• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengetahuan, Sikap dan Kepedulian Masyarakat

BAB III PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT

3.1. Pengetahuan, Sikap dan Kepedulian Masyarakat

Pengelolaan sumber daya laut merupakan hal yang penting dalam program penyelamatan terumbu karang. Melalui pengelolaan yang optimal, dengan memperhatikan keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi, keberlanjutan sumber daya laut yang merupakan sumber penghidupan masyarakat akan terjaga. Bab ini akan menguraikan aspek yang terkait dengan pengelolaan sumber daya laut yaitu pengetahuan, sikap dan kepedulian masyarakat terhadap terumbu karang. Selanjutnya tentang pemanfaatan sumber daya laut termasuk produksi, pemasaran dan pengelolaan pascapanen, wilayah pengelolaan, teknologi yang digunakan dan terakhir tentang permasalahan dalam pengelolaan SDL baik internal maupun eksternal.

3.1. Pengetahuan, Sikap dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Penyelamatan Terumbu Karang

Pengetahuan tentang terumbu karang

Pengetahuan merupakan dasar untuk melakukan tindakan yang benar. Dalam konteks pelestarian terumbu karang, pengetahuan tentang terumbu karang sangat diperlukan bagi stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan tersebut. Stakeholders utama yang terlibat adalah nelayan dan masyarakat yang tinggal disekitarnya, karena mereka ini yang selalu berinteraksi dengan laut. Dengan pengetahuan yang memadai diharapkan nelayan dan masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam menjaga terumbu karang dari tindakan yang merusak sehingga dapat berkelanjutan untuk digunakan bagi generasi selanjutnya.

Pengetahuan responden berkaitan dengan terumbu karang bervariasi (Diagram 3.1). Sebagian besar responden pada penelitian ini (83 persen) mengetahui bahwa ’terumbu karang merupakan mahluk hidup’, Kondisi ini cukup menggembirakan karena pengetahuan ini dapat menjadi dasar dalam tindakan untuk tetap memelihara terumbu karang, dan mempertahankan supaya tetap hidup, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan di wilayah tersebut.

Diagram 3.1.

Pengetahuan Responden tentang ‘Terumbu Karang sebagai Mahluk Hidup’

83% 5%

12%

Ya Tidak Tidak tahu

Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007 Pengetahuan selanjutnya berkaitan dengan terumbu karang termasuk dalam jenis tumbuh-tumbuhan atau hewan. Untuk pertanyaan ini, sebagian besar responden tidak mengetahui bahwa terumbu karang termasuk jenis hewan. Sebagian besar (70 persen) responden menyatakan jawaban yang salah yaitu ‘terumbu karang termasuk dalam kategori tumbuh tumbuhan’. Sedangkan untuk jawaban ‘merupakan jenis hewan’ hanya sekitar 5 persen, selebihnya

berpendapat termasuk dalam kedua jenis (hewan dan tumbuh-tumbuhan) dan tidak tahu. Ketidaktahuan ini perlu mendapatkan perhatian karena akan berpengaruh terhadap cara pemeliharaannya. Oleh karena sebagian besar responden mengatakan terumbu karang sebagai tumbuh-tumbuhan, kemungkinan masyarakat akan memperlakukan terumbu karang sebagai tumbuh-tumbuhan yang tentunya berbeda perlakuannya apabila mereka mengetahui terumbu karang termasuk jenis makhluk hewan.

Diagram 3.2.

Pengetahuan Responden tentang Jenis Mahluk Hidup dari Terumbu Karang

Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007 Pengetahuan yang penting adalah tentang kegunaan terumbu karang. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa sebagian besar responden (97 persen) mengetahui kegunaan terumbu karang yaitu sebagai tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan. Demikian pula pengetahuan responden tentang kegunaan terumbu karang lainnya seperti melindungi keragaman ikan/biota laut (keanekaragaman hayati) dan melindungi pantai dari ombak dan badai juga tinggi masing–masing mempunyai persentase 96 dan 86. Pengetahuan

responden tentang kegunaan terumbu karang ini diperoleh dari hasil interaksi keseharian nelayan dengan laut terutama dengan terumbu karang. Menurut para nelayan, di wilayah yang terumbu karangnya masih bagus, ditemukan berbagai macam biota laut dalam jumlah yang banyak.

Sedangkan pengetahuan tentang kegunaan terumbu karang yang sifatnya ekonomis seperti sebagai sumber bahan baku untuk obat, fondasi rumah dan lainnya serta sumber pendapatan masyarakat dan tempat wisata hanya diketahui oleh sebagian masyrakat masing-masing 63, 68 dan 53 persen. Meskipun daerah ini merupakan daerah wisata yang berbasis kelautan, masyarakat kurang mengetahui bahwa terumbu karang berguna untuk sasaran tempat wisata. Kondisi ini kemungkinan karena masyarakat kurang dilibatkan dalam kegiatan wisata tersebut, sehingga pengetahuan masyarakat terbatas.

Diagram 3.3.

Pengetahuan tentang Kegunaan Terumbu Karang

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Tempat ikan hidup/btelur Melindungi keragaman Melindungi pantai dr omb Sumber bahan baku Sumber pendpatan masy Tempat wisata

Pendapat tentang kondisi terumbu karang sangat beragam. Persentase tertinggi terlihat pada responden yang berpendapat terumbu karang dalam kondisi rusak dan kurang baik, masing-masing 31 dan 26 persen. Meskipun demikian, responden yang berpendapat terumbu karang dalam kondisi baik masih cukup tinggi (sekitar 25 persen) Selebihnya berpendapat ’tidak tahu’ dan ’terumbu karang dalam kondisi sangat rusak’. Pandangan responden yang beragam terhadap kondisi terumbu karang kemungkinan akan berdampak terhadap pengelolaan selanjutnya.

Diagram 3.4.

Pendapat responden tentang kondisi terumbu karang

0 5 10 15 20 25 30 35 Baik Kurang baik Rus ak Sangat rus ak Tidak tahu

Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007 Meskipun pendapat responden tentang kondisi terumbu karang beragam, tetapi sikap responden terhadap perbaikan terumbu karang sangat positif. Sebagian besar responden (90 persen) mengungkapkan bahwa kondisi terumbu karang perlu diperbaiki. Responden yang mengatakan kondisi terumbu karang tidak perlu diperbaiki sangat terbatas yaitu hanya 3 persen, sedangkan 7 persen lainnya tidak tahu.

Pernyataan responden ini akan menjadi modal yang potensial untuk mendorong program penyelamatan terumbu karang.

Pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan pengetahuan dan sikap terhadap alat tangkap yang merusak. Pengetahuan tentang alat tangkap yang merusak terumbu karang sangat penting diketahui, terutama oleh nelayan yang pekerjaan sehari-harinya sebagai penangkap ikan. Dengan bekal pengetahuan tentang alat tangkap yang merusak, diharapkan akan berpengaruh terhadap pengurangan penggunaan alat tersebut. Pengetahuan tentang alat tangkap yang merusak sangat beragam. Sebagian besar responden mengungkapkan bahwa bom, sianida/racun/tuba dan trawl/pukat harimau/pukat ular dan lampara dasar merupakan alat tangkap yang merusak. Bom sebagai alat tangkap yang merusak, diungkapkan oleh semua responden, sedangkan sianida/racun dan trawl sebagai alat tangkap yang merusak diungkapkan oleh masing-masing 89 dan 87 persen responden.

Relatif tingginya pengetahuan responden tentang alat tangkap yang merusak terumbu karang, disebabkan pengalaman yang diperoleh sebagai nelayan baik dengan melihat maupun mendengar cerita dari orang lain. Informan yang pernah melihat penggunaan bom menceritakan bahwa setelah bom dilemparkan dan meledak, ikan-ikan mati dan terumbu karang pecah berantakan. Beberapa tahun yang lalu bom marak digunakan di wilayah ini, dan kebanyakan dilakukan oleh nelayan dari luar. Namun dalam dua tahun terakhir penggunaan bom sebagai penangkap ikan sudah menurun secara drastis.

Penggunaan alat tangkap lainnya (selain ketiga alat tersebut) sebagai perusak karang, hanya diungkap oleh sebagian kecil responden (Tabel 3.1). Kemungkinan karena alat-alat tersebut banyak digunakan masyarakat di wilayah ini sebagai penangkap ikan. Sebagian besar responden mengungkapkan bahwa bagan tancap merupakan alat tangkap yang tidak merusak terumbu karang. Alat tangkap ini banyak digunakan oleh nelayan di lokasi penelitian terutama di Teluk Pucung Desa Malang Rapat. Menurut penuturan informan, bagan tancap

tidak hanya dimiliki oleh nelayan di desa ini tetapi juga oleh nelayan luar wilayah ini. Demikian pula bubu sebagai alat penangkap ikan yang merusak terumbu karang hanya dikemukakan oleh 5 persen responden, meskipun penggunaaan alat tersebut dilekatkan pada karang. Ketidaktahuan masyarakat bahwa sebagian alat-alat tersebut juga merusak terumbu karang perlu mendapat perhatian, paling tidak masyarakat diberi pengetahuan untuk mengurangi risiko alat tersebut terhadap kerusakan karang.

Tabel 3.1.

Pengetahuan Responden tentang Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang (dalam persen)

Pendapat alat tangkap merusak Jenis alat tangkap

Ya Tidak Bom 100 0 Bagan tancap 2 98 Bagan apung 3 97 Sianida/racun/tuba 89 11 Bubu/perangkap ikan 5 95 Trawl/pukat harimau/pukat ular/lampara dasar 87 13 Jarring apung 4 96 Pancing 3 97 Tombak/panah 7 93

Lainnya: jarring ketam 7 93

Lainnya jaring ikan 7 93

N 100 Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2007

Pendapat responden tentang kondisi terumbu karang yang perlu perbaikan, juga didukung oleh kebanyakan responden yang tidak setuju pada pengambilan karang hidup yaitu sekitar 83 persen, Responden yang berpendapat setuju terhadap pengambilan karang hidup hanya sekitar 5 persen. Demikian pula untuk pengambilan

karang mati, persentase tertinggi (sekitar 48 persen) tidak setuju dengan pengambilan karang mati, dan yang menyetujui sekitar seperempat dari jumlah responden, selebihnya tidak mempunyai pendapat. Relatif tingginya responden yang setuju terhadap pengambilan karang mati karena nelayan umumnya beranggapan pengambilan karang mati tidak berpengaruh terhadap kerusakan biota laut. Dari hasil pengamatan di lapangan terlihat bahwa beberapa rumah menggunakan karang mati sebagai bahan untuk pondasi rumah.

Pengetahuan dan sikap terhadap kebijakan pengelolaan terumbu karang

Pengetahuan stakeholder terkait pengelolaan terumbu karang dapat dilihat dari pendapat mereka tentang kebijakan pemerintah terhadap pelestarian terumbu karang, termasuk nelayan dan masyarakat di sekitarnya. Sejauh mana masyarakat mengetahui peraturan dan bagaimana sikap mereka terhadap aturan yang berlaku. Tampaknya peraturan tentang larangan pengambilan terumbu karang belum tersebar luas pada masyarakat di wilayah penelitian. Hasil survai menunjukkan bahwa lebih dari separuh (51 persen) responden menyatakan tidak mengetahui adanya peraturan pengambilan terumbu karang hidup. Data hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa sekitar 12 persen dari jumlah responden yang mengetahui larangan tersebut bersikap tidak setuju terhadap larangan tersebut. Meskipun demikian sekitar 65 persen dari responden yang mengetahui peraturan tersebut juga mengetahui sanksi dari larangan pengambilan karang. Berdasarkan data tersebut, dikhawatirkan pelestarian terumbu karang akan terganggu, karena masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui peraturan dan sanksi bila peraturan dilanggar.

Meskipun masih banyak responden yang tidak mengetahui tentang peraturan larangan pengambilan terumbu karang dan sanksinya, namun tindakan responden cenderung positif, karena mereka berpendapat untuk memelihara terumbu karang dapat dilakukan dengan jalan tidak mengambil terumbu karang. Dalam setahun

terakhir, responden yang melakukan pengambilan terumbu karang hidup relatif sedikit (hanya satu responden) dan penggunaannya untuk keperluan sendiri. Sedangkan responden yang masih mengambil terumbu karang mati sekitar 3 persen (3 orang) yang digunakan untuk keperluan sendiri dan untuk dijual. Kondisi ini merupakan sikap positif masyarkat untuk membantu pelestarian terumbu karang di wilayah tersebut.

Penggunaan bom

Bom merupakan salah satu alat tangkap ikan yang potensial merusak terumbu karang. Peraturan terhadap larangan penggunaan jenis bahan peledak yang dapat merusak ekositem satwa dan tumbuh-tumbuhan karang di laut beserta sanksinya terdapat dalam UU RI No. 7 Tahun 1999. Peraturan tentang larangan ini telah diketahui secara luas oleh masyarakat di daerah penelitian. Hal tersebut ditunjukkan oleh data dari hasil survai yang mengungkapkan bahwa sebagian besar atau lebih dari tiga seperempat jumlah responden telah mengetahui adanya peraturan tersebut. Dari mereka yang mengetahui ini sekitar 85 persen menyetujui adanya peraturan, selebihnya tidak menyetujui (12 persen) dan tidak tahu sebesar 3 persen. Relatif tingginya masyarakat yang menyetujui larangan penggunaan bom, diharapkan akan membantu terpeliharanya kekayaan sumber daya laut dari ancaman penggunaan bom.

Meskipun sebagian besar responden mengetahui peraturan larangan penggunaan bom, tetapi hanya sekitar 67 persen diantaranya yang mengetahui adanya sanksi atas pelanggaran peraturan tersebut. Dilihat dari penggunaan bom di wilayah penelitian, dalam setahun terakhir masih terdapat sekitar 16 persen responden yang mengetahui adanya penggunaan bom oleh orang lain, tetapi hanya seorang responden yang masih melakukannya untuk menangkap ikan. Jumlah ini relatif tinggi bila dibandingkan dengan temuan di wilayah Desa Mapur Kecamatan Bintan Timur (Widayatun dan Mujiyani, 2006). Masih berlangsungnya penggunaan bom untuk menangkap ikan akan mengganggu upaya pelestartian terumbu karang di wilayah tersebut.

Penggunaan sianida

Penggunaan sianida/racun/tuba dalam penangkapan ikan berdampak terhadap kerusakan terumbu karang, sehingga terdapat peraturan yang melarang penggunaan alat tangkap ini. Pengetahuan tentang pelarangan penggunaan sianida sebagai alat penangkapan ikan cukup meluas di kalangan masyarakat di wilayah penelitian. Hasil survai menunjukkan sekitar 63 persen responden mengetahui peraturan tersebut, dan sekitar 81 persen diantaranya bersikap setuju terhadap peraturan tersebut. Sedangkan responden yang mengetahui adanya sanksi apabila terjadi pelanggaran hanya sekitar 62 persen. Hasil survai juga mengungkapkan bahwa sekitar 8 persen responden mengetahui adanya penggunaan sianida untuk menangkap ikan oleh orang lain, namun hanya sekitar 2 persen penggunaan sianida oleh responden.

Penggunaan trawl

Trawl merupakan alat penangkap ikan berupa jaring besar, dengan armada penangkap ikan yang relatif besar pula. Dalam operasionalnya trawl dapat menjaring semua ikan yang kecil maupun besar dan merusak terumbu karang, sehingga trawl merupakan alat penangkap ikan yang berbahaya bagi pelestarian terumbu karang. Kebijakan pemerintah untuk melarang penggunaan trawl telah dikeluarkan melalui KEPPRES No. 80 tahun 1982.

Pengetahuan responden tentang larangan penggunaan trawl relatif tinggi, karena lebih dari separuh jumlah responden (61 persen) telah mengetahui larangan tersebut, dan hanya sekitar 10 persen yang tidak menyetujui adanya larangan tersebut. Adapun yang mengetahui adanya sanksi atas pelanggaran larangan tersebut masih terbatas, yaitu kurang dari separuh (46 persen) dari jumlah responden yang mengetahui larangan tersebut.

Meskipun terdapat larangan penggunaan trawl, namun masih terdapat nelayan yang menggunakannya meskipun relatif kecil. Dalam setahun

terakhir, sekitar 3 persen responden menyatakan mengetahui orang lain menggunakan trawl dan sejenisnya, namun tidak ada seorangpun dari responden yang terlibat dalam penggunaan trawl.

Peraturan adat

Beberapa peraturan adat tentang pengelolaan sumber daya laut telah dimiliki oleh beberapa suku terutama di Indonesia bagian timur seperti peraturan adat sasizen di Papua dan sasi di beberapa wilayah Maluku. Beberapa wilayah yang tidak mempunyai peraturan adat, mempunyai peraturan desa yang merupakan kesepakatan bersama antar kelompok masyarakat dalam pengelolaan sumber daya laut seperti yang dibuat masyarakat di Desa Mapur, Kabupaten Bintan (Widayatun dan Mujiyani, 2006). Di lokasi penelitian ini tidak ditemukan peraturan adat maupun kesepakatan bersama secara tertulis yang terkait dengan pengelolaan sumber daya laut di wilayahnya. Hal ini tidak berarti masyarakat tidak memiliki aturan dalam pengelolaan SDL. Berdasarkan wawancara terbuka dengan beberapa informan terungkap bahwa kesepakatan antar kelompok nelayan secara tidak resmi (tidak tertulis) pernah dibuat dan telah dipraktikkan oleh penduduk di wilayah penelitian. Kesepakatan tidak resmi tersebut berupa semacam ‘zonasi’ pembagian wilayah tangkap diantara kelompok nelayan. Nelayan pesisir mempunyai wilayah tangkap dari garis pantai sampai 4 mil ke arah laut, wilayah tangkap nelayan jaring dan kelong 4 sampai 12 mil ke arah laut, sedangkan nelayan pancing dan rumpon sekitar 12 mil sampai perairan internasional.

Kesepakatan tidak tertulis tersebut mulai pudar sekitar 6 tahun terakhir ini, karena adanya pihak-pihak yang melakukan pelanggaran kesepakatan dengan penggunaan lahan perairan yang berlebihan oleh kelompok nelayan tertentu. Hal itu tercermin dari semakin padatnya lokasi wilayah Desa Malang Rapat dengan peralatan tangkap rompong dan kelong, tanpa memperhatikan batas wilayah yang disepakati sebelumnya untuk kedua alat tangkap tersebut. Berdasarkan wawancara mendalam terungkap bahwa saat ini penempatan rompong melebihi kesepakatan zonasi yaitu pada batas

12 mil dari garis pantai, menjadi lebih luas yaitu sampai melampaui batas 10 mil dari garis pantai. Hal ini menyebabkan kelompok nelayan yang menggunakan alat tangkap jaring sering terganggu karena perebutan ‘zonasi‘ tersebut. Jaring yang digunakan nelayan sering mengalami kerusakan akibat menjerat rompong, sehingga kelompok nelayan ini banyak mengalami kerugian alat produksi maupun hasil tangkapannya.

Tampaknya permasalahan zonasi tersebut belum menjadi dorongan untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap perlindungan pengelolaan wilayah tangkap. Hal tersebut terungkap dari hasil survai yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden yang menjawab ‘tidak perlu’ untuk membuat peraturan tersebut, sedangkan yang menjawab perlu hanya 24 persen, sisanya (sekitar 22 persen) tidak menawab. Tidak adanya peraturan adat dan memudarnya kesepakatan bersama antar masyarakat dalam pengelolaan SDL, berpotensi menimbulkan konflik antar kelompok nelayan, sehingga pelaksanaan program pelestarian terumbu karang akan terganggu. Berdasarkan wawancara terbuka dengan beberapa informan yang resah terhadap batas wilayah tangkap yang makin tidak beraturan, timbul pemikiran untuk membuat zonasi yang bersifat formal, artinya membuat kesepakatan lama menjadi peraturan tertulis dan mendapat pengesahan dari pemerintah desa. Inti kesepakatan zonasi baru tersebut diharapkan dapat tetap mengakomodir zonasi yang telah dipraktikkan nelayan selama ini yaitu: nelayan pesisir menggunakan batas zona 4 mil dari garis pantai, nelayan jaring menggunakan batas 4-12 mil dari garis pantai, sedangkan nelayan kelong dan rompong menggunakan batas 12 mil atau lebih.

Wilayah tangkap nelayan di daerah penelitian bervariasi tergantung pada jenis ikan yang ditangkap dan peralatan yang digunakan. Untuk masyarakat Galang Batang yang mempunyai alat tangkap relatif sederhana dan hanya mempunyai target penangkapan ketam dan ikan karang, wilayah tangkap mereka relatif dekat di sekitar pesisir sampai ke arah perairan 4 mil. Sementara nelayan di Desa Malang Rapat

yang relatif lebih maju peralatan tangkapnya, mempunyai jangkauan wilayah tangkap yang lebih luas sampai ke perairan internasional.

Pengetahuan dan sikap terhadap COREMAP

COREMAP merupakan salah satu program yang bertujuan untuk mengelola terumbu karang agar dapat berkelanjutan. Terumbu karang tidak hanya dinikmati oleh generasi masa kini tetapi juga bisa dinikmati oleh generasi pada masa mendatang baik untuk keperluan sendiri maupun untuk kegiatan ekonomi. Pengetahuan tentang COREMAP mencakup pengetahuan yang berkaitan dengan adanya upaya untuk pelestarian terumbu karang, tujuan dan program COREMAP serta keterlibatannya (Tabel 3.2).

Berkaitan dengan program penyelamatan sumber daya laut (SDL), Tabel 3.2 juga menunjukkan bahwa kebanyakan responden tidak mengetahuinya, hanya sebagian kecil (sekitar 6 persen) yang menyatakan mengetahui adanya program tersebut. Mayoritas responden menunjukkan ketidaktahuannya tentang program penyelamatan SDL, yaitu hampir separuh responden (49 persen) menyatakan tidak tahu, sementara sekitar 45 persen mengatakan tidak pernah ada program tersebut.

Kondisi yang hampir sama juga terlihat pada minimnya pengetahuan responden terhadap penyelamatan terumbu karang dan program COREMAP pada khususnya. Meskipun program COREMAP telah disosialisasikan selama satu tahun terakhir, tetapi sebagian besar responden (78 persen) tidak pernah mendengar istilah ‘COREMAP’ Demikian pula responden yang menyatakan ‘pernah mendengar’ COREMAP, sekitar 14 persennya tidak mengetahui tujuan program tersebut. Sekitar 82 persen dari 22 responden yang mengetahui tentang tujuan COREMAP, menyatakan tujuan COREMAP untuk ‘melindungi terumbu karang’, sedangkan untuk tujuan ‘meningkatkan pendapatan masyarakat’ hanya dinyatakan oleh seorang responden. Melihat kondisi terumbu karang di kawasan ini yang sebagian dalam kondisi rusak atau tidak baik, maka kemungkinan besar disebabkan

masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang upaya penyelamatan terumbu karang khususnya serta penyelamatan SDL pada umumnya.

Tabel 3.2.

Pengetahuan dan Keterlibatan Responden dalam Program Pengelolaan SDL dan COREMAP

Pengetahuan/Sikap Persentase 1. Program penyelamatan SDL • Tidak tahu • Tidak pernah • Pernah Jumlah N 49 45 6 100 2. Pernah mendengar istilah

COREMAP • Pernah • Tidak pernah Jumlah N 22 78 100 3. Tujuan COREMAP • Tidak tahu

• Melindungi terumbu karang • Meningkatkan pendapatan Jumlah N 14 82 4 22 4. Pelaksanaan COREMAP • Ya • Tidak • Tidak tahu Jumlah (N) 23 68 9 22 5. Keinginan terlibat dalam program

COREMAP • Ya • Tidak Jumlah (N) 55 45 22

Meskipun dalam setahun terakhir program COREMAP sudah mulai dilaksanakan di kawasan ini, tampaknya belum banyak masyarakat yang mengetahuinya. Hal ini terungkap dalam survai, yaitu hanya sekitar 23 persen responden (5 orang) yang pernah mendengar pelaksanaan program COREMAP di wilayahnya, dan hanya 2 dari 5 responden yang terlibat dalam pelaksanaan COREMAP. Meskipun demikian lebih dari separuh responden yang mengetahui pelaksanaan COREMAP (55 persen) menyatakan ingin terlibat dalam kegiatan COREMAP. Kemungkinan mereka mengetahui pelaksanaan program COREMAP di tempat lain yang dianggap menguntungkan masyarakat. Temuan ini mengisyaratkan belum optimalnya sosialisasi pelaksanaan program COREMAP di wilayah ini, baik karena relatif masih baru maupun masih terbatasnya jangkauan program, sehingga hanya diketahui oleh masyarakat di sekitarnya.