• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tinjauan Kepustakaan

8. Pengertian Tindak Pidana

Istilah “peristiwa pidana” atau “tindak pidana” adalah sebagai terjemahan dari Bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “Delict”. Dalam

bahasa Indonesia di samping istilah “peristiwa pidana” untuk terjemahan “Strafbaar” atau “delict” itu (sebagaimana yang dipakai

26

Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005, hal. 18

27

oleh Mr. R. Tresna dan E. Utrecht) dikenal pula beberapa terjemahan yang lain, seperti28:

a. Tindak pidana (antara lain dalam Undang-Undang tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi);

b. Peristiwa pidana (Prof. Mulyatmo, dalam pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada VI pada tahun 1955 di Yogyakarta); c. Pelanggaran Pidana (Mr. M.H. Tirtaamidjaya, Pokok-Pokok

Hukum Pidana, Penerbit Fasco, Jakarta, 1955);

d. Perbuatan yang boleh dihukum (Mr.Karni, Ringkasan tentang Hukum Pidana, Penerbitan Balai Buku, Jakarta, 1959);

e. Perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang No.12/Drt Tahun 1951, pasal 3, tentang Mengubah Ordonnantie Tijdelijk Bijzondere Strafberpalingen).

Sebuah pidana diberikan kepada orang yang telah melakukan suatu perbuatan pidana, tindakan pidana atau delik pidana. Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Meljatno29, yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istlah beliau yakni perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang Poernomo, berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana

28

C. S. T. Kansil , Engelien R. Palendeng,, dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009. Hal. 1

29

akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut; Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.

Suatu tindak pidana baru dapat disebut suatu perbuatan pidana jika telah memenuhi beberapa unsur, baik unsur subjektif maupun unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan30.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah: 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);

2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging

seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasaan, pemalsuan dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

30

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 36.

5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-Unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1. Sifat melanggar hukum atau wederrechterlijkheid;

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398n KUHP.

3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Seorang ahli hukum yakni Simons merumuskan tindak pidana sebagai berikut31:

1. Diancam dengan pidana oleh Hukum 2. Bertentangan dengan Hukum

3. Dilakukan oleh orang yang bersalah

4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya. 9. Tujuan Pemidanaan

Andi Hamzah dan A. Simangelipu menyatakan, bahwa pertanyaan yang berabad-abad belum terjawab adalah apakah sebenarnya tujuan penjatuhan pidana (pemidanaan) itu? Dari sekian banyak jawaban, belum ada yang memuaskan semua pihak. Ada yang

31

memberikan jawaban untuk memperbaiki si penjahat. Apabila memang hanya bertujuan untuk itu, maka tidaklah sesuai bagi penjatuhan pidana mati dan pidana seumur hidup. Oleh karena itu tindakan memasukan seorang anak yang melakukan kejahatan ke dalam pendidikan anak nakal merupakan contoh yang sesuai untuk disebut sebagai bertujuan untuk memperbaiki penjahat. Tujuan untuk memperbaiki penjahat menjadi warga negara yang baik, sesuai jika terpidana masih ada harapan untuk diperbaiki, terutama pelaku delik-deik tanpa korban (victimless crime). Namun untuk kejahatan yang sangat menyinggung asas-asas kemanusiaan, maka sulit untuk menghilangkan sifat penjeraan (deterent) ataupun sifat pembalasan (revenge) pidana yang akan dijatuhkan.32

Menurut P.A.F. Lamintang pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu sebagai berikut

1. untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri;

2. untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan;

3. untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni

32

Andi Hamzah dan A. Simangelipu, Pidana Mati di Indonesia: Di Masa Lalu, Kini Dan Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Hal. 14-15.

penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.33

Dari beberapa Literatur dapat kita lihat bahwa ada beberapa tujuan pemidanaan sebagai berikut:

1. Pembalasan (Retribution) maksudnya bahwa tujuan pemidanaan adalah hanya pembalasan terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana. Terpidana yang melakukan suatu tindak pidana wajib menerima penderitaan atau nestapa yang setimpal dengan perbuatannya. Apabila seseorang melakukan pembunuhan maka pidana yang setimpal dengan perbuatannya adalah dibunuh, nyawa ganti nyawa dan gigi ganti gigi. Tujuan pemidanaan pembalasan ini merupakan yang tertua yang diperkirakan sudah ada sejak adanya manusia. 34

2. Prevensi (Pencegahan) atau Utility (Manfaat) maksudnya bahwa tujuan pemidanaan diusahakan bermanfaat atau member perlindungan bagi terpidana (prevensi special) maupun masyarakat (prevensi general). Jadi dalam tujuan prevensi ini, untuk mencegah kejahatan dikenal istilah prevensi umum/general dan prevensi khusus/special.

a) Prevensi umum/general yaitu untuk

menakut-nakuti/mencegah anggota masyarakat atau mereka yang

33

P.A.F Lamintang, Op.Cit., Hal.11.

34

secara potensial melakukan tindak pidana supaya tidak melakukan tindak pidana.35

b) Prevensi khusus/special yaitu untuk mencegah terpidana agar jangan mengulangi lagi tindak pidana atau mencegah kejahatan dalam arti perbaikan atau merehabilitasi terpidana.

Menurut Marry & Negley 36 bahwa tujuan penghukuman (pemidanaan) adalah mencegah seseorang melakukan kejahatan (tindak pidana) dan bukan merupakan pembalasan dendam dari masyarakat. Bukan kekerasan, akan tetapi kepastian dan ketepatan dalam penjatuhan hukumanlah yang dapat menjamin hasil yang baik.

Lembaga pemenjaraan, pertama kali diadakan atau didirkan agar pelaku jera. penutupan terpidana dalam kamar sel yang suram, terpidana dipaksa bekerja dengan fasilitas hidup yang relatif kurang memadai diharapkan terpidana tidak lagi melakukan tindak pidana dan suatu upaya untuk member perlindungan terhadap masyarakat.

Asas Legalitas pertama kali dikemukakan oleh Von Feurbach juga bertujuan untuk menakut-nakuti psikologis seseorang. Jika seseorang mengetahui bahwa ia akan mendapatkan suatu pidana apabila ia melakukan suatu tindak pidana yang telah diatur oleh Undang-Undang, maka ia akan berpikir dua kali untuk melakukan suatu tindak pidana.

35

Ibid.

36

Marry Elmer Barnes & Negley K. Teeters., New Horizon in Criminology, atau dari Pemenjaraan ke Pembinaan Narapidana. Terjemahan Romli Atmasasmita, Bandung: Alumni, 1971. hal. 5.

Tujuan pemidanaan prevensi khusus ini termasuk memperbaiki atau merehabilitasi terpidana agar menjadi seseorang yang baik dan berguna bagi masyarakat. Pemidanaan harus diusahakan dapat merubah sikap dan pandangan terpidana sehingga tidak lagi melakukan tindak pidana pada masa yang akan datang, sehingga masyarakat pun akan mendapatkan manfaatnya apabila sang terpidana menjadi pribadi yang baik.37 Dewasa ini lembaga pemenjaraan telah berubah fungsi menjadi tempat merehabilitasi, memperbaiki, meresosialisasi, mengintegrasi dan membina terpidana. Terpidana diharapkan tidak lagi melakukan tindak pidana setelah dipidana bahkan menjadi orang yang berguna bagi masyarakat dan Negara.

10.Narkotika

Masyarakat luas mengenal istilah Narkotika yang kini telah menjadi fenomena berbahaya yang populer di tengah masyarakat kita. Ada pula istilah lain yang kadang digunakan adalah Narkoba (Narkotika dan Obat-Obatan berbahaya) sedangkan oleh Departemen Kesehatan RI menyebutnya sebagai NAPZA (Narkotika Psikotropika dan obat-obatan lainnya. Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 maka beberapa pengaturan mengenai psikotropika dilebur ke dalam perundang-undangan yang baru.

a. Definisi Narkotika

37

Secara Etimologi Narkotika berasal dari kata “Narkoties”, yang sama artinya dengan narcocis yang berarti membius.

Sifat zat tersebut terutama berpengaruh pada otak sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi, kesadaran, halusinasi, di samping dapat digunakan untuk pembiusan. Di Malaysia benda berbahaya ini disebut dengan dadah. Dulu di Indonesia dikenal dengan sebutan madat.

Menurut Sudarto Perkataan Narkotika berasal dari bahasa Yunani

“Narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Dalam

Encyclopedia Amerikana dapat dijumpai pengertian “narcotic” sebagai “a drug that dulls the senses, relieves pain induces sleep an can

produce addiction in varying degrees” sedang “drug” diartikan

sebagai: Chemical agen that is used therapeuthically to treat disease/Morebroadly, a drug maybe delined as any chemical agen attecis living protoplasm: jadi narkotika merupakan suatu bahan yang menumbuhkan rasa menghilangkan rasa nyeri dan sebagainya38.

Dalam buku narkotika Masalah dan Bahayanya, M. Ridha Ma‟roef (1976: 14-15) mengutip beberapa pendapat Smith Kline dan French Clinical Staff dan Biro dan Bea Cukai Amerika Serikat menyangkut pengertian narkotika.

38

Djoko Prakoso. Bambang Riyadi Lany dan Muhksin, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan dan Membahayakan Negara, Jakarta: Bina Aksara, 1987. Hlm. 480

Menurut Smith Kline dan French Clinical Staff (1968) 39 membuat definisi sebagai berikut:

“Narcotics are drugs which produce insensibility or stupor due

to their depressant effect on the central nervous system. Included in this definition are opium, opium derivaties (morphine, codein,

heroin) and synthetic opiates (meperidine, methadone)”. Artinya lebih kurang sebagai berikut:

“Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan

ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk jenis candu dan turunan candu (morphine, codein, heroine) dan candu sintesis (meperidine dan

methadone).”

Sedangkan definisi lainnya dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku “Narcotic Identification Manual” (1973) antara

lain mengatakan:

“Bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja,

cocaine, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut yakni morphine, heroin, codein, hashish, cocaine. Dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.

Dari kedua definisi tersebut, M. Ridha Ma‟Roef

menyimpulkan40:

1. Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika sintesis. Yang termasuk narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codeine, dan cocaine. Narkotika alam alam ini termasuk dalam pengertian narkotika sempit. Sedang narkotika sintetis adalah termasuk pengertian narkotika secara luas. Narkotika sintetis yang termasuk di dalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat, yaitu: Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant;

2. Bahwa narkotika itu bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral yang akibatnya dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Berbahaya apabila disalahgunakan.

39

Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Jember: Mandar Maju, 2003. Hlm 33

40

3. Bahwa narkotika dalam pengertian di sini adalah mencakup obat-obat bius dan obat-obat-obat-obat berbahaya atau narcotic and dangerous drugs.

b. Jenis-Jenis Narkotika

Dalam UU No.35 Tahun 2009 sendiri telah disebutkan macam-macam narkotika yang telah diberikan penggolongan. Zat/obat yang dikategorikan sebagai narkotika dalam UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu sebagai berikut41:

1) Narkotika Golongan I (Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan), yang menurut lampiran UU No.35 tahun 2009 terdiri dari:

a) Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya;

b) Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkutan tanpa memperhatikan kadar moprhinnya;

c) Opium masak terdiri dari:

41

AR. Sujon. dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Hal

i. candu, hasil yang diperoleh dari opim mentah melalui suatu rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan, pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan;

ii. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun atau bahan lain;

iii. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing. d) Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari

keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya;

e) Daun Koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon

dari keluarga Erythoxylaceae yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia;

f) Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina;

g) kokaina, metal ester-1-bensoil ekgonina;

h) Tanaman ganja, semua tanaman genus-genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis;

i) Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk stereo kimianya.

2) Narkotika Golongan II (narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengkibatkan ketergantungan), yang menurut lampiran Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 terdiri dari : a) Alfasetilmetadol b) Alfameprodina c) Alfametadol d) Alfaprodina e) Alfentanil f) Allilprodina g) Anileridina h) Asetilmetdol i) Benzetidin j) Benzilmorfina k) Betameprodina l) Betametadol

m) Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas 3) Narkotika Golongan III (narkotika yang berkhasiat pengobatan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan), yang menurut lampiran Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 terdiri dari :

a) Asetildihidrokodeina; b) Dekstropropoksifena; c) Dihidrokodeina; d) Etilmorfina; e) Kodeina; f) Nikodikodina; g) Nikokodina; h) Norkodeina; i) Polkodina; j) Propiram; k) Buprenorfina;

l) Garam-garam dari narkotika dalam golongan tersebut diatas; m) Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan

narkotika;

n) Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika.