RELEVANSI SANKSI PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009) DENGAN TUJUAN
PEMIDANAAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh
TIMBUL TUA MAROJAHAN ARITONANG 090200339
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
RELEVANSI SANKSI PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009) DENGAN TUJUAN
PEMIDANAAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh
TIMBUL TUA MAROJAHAN ARITONANG 090200339
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
DR. M.Hamdan, SH., MH NIP: 195703261986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Syafruddin Kalo S.H.,M.Hum. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum. NIP.195102061980021001 NIP.197404012002121001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAKSI
Prof. Dr. Syafruddin Kalo SH.M.Hum. *
Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum **
Timbul Tua Marojahan Aritonang ***
Skripsi ini berbicara mengenai relevansi pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang penyalahgunaan narkotika dilihat dari sudut pandang tujuan pemidanaan. Undang-Undang narkotika sebagai suatu peraturan yang mengatur mengenai penyalahgunaan narkotika merupakan suatu peraturan hukum yang tergolong dalam hukum pidana, untuk itu asas dan tujuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 ini tentu saja tidak boleh melenceng dari tujuan pemidanaan itu sendiri. Artinya, sanksi-sanksi yang tercantum di dalamnya pun haruslah sesuai dengan tujuan-tujuan pemidanaan yang berlaku di Indonesia, termasuk sanksi pidana mati yang berlaku di dalam Undang-Undang tersebut. Dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana Bagaimana pengaturan hukum mengenai tindak pidana narkotika menurut undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika dan bagaimana relevansi sanksi pidana mati dalam tindak pidana narkotika (Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009) dengan tujuan pemidanaan.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan dan bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
Pengaturan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat dalam BAB XV Ketentuan Pidana yaitu pada pasal 111 sampai dengan pasal 148. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yakni Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, mengadakan, dan mengedarkan Narkotika dengan tidak menaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Adapun tindak pidana yang dapat dijatuhi pidana mati terletak pada pasal 113, 114, 116, 118, 119, 121, 133. Ditinjau dari tujuan pemidanaan, Pidana mati atas tindak pidana narkotika lebih terkait kepada tujuan pemidanaan preventif, hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Narkotika itu sendiri. Bahwa pidana mati dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Sebagaimana juga didukung oleh rancangan KUHP (Baru) yang mana mengkhususkan penerapan Hukuman Mati sebagai alternatif terakhir.
* Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus Juruslamat
karena hanya dengan Kasih-Nya lah penulis memiliki kesehatan, kekuatan dan
kemampuan untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sudah menjadi kewajiban dari setiap mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara untuk dapat menyelesaikan suatu karya ilmiah sebagai
syarat dalam menyelesaikan studi untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berjudul “RELEVANSI SANKSI PIDANA MATI DALAM
TINDAK PIDANA NARKOTIKA (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009) DENGAN
TUJUAN PEMIDANAAN”.
Pada penyajiannya, penulis menyadari terdapat berbagai kekurangan dan
kesalahan, yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan ilmiah yang dimiliki
oleh penulis. Oleh sebab itulah penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun untuk kesempurnaan dari karya ilmiah ini.
Mulai perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah
mendapatkan banyak bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih sebanyak banyaknya
kepada pihak-pihak antara lain sebagai berikut :
1. Kepada Wanita terbaik di dunia, Ibuku yang tersayang Ir. Lita Rolinda
karena atas kesabaran dan dorongan mereka penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini serta atas perjuangan orang tua penulis dalam
membiayai dan membesarkan penulis maka penulis dapat berkuliah di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehingga penulis sampai
kepada tahap penyelesaian penulisan skripsi ini.
2. Kepada Namboru Hebron yang dengan sabar membantu kehidupan penulis
di perantauan.
3. Kepada adik-adikku, Sintong Mula Panangian Aritonang, Andrico Trumen
Aritonang, dan yang teristimewa adikku yang paling kecil Gilbert Jeconiah
Aritonang yang memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
4. Kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Bapak Prof.
Dr. Runtung, SH, M. Hum, beserta seluruh staf-stafnya.
5. Kepada yang terhormat Bapak Pembimbing Dosen I Prof.Dr. Syafruddin
Kalo, S.H., M. Hum dan Bapak Pembimbing Dosen II Dr. Mahmud
Mulyadi, S.H.,M.Hum, penulis berterimakasih yang sebesar-besarnya atas
bimbingan, ilmu-ilmu yang selama ini diberikan kepada penulis yang
penulis yakin akan berguna di dalam menjalankan kehidupan sekarang,
esok dan seterusnya.
6. Kepada Bapak Dr. M. Hamdan SH. M. H. selaku Ketua Departemen
Hukum Pidana dan Ibu Liza Erwina SH. M. Hum selaku Sekretaris
Departemen Hukum Pidana, yang telah memberikan kesempatan bagi
7. Kepada seluruh staf pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, yang telah memberikan serta mengajarkan segala ilmu pengetahuan
kepada penulis selama penulis menyelesaikan studinya.
8. Kepada Keluarga besarku, keluarga besar Aritonang, Keluarga besar
Nainggolan, dan Keluarga Besar Panggabean yang tidak dapat disebutkan
satu persatu, terima kasih atas semangat kalian semua kepada penulis.
9. Kepada seseorang yang tercinta dan yang spesial di hati penulis, Victoria
yang tidak habis-habisnya memberi semangat dan membantu penulis
dalam menyelesaikan penulisannya.
10.Kepada Sari Mariska Siregar, S.H. teman seangkatanku dan sebagai
kontributor terbesar dalam membantu penulisan skripsi ini. Terimakasih
yang sedalam-dalamnya Sari.
11.Kepada Sahabat sekaligus teman dekat penulis yang sudah penulis anggap
sebagai saudara sendiri yaitu teman-teman perkumpulan AAYD, Mario
Tondi Natio Simamora abang nomor satu, Enriko Abianto Lumban Tobing
adek nomor 3, Abang Ketua Tommy Elvani Siregar, Putra Ananta Silalahi
yang tak terbantahkan, Agung Setiadi sebagai penyedia angkutan, Awlia
Sofwan Lubis yang tampan, Adri Hariadi yang ceria, Iswanda Abdul Illah
Situmorang yang lucu dan Irvan Deriza mantan teman sekamar, serta
teman-teman GG, Sophie Khanda Aulia Brahmana yang labil, Lailan
Hafni Harahap sang sahabat nomor satu, Sella Sartika yang gemar
jalan-jalan, Seviola Islaini yang penyabar, Sitiara Manik yang kecil, Meilisa
yang doyan komik, Erika yang dahinya lebar, Yuthi Sinari yang sangat
pintar, Jennifer yang tomboy dan Vilany Lafiza tempat curhat, karena atas
bantuan motivasi dan dorongan yang telah kalian berikan maka penulis
dapat menyelesaikan tulisan ini, semoga Persahabatan kita sampai selama
– lamanya.
12.Dan kepada teman - teman mahasiswa baik teman satu angkatan dan
junior seluruhnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu namanya
serta senior yang telah banyak memberikan arahan-arahan serta semangat
kepada saya.
Semoga Kasih dari Tuhanku Yesus Kristus senantiasa mengalir kepada
kita semua yang telah disebutkan diatas maupun pihak – pihak yang tidak
disebutkan di atas. Saya menyadari skripsi ini masih sangat jauh dari bentuk
sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik yang akan
diajukan yang mana kritik tersebut akan membuat saya menjadi lebih baik,
semoga penulisan ini dapat bermanfaat baik buat penulis dan menjadi ilmu yang
berguna bagi masyarakat.
Medan, 17 April
DAFTAR ISI
Abstraksi ...………..… i
Kata Pengantar ...…… ii
Daftar Isi ...…………...…… vi
Daftar Tabel……….…... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Pendahuluan……….………... 1
B. Perumusan Masalah……….………... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………...….…..………....… 11
D. Keaslian Penulisan……….………....………....… 12
E. Tinjauan Kepustakaan………...……... 13
1. Pengertian Hukum Pidana……….……… 13
2. Pengertian Pidana Mati …... 20
3. Pengertian Tindak Pidana ……... 22
4. Tujuan Pemidanaan ……….. 25
5. Narkotika ………. 29
F. Metode Penelitian………..……... 35
G. Sistematika Penulisan………... 37
B. Perbuatan-Perbuatan Pidana di Dalam Ketentuan Pidana
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009... 45
C. Unsur – Unsur Tindak Pidana Narkotika yang dapat dikenakan
Pidana Mati berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009………. 54
BAB III RELEVANSI SANKSI PIDANA MATI DALAM
UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 DITINJAU DARI TUJUAN
PEMIDANAAN.
A. Tujuan dan Fungsi Pemidanaan………...…….. 71
B. Pidana Mati dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Penyalahgunaan Narkotika ditinjau dari Tujuan Pemidanaan………….. 81
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan………..……... 93
B. Saran………..…….. 94
ABSTRAKSI
Prof. Dr. Syafruddin Kalo SH.M.Hum. *
Dr. Mahmud Mulyadi, S.H.,M.Hum **
Timbul Tua Marojahan Aritonang ***
Skripsi ini berbicara mengenai relevansi pidana mati dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang penyalahgunaan narkotika dilihat dari sudut pandang tujuan pemidanaan. Undang-Undang narkotika sebagai suatu peraturan yang mengatur mengenai penyalahgunaan narkotika merupakan suatu peraturan hukum yang tergolong dalam hukum pidana, untuk itu asas dan tujuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 ini tentu saja tidak boleh melenceng dari tujuan pemidanaan itu sendiri. Artinya, sanksi-sanksi yang tercantum di dalamnya pun haruslah sesuai dengan tujuan-tujuan pemidanaan yang berlaku di Indonesia, termasuk sanksi pidana mati yang berlaku di dalam Undang-Undang tersebut. Dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana Bagaimana pengaturan hukum mengenai tindak pidana narkotika menurut undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika dan bagaimana relevansi sanksi pidana mati dalam tindak pidana narkotika (Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009) dengan tujuan pemidanaan.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan dan bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
Pengaturan hukum yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat dalam BAB XV Ketentuan Pidana yaitu pada pasal 111 sampai dengan pasal 148. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yakni Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan, mengadakan, dan mengedarkan Narkotika dengan tidak menaati ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Adapun tindak pidana yang dapat dijatuhi pidana mati terletak pada pasal 113, 114, 116, 118, 119, 121, 133. Ditinjau dari tujuan pemidanaan, Pidana mati atas tindak pidana narkotika lebih terkait kepada tujuan pemidanaan preventif, hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Narkotika itu sendiri. Bahwa pidana mati dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Sebagaimana juga didukung oleh rancangan KUHP (Baru) yang mana mengkhususkan penerapan Hukuman Mati sebagai alternatif terakhir.
* Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Arus globalisasi yang terjadi pada saat ini membawa banyak sekali
perubahan-perubahan yang signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan
manusia. Dampak positif yang dibawa oleh arus globalisasi banyak yang sangat
bermanfaat dan sangat membantu dalam kehidupan manusia. Namun, arus
globalisasi juga tidak jarang membawa dampak-dampak negatif yang signifikan.
Aspek kehidupan seperti aspek social, budaya, agama, politik, ekonomi,
pendidikan, dan ilmu teknologi tak ayal terserang dampak negatif yang
sedemikian besar. Dampak-dampak negatif tersebut memerlukan adanya payung
hukum yang menanggulanginya.
Hukum Pidana merupakan salah satu bagian dari payung hukum tersebut.
Pada umumnya Hukum Pidana itu sendiri tidak berbeda dengan hukum-hukum
lainnya yang mana memiliki ketentuan-ketentuan yang menjamin agar
norma-norma hukum ditaati oleh masyarakat dengan tujuan untuk menciptakan suatu
keserasian, ketertiban, kepastian hukum, dan lainnya dalam pergaulan
masyarakat1, namun Hukum Pidana memiliki sifat khusus yang membedakannya
dari hukum yang lain pada umumnya. Sifat khusus hukum pidana yang
membedakan dengan hukum lainnya itu adalah dilihat dari segi sanksinya.
1 “Hukum” diakses dari http://zakkiadlhiyati.blogspot.com/2010/06/hukum.html, pada
Mendengar kata “Hukum” maka yang terlintas dalam benak setiap orang
adalah sesuatu yang mengikat perilaku seseorang di dalam masyarakat. Di mana
di dalamnya terdapat ketentuan tentang apa yang harus dan apa yang tidak boleh
di lakukan, serta akibatnya. Pengertian yang pertama di atas disebut sebagai
norma sedangkan akibatnya disebut sebagai sanksi. Sanksi bentuknya dapat
bermacam-macam dari dipaksa diambil hartanya karena harus membayar denda,
dirampas kebebasannya karena dipidana kurungan atau penjara, bahkan dapat pula
dirampas nyawanya, jika diputuskan dijatuhi pidana mati2.
Pidana mati memberi kesan tersendiri kepada setiap orang yang
mendengar. Banyak opini yang terlintas dalam pikiran masyarakat luas bahwa
hukuman mati adalah sepantasnya dijatuhkan bagi terpidana yang melakukan
kejahatan-kejahatan yang berat. Hukuman mati merupakan sanksi pidana tertua
yang pernah ada sejak adanya peradaban manusia, oleh karenanya bukanlah hal
yang perlu dipertentangkan, namum penjatuhan pidana mati mulai banyak
menimbulkan kontroversi seiring berkembangnya pola pikir masyarakat.
Keabsahan hukuman mati terus dipertanyakan di masa modern ini. Banyak
perdebatan para ahli yang mulai meragukan hak suatu Negara untuk menjatuhan
pidana mati kepada seseorang. Keraguan tersebut terkait dengan pandangan
Hukum Kodrat yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat
pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurangi
2
derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun
termasuk oleh negara, atas nama hukum atau dalam situasi darurat3.
Hermien Hadiati Koeswadji4 mengemukakan beberapa pendapat dari
golongan yang setuju (pro) dan tidak setuju (kontra) terhadap pidana mati yang
didasarkan pada alasannya masing-masing, yaitu
Alasan golongan yang setuju (pro) terhadap pidana mati:
a. Pidana mati dijatuhkan hanya dalam hal apabila betul-betul kepentingan umum
terancam (seperti kejahatan terhadap keamanan negara, pemberontakan, dan
sebagainya.).
b. Pidana mati hanya dapat dijatuhkan apabila hakim benar-benar yakin dan
kesalahan terdakwa dapat dibuktikan selengkap-lengkapnya.
c. Pidana mati harus diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lain,
artinya tidak dijatuhkan semata-mata, sehingga dengan demikian hakim dapat
memilih mana yang menurut keyakinannya lebih sesuai dengan kesalahan
terdakwa yang dapat dibuktikan.
Sedangkan alasan golongan yang tidak setuju (kontra) dengan pidana mati
adalah:
a. Golongan ini berkeberatan untuk mempertahankan lembaga pidana mati,
berhubung dengan sifatnya yang mutlak yang tidak mungkin untuk ditarik
3 Makaarim “
Beberapa Pandangan Tentang Hukuman Mati (Death Penalty) dan Relevansinya dengan Perdebatan Hukum di Indonesia”, diakses dari http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukuman-mati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia, pada tanggal 26/1/2014 (14.03)
4
kembali (onherroepelijk), sehingga apabila hukuman mati telah dilaksanakan,
tidak mungkin lagi untuk diubah atau diperbaiki.
b. Alasan kedua yang lazim dikenal sebagai rechterlijke dwalling (kesesatan
hakim). Golongan ini berpendapat bahwa hakim juga hanyalah manusia biasa
yang tidak luput dari kesalahan. Bila pidana mati ini sudah dilaksanakan,
apalah artinya jika kemudian terbukti terpidana tidak berdosa, padahal
orangnya telah mati.
c. Alasan yang ketiga adalah bahwa dengan dilaksanakannya pidana mati itu
sangat bertentangan dengan prikemanusiaan. Golongan sarjana ini berpendapat
bahwa negara adalah pelindung yang utama terhadap semua kepentingan
hukum dari manusia yang berupa: hidup, kemerdekaan, harta benda, keamanan,
dan kehormatan.
d. Bahwa pidana mati juga bertentangan dengan moral dan etika.
e. Mengingat akan tujuan pemidanaan, maka pidana itu:
1) Bagi orang yang sudah dijatuhkan pidana tidak dapat lagi kembali ke
tengah-tengah masyarakat untuk memperbaiki kelakuannya. Dengan
demikian maka tujuan pemidanaan untuk memperbaiki diri penjahat tidak
dapat tercapai.
2) Pelaksanaan pidana mati biasanya tidak dilakukan dihadapan umum,
sehingga demikian tidak mungkin disaksikan oleh orang banyak. Dengan
demikian bahwa pengaruh dari pada generale preventive yaitu agar semua
f. Pada umumnya terhadap orang yang dijatuhi pidana mati menimbulkan
perasaan belas kasihan dari orang lain dan masyarakat.
Gerakan menghapus praktek pidana mati di beberapa negara sudah mulai
di lakukan. Terbukti permasalahan hukuman mati sering diangkat sebagai salah
satu isu yang paling controversial, yaitu dalam International Covenant on Civil
and Political Rights (Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik) yang mana
telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Meski hak hidup diakui sebagai
non-derogable rights (hak yang tidak dapat dikurang-kurangi) , pada Pasal 6 (ayat 2, 4,
dan 5) secara tekstual dinyatakan bahwa hukuman mati masih ditolerir.
Bertentangan dengan pasal tersebut kembali ditegaskan adanya semangat
Kovenan ini untuk secara bertahap dan progresif menghapuskan praktek hukuman
mati. PBB juga mengeluarkan sebuah panduan berjudul Safeguards Guaranteeing
Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty melalui Resolusi
Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984, yang menjelaskan
bahwa bagi negara yg belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya
terbatas bagi „kejahatan paling serius, yang kategorinya harus sesuai dengan
tingkat konsekuensi yang sangat keji5.
Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang masih
mempertahankan praktek pidana mati. Secara yuridis hal ini diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 10 yang menyebutkan bahwa
hukuman mati merupakan salah satu dari sanksi pidana pokok yang berlaku di
Indonesia. Dalam naskah rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (baru)
5
pasal 63 menyatakan bahwa pidana mati merupakan pidana yang bersifat khusus
atau istimewa.
Pidana mati di Indonesia ini juga pada praktiknya tidak terlepas dengan
tujuan pemidanaan yang ada. Pidana ini pada hakekatnya merupakan suatu
nestapa, namun pemidanaannya tidak bertujuan pembalasan dengan menderitakan
dan merendahkan martabat manusia tetapi sebagai senjata pamungkas (jalan
terakhir) atau di dalam naskah Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(Baru) disebut sebagai pidana yana Bersifat Khusus (Pasal 63)6. Dalam RKUHP
Baru, pidana mati dapat ditunda pelaksanaannya dengan masa percobaan 10
(sepuluh) tahun. Apabila dalam masa percobaan itu terpidana menunjukan
sikap/tindakan yang terpuji, maka pidana mati itu dapat diubah menjadi pidana
penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun (pasal 80 Konsep KUHP Baru edisi
1993). Manakala pidana mati sudah dijatuhkan dan permohonan grasi ditolak,
tetapi eksekusi pidana mati itu belum juga dilaksanakan dalam kurun waktu 10
(sepuluh) tahun, maka pidana mati itu dapat diubah menjadi pidana penjara
seumur hidup (pasal 81)7. Jaminan perlindungan terhadap terpidana mati menurut
konsep RKUHP Baru dituangkan dalam kebijakan sebagai berikut8:
a. Pidana mati tidak dimasukan sebagai pidana pokok, tetapi sebagai
pidana yang bersifat khusus (eksepsional) dan hanya demi
pengayoman masyarakat;
6 Robin Reagan Sihombing: “
Tinjauan Tentang Pidana Mati Dalam KUHP Dan Hubungannya Dengan Tujuan Pemidanaan”, Medan: USU e-Repository, 2005.
7
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti,2001 hal 54
8
b. Pidana mati tidak dapat dijatuhkan kepada anak di bawah 18 (delapan
belas) tahun;
c. Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil ditunda sampai wanita
itu melahirkan;
d. Pidana mati baru dilaksanakan setelah ada persetujuan presiden atau
penolakan grasi dari presiden;
e. Ada ketentuan pidana mati bersyarat.
Berangkat dari wacana di atas , salah satu delik yang dapat dijatuhi sanksi
pidana mati yang menjadi pokok bahasan nantinya adalah penyalahgunaan
narkotika. Narkotika mengingatkan kita pada banyak kejadian mengerikan yang
diakibatkan oleh penyalahgunaannya, sehingga menyebabkan masyarakat sering
kali mengidentikan narkotika sebagai sesuatu yang sangat terlarang.
Pada awalnya, Narkotika digunakan untuk keperluan medis. Sejak zaman
dahulu, narkotika dipakai sebagai penghilang rasa sakit dalam tindakan-tindakan
medis tertentu, terutama bagi pasien yang membutuhkan tindakan pembedahan.
Seiring berkembangnya teknologi, narkotika mulai disalahgunakan pemakaiannya
sebagai pemberi rasa kenikmatan sesaat dengan dosis yang berlebihan dan dapat
membuat ketergantungan/kecanduan bagi sang pemakai9.
Sifat narkotika yang dapat membuat ketergantungan bagi pemakainya
inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab
untuk meraup keuntungan. Sang korban Bukan hanya menderita kerugian materiil
9 Jimmy “
karena rela mengorbankan hartanya demi memuaskan ketergantungannya, namun
juga tak jarang hingga kehilangan nyawanya akibat pemakian obat yang melebihi
dosis yang aman (overdosis).
Letak Indonesia yang strategis membuat Indonesia menjadi salah satu jalur
perdagangan gelap narkotika. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi,
Indonesia tidak hanya menjadi daerah transit ataupun pemasaran Narkotika
semata, namun juga menjadi daerah produsen Narkotika itu sendiri. Banyak
ditemukan pabrik-pabrik pembuatan Narkotika baik dalam skala kecil maupun
besar, oleh aparat, seperti yang ditemukan di daerah Tangerang, Bogor, Serang,
Batu Malang, dan Batam. Letak Indonesia yang juga diapit oleh segitiga emas
(Laos, Thailand, dan Myanmar) dan daerah bulan sabit (Iran, Afghanistan, dan
Pakistan) yang merupakan daerah penghasil opium terbesar di dunia menjadikan
Indonesia sebagai lalulintas gelap narkotika.10
Penyalahgunaan Narkotika di kalangan masyarakat luas ini menjadi isyarat
kepada pemerintah untuk memberi perhatian secara khusus dalam menanggulangi
bahaya dari penyalahgunaan narkotika, sebab bahaya yang di timbulkan dapat
mengancam masyarakat khususnya generasi muda yang diharapkan sebagai para
penerus bangsa di masa yang akan datang.
Sebagai wujud sikap proaktif Indonesia mendukung gerakan Internasional
dalam memerangi segala bentuk tindak pidana Narkotika, diterbitkanlah
Undang-Undang nomor 7 tahun 1997 tentang pengesahan (ratifikasi) United Nations
1010
Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances
1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran
Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988). Selain itu terdapat juga Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961
beserta Protokol Tahun 1972 yang mengubahnya, sebagai simbol proaksi
Indonesia mendukung gerakan Internasional dalam memerangi segala bentuk
tindak pidana Narkotika tersebut11 dan di berlakukan pula Undang-Undang No. 22
tahun 1997 yang mengatur tentang segala macam bentuk penyalahgunaan
Narkotika serta sanksi yang di berlakukan terhadap subjek hukum yang terkait,
menggantikan Undang-undang nomor 9 tahun 1976 yang di anggap sudah tidak
sesuai lagi. Namun seiring berkembangnya zaman dan teknologi, Undang-Undang
No. 22 tahun 1997 ini dianggap tidak lagi efektif dalam menanggulangi
tindak-tindak penyalahgunaan narkotika yang telah bersifat transnasional, yang dilakukan
dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih,
didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan
korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, sehingga disahkanlah
Undang-Undang no.35 tahun 2009 menggantikan Undang-Undang-Undang-Undang no 22 tahun 199712.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika ini,
diatur beberapa ketentuan yang membahas tentang etimologi dan terminologi
11.Aziz Syamsuddin, “
Tindak Pidana Khusus” Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Hlm 89
12“Sejarah Hukum Undang
sekitar pengertian dan istilah-istilah yang diatur dalam undang-undang narkotika
tersebut. Ketentuan tentang Dasar, asas, dan Tujuan pengaturan narkotika, yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Undang-Undang ini, diselenggarakan berasaskan keadilan,
pengayoman, kemanusiaan, ketertiban, perlindungan, keamanan, nilai-nilai ilmiah
dan kepastian hukum. Sedangkan tujuan undang-undang narkotika ini sendiri
adalah13:
a. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan,
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan narkotika;
c. Memberantas peredaran gelap narkotika dan precursor narkotika, dan
d. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna
dan pecandu narkotika.
Ketentuan-ketentuan dan sanksi-sanksi yang tercantum di dalam
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 menyuratkan bahwa undang-undang mengenai
narkotika ini merupakan suatu Hukum yang tergolong ke dalam Hukum Pidana.
Untuk itu, asas dan tujuan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 ini tentu saja tidak
boleh melenceng dari tujuan pemidanaan itu sendiri. Artinya, sanksi-sanksi yang
tercantum di dalamnya pun haruslah sesuai dengan tujuan-tujuan pemidanaan
yang berlaku di Indonesia.
13H. Siswanto S., “
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas maka dapat
dirumuskan permasalahan sebagai ruang lingkup pembahasan penulis di dalam
penelitian ini:
1. Bagaimana kebijakan kriminal mengenai tindak pidana dalam
undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika?
2. Bagaimana relevansi sanksi pidana mati dalam tindak pidana narkotika
(Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009) dengan tujuan pemidanaan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai tindak pidana
narkotika menurut undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang
narkotika.
b. Untuk mengetahui relevansi sanksi pidana mati dalam tindak
pidana narkotika (Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009) dengan
tujuan pemidanaan.
2. Manfaat Penulisan
Dari pembahasan skripsi ini, diharapkan memberikan manfaat
baik secara teoritis dan praktis, yaitu:
1) Penulisan ini diharapkan dapat memberikan pemikiran dalam
rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya,
perkembangan Hukum Pidana dan khususnya masalah Pidana
mati dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 mengenai
narkotika dan hubungannya dengan tujuan pemidanaan.
2) Hasil penulisan diharapkan dapat memberikan sumbangan
informasi kepada pendidikan ilmu hukum mengenai Pidana
mati dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 mengenai
narkotika dan hubungannya dengan tujuan pemidanaan.
3) Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran kepada pembuat Undang-Undang dalam menetapkan
kebijaksanaan lebih lanjut terhadap hukum Pidana Mati,
terkhusus dalam tindak pidana Narkotika.
b. Praktis
1) Penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
praktisi, civitas akademika dan pihak pemerintah Indonesia
sendiri dalam upaya mengantisipasi terjadinya kejahatan
penyalahgunaan Narkotika khususnya yang dapat dijatuhi
pidana mati.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “Relevansi Sanksi Pidana Mati Dalam Tindak
Pidana Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009) Dengan Tujuan
Utara dan pencarian pada world wide web serta sepengetahuan tentang
permasalahan yang menjadi penelitian skripsi ini belum pernah mendapati dan
melihat kesamaan masalah pada penulisan skripsi ini dengan skripsi yang sudah
ada terdahulu sehingga penulis ingin dan berani membuat judul di atas dan
permasalahannya sebagai judul dan bahan dalam skripsi ini.
E. Tinjauan Kepustakaan.
6. Pengertian Hukum Pidana
Beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai
Hukum Pidana, antara lain sebagai berikut14:
a. Pompey, menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah keseluruhan
aturan ketentuan hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang
dapat dihukum dan aturan pidananya.
b. Apeldoorn, menyatakan bahwa Hukum Pidana dibedakan dan
diberikan arti:
1) Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap yang
bertentangan dengan hukum pidana positif, sehingga bersifat
melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum dengan
ancaman pidana atas pelanggarannya.
2) Bagian subjektif merupakan kesalahan yang menunjuk
kepada pelaku untuk dipertanggungjawabkan menurut
hukum.
14
Hukum pidana formal yang mengatur cara bagaimana hukum
pidana materiil dapat ditegakkan.
c. D. Hazewinkel-Suringa, dalam bukunya membagi hukum pidana
dalam arti:
1) Objektif (ius poenale), yang meliputi:
a) Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam
dengan sanksi pidana oleh badan yang berhak
b) Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat
digunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan
Hukum Pentiensier.
2) Subjektif (ius puniendi), yaitu:
Hak negara menurut hukum untuk menuntut pelanggaran
delik dan untuk menjatuhkan serta melaksanakan pidana.
d. VOS, menyatakan bahwa Hukum Pidana diberikan dalam arti
bekerjanya sebagai15:
1) Peraturan hukum objektif (ius poenale) yang dibagi menjadi:
a) Hukum Pidana materiil yaitu peraturan tentang
syarat-syarat bilamana, siapa dan bagaimana sesuatu dapat
dipidana.
b) Hukum Pidana formal yaitu hukum acara pidana.
2) Hukum subjektif (ius punaenandi), yaitu meliputi hukum
yang memberikan kekuasaan untuk menetapkan ancaman
15
pidana, menetapkan putusan dan melaksanakan pidana yang
hanya dibebankan kepada negara atau pejabat yang ditunjuk
untuk itu.
3) Hukum pidana umum (algemene strafrecht), yaitu dalam
bentuknya sebagai ius special seperti hukum pidana militer,
dan sebagai ius singular seperti hukum pidana fiscal.
e. Algra Janssen, mengatakan bahwa hukum pidana adalah alat
yang dipergunakan oleh seorang penguasa (hakim) untuk
memperingati mereka yang telah melakukan suatu perbuatan
yang tidak dibenarkan, reaksi dari penguasa tersebut mencabut
kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati
oleh terpidana atas nyawa, kebebasan, dan harta kekayaannya,
yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana.
Beberapa pendapat pakar Hukum Indonesia mengenai Hukum
Pidana, antara lain sebagai berikut16:
a. Moeljatno mengatakan bahwa Hukum Pidana adalah bagian
daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
1) Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
16
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka
yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan
atau dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut. (Poernomo, 1985: 19-22)
b. Satochid Kartanegara, bahwa Hukum Pidana dapat dipandang
dari beberapa sudut, yaitu:
1) Hukum Pidana dalam arti objektif, yaitu sejumlah peraturan
yang mengandung larangan-larangan atau
keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan
hukuman.
2) Hukum Pidana dalam arti subjektif, yaitu sejumlah peraturan
yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang
melakukan perbuatan yang dilarang.
c. Soedarto, mengatakan bahwa hukum pidana merupakan sistem
sanksi yang negatif, ia diterapkan, jika sarana lain sudah tidak
memadai, maka hukum pidana dapat dikatakan mempunyai
fungsi, yang subsider. Pidana termasuk juga tindakan
(maatregelen), bagaimanapun juga merupakan suatu penderitaan,
sesuatu yang dirasakan tidak enak oleh orang lain yang dikenai,
oleh karena itu, hakikat dan tujuan pidana dan pemidanaan, untuk
d. Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Pidana adalah bagian dari
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk17:
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau
sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.
2) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang
telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau
dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu
dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah
melanggar ketentuan tersebut.
e. Roeslan Saleh, mengatakan bahwa setiap perbuatan yang oleh
masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak boleh atau
tidak dapat dilakukan sehingga perlu adanya penekanan pada
perasaan hukum masyarakat. Oleh karena itu, sesuatu perbuatan
pidana berarti perbuatan yang menghambat atau bertentangan
dengan tercapainya tatanan dalam pergaulan yang dicita-citakan
masyarakat. Sehingga isi pokok dari definisi Hukum Pidana itu
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Hukum Pidana sebagai hukum positif.
17
2) Substansi Hukum Pidana adalah hukum yang menentukan
tentang perbuatan pidana dan menentukan tentang kesalahan
bagi pelakunya.
f. Bambang Poernomo, menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah
hukum sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum
pidana yang membedakan dengan lapangan hukum yang lain,
yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma
sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang lain,
dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya
norma-norma diluar hukum pidana. Secara tradisional definisi hukum
pidana dianggap benar sebelum hukum pidana berkembang
dengan pesat.
Berdasarkan pendapat ahli dan pakar hukum di atas, Teguh
Prasetyo dalam bukunya18 membuat kesimpulan, dan menyatakan
Hukum Pidana adalah sekumpulan peraturan hukum yang dibuat oleh
negara, yang isinya berupa larangan maupun keharusan, sedang bagi
pelanggar terhadap larangan dan keharusan tersebut dikenakan sanksi
yang dapat dipaksakan oleh negara.
Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum public yang berisi
ketentuan tentang:
a. Aturan hukum pidana dan larangan melakukan
perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai dengan ancaman berupa sanksi
18
pidana bagi yang melanggar larangan itu. Aturan umum hukum
pidana dapat dilihat dalam KUHP maupun yang lainnya.
b. Syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi bagi si pelanggar
untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana. Berisi tentang:
1) Kesalahan/schuld
2) Pertanggungjawaban pidana pada diri si
pembuat/toerekeningsvadbaarheid. Dalam Hukum pidana
dikenal asas geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa
kesalahan), artinya seseorang dapat dipidana apabila
perbuatannya nyata melanggar larangan hukum pidana. Hal
ini diatur pada Pasal 44 KUHP tentang tidak mampu
bertanggung jawab bagi si pembuat atas perbuatannya, dan
Pasal 48 KUHP tentang tidak dipidananya si pembuat karena
dalam keadaan daya paksa (overmacht), kedua keadaan ini
termasuk dalam “alasan penghapus pidana”, merupakan
sebagian dari bab II buku II KUHP.
c. Tindakan dan upaya yang harus dilakukan negara melalui aparat
hukum terhadap tersangka/terdakwa sebagai pelanggar hukum
pidana dalam rangka menentukan menjatuhkan dan
melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya serta upaya-upaya
yang dapat dilakukan oleh tersangka/terdakwa dalam usaha
mempertahankan hak-haknya. Dikatakan sebagai hukum pidana
negara harus berbuat dalam rangka menegakkan hukum pidana
dalam arti diam (materiil) sebagaimana dilihat pada angka 1 dan
2 di atas.
7. Pengertian Pidana Mati
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya
dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang dikenakan
kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak
pidana19. Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief,
istilah hukuman yang berasal dari kata straf, merupakan istilah yang
konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional,
yaitu pidana20.
Pengertian Pidana menurut doktrin dapat diketahui dari pendapat
para ahli yang dapat dikemukakan, antara lain:21
a. van Hamel:
Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan
oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas
nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum
umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang
tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus
ditegakkan negara. 22
b. Simons:
19
Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Pemidanaan, Medan: USU press, 2011. hal.2
20
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2005, hal.1
21
Abul Khair dan Mohammad Ekaputra, Op.Cit., hlm. 4
22
“Het leed door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de
norm verbonden, data an den schuldige bij rechterlijk vonnis
wordt opgelegd.” yang dapat diartikan sebagai berikut:
Suatu penderitaan yang oleh Undang-Undang pidana telah
dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang
dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang
yang bersalah. 23
c. Sudarto:
Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada
orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu. 24
d. Roeslan Saleh:
Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa
yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.25
e. Ted Honderich:
“Punishment is an authority’s infliction of penalty (something
involving deprivation or distress) on an offender for an offence.”,
yang dapat diartikan sebagai berikut:
Pidana adalah suatu penderitaan dari pihak yang berwenang
sebagai hukuman (Sesuatu yang meliputi pencabutan dan
23
Ibid., hal.35
24
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hal. 2
25
penderitaan) yang dikenakan kepada seorang pelaku karena
sebuah pelanggaran.26
Dari beberapa definisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana
mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut27:
3) Pada Hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
4) Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
5) Dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang-Undang (Hukum Pidana).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pidana mati merupakan pidana (reaksi atas delik atau nestapa) berupa
kematian yang dikenakan kepada orang yang telah melakukan tindak
pidana atau pembuat delik. Kata “kematian” yang dimaksud berasal
dari kata dasar “mati” yang berarti tidak bernyawa atau hilangnya
nyawa (tidak hidup lagi)
8. Pengertian Tindak Pidana
Istilah “peristiwa pidana” atau “tindak pidana” adalah sebagai
terjemahan dari Bahasa Belanda “Strafbaar feit” atau “Delict”. Dalam
bahasa Indonesia di samping istilah “peristiwa pidana” untuk
terjemahan “Strafbaar” atau “delict” itu (sebagaimana yang dipakai
26
Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005, hal. 18
27
oleh Mr. R. Tresna dan E. Utrecht) dikenal pula beberapa terjemahan
yang lain, seperti28:
a. Tindak pidana (antara lain dalam Undang-Undang tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi);
b. Peristiwa pidana (Prof. Mulyatmo, dalam pidato Dies Natalis
Universitas Gajah Mada VI pada tahun 1955 di Yogyakarta);
c. Pelanggaran Pidana (Mr. M.H. Tirtaamidjaya, Pokok-Pokok
Hukum Pidana, Penerbit Fasco, Jakarta, 1955);
d. Perbuatan yang boleh dihukum (Mr.Karni, Ringkasan tentang
Hukum Pidana, Penerbitan Balai Buku, Jakarta, 1959);
e. Perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang No.12/Drt
Tahun 1951, pasal 3, tentang Mengubah Ordonnantie Tijdelijk
Bijzondere Strafberpalingen).
Sebuah pidana diberikan kepada orang yang telah melakukan
suatu perbuatan pidana, tindakan pidana atau delik pidana. Seperti
yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Meljatno29,
yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istlah
beliau yakni perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Bambang
Poernomo, berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana
28
C. S. T. Kansil , Engelien R. Palendeng,, dan Altje Agustin Musa, Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009. Hal. 1
29
akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut; Bahwa perbuatan
pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana
dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa yang melanggar
larangan tersebut.
Suatu tindak pidana baru dapat disebut suatu perbuatan pidana
jika telah memenuhi beberapa unsur, baik unsur subjektif maupun
unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada
diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan
termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam
hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan, yaitu di dalam
keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan30.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);
2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging
seperti yang dimaksud dalam pasal 53 ayat 1 KUHP;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat
misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasaan, pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti
yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal
340 KUHP;
30
5. Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak
pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-Unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1. Sifat melanggar hukum atau wederrechterlijkheid;
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang
pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415
KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu
Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398n
KUHP.
3. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai
penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Seorang ahli hukum yakni Simons merumuskan tindak pidana
sebagai berikut31:
1. Diancam dengan pidana oleh Hukum
2. Bertentangan dengan Hukum
3. Dilakukan oleh orang yang bersalah
4. Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
9. Tujuan Pemidanaan
Andi Hamzah dan A. Simangelipu menyatakan, bahwa
pertanyaan yang berabad-abad belum terjawab adalah apakah
sebenarnya tujuan penjatuhan pidana (pemidanaan) itu? Dari sekian
banyak jawaban, belum ada yang memuaskan semua pihak. Ada yang
31
memberikan jawaban untuk memperbaiki si penjahat. Apabila memang
hanya bertujuan untuk itu, maka tidaklah sesuai bagi penjatuhan
pidana mati dan pidana seumur hidup. Oleh karena itu tindakan
memasukan seorang anak yang melakukan kejahatan ke dalam
pendidikan anak nakal merupakan contoh yang sesuai untuk disebut
sebagai bertujuan untuk memperbaiki penjahat. Tujuan untuk
memperbaiki penjahat menjadi warga negara yang baik, sesuai jika
terpidana masih ada harapan untuk diperbaiki, terutama pelaku
delik-deik tanpa korban (victimless crime). Namun untuk kejahatan yang
sangat menyinggung asas-asas kemanusiaan, maka sulit untuk
menghilangkan sifat penjeraan (deterent) ataupun sifat pembalasan
(revenge) pidana yang akan dijatuhkan.32
Menurut P.A.F. Lamintang pada dasarnya terdapat tiga pokok
pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan,
yaitu sebagai berikut
1. untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri;
2. untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan
kejahatan-kejahatan;
3. untuk membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu
untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni
32
penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat
diperbaiki lagi.33
Dari beberapa Literatur dapat kita lihat bahwa ada beberapa
tujuan pemidanaan sebagai berikut:
1. Pembalasan (Retribution) maksudnya bahwa tujuan pemidanaan
adalah hanya pembalasan terhadap terpidana yang melakukan
tindak pidana. Terpidana yang melakukan suatu tindak pidana
wajib menerima penderitaan atau nestapa yang setimpal dengan
perbuatannya. Apabila seseorang melakukan pembunuhan maka
pidana yang setimpal dengan perbuatannya adalah dibunuh,
nyawa ganti nyawa dan gigi ganti gigi. Tujuan pemidanaan
pembalasan ini merupakan yang tertua yang diperkirakan sudah
ada sejak adanya manusia. 34
2. Prevensi (Pencegahan) atau Utility (Manfaat) maksudnya bahwa
tujuan pemidanaan diusahakan bermanfaat atau member
perlindungan bagi terpidana (prevensi special) maupun
masyarakat (prevensi general). Jadi dalam tujuan prevensi ini,
untuk mencegah kejahatan dikenal istilah prevensi umum/general
dan prevensi khusus/special.
a) Prevensi umum/general yaitu untuk
menakut-nakuti/mencegah anggota masyarakat atau mereka yang
33
P.A.F Lamintang, Op.Cit., Hal.11.
34
secara potensial melakukan tindak pidana supaya tidak
melakukan tindak pidana.35
b) Prevensi khusus/special yaitu untuk mencegah terpidana
agar jangan mengulangi lagi tindak pidana atau mencegah
kejahatan dalam arti perbaikan atau merehabilitasi terpidana.
Menurut Marry & Negley 36 bahwa tujuan penghukuman (pemidanaan) adalah mencegah seseorang melakukan kejahatan (tindak pidana) dan bukan merupakan pembalasan dendam dari masyarakat. Bukan kekerasan, akan tetapi kepastian dan ketepatan dalam penjatuhan hukumanlah yang dapat menjamin hasil yang baik.
Lembaga pemenjaraan, pertama kali diadakan atau didirkan agar
pelaku jera. penutupan terpidana dalam kamar sel yang suram,
terpidana dipaksa bekerja dengan fasilitas hidup yang relatif kurang
memadai diharapkan terpidana tidak lagi melakukan tindak pidana dan
suatu upaya untuk member perlindungan terhadap masyarakat.
Asas Legalitas pertama kali dikemukakan oleh Von Feurbach
juga bertujuan untuk menakut-nakuti psikologis seseorang. Jika
seseorang mengetahui bahwa ia akan mendapatkan suatu pidana
apabila ia melakukan suatu tindak pidana yang telah diatur oleh
Undang-Undang, maka ia akan berpikir dua kali untuk melakukan
suatu tindak pidana.
35
Ibid.
36
Tujuan pemidanaan prevensi khusus ini termasuk memperbaiki
atau merehabilitasi terpidana agar menjadi seseorang yang baik dan
berguna bagi masyarakat. Pemidanaan harus diusahakan dapat
merubah sikap dan pandangan terpidana sehingga tidak lagi melakukan
tindak pidana pada masa yang akan datang, sehingga masyarakat pun
akan mendapatkan manfaatnya apabila sang terpidana menjadi pribadi
yang baik.37 Dewasa ini lembaga pemenjaraan telah berubah fungsi
menjadi tempat merehabilitasi, memperbaiki, meresosialisasi,
mengintegrasi dan membina terpidana. Terpidana diharapkan tidak lagi
melakukan tindak pidana setelah dipidana bahkan menjadi orang yang
berguna bagi masyarakat dan Negara.
10.Narkotika
Masyarakat luas mengenal istilah Narkotika yang kini telah
menjadi fenomena berbahaya yang populer di tengah masyarakat
kita. Ada pula istilah lain yang kadang digunakan adalah Narkoba
(Narkotika dan Obat-Obatan berbahaya) sedangkan oleh Departemen
Kesehatan RI menyebutnya sebagai NAPZA (Narkotika Psikotropika
dan obat-obatan lainnya. Dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 35
tahun 2009 maka beberapa pengaturan mengenai psikotropika dilebur
ke dalam perundang-undangan yang baru.
a. Definisi Narkotika
37
Secara Etimologi Narkotika berasal dari kata “Narkoties”, yang
sama artinya dengan narcocis yang berarti membius.
Sifat zat tersebut terutama berpengaruh pada otak sehingga
menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, pikiran, persepsi,
kesadaran, halusinasi, di samping dapat digunakan untuk pembiusan.
Di Malaysia benda berbahaya ini disebut dengan dadah. Dulu di
Indonesia dikenal dengan sebutan madat.
Menurut Sudarto Perkataan Narkotika berasal dari bahasa Yunani
“Narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Dalam
Encyclopedia Amerikana dapat dijumpai pengertian “narcotic” sebagai
“a drug that dulls the senses, relieves pain induces sleep an can
produce addiction in varying degrees” sedang “drug” diartikan
sebagai: Chemical agen that is used therapeuthically to treat
disease/Morebroadly, a drug maybe delined as any chemical agen
attecis living protoplasm: jadi narkotika merupakan suatu bahan yang
menumbuhkan rasa menghilangkan rasa nyeri dan sebagainya38.
Dalam buku narkotika Masalah dan Bahayanya, M. Ridha
Ma‟roef (1976: 14-15) mengutip beberapa pendapat Smith Kline dan
French Clinical Staff dan Biro dan Bea Cukai Amerika Serikat
menyangkut pengertian narkotika.
38
Menurut Smith Kline dan French Clinical Staff (1968) 39
membuat definisi sebagai berikut:
“Narcotics are drugs which produce insensibility or stupor due
to their depressant effect on the central nervous system. Included in this definition are opium, opium derivaties (morphine, codein,
heroin) and synthetic opiates (meperidine, methadone)”. Artinya lebih kurang sebagai berikut:
“Narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat mengakibatkan
ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk jenis candu dan turunan candu (morphine, codein, heroine) dan candu sintesis (meperidine dan
methadone).”
Sedangkan definisi lainnya dari Biro Bea dan Cukai Amerika
Serikat dalam buku “Narcotic Identification Manual” (1973) antara
lain mengatakan:
“Bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja,
cocaine, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut yakni morphine, heroin, codein, hashish, cocaine. Dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan zat-zat, obat-obat yang tergolong Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.
Dari kedua definisi tersebut, M. Ridha Ma‟Roef
menyimpulkan40:
1. Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika sintesis. Yang termasuk narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codeine, dan cocaine. Narkotika alam alam ini termasuk dalam pengertian narkotika sempit. Sedang narkotika sintetis adalah termasuk pengertian narkotika secara luas. Narkotika sintetis yang termasuk di dalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat, yaitu: Hallucinogen, Depressant, dan Stimulant;
3. Bahwa narkotika dalam pengertian di sini adalah mencakup obat-obat bius dan obat-obat-obat-obat berbahaya atau narcotic and dangerous drugs.
b. Jenis-Jenis Narkotika
Dalam UU No.35 Tahun 2009 sendiri telah disebutkan
macam-macam narkotika yang telah diberikan penggolongan. Zat/obat yang
dikategorikan sebagai narkotika dalam UU No.35 tahun 2009 tentang
Narkotika digolongkan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu sebagai
berikut41:
1) Narkotika Golongan I (Narkotika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak
digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi yang sangat
tinggi mengakibatkan ketergantungan), yang menurut lampiran UU
No.35 tahun 2009 terdiri dari:
a) Tanaman Papaver Somniferum L dan semua bagian-bagiannya
termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya;
b) Opium mentah, yaitu getah yang membeku sendiri, diperoleh
dari buah tanaman Papaver Somniferum L yang hanya
mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan
pengangkutan tanpa memperhatikan kadar moprhinnya;
c) Opium masak terdiri dari:
41
i. candu, hasil yang diperoleh dari opim mentah melalui suatu
rentetan pengolahan khususnya dengan pelarutan,
pemanasan dan peragian dengan atau tanpa penambahan
bahan-bahan lain, dengan maksud mengubahnya menjadi
suatu ekstrak yang cocok untuk pemadatan;
ii. jicing, sisa-sisa dari candu setelah dihisap, tanpa
memperhatikan apakah candu itu dicampur dengan daun
atau bahan lain;
iii. jicingko, hasil yang diperoleh dari pengolahan jicing.
d) Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon dari
keluarga Erythroxylaceae termasuk buah dan bijinya;
e) Daun Koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau
dalam bentuk serbuk dari semua tanaman genus Erythroxylon
dari keluarga Erythoxylaceae yang menghasilkan kokain
secara langsung atau melalui perubahan kimia;
f) Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun
koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan
kokaina;
g) kokaina, metal ester-1-bensoil ekgonina;
h) Tanaman ganja, semua tanaman genus-genus cannabis dan
semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil
olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk
i) Tetrahydrocannabinol, dan semua isomer serta semua bentuk
stereo kimianya.
2) Narkotika Golongan II (narkotika yang berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam
terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi tinggi mengkibatkan ketergantungan),
yang menurut lampiran Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009
terdiri dari :
a) Alfasetilmetadol
b) Alfameprodina
c) Alfametadol
d) Alfaprodina
e) Alfentanil
f) Allilprodina
g) Anileridina
h) Asetilmetdol
i) Benzetidin
j) Benzilmorfina
k) Betameprodina
l) Betametadol
m) Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas
3) Narkotika Golongan III (narkotika yang berkhasiat pengobatan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan
mengakibatkan ketergantungan), yang menurut lampiran
Undang-Undang nomor 35 Tahun 2009 terdiri dari :
a) Asetildihidrokodeina;
b) Dekstropropoksifena;
c) Dihidrokodeina;
d) Etilmorfina;
e) Kodeina;
f) Nikodikodina;
g) Nikokodina;
h) Norkodeina;
i) Polkodina;
j) Propiram;
k) Buprenorfina;
l) Garam-garam dari narkotika dalam golongan tersebut diatas;
m) Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan
narkotika;
n) Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan
narkotika.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang terdapat
dalam perumusan masalah tersebut diatas adalah sebagai berikut:
Jenis Penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan
bahann pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini.
2. Data dan Sumber data
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data
sekunder yaitu, data dari bahan-bahan kepustakaan yang antara lain meliputi
bahan keperpustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal
maupun arsip-arsip yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti.
Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
a. Bahan hukum Primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai
kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah
dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bahan Hukum
primer yang paling utama digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2) Undang-Undang Dasar 1945
3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Peraturan-Peraturan mengenai Narkotika.
b. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta
memahami bahan hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan
pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum
yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia
dan Kamus Hukum.
3. Metode Pengumpulan data
Studi Kepustakaan (Library Research), yakni studi dokumen dengan
mengumpulkan dan mempelajari buku-buku hukum, literatur, tulisan-tulisan
ilmiah, peraturan perundang-undangan dan bacaan lainnya yang berkaitan
dengan penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data
Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif.
Maka pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk
mengadakan analisa terhadap permasalahan yang akan diteliti. Teknik analisis
data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan
mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori
yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk
menentukan hasil yang mempergunakan pendekatan yuridis dan sosiologis.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini haruslah disusun atau ditulis secara sistematis agar
dihasilkan suatu tulisan yang teratur dan terarah pada suatu titik permasalahan
dari empat bab yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai
isi tulisan skripsi ini. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I Pendahuluan
Bab ini dimulai dengan mengemukakan mengenai latar
belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat
penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II Kebijakan Kriminal Mengenai Tindak Pidana dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
Bab ini menguraikan mengenai ruang lingkup tindak pidana
Narkotika, mencakup pula unsur-unsur perbuatan pidana
dalam tindak pidana Narkotika di dalam Undang-Undang
No. 35 tahun 2009, serta tindak pidana Narkotika yang
dapat diancam pidana mati.
BAB III Relevansi Sanksi Pidana Mati dalam Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 Ditinjau Dari Tujuan Pemidanaan
Bab ini menguraikan Relevansi Pidana Mati dalam
Undang-Undang No. 35 tahun 2009 ditinjau dari tujuan
pemidanaan dan dari beberapa aspek lainnya.
Bab ini merupakan bab penutup dari penulisan skripsi ini.
Bab ini berisi kesimpulan dari jawaban permasalahan yang
menjadi objek penelitian dan saran dari penulis