpulan... 91 B. Saran ... 92 DAFTAR PUSTAKA

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Permohonan Uji Materil ... 63 Tabel 2. Perbandingan Hak dan Kewajiban Anak Luar Kawin ... 89

(16)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan kontrak hukum antara seorang pria dan seorang wanita yang memungkinkan mereka untuk hidup bersama sebagai sebuah keluarga. Hukum, khususnya hukum Islam, dapat berperan dalam menentukan ketentraman dan ketentraman rumah tangga (bagi umat Islam). Perkawinan juga dianggap sah yaitu jika tercatat di Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil di tempat tinggalnya masing-masing, menurut aturan yang berlaku. Tujuan pendokumentasian perkawinan adalah untuk memberikan landasan hukum mengenai hak serta kewajiban bagi keluarga. Selain itu juga hal itu merupakan usaha untuk menjaga hak-hak keluarga istri dan anak-anak, seperti hak waris.

Era saat ini, yang mana bersifat modern dengan diiringi globalisasi digitalisasi, telah mengantar manusia ke era baru, sehingga memunculkan banyak godaan sebagai sebuah ujian yang bisa berakibat fatal bagi para pelanggar perkawinan. Akibatnya, tujuan pernikahan dalam agama Islam saat ini ialah untuk menjaganya dari perilaku yang melanggar hukum sebagai tindakan pencegahan (zina dan tindakan keji). Menjaga kehormatan, mencegah percampuran kekerabatan, mencegah banyak anak yang terlantar karena orang tuanya, menjaga keutuhan serta ketentraman di rumah tangga, melarang perzinahan sesuai fitrah manusia, mencegah meluasnya kejahatan, khususnya pembunuhan, dan mencegah penyebaran penyakit menular. semua pelajaran yang dipetik dari larangan zina.

(17)

Fakta di masyarakat ,kasus hamil sebelum menikah adalah hal yang biasa terjadi. Pada umumnya kebiasaan dalam masyarakat baik yang terjadi di masyarakat dengan sistem kekerabatan patrilineal sebagaimana pada suku nias ,maupun matrilineal di minangkabau, serta belateral di jawa, jika kasus seperti itu terjadi, mereka biasanya langsung menikah, untuk menutupi aib. Rupanya pandangan adat ini diambil untuk merumuskan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan dan KHI (Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam).

Meningkatnya pergaulan bebas akhirnya mengakibatkan banyak anak yang belum menikah. Pergaulan bebas dalam agama islam tidak diperbolehkan bagi individu untuk mendekatinya, apalagi terlibat di dalamnya.

Anak merupakan titipan sekaligus anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa, sehingga keberadannya musti selalu dijaga serta dibina dikarenakan setiap anak memiliki harkat, martabat, dan hak asasi manusia yang hakiki yang penting untuk dilestarikan. Anak merupakan masa depan bangsa serta generasi penerus cita-cita bangsa di kehidupan berbangsa dan bernegara, oleh karena itu setiap anak memiliki hak atas kelangsungan hidup serta jati dirinya dalam rangka perlindungan hukum. Kegiatan perlindungan hukum bagi anak harus dimulai sesegera mungkin, yang mana hal ini dapat dilakukan dengan pemberian identitas atau tanda pengenal anak yang dimulai sejak lahir.

Dalam Undang-Undang Perkawinan, terdapat dua macam status anak yakni anak sah dan anak luar kawin. Menurut Pasal 42 UU Perkawinan Nomor 16 Tahun

(18)

2019, anak yang sah adalah anak yang lahir dalam atau dari perkawinan yang sah.

Sementara anak luar kawin adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.

Undang-undang ini tidak mengatur batas waktu guna menentukan keabsahan seorang anak. Sementara sesuai dengan Pasal 43 UU Perkawinan, anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki ikatan perdata dengan ibu dan keluarganya.

Perbedaan utama yang dibahas di atas memiliki konsekuensi hukum. Status hukum anak yang terlahir di luar pernikahan lebih rendah dari anak sah (jelek atau rendah). Anak-anak yang sah pada dasarnya mempunyai kedudukan di bawah kekuasaan orang tuanya menurut hukum perdata, sedangkan anak-anak yang lahir di luar pernikahan tunduk pada 3 perwalian yaitu:

1. Perwalian oleh suami atau istri yang telah hidup lebih lama, menurut Pasal 345 sampai dengan 354 KUHPerdata: “Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal, maka perwaliam terhadap anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlama, sekedar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang tuannya.”

2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat ataupun akta tersendiri Pasal 355 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata menjelaskan bahwa “Masing-masing orang tua, yang melakukan orang tua atau perwalian bagi seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum

(19)

ataupun karena penetapan hakim menurut ayat terakhir Pasal 353, tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain.”

3. Perwalian yang diangkat oleh hakim Pasal 359 Kitab Undang- undang Hukum Perdata menjelaskan “semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang wali oleh pengadilan.”

Hak anak yang sah atas bagian harta peninggalan orang tuanya akan lebih banyak dibanding pada anak yang tidak sah, serta hak anak tidak sah untuk mewarisi melalui wasiat adalah terbatas.

Menurut Hukum Perdata, anak yang lahir di luar perkawinan yang semata- mata mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarganya dianggap sebagai anak di luar perkawinan. Selain itu, KUHPerdata menetapkan bahwa anak yang lahir di luar nikah dapat dianggap sah jika orang tuanya mengenalinya. Menurut hukum Islam, anak haram hanya memiliki hubungan darah (nasab) dengan ibu dan keluarganya. Seorang anak yang lahir di luar nikah memiliki hubungan perdata dengan ayah kandungnya, tetapi tidak ada hubungan darah (nasab) dengan ayah kandungnya, menurut hukum perdata.

Pada dasarnya hubungan antara ibu dengan anak diakibatkan oleh sebuah kelahiran serta terjadi dengan sendirinya. Dikecualikan jika anak tersebut

“Overspelig atau bloedsrhenning (anak zinah)”. Sementara diantara ayah dengan

(20)

anak hanya memiliki hubungan perdata karena pengakuan (Pasal 280 KUHPerdata).

Pada dasarnya, waris merupakan bagian kecil dari Hukum Perdata dan sebagian besar Hukum Kekeluargaan. Rentang kehidupan manusia memiliki keterkaitan yang erat dengan hukum waris, dikarenakan setiap individu akan menghadapi kematian. Apabila suatu peristiwa hukum terjadi, seperti meninggalnya seseorang, maka mempunyai akibat hukum bagi pengurusan dan kelanjutan hak dan kewajiban orang tersebut.

Dalam Undang-undang No.16 tahun 2019 Tentang Perkawinan dijelaskan bahwa anak mempunyai hak dalam mewarisi harta serta kekayaan kedua orang tuanya apabila kedua orang tua atau ahli waris meninggal dunia. Untuk menjaga status hukum harta benda orang yang meninggal, semaksimal mungkin harus sesuai akan keinginan oleh seseorang yang wafat. Undang-undang mengakui bahwa seseorang dibebaskan dalam membuat keputusan sendiri mengenai asset yang dimiliki selama hidup seusai dia meninggal dunia. Namun, jika orang yang bersangkutan belum memutuskan apa yang akan terjadi dengan kekayaannya selama dia masih hidup. Hukum kemudian akan mengatur kembali aset yang ditinggalkan oleh pewaris.

Hukum Waris menurut Hukum Perdata adalah seperangkat ketetapan hukum yang memberi aturan mengenai akibat hukum dari meninggalnya seseorang dalam bidang hukum harta benda pada umumnya, yaitu peralihan harta yang ditinggalkan oleh pewaris dan akibat pembuangan bagi penerimanya, baik didalam hubungan

(21)

antara satu dengan yang lain ataupun dengan penerima pihak ketiga. Sementara itu, hukum Islam mengatur tentang pengalihan harta yang ditinggalkan oleh pewaris serta implikasinya bagi ahli warisnya. Pengalihan hak milik, apabila harta itu berupa harta benda, dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya.

Di Indonesia, kita sering melihat perselisihan tentang suksesi, yang dapat muncul bahkan sebelum ahli waris meninggal. Kontroversi muncul sebagai akibat dari masalah hukum yang berkaitan dengan undang-undang kewarisan Indonesia saat ini. Selanjutnya disebabkan oleh kurangnya informasi hukum masyarakat tentang pembagian harta warisan. Perbedaan pendapat hukum yang dimaksud adalah penerapan hukum waris di Indonesia masih belum seragam. Makaa dari itu, legalitas anak yang terlahir diluar perkawinan dengan hak waris menjadi topik yang menarik untuk diteliti.

Atas dasar uraian tersebut di atas, peneliti menyajikaan judul penelitian

“Keabsahan Hak Waris Seorang Anak di Luar Kawin Berdasarkan Putusan Mk No.46/Puu-Viii/2010 Dalam Prespektif Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam”

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah berdasarkan uraian diatas sebagai berikut :

1. Bagaimana keabsahan waris seorang anak diluar kawin berdasarkan putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam ?

(22)

2. Bagaimana kedudukan ahli waris pada anak di luar kawin berdasarkan Putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam?

C. TujuanPenelitian

Adapun tujuan penelitian ini di buat antara lain :

1. Untuk mengetahui keabsahan hak waris seorang anak di luar kawin berdasarkan Putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam

2. Untuk mengetahui kedudukan ahli waris pada anak di luar kawin berdasarkan putusan MK No.46/PUU-VIII/2010 dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ,Kompilasi Hukum Islam

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat penelitian secara akademik

Secara akademik, penelitian yang dilakukan oleh penelitian bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai syarat kebulatan strata satu (S1) pada jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Mataram.

2. Manfaat penelitian secara Teoritis

Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti diharapkan dapat memberikan menambah kajian dan referensi khususnya tentang keabsahan hak waris anak di luar nikah berdasarkan Putusan MK No.46/PUU-

(23)

VIII/2010 dalam perspektif dariKitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam, bagi masyarakat atau dalam dunia pendidikan diharapkan menjadi referensi dan bagi peneliti sebagai bahan penelitian yang lebih lanjut.

3. Manfaat penelitian secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan atau patokan terhadap masyarakat dalam melaksanakan setiap tindakan dengan tujuan agar tidk terjadi hal-hal yang dapat merugikan orang lain dan hal-hal yang dapat menimbulkan masalah dalam suatu lingkungan keluarga,masyarakat,maupun negara.

E. Orisinalitas Terdahulu

Adapun orisinalitas dari beberapa hasil dari penelitian peneliti lainnya:

1. Adi Guna Sakti dengan judul “Hak Waris Anak Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VIII/2010 (Analisis Putusan No.0156/Pdt.P/2013/PA.JS). Hasil penelitian skripsi ini memiliki tujuan untuk mengetahui apakah pertimbangan-pertimbangan yang dipakai majelis hakim didalam memutuskan perkara No.0156/Pdt.P/2013/PA.JS sudah sesuai dengan Undang-undang, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan ajaran Islam serta faktor-faktor apa saja yang memberikan pengaruh terhadap keputusan majelis hakim dalam memutus perkara Nomor.

0156/Pdt.P/2013/PA.IS, dan bagaimana hak waris anak luar kawin ditangani. Setelah putusan MK nomor. 46/PUU-VIII/2010, yang mana

(24)

masih terdapat kosongnya ketetapan hukum dalam aturan pelaksanaannya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu analisis data yang didasarkan pada data deskriptif, seperti ucapan atau tulisan, serta perilaku yang dapat diamati dari individu (subyek). Pendekatan yuridis empiris dipakai dalam penelitian ini guna melihat objek hukum dalam kaitannya dengan hukum dan bagaimana penerapannya. Ada dua jenis sumber hukum yang digunakan: bahan hukum utama dan bahan hukum sekunder.

Penalaran deduktif digunakan untuk mengelola bahan hukum, yang memerlukan penarikan kesimpulan dari masalah umum ke masalah khusus yang dihadapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim dalam memutuskan perkara waris anak luar nikah tidak mendapat waris karena karena pertimbangan hakim sesuai putusan MK yang belum ada keputusannya sehingga terdapat kekosongan, sehingga hakim mendasarkan putusannya pada faktor-faktor lain yang terkait dengan keputusan tersebut.

2. Desi Sariani dengan judul Studi Komparasi Kedudukan Anak di Luar Nikah Terhadap Hak Waris ditinjau dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Anak Luar Nikah). Hasil penelitian,Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Dalam melaksanakanya perkawinan memiliki syarat dan ketentuan yang diatur oleh Undang-Undang dan Agama. Perkawinan yang tidak didasari dengan aturan yang berlaku

(25)

menimbulkan permasalahan jika tawinan membuahkan anak atau keturunan seperti yang dimaksud adalah ara. Terjadinya s lahirnya anak dengan status anak diluar nikah, yang merupakan akibat dari pernikahan yang tidak dicatat oleh Negara. suatu kelahiran anak akan menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dengan anak, dan harta kekayaan yang dimiliki oleh kedua orangtua anak luar nikah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban atas permasalahan yang dirumuskan, yakni kedudukan anak diluar nikah ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan mengetahui pembagian warisan anak luar nikah berdasarkan Undang-Undang No. I Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan, yakni kedudukan anak diluar nikah ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan mengetahui pembagian warisan anak luar nikah berdasarkan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan yang terakhir mengenai penyelesaian masalah mengenai anak luar nikah setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No.

46/PUU-VIII/2010 Tentang Anak Luar Nikah. Penelitian ini mengggunakan jenis penelitian hukum normative dengan menggunakan pendekatan Undang-Undang, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual.

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukan bahwa kedudukan anak luar nikah berbeda dengan kedudukan anak sah. Berdasarkan Undang-Undang

(26)

No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) anak luar nikah memiliki hubungan perdata atau hubungan nasab dengan ibunya atau keluarga ibunya. Seiring berjalannya waktu yang mengakibatkan anak luar nikah merasa tidak adil dalam mendapatkan hak dan kebutuhannya, maka oleh orang tua melakukan pengajuan gugatan sehingga dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU- VIII/2010 Sebagai penyelesaian masalah mengenai anak luar nikah dalam mendapatkan status hukum orang tuanya dan pemenuhan haknya.

3. Dika Juan Aldira dengan judul Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Kewarisan Anak Luar Perkawinan (Analisis Terhadap Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010). Hasil temuan mengungkapkan bahwa pertalian darah adalah sunatullah, yang menjadi landasan bagi hubungan hukum seperti nasab, mahrom, hak dan kewajiban, warisan, dan wali nikah.

Hubungan perkawinan yang sah antara kedua orang tua langsung memberikan hak-hak sipil mutlak. Bagaimana dengan anak yang pernikahan orang tuanya dinyatakan tidak sah sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU VIII/2010, seorang anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarganya, dan ia hanya mewarisi dari ibu dan keluarga ibunya. Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terhadap pewarisan anak yang lahir dari perkawinan, serta pertimbangan hukum dan pengaruh hukum Mahkamah

(27)

Konstitusi terhadap putusan nomor 46/PUU- VIII/2010. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana implikasi putusan MK terhadap pewarisan anak yang lahir di luar nikah pasca Putusan MK nomor 46/PUU-VIII/2010, jika dilihat dari jenis penelitiannya, penelitian ini meliputi penelitian kepustakaan, dan sifat penelitiannya adalah deskriptif analisis dengan pendekatan yuridis normatif, jika dilihat dari jenis penelitiannya, penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan, dan sifat penelitiannya adalah deskriptif analisis dengan menggunakan yuridis normatif.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi 46/PUU-VIII/2010 merupakan putusan terobosan yang memiliki konsekuensi terhadap hubungan perdata antara anak yang lahir dari luar perkawinan dengan ayah biologisnya, khususnya dalam hal pewarisan. Setelah adanya putusan MK tersebut, seorang anak yang lahir di luar perkawinan yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarganya tidak lagi mengikat secara hukum sepanjang hal tersebut diartikan mengecualikan hubungan perdata dengan laki-laki sebagai ayah biologis, yang bisa dibuktikan atas dasar ilmu pengetahuan serta teknologi, ataupun pembuktian menggunakan alat lain yang dapat menjadi bukti bahwa ada ikatan sedarah dengan ayah kandung, dan juga mempunyai hak serta kedudukan yang sama dengan ahli waris melalui perkawinan yang sah.

(28)

Pertimbangan hukum putusan MK no 46/PUU-VIII/2010 bahwa MK mengemukakan Pasal 43 ayat (1) bisa memberikan kerugian terhadap hak konstitusional oleh anak luar kawin yang mana telah jelas bahwa UUD 1945 memberi perlindungan serta keadilan dalam kepastian hukum pada seluruh warga negara, tidak terkecuali pada anak luar kawin baik mengenai status hingga hak keperdataan, serta ikatan anak luar kawin dengan bapak biologis yang tidak dihasilkan dari hubungan perkawinan, tetapi bisa dibuktikan melalui dasar hubungan darah antar laki-laki tersebut dan anaknya sehingga mempunyai hubungan bapak anak. Akibatnya, akibat hukum dari keputusan ini yang merupakan suatu pembaharuan hukum perkawinan Indonesia ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan, khususnya Pasal 43 ayat (1).

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil sebuah kerangka pemikiran bahwa didalam melaksanakan pernikahan, taat administrasi dan mencatatkan pernikahan adalah suatu hal yang memiliki peranan terpenting supaya perkawinan itu memiliki alat bukti autentik dan juga bisa digunakan sebagai alat bukti yang sah.

(29)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974

1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974.

Dalam Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 Perkawinan dijelaskan sebagai sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang memiliki tujuan untuk membina keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan didefinisikan sebagai suatu perjanjian yang terjadi sebagai akibat dari suatu perjanjian dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Setelah itu bisa diuraikan sebagai berikut. Pertama, syarat sahnya perjanjian. Perkawinan merupakan sebuah ikatan, sehingga perkawinan merupaka hubungan hukum yang terlahir dari adanya sebuah perjanjian, dan harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan, cakap, hal tertentu dan kausanya halal (Pasal 1320 KUHPerdata).1

Menurut Undang-undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang- Undang No.1 Tahun 1974 Perkawinan wajib mencukupi syarat dengan adanya

1Trusto Subekti, “Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahunn 1974 Tentang Perkawinan Ditnjau Dari Hukum Perjanjian”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.10 , 3 September 2010, Hal. 333

(30)

persetujuan (kesepakatan) antar calon pasangan (Pasal 6 Ayat (1) Undang- undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974).

Lalu, guna memaut suatu perjanjian ataupun memberi suatu perjanjian, seseorang wajib memadai kriteria yang dapat membuat suatu perjanjian, yang meliputi kemampuan untuk mempertanggungjawabkan. Menurut J.Satrio, kemampuan untuk “membuat” ikatan dan janji wajib dilandasi oleh unsur

“niat” (sengaja) serta sesuai dengan “perjanjian” yang hakikatnya adalah kegiatan hukum, sehingga dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 sudah ditetapkan kriteria individu dijelaskan tidak lagi dibawah tanggung jawab orang tua, yang berarti dari hukum dianggap telah dapat bertanggung jawab (cakap),yaitu ketika mencapai umur 18 tahun (Pasal 47 Ayat (2) Undang- undang No.1 Tahun 2019 ). Sepakat dan cakap ini sesuai dengan KUHPerdata adalah persyaratan subyektif dalam memperoleh kesahan perjanjian, sehingga dapat diartikan jika pasangan melakukan pelanggaran syarat subyektif ini maka bisa berakhir batal. Sudah ada syarat tertulis bahwa bagi calon mempelai pria serta wanita sudah mencapai umur 19 tahun (Pasal 7 Ayat (1) Undang-undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974), selain itu juga sudah ditetapkan bahwasanya oleh mereka-mereka yang belum mencapai umur 21 tahun masih harus memperoleh perizinan dari orang tua (Pasal 6 Ayat (2) Undang-undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang- Undang No.1 Tahun 1974).2

2Ibid Hal.333

(31)

Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, tujuan perjanjian itu harus pasti;

Namun demikian, dalam keadaan ini yang menjadi objeknya adalah perkawinan, dan perjanjian ini melahirkan status, yaitu status suami istri menurut hukum keluarga. Substansi dan capaian yang menjadi topik perjanjian merupakan objek perjanjian. Pencapaian tersebut merupakan suatu perilaku (Handeling) tertentu, didalam hal ini perbuatan suami istri. Lalu ditinjau dari kausa yang halal akan suatu perjanjian, dan yang dijelaskan oleh Hamaker yang dikutip J. Satrio menjelaskan bahwasanya kuasa suatu perjanjian merupakan hal yang disengaja untuk timbul dikarenakan sebuah tindakan yang menutup perjanjian, ialah suatu yang menjadi “tujuan mereka” (para pihak bersama) guna menutup perjanjian, juga karena itu pula dinamakan “tujuan obyektif”, guna sebagai pembeda dengan “tujuan subyektif”, yang menurutnya dianggap sebagai motif, atau dapat dijelaskan melalui pengertian lain bahwa kausa perjanjian untuk menimbulkan hubungan hukum, yang mempunyai arti bahwa diantara mereka (para pihak) menjadi terikat dalam berperilaku sesuai pola tertentu, atau melakukan tindakan tertentu.

Kausa akan sebuah perjanjian atau dengan kata lain ikatan perkawinan dalam hal ini bisa dilaksanakan jika diantara mereka tidak adanya hal yang menghalangi untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974). Maka dari itu bagi calon pasangan yang sudah tervalidasi sesuai syarat-syarat perkawinan, hukumnya dianggap sudah memenuhi persyaratan

(32)

obyektif dari keabsahan perjanjian. Sebaliknya jika calon mempelai yang tidak mencukupi sebuah persyaratan untuk kawin, di dalam hukum mereka dianggap tidak memenuhi persyaratan obyektif dari sahnya perjanjian, sehingga perkawinan itu tidak bisa terlaksana. 3

Kedua, Asas kebebasan berkontrak. Ide kebebasan berkontrak, sesuai yang didefinisikan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, menyatakan bahwa orang bebas dalam membuat kontrak, mengatur substansi kontrak, serta bentuk dan undang-undang yang akan mengikat pencipta. Mengenai penerapan konsep kebebasan berkontrak dalam perjanjian ini (ikatan perkawinan) yang hanya dapat diterapkan oleh komponen individu-individu bebas yang menutup perjanjian, mengandung pengertian bahwa perjanjian (ikatan perkawinan) diperlukan adanya suatu perjanjian yang didasarkan atas kebebasan untuk menyatakan persetujuan mereka. Tidak ada kebebasan dalam mengelola isi perjanjian dan hukum-hukum yang berlaku dalam perjanjian itu karena perkawinan termasuk dalam bidang hukum keluarga, sehingga isi-isi perjanjian dan hukum-hukum yang berlaku sudah ditetapkan dalam Undang-undang No.

16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, terkecuali tentang hal perjanjian perkawinan yang boleh menyimpang dari undang-undang didalam situasi karena perkawinan tentang harta benda perkawinan saja.

3 Tri Subekti Op-Chit Hal. 333

(33)

Ketiga, asas perjanjian mengikat para pihak yang menandatanganinya.

Gagasan ini diabadikan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang mengatur bahwa segala perjanjian yang mengikat secara hukum mengikat orang-orang yang membuatnya. Menurut J.Satrio, yang dimaksud dengan "secara sah" adalah

"memenuhi syarat sahnya perjanjian". Jadi, dalam skenario ini, selain memenuhi asas dan syarat sahnya suatu perjanjian, penerapan kata “sah” juga harus memenuhi asas dan keadaan perkawinan sesuai dalam aturan di Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Selain itu juga disebut jika kata “berlaku sebagai undang-undang” dalam hal ini memiliki arti mengikat pihak-pihak yang membuat perjanjian dengan cara yang sama seperti hukum mengikat orang yang kepadanya hukum itu berlaku. Akibatnya, jika para pihak yang telah menandatangani kontrak, sesuai konteks ini yaitu pengantin pria dan wanita, bisa dianggap bahwa mereka sudah membuat ketetapan hukum untuk diri mereka sendiri.

Perkawinan ialah kejadian hukum jika konteks perkawinan tersebut termasuk kedalam perkawinan yang sah. Sah atau tidaknya sebuah perkawinan ditetapkan didalam Pasal 2 Undang-undang No.1 Tahun 1974 yang mengatur bahwa :

a. Perkawinan dikatakan sah, jika dilaksanakan sesuai dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(34)

b. Setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pembentukan undang-undang tersebut memberikan penafsiran bahwa perkawinan semestinya dilaksanakan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan, yang berarti bahwa berlangsungnya sebuah perkawinan akan selalu memiliki kaitananya dengan ajaran masing-masing agama dan kepercayaan. Kalau tidak, pernikahan dianggap batal demi hukum.

definisi perkawinan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No.1 Tahun 1974 tidak lagi hanya merupakan “perbuatan hukum” namun juga sebuah “perbuatan keagamaan”.

Perkawinan diartikan menjadi “perbuatan hukum” apabila dilaksanakan sesuai ketentuan agama serta kepercayaan yang diterima bagi calon mempelai baik pria dan wanita yang akan melaksanakan pernikahan. Penafsiran UU No. 1 Tahun 1974 tentang keabsahan perkawinan didasarkan ke sebuah penafsiran yang sistematis, ialah menginterpretasi keabsahan perkawinan dengan mengaitkan ketetapan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974 dengan ketetapan berisi aturan akan persyaratan dalam perkawinan pada Bab II dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 jo. Pasal 10 ayat (1,2,3) PP No.9 Tahun 1975 jo. Undang-undang No.23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, yang dapat dijelaskan bahwa perkawinan yang sah yaitu jika

(35)

pelaksanaan perkawinan yang dimaksud dilaksanakan dengan mengikuti tata cara perkawinan dan tata cara pencatatan perkawinannya.

Menurut Pasal 10 ayat (1,2 dan 3) PP No.9 tahun 1975,yang menentukan:

1. Perkawinan dilaksanakan pada hari ke-10 setelah pemberitahuan niat perkawinan oleh Pegawai pencatat, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah.

2. Tata cara perkawinan dilaksanakan sesuai hukum itu.

3. Dengan menaati tata cara perkawinan sesuai dengan masing-masing hukum agama dan kepercayaannya, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat serta dihadiri oleh dua orang saksi.

Ada 3 kategori sebuah perjanjian yang di ukur berdasarkan sifat perjanjiannya yakni perjanjian secara umum bisa di ukur melalui kehadiran suatu kesepakatan (Asas konsensus), adanya konsensus juga di ukur dari dipenuhinya formalitas yang disyaratkan oleh Undang-Undang. Didalam persyaratan perkawinan sudah ditetapkan bahwasanya terdapat tatacara perkawinan (formalitas) yang dijelaskan didalam Pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun 1974. Pasal 10 ayat (10,ayat (2) dan ayat (3) PP No.9 Tahun 1975, maka apabila ditinjau melalui Hukum Perdata maka perjanjian (ikatan perkawinan) lebih pas untuk diklasifikasikan sebagai perjanjian formil,

(36)

dikarenakan dalam prosesnya pelaksanaam sebuah perkawinan musti ikut akan aturan formalitas berbentuk tatacara perkawinan.4

2. Sumber-Sumber Perkawinan Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974

a. Sumber Hukum Perkawinan Dalam Undang-undang No.16 Tahun 2019 Atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Hukum Perkawinan yang kehadirannya bersifat secara positif diseluruh Republik Indonesia sebelum adanya Undang-undang No.16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan dimana secara mandiri menjadi awal bagi Undang-undang Perkawinan yaitu seperti yang dibuktikan didalam penjelasan Undang-undang tersebut diantaranya:

Pertama, Hukum Agama, di dalam konteks ini adalah Hukum Perkawinan Islam, atau Fiqh Munakahat, yang berfungsi baik bagi Muslim lokal Indonesia maupun Muslim timur dari belahan dunia lain.

Kedua, Hukum Adat yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang tidak beragama Islam atau Kristen berlaku hukum adat masing-masing lingkungan adat dan bagi orang timur asing lainnya berlaku hukum adatnya.

Ketiga , KUHPerdata berlaku untuk orang timur asing, Cina, orang Eropa,dan warga negara Indonesia keturunan Eropa.

4Trusto Subekti, “Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahunn 1974 Tentang Perkawinan Ditnjau Dari Hukum Perjanjian”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.10 , 3 September 2010, Hal. 333

(37)

Keempat, Huwelijksordonanite Christan Indonesia, yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang beragama kristen.

Perkawinan yang dimaksud dalam Undang-undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ialah perkawinan yang menyatukan hubungan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan dalam membina keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Undang-undang Perkawinan yaitu dari Pasal 1 sampai 5 Undang-undang Tentang Perkawinan yang mana hal ini menjadi landasan bagi setiap individu dalam melaksanakan pernikahan sesuai dengan harapan masing-masing pasangan suami istri.

Pasal 1 perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri yang memiliki tujuan untuk membina keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 (1) Perkawinan ialah sah jila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 3 ayat (1) pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih

(38)

dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4 ayat (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana disebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka dia harus mengajukan permohonan ke pengadilan didaerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dengan ayat (1) hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila.

1) Istri tidak dapa menjalankan kewajiban sebagai istri

2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Pasal 5 ayat (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus mempunyai syarat sebagai berikut :

1) Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri

2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan- keperluan hidup istri-istri dari anak-anak mereka.

3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak mereka.

Ayat (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a yakni tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istri tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau

(39)

karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.5

b. Sumber Hukum Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam

Sumber Hukum Perkawinan dalam KHI adalah berawal dari penyusunan KHI sedari awal hingga akhir dengan semua tahapannya, sehingga dapat diketahui bahwa hukum perkawinan dalam KHI berasal mula dari:6

Pertama, Hukum Perundang-undangan yang memiliki kaitan akan sebuah perkawinan yaitu : Undang-Undang No.3 Tahun 1989, Undang- undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1989 sebagai asal mula rujukan, terkesan janggal karena Undang-undang No.7 Tahun 1989 itu ditetapkan pada tanggal 29 desember 1989, sementara pendapat ulama sebagai tahapan akhir dari pelaksanaan penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berlaku sampai tanggal 2 hingga 6 februari 1988. Tetapi realitasnya sumber yang ada di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) itu diambil dari rancangan Undang-undang yang faktanya telah lama dipersiapkan. Kitab-kitab fikih dari berbagai mazhab, walaupun yang banyak ialah dari mazhab syafi’iy.

Dengan daftar kitab-kitab fikih yang sudah diakaji yang digunakan untuk

5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

6 Kompilasi Hukum Islam

(40)

merumuskan KHI itu terlihat bahwa kitab-kitab itu berawal dari mazhab syafi’iy, Hanafi, Maliki, Hambali dan Zahari.

Di Indonesia, hukum adat masih berlaku, sebagaimana terlihat di berbagai pengadilan agama, meskipun Kompilasi Hukum Islam KHI dan harta kekayaan didalam perkawinan tampaknya tidak serta-merta diperhitungkan. Sebagai contoh meminjam dari tradisi, adalah sah menikahi wanita hamil karena zina, seperti yang diterima oleh fikih Munakahat.

3. Asas-Asas Perkawinan Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Di dalam Undang-Undang Perkawinan diatur sebuah asas dan prinsip dalam perkawinan diantaranya yaitu:

a. Asas perkawinan kekal.

Tiap pasangan mendambakan untuk menciptakan keluarga yang menyenangkan dan langgeng. Artinya, pernikahan harus menjadi komitmen seumur hidup. Keluarga bahagia da sejahtera hanya dapat dibentuk melalui pernikahan seumur hidup. Dalam Pasal 1 Undang-Undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang- Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin seorang pria dan wanita sebagai pasangan suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

b. Asas Perkawinan Menurut Hukum Agama atau Kepercayaan Agamanya

(41)

Perkawinan akan dikatan sah hanya jika dilakukan sesuai dengan keyakinan agama atau kepercayaan tertentu mereka. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan akan diakui sah jika dilakukan menurut hukum agama atau pandangan agama calon mempelai.

Gagasan ini mengedepankan keseimbangan agama (kafa'ah) sebagai landasan pernikahan.7 Kedua calon mempelai harus dari agama dan keyakinan yang sama, kecuali hukum agama atau kepercayaan mereka menuntut lain. Gagasan ini dituangkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang- Undang Perkawinan, yang menjelaskan bahwasanya perkawinan ialah sah asalkan dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

c. Asas Perkawinan Terdaftar

Setiap perkawinan yang dilakukan menurut akan hukum tiap-tiap agama serta kepercayaan tersebut akan dianggap memiliki kekuatan hukum jika dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dicatat tidak memiliki kekuatan hukum yang dijelaskan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Prinsip ini dijabarkan didalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menentukan, bahwa setiap perkawinan dicatat sesuai dengan peraturan

7Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-harta Benda dalam Perkawinan, PT Raja Persada,2016, Hal .15

(42)

perundang-undangan yang digunakan. Dari aspek pernikahannya, perkawinan yang tida dicatat atau biasa disebut nikah sirri tetap sah dikaji dalam ketentuan syariat islam jika dilaksanakan telah mencakupi norma agama sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang tentang perkawinan. Hanya saja oleh karena tidak melibatkan negara dengan cara tidak dicatatkan di dalam catatan nikah, maka negara memandang perkawinan semacam menyimpangi aturan hukum yang berlaku. Konsekuensi logis yang diterima pelaku adalah perkawinannya tidak mendapat perlindungan hukum dari negara (no legal protecs). Jika suatu ketika diantara suami istri itu ada yang melakukan tindakan yang merugikan pihak lainnya, maka sengketa mereka tidak dapat diselesaika secara hukum positif.8

d. Asas Perkawinan Monogami

Undang-undang Perkawinan didasarkan pada konsep monogami, yang menyatakan bahwa seorang pria hanya dapat memiliki satu istri dalam akta perkawinan. Pada saat tertentu, seorang wanita hanya dapat memiliki satu pasangan. Artinya, seorang suami atau istri dilarang menikahi wanita atau pria lain dalam waktu yang bersamaan. 9 Prinsip ini dijabarkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.16 Tahun

8Imawanto, Edi yanto, Fahrurrozi, Hamdi, Yulias Erwin & Sahrul, “Tinjauan Yuridis Pernikahan Sirri dalam Pandangan Muhammadiyah dan Hukum Positif Indonesia”, Media Keadilan, Vol.12, Oktober 2021, Hal.433

9Ibid Hal.16

(43)

2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menjelaskan bahwasanya sesuai asas didalam sebuah perkawinan satu pria hanya diperbolehkan memiliki satu istri, dan satu wanita hanya diperbolehkan memiliki satu suami.

e. Perkawinan Didasarkan Pada Kesukarelaan Atau Kebebasan Berkehendak (Tanpa Paksaan).

Perkawinan adalah hak asasi manusia, sehingga hal tersebut wajib didasari oleh keputusan sukarela tiap-tiap pihak untuk jadi suami istri, serta untuk saling menerima dan melengkapi, dan tanpa tekanan apapun. Perkawinan yang tidak berdasarkan persetujuan kedua belah pihak dapat dinyatakan batal untuk kepentingan hukum. Prinsip ini dijelaskan didalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menentukan bahwasanya perkawinan wajib didasari dengan kesetujuan oleh tiap calon mempelai.

f. Keseimbangan Hak dan Kedudukan Suami-istri

Suami dan istri memiliki hak serta tanggung jawab yang sama di rumah juga di masyarakat. Seorang suami dan istri bisa melaksanakan kegiatan hukum dalam batas-batas persekutuan hukum tertentu. Suami berkedudukan sebagai kepala keluarga, sementara wanita berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Dalam mengambil keputusan, suami dan istri bekerja sama dalam proses

(44)

perundingannnya. Dasar ini secara lanjut ditegaskan dalam Pasal 31 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

g. Asas Tidak Mengenal Perkawinan Poliandri.

Ketetapan ini disajikan di dalam Pasal 3 ayat (1) yang mana tidak diperbolehkannya perkawinan poliandri, dimana satu wanita hanya mempunyai satu suami dalam waktu yang sama.

h. Asas Mempersukar Terjadinya Perceraian

Sesuai akan tujuan dari perkawinan, yaitu menciptakan keluarga bahagia, langgeng, dan sukses, Undang-Undang Perkawinan berdasar pada konsep yang mempersulit perceraian. Perceraian akan dikabulkan karena sebuah alasan dan dilaksanakan di depan pengadilan. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 39 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.10

4. Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974

Tujuan perkawinan adalah untuk membangun keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal yang dilandasi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tujuan perkawinan telah dikembangkan menjadi ideal karena tidak hanya mempertimbangkan aspek lahiriah saja, tetapi juga ikatan batin antara suami dan istri, yang bertujuan untuk membangun keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia. keduanya, dan sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Menurut J.Satrio, perkawinan bukan

10 Rosnidar Sembiring, Op-Chit Hal.17

(45)

semata-mata kesepakatan antara suami dan istri, tetapi hubungan suci lahir batin yang bertujuan untuk membangun rumah tangga/keluarga yang bahagia didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dijelaskannya, yang dimaksud dengan keluarga adalah keluarga batih (gezin), yang meliputi suami istri serta anak- anaknya. Lebih lanjut ia berpendapat bahwa memperoleh atau memiliki anak merupakan bagian dari tujuan perkawinan, yang sejalan dengan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa terciptanya keluarga yang bahagia berkaitan langsung dengan keturunan, yang juga merupakan tujuan dari pernikahan. 11

B. Tinjauan Umum Tentang Anak Di Luar Kawin/Nikah

1. Pengertian Anak Di Luar Nikah Menurut Hukum Perdata dan KHI

Menurut Hukum Perdata, anak yang lahir di luar perkawinan/perkawinan adalah mereka yang lahir dari seorang perempuan yang tidak mempunyai hubungan perkawinan formal dengan laki-laki yang telah melahirkan anak dalam kandungannya, dan anak tersebut tidak mempunyai keturunan. Secara umum, mereka memiliki kedudukan hukum yang sama dengan anak sah. Anak luar kawin dengan istilah lain adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Perselingkuhan di luar nikah mengacu pada ikatan antara seorang pria dan

11 Trusto Subekti, “Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan DiTinjau Dari Hukum Perjanjian”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.10 No 3, 2010, Hal.333

(46)

seorang wanita yang bisa saja memiliki anak meskipun faktanya mereka tidak memiliki hubungan pernikahan formal menurut hukum positif.

Dalam mengatur persoalan anak luar kawin pada prinsipnya ditegaskan dalam hubungan kekeluargaan antara ayah dan ibunya memiliki pengaruh yang sangat besar dari asas perkawinan monogamy yang dianut Kitab Undang- undang Hukum Perdata.Pasal 280 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menganut paham bahwa ikatan keperdataan antara anak yang tidak sah secara biologis dengan orang tua kandungnya tidak terjadi dengan sendirinya.

Akibatnya anak yang tidak diakui oleh orang tuanya secara hukum dianggap tanpa orang tua. Hal ini dikhususkan bagi anak yang lahir dari perzinahan dan anak sumbang sehingga didasarkan pada ketetapan dalam Pasal 272 dan 283 Kitab Undang-undang Hukum Perdata memiliki kedudukan yang tidak bisa disahkan baik melalui pengakuan orang tua ataupun dengan hubungan perkawinan pengecualiann sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 273 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.12

Undang-Undang Perkawinan menjelaskan jika perkawinan yang diakui yaitu perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan hukum masing- masing agama dan kepercayaan dari tiap individu dan perkawinannya didaftarkan pada instansi pemerintah yang membidangi dan menangggungjawabi bidangnya. Perkawinan yang tidak dicatatkan pada instansi pemerintah akibatnya tidak mendapatkan pengakuan, perlindungan,

12Ibid Hal.333

(47)

atau kepastian hukum dari negara. Hal ini berdampak pada anak yang lahir dari perkawinan tersebut, yang tergolong anak luar kawin yang hanya mempunyai ikatan perdata dengan ibunya. Undang-undang mengenal dua jenis pengakuan anak yaitu :

a. Pengakuan sukarela

Pengakuan sukarela merupakan sebuah pernyataan kesengajaan yang dibuat oleh seseorang, melalui proses hukum, bahwa ia adalah ayah atau ibu dari anak yang lahir dari perkawinan. Anak dan bapak/ibu yang telah mengakuinya membentuk hubungan perdata sebagai akibat dari pengakuan tersebut sesuai dengan Pasal 280 B.W (burgelijk wetboek).

b. Pengakuan dengan paksaan

Putusan pengadilan yang mengidentifikasi ibu atau ayah dari seorang anak yang lahir dari perkawinan disebut sebagai pengakuan dengan paksaan. Akibatnya, keputusan seperti itu tidak dapat dibuat untuk anak-anak yang telah terpapar perselingkuhan dan ketidakharmonisan.

1) Pengakuan oleh ibu

Berdasarkan ketentuan B.W (burgelijk wetboek), dijelaskan bahwa bagi anak dari luar kawin yang tidak diakui oleh ibunya tidak akan menciptakan hubungan perdata dengan ibunya (ada pada Pasal 43

(48)

Undang-undang No.1 tahun 1974) yang malah memberi pernyataan dengan keadaan sebaliknya.

2) Pengakuan oleh ayah

Berdasarkan ketentuan B.W (burgelijk wetboek) menjelaskan bahwa melakukan penyelidikan terkait ayah dari seorang anak adalah dilarang (het onderzoek naar het vaderscharp is verboden).

Anak atau keturunan pada umumnya merupakan anak yang lahir ataupun keturunan yang menciptakan ikatan darah atau hubungan antara satu orang dengan orangtua atau leluhurnya ke atas, menurut Kompilasi Hukum Islam. Anak sah merupakan anak yang lahir dalam ataupun dikarenakan perkawinan yang sah menurut Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.13 Pengertian anak yang sah diatur dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan sebagai berikut :

1) Anak yang lahir dan merupakan akibat dari perkawinan yang sah.

2) Hasil pembuahan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.14

Anak yang lahir di luar ketentuan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam dianggap sebagai anak di luar perkawinan dalam hukum Islam dan KUH Perdata. Anak luar kawin tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan ayah biologisnya dan hanya memiliki hubungan perdata dengan

13 Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

14 Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam

(49)

ibunya dan keluarga ibu. Dijelaskan didalam Pasal 43 Ayat 1 Undang- undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya memilikii hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Seorang anak dianggap sah menurut hukum Islam jika dia lahir dalam waktu enam bulan atau 180 hari dari kontrak pernikahan orang tuanya; anak yang lahir di luar 180 hari dianggap tidak sah. Anak yang lahir di luar perkawinan semata-mata terikat dengan ibunya secara garis keturunan dan tidak mempunyai ikatan kekerabatan dengan bapaknya. Dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 100 yang menyatakan “anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya saja dan keluarga ibunya saja.”15

Adanya keterkaitan hukum diantara anak luar kawin dengan yang mengakuinya memunculkan keharusan bagi mereka yang mengakuinya untuk saling memberi nafkah. Pengakuan tidak dikenal di dalam Hukum.

Anak yang dilahirkan diluar kawin atau anak yang dihasilkan dari kegiatan berzina tidak dapat diubah statusnya menjadi anak luar kawin sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Anak yang lahir di luar perkawinan hanya boleh meminta nafkah juga pendidikan. Hal ini sesuai dengan Pasal 867 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi

15Sarah Adiela Dimyati dan Akhmad Khisni, “Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Pengesahan Anak Diluar Kawin”,2020,Hal.658-659

(50)

“Undang-undang memberikan kepada mereka hanya nafkah seperlunya”.

Status anak luar kawin mengakibatkan anak tersebut tidak bisa mendapatkan hak-haknya seperti anak sah.Dalam hukum perdata dikenal pengakuan.Syarat agar anak luar kawin mewaris adalah anak luar kawin tersebut harus diakui dengan sah karena menurut sistem BW asasnya adalah bahwa hanya mereka yang memiliki hubungan hukum dengan si pewaris sajalah yang memiliki hak waris. 16

2. Tata Cara Memperoleh Keabsahan Anak Diluar Nikah

Undang-undang No.23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang menyatakan bahwa : “Pasal 50 (1) setiap pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada Instansi Pengesahan anak wajib dilaporkan oleh orang tua kepada instansi Pelaksana paling lambat 30 hari sejak ayah dan ibu dari anak yang bersangkutan melakukan perkawinan dan mendapatkan akta perkawinan.(2) administrasi kependudukan hanya berlaku bagi anak yang orang tuanya telah melaksanakan perkawinan sah menurut hukum agama dan hukum Negara.(3) berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta pengesahan anak dan menertebitkan kutipan akta pengesahan anak.17

Sesuai dengan Undang-undang No.23 Tahun 2006 yang dimaksud dengan Administrasi Kependudukan adalah rangkaian kegiatan penataan dan

16 Ibid Hal.659

17Pasal 50, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

(51)

pengendalian dalam pengendalian dokumen dan data kependudukan melalui pencatatan kependudukan, pencatatan sipil, pengelolaan informasi administrasi kependudukan, dan pemanfaatan hasilnya untuk pembangunan umum dan sektor lainnya. Warga negara Indonesia dan orang asing yang tinggal di negara itu membentuk populasi. Penduduk berhak memperoleh dokumen kependudukan, pelayanan yang sama dalam pencatatan kependudukan dan pencatatan sipil, perlindungan data pribadi, kepastian hukum kepemilikan dokumen, informasi data hasil pencatatan kependudukan dan pencatatan sipil bagi dirinya dan keluarganya, serta perlindungan terhadap kehilangan nama baik. akibat kesalahan dalam pendaftaran.

Pada prinsipnya, undang-undang ini secara umum memberikan aturan mengenai Hak dan Kewajiban penduduk, kewajiban penyelenggara dan instasi penanggung jawab, pendaftaran penduduk serta pencatat sipil baik saat Negara dalam keadaan normal atau sebagaian Negara dalam keadaan darurat dan luar biasa.

Keabsahan anak di luar kawin sebagaimana diatur Burgerlijk Wetboek (BW)atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sehingga sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Burgerlijk Wetboek(BW), berbunyi “Pengesahan anak baik dengan kemudian kawinnya bapak dan ibunya,maupun dengan syarat pengesahan menurut Pasal 247,mengakibatkan bahwa terhadap anak itu akan berlaku ketentuan-ketentuan Undang-undang yang sama seolah-olah anak itu

(52)

dilahirkan dalam perkawinan”.18Hal ini diperkuat dengan Putusan Mahkama Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2011 tentang anak sah , dimana MK tetap mempertahankan Pasal 42 Undang-undang Tahun 1974,tentang anak sah yakni “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”tetapi MK merubah Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”menjadi“anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya,serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan teknologi dan atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.19

Keabsahan seorang anak oleh seorang ayah terhadap anak kandungnya menurut ketentuan BW hanya bisa ditetapkan jika pria itu kawin dengan ibu dari anak itu, yang dibuktikan dengan Kutipan Akta Nikah (akta nikah), yang bisa diperoleh jika orang tersebut yang bersangkutan tidak dapat mendaftarkan perkawinannya. Laki-laki mempunyai kewajiban yang sama dengan anak kandung yang lahir setelah perkawinan, menurut BW, dan pengesahan sebagai anak kandung ini dilakukan sebagai sarana bagi laki-laki yang bersangkutan

18 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

19Putusan Mahkama Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2011 tentang anak sah.

(53)

untuk mengakui dan bertanggung jawab atas kenyataan bahwa anak itu lahir dari istri atau calon istrinya. .

Dalam hal ini, baik perkawinan dilegalkan atau kedua orang tua tidak menikah, tujuan Mahkamah Konstitusi adalah untuk melindungi hak-hak anak, baik anak yang lahir dari hubungan suami istri baik dalam perkawinan maupun di luar perkawinan, sehingga tidak adil jika ayah kandung anak yang lahir di luar perkawinan (yang tidak melegalkan anak pada waktu perkawinan dengan ibu yang melahirkan anak) dibebaskan dari segala kewajiban dan hanya harus berhadapan dengan ibu yang melahirkan anak. Ayah kandungnya pasti harus memberinya kehidupan yang layak setelah putusan MK, dan itu dilarang secara konstitusional.

3. Undang –Undang Tentang Hak Anak

Anak-anak sering diberi perhatian tidak hanya didalam ilmu pengetahuan, namun juga dari aspek lain yang terpusat dalam kehidupan seperti agama, hukum, dan sosiologi, yang mana membantu anak-anak menjadi lebih sensitif dan terlibat dalam lingkungan sosial mereka.

Secara sosiologis, anak dianggap sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT yang selalu aktif didalam kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan bernegara. Anak muda ditempatkan dalam kelompok sosial yang lebih rendah daripada komunitas dengan siapa mereka berinteraksi dalam situasi ini.

Undang-undang tentang Perlindungan Anak memberikan aturan tentang hak dan kewajiban anak. Hak-hak yang didapatkan anak dijelaskan didalam

(54)

ketetapan Pasal 4 hingga Pasal 18. Hak oleh tiap anak yang dicantumkan didalam Undang-undang mengenai Perlindungan Anak itu mencakup hak sebagai berikut:

a. Mampu hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam masyarakat secara wajar, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta bebas dari kekerasan dan prasangka.20

b. Atas nama yang berfungsi sebagai identitas dan status kewarganegaraan.

c. Untuk di bawah pengawasan orang tua, untuk beribadah menurut keyakinannya, berpikir dan berkreasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya.

d. Untuk mengenal orang tuanya, yang membesarkannya dan membesarkannya.

e. Memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

f. Memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pertumbuhan dan kecerdasan pribadi sesuai dengan minat dan bakatnya.

g. Memperoleh pendidikan yang luar biasa, rehabilitasi, bantuan sosial, dan memelihara tingkat kesejahteraan sosial yang tinggi bagi generasi muda yang beruntung.

h. Memberikan pendidikan khusus bagi anak yang memiliki keunggulan.

i. Untuk mengungkapkan dan didengar, menerima, mencari, dan menawarkan ilmu yang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya untuk tujuan pengembangan diri dengan tetap berpegang pada cita-cita kesusilaan dan kepatutan.

20Rini Fitriani, “ Peranan Penyelenggara Perlindungan Anak Dalam Melindungi Dan Memenuhi Hak- Hak Anak”, Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol. II, Juli-Desember 2016, Hal. 255

(55)

j. Untuk bersantai dan menikmati waktu luang, bergaul dengan anak-anak lain seusianya, bermain, bersantai, dan berkreasi sesuai dengan hobi, kemampuan, dan tingkat kognitifnya untuk pengembangan diri.

k. Untuk dilindungi dari diskriminasi, eksploitasi ekonomi dan seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan bentuk pelecehan lainnya.

l. Untuk diasuh oleh orang tua mereka sendiri kecuali ada alasan yang memaksa dan aturan hukum menunjukkan bahwa pemisahan adalah demi kepentingan terbaik anak.

m. Untuk memperoleh perlindungan dari penganiaya, penyiksa, atau target hukuman yang keras.

n. Memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

o. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatan yang dipisahkan dari orang dewasa, memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku, serta membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum, untuk setiap anak yang dirampas kebebasannya.

p. Untuk dirahasiakan bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual, atau yang telah melanggar hukum.

q. Untuk memperoleh bantuan bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kejahatan dengan perwakilan hukum dan layanan lainnya.

r. Pasal-pasal yang memuat ketentuan mengenai hak anak dalam Undang- undang tentang Perlindungan Anak mempunyai banyak kesamaan dengan ketentuan hak anak dalam Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia.

s. Undang –undang tentang Perlindungan Anak juga mengatur mengenai kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap anak.21

21 Ibid Hal.255

Gambar

Tabel 1. Permohonan Uji Materil ......................................................................

Referensi

Dokumen terkait

1) Seorang peninggal warisan yang pada saat wafatnya meninggalkan harta kekayaan. 2) Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang.. ditinggalkan ini.

Hal ini berbeda bila dilihat di dalam Peraturan Hukum Waris Islam yaitu bahwa semua harta yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal, merupakan harta warisan yang harus dibagikan

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui praktik pembagian warisan terhadap orang tua atas harta warisan anaknya yang meninggal terlebih dahulu pada masyarakat muslim

Seperti sudah disinggung dimuka, komunitas Suku Anak Dalam di Dusun Senami III dalam pembagian harta warisan, jika salah satu dari orang tua meninggal maka sebelum harta

Proses peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada yang masih hidup dalam hukum kewarisan Islam ada tiga unsur yaitu pewaris, harta warisan dan ahli

Hukum adat juga memandang warisan sebagai proses peralihan harta kekayaan berupa materiil maupun immaterial dari satu generasi ke generasi lainnya.Menurut sistem

Adapun mengenai besarnya jumlah harta warisan dari orang tua angkat yang dapat dimiliki oleh anak angkat adalah seluruh harta hasil perkawinan orang tua angkatnya, dan juga

Hukum adat juga memandang warisan sebagai proses peralihan harta kekayaan berupa materiil maupun immaterial dari satu generasi ke generasi lainnya.Menurut sistem