• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbuatan-Perbuatan Pidana di Dalam Ketentuan Pidana Undang- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

BAB III Relevansi Sanksi Pidana Mati dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Ditinjau Dari Tujuan Pemidanaan

B. Perbuatan-Perbuatan Pidana di Dalam Ketentuan Pidana Undang- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

B. Perbuatan-Perbuatan Pidana di Dalam Ketentuan Pidana Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

Penentuan suatu perbuatan dapat disebut sebagai perbuatan pidana haruslah melewati tahap kriminalisasi, yaitu “proses untuk menjadikan suatu

perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana”.47 Teori- teori

criminalisering yang mengemukakan tentang proses penentuan dapat dipidananya suatu perbuatan, dan yang berusaha menjelaskan tentang factor-faktor determinan yang mempengaruhi proses-proses ini, ternyata terbatas sekali.48

Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan kultur. Struktur adalah mekanisme yang terkait dengan kelembagaan. Substansi adalah landasan-landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari sistem itu. Kemudian Kultur adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis yang mendasari sistem.49 Hal itu penting agar pihak berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya justru akan merugikan masyarakat itu sendiri.

Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan

47

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002. Hal. 255.

48

Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, Jakarta: Aksara Baru, 1983. Hal. 55

49

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Bakatullah, Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005. Hal. 14

perbuatan tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya,50ini disebut legalitas dalam hukum pidana.

Dalam hal ini Negara memiliki kewenangan untuk menentukan norma-norma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaidah hukum dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama intervensi pihak lain. Dengan demikian tampak lebih jelas bahwa antara norma perilaku dan hukum pidana (permusan delik) mempunyai hubngan yang saling mengait. Perumusan delik ini diperlukan asas legalitas, dan karena salah satu tugas hukum pidana adalah melayani tegaknya terti hukum dalam suatu Negara.51

Proses kriminalisasi diakhiri dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan Diana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi berupa pidana (tahap formulasi). Terbentuklah peraturan hukum pidana yang siap untuk diterapkan oleh hakim (tahap aplikasi) dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi (tahap eksekusi).52

Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat, dalam menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut:53

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan

50 Ibid, hal. 5 51 Ibid 52

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1983. hal 32

53

mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum

pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu

perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan/atau spiritual) atas warga masyarakat;

3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle);

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overblasting).

Berangkat dari permasalahan di atas maka dalam Undang-Undang Narkotika sendiri perlulah memiliki suatu kebijakan tertulis mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika itu sendiri. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Ketentuan Pidana di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika terdapat pada Bab XV Ketentuan Pidana yaitu pada pasal 111 sampai pasal 148

Kriminalisasi penyalahgunaan Narkotika telah diatur pada kebijakan Pidana dan Pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yaitu

a. Tindak pidana yang berkaitan dengan penggolongan narkotika, dan precursor narkotika, meliputi:

1) Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dan narkotika golongan II bukan tanaman,;

2) Pengadaan dan peredaran narkotika golongan I, II, dan golongan III, yang tidak menaati ketentuan perundang-undang yang berlaku, seperti: a) memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III; b) menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi

perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III;

c) membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III;

d) menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain, atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain, narkotika golongan I, golongan II, narkotika golongan III;

e) setiap penyalahguna narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III bagi diri sendiri;

b. Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melapor atau setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 129;

c. Dalam hal tindak pidana dalam pasal 111 sampai dengan 126, dan pasal 129 yang dilakukan oleh korporasi, atau dilakukan secara terorganisasi;

d. Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana dalam pasal 111 sampai dengan pasal 126 dan pasal 129 undang-undang ini; e. Pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak

melaporkan diri atau keluarga dari pecandu narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut;

f. Tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh para pejabat yang berkaitan dengan narkotika, meliputi:

1) Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban dalam Pasal 45;

2) pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;

3) pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;

4) pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi narkotika golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, atau

5) Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika Golongan I yaitu bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, atau

6) mengedarkan narkotika golongan II dan III, bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;

7) nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 27 atau Pasal 28;

8) Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam pasal 88 dan pasal 89;

9) Penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan dalam pasal 87, pasal 89, pasal 90, pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4);

10)Kepala Kejaksaan Negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam pasal 91 ayat (1) dipidana penjara dan pidana denda;

11) Petugas Laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda;

g. Ketentuan lain dalam rangka pemeriksaan terhadap tindak pidana Narkotika, meliputi:

1) Percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika dalam pasal 111 sampai dengan pasal 126 dan pasal 129;

2) pemberatan pidana tersebut tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun;

3) menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana precursor narkotika di muka sidang pengadilan;

4) Narkotika dan prekursor narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika, baik berupa asset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang diguakan untuk melakukan tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika dirampas untuk negara;

5) saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika di muka pengadilan dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda;

6) apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama dua tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar;

7) setiap orang yang dalam jangka waktu tiga tahun melakukan pengulangan tindak pidana narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan sepertiga.

Melakukan kejahatan money Laundering, yang diduga ada kaitannya dengan tindak pidana narkotika, meliputi:

a. menempatkan, membayarkan, atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan, atau menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentrasfer uang, harta, dan benda, atau asset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, yang berasal dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika;

b. menerima penempatan, pembayaran, atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian, atau penyamaran investasi, simpanan, atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset, baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, yang diketahuinya berasal dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika;

Terhadap Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana prekursor Narkotika dan telah menjalani pidananya, dilakukan pengusiran ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dan setelah Warga negara Asing yang telah diusir dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia. Demikian pula, Warga Negara Asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Republik Indonesia.

Kebijakan kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, ialah

a. Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak dan setiap orang atau korporasi yang diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika dan yang dilakukan tersangka atau terdakwa;

b. Hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak, dan setiap orang, atau korporasi bukan berasal dari hasil tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika yang dilakukan terdakwa;

c. Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebutkan nama dan alamat pelapor atau hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor;

d. Saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika beserta keluarganya wajib diberi perlindungan oleh negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara;

e. Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabiitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika dan menetapkan untuk

memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

C. Unsur – Unsur Tindak Pidana Narkotika yang dapat dikenakan Pidana