BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Menurut Undang-Undang
2. Sumber-Sumber Perkawinan Menurut Undang-Undang
a. Sumber Hukum Perkawinan Dalam Undang-undang No.16 Tahun 2019 Atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Hukum Perkawinan yang kehadirannya bersifat secara positif diseluruh Republik Indonesia sebelum adanya Undang-undang No.16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan dimana secara mandiri menjadi awal bagi Undang-undang Perkawinan yaitu seperti yang dibuktikan didalam penjelasan Undang-undang tersebut diantaranya:
Pertama, Hukum Agama, di dalam konteks ini adalah Hukum Perkawinan Islam, atau Fiqh Munakahat, yang berfungsi baik bagi Muslim lokal Indonesia maupun Muslim timur dari belahan dunia lain.
Kedua, Hukum Adat yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang tidak beragama Islam atau Kristen berlaku hukum adat masing-masing lingkungan adat dan bagi orang timur asing lainnya berlaku hukum adatnya.
Ketiga , KUHPerdata berlaku untuk orang timur asing, Cina, orang Eropa,dan warga negara Indonesia keturunan Eropa.
4Trusto Subekti, “Sahnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahunn 1974 Tentang Perkawinan Ditnjau Dari Hukum Perjanjian”, Jurnal Dinamika Hukum, Vol.10 , 3 September 2010, Hal. 333
Keempat, Huwelijksordonanite Christan Indonesia, yang berlaku bagi orang Indonesia asli yang beragama kristen.
Perkawinan yang dimaksud dalam Undang-undang No.16 Tahun 2019 atas Perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ialah perkawinan yang menyatukan hubungan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri yang bertujuan dalam membina keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Undang-undang Perkawinan yaitu dari Pasal 1 sampai 5 Undang-undang Tentang Perkawinan yang mana hal ini menjadi landasan bagi setiap individu dalam melaksanakan pernikahan sesuai dengan harapan masing-masing pasangan suami istri.
Pasal 1 perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri yang memiliki tujuan untuk membina keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 (1) Perkawinan ialah sah jila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3 ayat (1) pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih
dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4 ayat (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana disebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka dia harus mengajukan permohonan ke pengadilan didaerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dengan ayat (1) hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila.
1) Istri tidak dapa menjalankan kewajiban sebagai istri
2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan
Pasal 5 ayat (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini harus mempunyai syarat sebagai berikut :
1) Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri
2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dari anak-anak mereka.
3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak mereka.
Ayat (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a yakni tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istri tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 tahun atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.5
b. Sumber Hukum Perkawinan Dalam Kompilasi Hukum Islam
Sumber Hukum Perkawinan dalam KHI adalah berawal dari penyusunan KHI sedari awal hingga akhir dengan semua tahapannya, sehingga dapat diketahui bahwa hukum perkawinan dalam KHI berasal mula dari:6
Pertama, Hukum Perundang-undangan yang memiliki kaitan akan sebuah perkawinan yaitu : Undang No.3 Tahun 1989, Undang-undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1989 sebagai asal mula rujukan, terkesan janggal karena Undang-undang No.7 Tahun 1989 itu ditetapkan pada tanggal 29 desember 1989, sementara pendapat ulama sebagai tahapan akhir dari pelaksanaan penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berlaku sampai tanggal 2 hingga 6 februari 1988. Tetapi realitasnya sumber yang ada di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) itu diambil dari rancangan Undang-undang yang faktanya telah lama dipersiapkan. Kitab-kitab fikih dari berbagai mazhab, walaupun yang banyak ialah dari mazhab syafi’iy.
Dengan daftar kitab-kitab fikih yang sudah diakaji yang digunakan untuk
5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
6 Kompilasi Hukum Islam
merumuskan KHI itu terlihat bahwa kitab-kitab itu berawal dari mazhab syafi’iy, Hanafi, Maliki, Hambali dan Zahari.
Di Indonesia, hukum adat masih berlaku, sebagaimana terlihat di berbagai pengadilan agama, meskipun Kompilasi Hukum Islam KHI dan harta kekayaan didalam perkawinan tampaknya tidak serta-merta diperhitungkan. Sebagai contoh meminjam dari tradisi, adalah sah menikahi wanita hamil karena zina, seperti yang diterima oleh fikih Munakahat.
3. Asas-Asas Perkawinan Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Di dalam Undang-Undang Perkawinan diatur sebuah asas dan prinsip dalam perkawinan diantaranya yaitu:
a. Asas perkawinan kekal.
Tiap pasangan mendambakan untuk menciptakan keluarga yang menyenangkan dan langgeng. Artinya, pernikahan harus menjadi komitmen seumur hidup. Keluarga bahagia da sejahtera hanya dapat dibentuk melalui pernikahan seumur hidup. Dalam Pasal 1 Undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin seorang pria dan wanita sebagai pasangan suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Asas Perkawinan Menurut Hukum Agama atau Kepercayaan Agamanya
Perkawinan akan dikatan sah hanya jika dilakukan sesuai dengan keyakinan agama atau kepercayaan tertentu mereka. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan akan diakui sah jika dilakukan menurut hukum agama atau pandangan agama calon mempelai.
Gagasan ini mengedepankan keseimbangan agama (kafa'ah) sebagai landasan pernikahan.7 Kedua calon mempelai harus dari agama dan keyakinan yang sama, kecuali hukum agama atau kepercayaan mereka menuntut lain. Gagasan ini dituangkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, yang menjelaskan bahwasanya perkawinan ialah sah asalkan dilakukan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
c. Asas Perkawinan Terdaftar
Setiap perkawinan yang dilakukan menurut akan hukum tiap-tiap agama serta kepercayaan tersebut akan dianggap memiliki kekuatan hukum jika dicatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak dicatat tidak memiliki kekuatan hukum yang dijelaskan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Prinsip ini dijabarkan didalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menentukan, bahwa setiap perkawinan dicatat sesuai dengan peraturan
7Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga Harta-harta Benda dalam Perkawinan, PT Raja Persada,2016, Hal .15
perundang-undangan yang digunakan. Dari aspek pernikahannya, perkawinan yang tida dicatat atau biasa disebut nikah sirri tetap sah dikaji dalam ketentuan syariat islam jika dilaksanakan telah mencakupi norma agama sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang tentang perkawinan. Hanya saja oleh karena tidak melibatkan negara dengan cara tidak dicatatkan di dalam catatan nikah, maka negara memandang perkawinan semacam menyimpangi aturan hukum yang berlaku. Konsekuensi logis yang diterima pelaku adalah perkawinannya tidak mendapat perlindungan hukum dari negara (no legal protecs). Jika suatu ketika diantara suami istri itu ada yang melakukan tindakan yang merugikan pihak lainnya, maka sengketa mereka tidak dapat diselesaika secara hukum positif.8
d. Asas Perkawinan Monogami
Undang-undang Perkawinan didasarkan pada konsep monogami, yang menyatakan bahwa seorang pria hanya dapat memiliki satu istri dalam akta perkawinan. Pada saat tertentu, seorang wanita hanya dapat memiliki satu pasangan. Artinya, seorang suami atau istri dilarang menikahi wanita atau pria lain dalam waktu yang bersamaan. 9 Prinsip ini dijabarkan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.16 Tahun
8Imawanto, Edi yanto, Fahrurrozi, Hamdi, Yulias Erwin & Sahrul, “Tinjauan Yuridis Pernikahan Sirri dalam Pandangan Muhammadiyah dan Hukum Positif Indonesia”, Media Keadilan, Vol.12, Oktober 2021, Hal.433
9Ibid Hal.16
2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang menjelaskan bahwasanya sesuai asas didalam sebuah perkawinan satu pria hanya diperbolehkan memiliki satu istri, dan satu wanita hanya diperbolehkan memiliki satu suami.
e. Perkawinan Didasarkan Pada Kesukarelaan Atau Kebebasan Berkehendak (Tanpa Paksaan).
Perkawinan adalah hak asasi manusia, sehingga hal tersebut wajib didasari oleh keputusan sukarela tiap-tiap pihak untuk jadi suami istri, serta untuk saling menerima dan melengkapi, dan tanpa tekanan apapun. Perkawinan yang tidak berdasarkan persetujuan kedua belah pihak dapat dinyatakan batal untuk kepentingan hukum. Prinsip ini dijelaskan didalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang No.16 Tahun 2019 atas perubahan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menentukan bahwasanya perkawinan wajib didasari dengan kesetujuan oleh tiap calon mempelai.
f. Keseimbangan Hak dan Kedudukan Suami-istri
Suami dan istri memiliki hak serta tanggung jawab yang sama di rumah juga di masyarakat. Seorang suami dan istri bisa melaksanakan kegiatan hukum dalam batas-batas persekutuan hukum tertentu. Suami berkedudukan sebagai kepala keluarga, sementara wanita berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Dalam mengambil keputusan, suami dan istri bekerja sama dalam proses
perundingannnya. Dasar ini secara lanjut ditegaskan dalam Pasal 31 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
g. Asas Tidak Mengenal Perkawinan Poliandri.
Ketetapan ini disajikan di dalam Pasal 3 ayat (1) yang mana tidak diperbolehkannya perkawinan poliandri, dimana satu wanita hanya mempunyai satu suami dalam waktu yang sama.
h. Asas Mempersukar Terjadinya Perceraian
Sesuai akan tujuan dari perkawinan, yaitu menciptakan keluarga bahagia, langgeng, dan sukses, Undang-Undang Perkawinan berdasar pada konsep yang mempersulit perceraian. Perceraian akan dikabulkan karena sebuah alasan dan dilaksanakan di depan pengadilan. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 39 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.10