• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

KONDISI SOSIAL EKONOMI

MASYARAKAT DI LOKASI COREMAP II

Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang

Kabupaten Bintan

Oleh:

Laila Nagib

Mujiyani

Zainal Fatoni

CRITC – LIPI

2007

(3)

KATA PENGANTAR

COREMAP fase II yang telah dimulai sejak tahun 2004 dan direncanakan akan dilaksanakan sampai dengan tahun 2009 bertujuan menciptakan pengelolaan ekosistem terumbu karang agar sumber daya laut ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola secara berkesinambungan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan. Keberhasilan COREMAP dapat dikaji dari berbagai aspek, diantaranya dari aspek biofisik dan sosial-ekonomi. Dari aspek biofisik diharapkan akan tercapai peningkatan tutupan karang sebesar 2 persen per tahun, sedangkan dari aspek sosial ekonomi diharapkan terjadi peningkatan pendapatan per-kapita penduduk sebesar 2 persen per tahun. Selain peningkatan pendapatan per-kapita, juga diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan sekitar 10.000 penduduk di lokasi program.

Keberhasilan Coremap salah satunya dipengaruhi oleh kesesuaian desain program dengan permasalahan yang ada. Oleh karena itu sangat penting pada masa persiapan melakukan perencanaan program yang didukung oleh data dasar aspek sosial-ekonomi berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya terumbu karang. Selain dipergunakan sebagai masukan-masukan dalam merancang program, data dasar aspek sosial-ekonomi terumbu karang ini juga penting untuk melakukan evaluasi keberhasilan program. Untuk mendapatkan data dasar tersebut perlu dilakukan baseline studi sosial ekonomi yang bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kondisi sosial-ekonomi, budaya masyarakat di lokasi COREMAP sebelum program berjalan. Hasil baseline studi sosial-ekonomi ini merupakan titik awal (T0) yang menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum program/intervensi COREMAP dilakukan. Buku laporan ini merupakan hasil dari baseline studi sosial-ekonomi yang dilaksanakan di lokasi-lokasi COREMAP di Indonesia Bagian Barat (lokasi Asian Development Bank/ADB). Baseline studi

(4)

sosial-ekonomi dilakukan oleh CRITC - COREMAP bekerjasama dengan tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI (PPK-LIPI) dan beberapa peneliti sosial dari kedeputian IPSK - LIPI.

Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku laporan melibatkan berbagai pihak. Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI yang telah memberikan dukungan kepada tim peneliti dalam melakukan studi ini. Kepada para informan: masyarakat nelayan, ketua dan pengurus LPSTK dan Pokmas, pemimpin formal dan informal, tokoh masyarakat di lokasi penelitian yaitu Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada para pewawancara yang telah membantu pelaksanaan survai. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur pengelola COREMAP di tingkat kabupaten: Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Unit pelaksana COREMAP di Kabupaten Bintan, CRITC di Kabupaten Bintan dan berbagai pihak yang ada di daerah yang telah membantu memberikan data dan informasi.

Pada akhirnya, kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, meskipun tim peneliti telah berusaha sebaik mungkin dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan laporan ini.

Jakarta, Desember 2007

Direktur NPIU CRITC COREMAP II-LIPI

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR DIAGRAM... ix DAFTAR BAGAN ... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 5 1.3. Sasaran ... 6 1.4. Metodologi ... 6

BAB II PROFIL KAWASAN GUNUNG KIJANG ... 11

2.1. Kondisi Geografis... 11

2.2. Kondisi Sumber Daya Alam... 15

2.3. Sarana dan Prasarana ... 22

BAB III PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT ... 29

3.1. Pengetahuan, Sikap dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Penyelamatan Terumbu Karang ... 29

3.2. Pemanfaatan Sumber Daya Laut ... 43

3.3. Wilayah Pengelolaan. ... 52

3.4. Teknologi Penangkapan ... 54

3.5. Permasalahan Dalam Pengelolaan SDL ... 57

BAB IV POTRET PENDUDUK DI KAWASAN GUNUNG KIJANG ... 65

4.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk... 65

4.2. Pendidikan dan Ketrampilan ... 67

4.3. Pekerjaan ... 70

(6)

BAB V PENDAPATAN ... 85

5.1. Pendapatan Rumah Tangga dan Per Kapita... 88

5.2. Pendapatan Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan... 93

5.3. Pendapatan Rumah Tangga dan Kegiatan Kenelayanan ... 97

5.4. Sintesa Pendapatan ... 102

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 111

6.1. Kesimpulan ... 111

6.2. Rekomendasi ... 122

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Kerusakan Karang Menurut Wilayah dan Kategorisasi Kerusakan... 2 Tabel 3.1. Pengetahuan Responden Tentang Alat Tangkap

yang Merusak Terumbu Karang (dalam persen)... 35 Tabel 3.2. Pengetahuan dan Keterlibatan Responden Pada

Program SDL dan COREMAP ... 42 Tabel 4.1. Distribusi ART (usia 7 tahun ke atas) Menurut

Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin, Kec. Gunung Kijang, 2007 (Persentase) . 67 Tabel 4.2. Distribusi ART menurut Kegiatan Utama serta

Jenis Kelamin, Kawasan Gunung Kijang, 2007

(Persentase) ... 71 Tabel 4.3. Distribusi ART menurut Lapangan, Jenis, dan

Status Pekerjaan Utama dan Jenis Kelamin di Kawasan Gunung Kijang, 2007 (Persentase)... 72 Tabel 4.4. Distribusi ART menurut Lapangan, Jenis, dan

Status Pekerjaan Tambahan serta Jenis Kelamin, Kawasan Gunung Kijang, 2007 (Persentase)... 73 Tabel 4.5. Kepemilikan Aset Produksi (Sarana Tangkap) di

Kawasan Gunung Kijang, 2007 ... 75 Tabel 4.6. Kepemilikan Aset Produksi (Alat Tangkap) di

Kawasan Gunung Kijang, 2007 (N=100)... 76 Tabel 4.7. Kepemilikan Aset Non-Produksi di Kawasan

Gunung Kijang, 2007 ... 77 Tabel 4.8. Kesulitan Keuangan Rumah Tangga dalam

Setahun Terakhir di Kawasan Gunung Kijang,

(8)

Tabel 4.9. Cara Mengatasi Kesulitan Keuangan di Kawasan Gunung Kijang, 2007 ... 83 Tabel 5.1. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Menurut

Lokasi Penelitian, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, Tahun 2007 (Rupiah) ... 90 Tabel 5.2. Distribusi Rumah Tangga Menurut Kelompok

Pendapatan Dan Lokasi Penelitian Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, 2007 (Persen). 91 Tabel 5.3. Statistik Pendapatan RT Menurut Lapangan

Pekerjaan KRT di Lokasi Penelitian, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, 2007 ... 94 Tabel 5.4. Distribusi RT Menurut Kelompok Pendapatan dan

Lapangan Pekerjaan KRT, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, 2007 ... 96 Tabel 5.5. Pendapatan Rumah Tangga (dari Kegiatan

Kenelayanan), Menurut Musim, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, 2007 (N= 72) . 99 Tabel 5.6. Pendapatan Rumah Tangga (dari Kegiatan

Kenelayanan), Menurut Musim, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, 2007 (N= 72) . 100 Tabel 5.7. Statistik Pendapatan Rumah Tangga Dari Kegiatan

Kenelayanan Menurut Musim, Kec. Gunung Kijang, Kabupaten Bintan, 2007 (N = 72) ... 102

(9)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 3.1. Pengetahuan responden tentang ‘Terumbu karang sebagai mahluk hidup’ ... 30

Diagram 3.2. Pengetahuan Responden Tentang Jenis Mahluk Hidup dari Terumbu Karang ... 31 Diagram 3.3. Pengetahuan tentang kegunaan terumbu

karang ... 32 Diagram 3.4. Pendapat responden tentang kondisi terumbu

karang ... 33 Diagram 4.1. Piramida Penduduk di Kawasan Gunung

Kijang, 2007 ... 67 Diagram 5.1. Struktur PDRB Kabupaten Bintan Menurut

Lapangan Usaha Tahun 2005, Atas Dasar Harga Berlaku... 87

(10)
(11)

DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1. Rantai Pemasaran Ketam ... 47 Bagan 3.2. Rantai Pemasaran Ikan Sotong ... 48 Bagan 3.3. Rantai Pemasaran Ikan Mati pada Musim Sulit

Ikan (Musim Angin Utara) ... 50 Bagan 3.4. Pemasaran Ikan Mati pada Musim Banyak Ikan

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Bintan seperti wilayah lain di Provinsi Kepulauan Riau (KEPRI), merupakan wilayah kepulauan yang kaya akan sumber daya laut, termasuk kekayaan terumbu karang yang juga melimpah. Di wilayah ini terumbu karang tersebar di beberapa gugusan pulau, sehingga merupakan aset pembangunan yang bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di wilayah ini. Tingginya nilai ekosistem terumbu karang (baik secara ekonomis dan ekologis) dapat dilihat dari pemanfaatan terumbu karang sebagai sumber penghasilan masyarakat dan tambahan devisa untuk daerah. Ekosistem terumbu karang menghasilkan ikan-ikan karang yang bernilai ekonomi tinggi, seperti ikan Napoleon, Kerapu dan Sunu. Beberapa jenis ikan karang merupakan komoditi ekspor yang mempunyai jaringan pemasaran luas dan nilai jual yang relative tinggi. Di samping itu, terumbu karang juga merupakan bahan dasar pembuatan obat-obatan dan kosmetika. Gugusan terumbu karang yang sehat dengan berbagai keindahan biota laut di bawah laut juga sangat potensial sebagai objek wisata bahari, yang juga merupakan sumber pendapatan penduduk di sekitarnya. Sedangkan nilai ekologis terumbu karang dapat dilihat dari fungsinya sebagai ‘rumah’ ikan, tempat tumbuh dan berkembang biaknya ikan-ikan karang. Terumbu karang juga berfungsi melindungi pantai dan pulau-pulau kecil dari badai dan ombak besar, sehingga mampu mencegah dan memperlambat terjadinya degradasi pantai. Eksplorasi sumber daya laut (SDL) pada umumnya, di satu sisi memberikan sumbangan devisa bagi negara, terutama dengan kecenderungan semakin meningkatnya permintaan berbagai jenis ikan karang hidup dari negara-negara konsumen. Di sisi lain eksplorasi yang berlebihan dapat berdampak terhadap kerusakan ekologi,

(13)

terutama apabila pengelolaan SDL menggunakan sarana tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti bom, potas dan pukat harimau (trawl).

Kerusakan sumber daya kelautan di Indonesia, khususnya di area kantong-kantong pertumbuhan ekonomi dan padat penduduk telah semakin menjadi-jadi dalam 10 tahun terakhir. Beberapa fakta diantaranya adalah semakin menipisnya hutan mangrove, bertambahnya jumlah perairan yang mengalami over fishing dan meningkatnya destructive fishing seperti penggunaan bom ikan dan sianida. Hasil studi dari Suharsono (2005) menyimpulkan bahwa hanya sekitar 5,4 persen terumbu karang di wilayah barat Indonesia dikategorikan dalam kondisi sangat bagus dan sekitar 40,76 persen telah rusak dengan intensitas tingkat kerusakan yang berbeda antar wilayah (Coremap- LIPI, 2005). Kondisi kerusakan karang secara nasional dan per wilayah selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1.

Kerusakan Karang Menurut Wilayah dan Kategorisasi Kerusakan

Wilayah Indonesia Lokasi Stasiun

Sangat baik

Baik Cukup Kurang

Barat 278 5,40 24,10 34,17 36,33

Tengah 213 6,10 31,92 45,07 16,30

Timur 195 6,15 21,03 30,77 42,05

Indonesia 686 5,83 25,66 36,59 31,92

Sumber : Suharsono, 2005 (www.coremap.or.id)

Catatan : Sangat baik = 75 – 100% Cukup = 25 – 49,9% Baik = 50 – 74,9% Kurang = 0 -- 24,9%

Kerusakan SDL, khususnya terumbu karang disebabkan oleh banyak faktor yang dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu faktor alami dan ulah manusia (antropogenik). Kerusakan yang disebabkan oleh faktor alam antara lain terjadinya bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, badai dan ombak yang besar, perubahan iklim dan berbagai jenis penyakit. Sedangkan kerusakan yang berkaitan dengan perilaku manusia, umumnya dipicu oleh berbagai factor seperti

(14)

kemiskinan, keserakahan manusia dan kurangnya sosialisasi tentang pentingnya pelestarian terumbu karang ( Zaelany dalam Nagib dkk., 2006). Akibatnya banyak kegiatan ekplorasi SDL yang tidak ramah lingkungan, seperti penangkapan biota laut secara terus menerus dan dalam jumlah yang berlebihan (overfishing), penggunaan racun dan bahan peledak serta pengambilan karang dan pasir. Beberapa factor yang juga menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang adalah pembangunan di daerah pesisir yang tak terkendali, penebangan hutan dan tanaman di sepanjang bantalan sungai (Widayatun dan Mujiani, 2005).

Hasil penelitian P2O-LIPI terakhir (tahun 2007) tentang baseline ekologi di Kepulauan Riau, bahwa kondisi kesehatan karang untuk wilayah Kecamatan Gunung Kijang (berdasarkan kategori Sukarno 1999), tergolong baik dan cukup. Pengamatan yang dilakukan pada 4 stasiun di perairan Timur Pulau Bintan, menunjukkan bahwa untuk 2 stasiun (KRIL 74 dan KRIL 77) dalam kondisi baik dengan tutupan karang hidup masing-masing 56,27 dan 72,10 persen. Sedangkan pada kedua stasiun lainnya (KRIL 81 dan KRIL 85) dalam kategori cukup dengan tutupan karang hidup 49,20 dan 30,17 persen. Hasil pengamatan sebelumnya oleh LIPI dan CRITC- COREMAP Kabupaten Bintan (2006) menunjukkan kondisi karang dalam kategori sedang. Sebagian besar kerusakan akibat praktek penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungann seperti pengeboman dan pemakaian jaring dasar, yang dibuktikan dengan banyaknya patahan karang di dekat daerah Teluk Dalam, Desa Malang Rapat. Program COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management

Program) merupakan program nasional sebagai upaya pemerintah

bekerja sama dengan pihak pemberi dana untuk memperbaiki sumber daya kelautan, khususnya terumbu karang. Tujuan COREMAP pada Tahap II lebih ditekankan pada terciptanya pengelolaan ekosistem terumbu karang secara berkelanjutan, agar sumber daya ini dapat direhabilitasi, diproteksi dan dikelola, sehingga nantinya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya di lokasi binaan COREMAP. Untuk mencapai tujuan ini, maka COREMAP menjadikan Pengelolaan Berbasis

(15)

Masyarakat (PBM) sebagai fokus utama kegiatan dan program. Kegiatan PBM dilaksanakan di tingkat grassroot dengan melibatkan pemerintah daerah, serta keterlibatan langsung nelayan dan masyarakat pesisir. Agar kegiatan PBM dapat berjalan baik, maka perlu didukung oleh komponen lain, yaitu: peningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat akan pentingnya pengelolaan terumbu karang (PA), pengawasan dan penegakan hukum (MCS) dan pusat riset, informasi dan training (CRITCS).

Untuk wilayah Kabupaten Bintan, lokasi program COREMAP I (tahun 2004) adalah Kecamatan Bintan Timur (sebelumnya termasuk Kabupaten Kepulauan Riau) yang mencakup Desa Mapur dan 4 desa di Kecamatan Tembelan.. Sejak tahun 2005 melalui program COREMAP II, Pemerintah Kabupaten Bintan memperluas daerah binaan yaitu Kecamatan Gunung Kijang yang mencakup Kelurahan Kawal (termasuk daerah pemekaran Desa Gunung Kijang), Desa Teluk Bakau dan Desa Malang Rapat. Sejak pemekaran tahun 2006, Kecamatan Bintan Timur termasuk dalam wilayah Kabupaten Bintan. Studi data dasar social ekonomi (T0) berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang telah dilakukan oleh LIPI pada tahun 2005 di Desa Mapur sebagai wilayah binaan COREMAP I. Sejalan dengan dilaksanakannya program COREMAP II pada tahun 2007, dilakukan juga studi lanjutan di Desa Mapur yang difokuskan pada kajian Benefit Monitoring Evaluation (BME) atau T1. Pada tahun 2007, juga dilakukan studi dasar social ekonomi (T0) di dua lokasi binaan COREMAP yaitu Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang di Kecamatan Gunung Kijang.

Studi dasar social ekonomi.ini masih diperlukan untuk mengetahui potensi daerah dan permasalahan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang. Studi ini diperlukan sebagai masukan bagi pemerintah daerah dan stakeholder terkait dalam merancang program COREMAP selanjutnya, serta untuk bahan evaluasi keberhasilan program pada tahun-tahun berikutnya. Dengan demikian studi dasar social ekonomi (T0) menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat sebelum program / intervensi COREMAP

(16)

dilakukan, sementara kajian BME (T1) dilakukan, untuk evaluasi setelah dilakukan intervensi program COREMAP di wilayah tersebut.

1.2. Tujuan

Secara umum kajian ini bertujuan untuk menyajikan data dasar mengenai kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang, di daerah binaan Coremap di Kabupaten Bintan.

Secara khusus tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

• Memberikan gambaran umum tentang lokasi COREMAP yang meliputi kondisi geografi, sarana dan prasarana, potensi sumber daya alam khususnya sumber daya laut dan pola pemanfaatannya.

• Menggambarkan kondisi sumber daya manusia yang dilihat dari pendidikan dan kegiatan ekonominya, khususnya kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang.

• Memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang diindikasikan antara lain dari pemilikan asset rumah tangga (produksi dan non-produksi), dan kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan.

• Mendeskripsikan tingkat pendapatan masyarakat, khususnya pendapatan dari kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang

• Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat.

1.3. Sasaran

• Tersedianya data dasar tentang aspek sosial-ekonomi terumbu karang yang dapat dipakai oleh para perencana, pengelola dan

(17)

pelaksana untuk merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP.

• Tersedianya data pendapatan dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi yang berbasis terumbu karang dan kegiatan alternatif lainnya pada awal program (TO) yang dapat dipakai untuk memantau dampak COREMAP terhadap kesejahteraan penduduk.

1.4. Metodologi

Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan beberapa pendekatan studi yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan pengumpulan data primer melalui survei lapangan maupun pemanfaatan data sekunder. Sedangkan pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data primer melalui beberapa cara seperti wawancara mendalam, grup diskusi terfokus (FGD) serta pengamatan aspek terkait di lapangan.

Seleksi area studi

Lokasi kajian merupakan daerah binaan COREMAP, dengan menekankan pada daerah pesisir dan kepulauan yang relative tertinggal dan miskin. Kondisi alam dan kehidupan social ekonomi masyarakat relative homogen, dalam arti mayoritas penduduk mempunyai tingkat ketergantungan tinggi pada pengelolaan sumber daya laut, terutama berkaitan dengan pemanfaatan terumbu karang di wilayahnya. Untuk keperluan survei, dipilih dua lokasi sebagai area

sample, dengan memperhatikan keragaman kondisi wilayah. Sebagai

upaya efisiensi (waktu, tenaga dan dana), studi ini mengambil sample satu kecamatan yaitu Kecamatan Gunung Kijang dengan dua desa binaan sebagai lokasi kajian yaitu Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang. Pertimbangan lain, meskipun letak kedua desa relatif berjauhan, kedua daerah ini masih dapat dicapai dari Kota Tanjung Pinang, baik karena factor jarak maupun akses transportasi. Di

(18)

samping pertimbangan tersebut, pilihan kedua daerah binaan juga disarankan oleh pemerintah kabupaten (DKP) dan COREMAP untuk dikaji, karena merupakan sasaran program COREMAP tahun 2007. Kedua desa terpilih mempunyai ketergantungan tinggi pada SDL, kondisi social ekonomi yang relative tertinggal, sebagai desa binaan Coremap dan tersedia akses untuk mencapai lokasi. Meskipun survei memusatkan perhatian pada kedua desa sample, tetapi informasi dan data terkait di tingkat kecamatan dan kabupaten juga mendapat perhatian untuk keperluan analisa yang lebih luas. .

Pengumpulan Data

Seleksi responden (Rumah Tangga)

Data primer dikumpulkan dengan menggunakan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif. Data kuantitatif diperoleh melalui survei dengan menggunakan teknik interview semi struktural dengan bantuan instrumen kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya. Untuk kedua lokasi sampel dipilih 100 rumah tangga untuk diwawancarai. Pemilihan 100 rumah tangga pada masing-masing lokasi kajian (2 desa) dilakukan dengan kombinasi purpossive dan random sampling, dengan memperhatikan proporsi penduduk pada masing-masing lokasi studi. Data maupun informasi yang dikumpulkan melalui survei meliputi: profil rumah tangga (jumlah anggota rumah tangga, jenis kelamin, umur, pendidikan, status kerja) dan pendapatan rumah tangga dengan memperhatikan perubahan musim dan lapangan kerja yang tersedia. Wawancara dengan menggunakan kuesioner berstruktur, dibantu oleh 10 pewawancara yang berasal dari kedua lokasi studi (masyarakat setempat).

Data primer juga dikumpulkan melalui wawancara mendalam

(in-depth interview), observasi dan FGD (focus group discussion), yang

dilakukan oleh tim peneliti dari PPK-LIPI. Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa informan/stakeholder seperti aparat dari instansi terkait (DKP), Bappeda kabupaten, Pimpinan/staf COREMAP di kabupaten dan lokasi, tokoh formal di tingkat

(19)

kecamatan dan desa, tokoh informal masyarakat, pimpinan /staf kantor kecamatan dan desa/kelurahan, nelayan serta pedagang/ pengumpul ikan.

Instrumen penelitian untuk wawancara mendalam dan FGD berupa matrik panduan wawancara, yang telah disiapkan sebelumnya dan mengalami perkembangan sesuai dengan kondisi lapangan. Panduan wawancara terdiri dari daftar data dan informasi yang penting untuk dikumpulkan berkaitan dengan topik studi. Untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang isu terkait dengan topik studi, peneliti menggunakan teknik probing dan snow balling dalam menggali informasi yang dibutuhkan.

Selain data primer, dilakukan pengumpulan data sekunder yang berasal dari BPS dan beberapa instansi terkait dengan studi ini antar lain: Susenas (Survai Sosial Ekonomi Nasional) 2003/2004, Supas (Survei Penduduk Antar Sensus) 2005, Kabupaten Dalam Angka, Kecamatan Dalam Angka dan berbagai dokumen terkait yang tersedia baik di lokasi penelitian maupun lainnya. Problem utama yang ditemui di lapangan, sehubungan dengan pengumpulan data, baik di tingkat kecamatan maupun desa/kelurahan adalah sangat minimnya data statistik terkini yang berkaitan dengan aspek yang dikaji.

Analisa data sekunder ini terutama untuk menggambarkan secara makro karakteristik sosio demografi penduduk dan juga menilai tingkat kesejahteraan penduduk baik di tingkat kabupaten maupun tingkat kecamatan. Data atau informasi yang akan dianalisa adalah : profil penduduk (jumlah dan komposisi penduduk, distribusi penduduk, tingkat pendidikan, aktivitas dan status kerja penduduk), pendapatan rumah tangga, pendapatan per kapita, aset rumah tangga dan kondisi perumahan, serta jumlah orang miskin.

Permasalahan di lapangan

Penghasilan rumah tangga nelayan merupakan sentral isu dari penelitian ini. Pekerjaan sebagai nelayan seperti halnya sektor pertanian pada umumnya, mempunyai penghasilan yang tidak

(20)

menentu, tergantung musim dan intensitas pengelolaannya. Hal ini seringkali menyulitkan para peneliti dalam memperoleh data yang akurat, baik karena sifat pekerjaannya yang non-formal, maupun minimnya pengertian tentang konsep perhitungan penghasilan untuk komoditi yang non komersial, atau bersifat subsisten yaitu hanya untuk dikonsumsi sendiri/keluarga. Perbedaan persepsi dalam perhitungan penghasilan akan berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh, sehingga menyulitkan pembuat kebijakan dalam menyusun agenda maupun berbagai program untuk komunitas nelayan tersebut. Dalam penelitian ini, pendapatan rumah tangga merupakan kumpulan dari penghasilan semua anggota rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan kenelayanan maupun non-nelayan. Secara sederhana pendapatan yang diperoleh rumah tangga dihitung dari perkalian antara jumlah produksi yang dihasilkan rumah tangga dan harga jual rata-rata hasil produksi tersebut, kemudian dikurangi biaya yang dikeluarkan selama proses produksi. Permasalahan timbul karena pendapatan dari nelayan atau petani lain, tidak sama waktu/musimnya sehingga untuk memperoleh data tentang pendapatan sebulan/setahun, perlu ketelitian dalam menghitung hasil produksi selama musim tertentu, dan mengalikan dengan frekuensi panen dalam setahun. Demikian pula persepsi tentang pendapatan bagi nelayan biasanya menganggap pendapatan adalah hasil produksi yang dipasarkan, sedangkan bagi masyarakat subsisten, atau jumlah yang dikonsumsi sendiri tidak dianggap sebagai pendapatn, sehingga perhitungan pendapatan cenderung under reporting. Untuk mendapatkan perkiraan pendapatan rumah tangga yang lebih akurat, perlu ada persamaan persepsi diantara peneliti dan pengumpul data di lapangan dalam hal konsep dan cara perhitungan pendapatan terutama untuk sektor informal yang waktu dan penghasilannya tidak menentu.

(21)
(22)

BAB II

PROFIL KAWASAN GUNUNG KIJANG

Bagian ini merupakan gambaran umum tentang kondisi daerah penelitian dan sekitarnya di Kecamatan Gunung KIjang. Deskripsi lokasi penelitian dijelaskan melalui tiga aspek, yaitu: kondisi geografis, keadaan sumber daya alam, dan ketersediaan sarana dan prasarana sosial-ekonomi. Aspek pertama tentang kondisi geografis yang meliputi lokasi wilayah penelitian, topografi, aksesibilitas, dan iklim/muslim di wilayah tersebut serta pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat. Aspek kedua tentang potensi sumber daya alam dan sumber daya laut yang dimiliki daerah, termasuk upaya pemanfaatan dan pengelolaannya. Bagian terakhir tulisan ini mendeskripsikan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, ekonomi, transportasi dan komunikasi, serta kelembagaan sosial ekonomi yang terkait dengan pengelolaan sumber daya laut. Pembahasan ketiga aspek di atas meliputi gambaran umum tentang kondisi di Kecamatan Gunung Kijang dan tingkat desa yang menjadi lokasi survai, yaitu Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang.

2.1. Kondisi

Geografis

Kecamatan Gunung Kijang merupakan salah satu dari 6 kecamatan yang ada di Kabupaten Bintan1. Wilayah Kecamatan ini mencakup

1

Wilayah Kabupaten Bintan mencakup Kecamatan Bintan Utara, Bintan Timur, Teluk Bintan, Gunung Kijang, Teluk Sebong, dan Tambelan. Sebagian besar kecamatan ini memiliki wilayah daratan di Pulau Bintan yang menjadi pusat pemerintahan kabupaten dan provinsi, kecuali wilayah Kecamatan Tambelan yang letaknya terpisah dari daratan Pulau Bintan. Kabupaten Bintan memiliki luas wilayah mencapai 88.038,5 km2, tetapi luas wilayah daratannya hanya sebesar 1.946,1 km2 (2,2 persen) saja. Sebagai daerah kepulauan, Kabupaten Bintan memiliki lebih dari 200 pulau yang tersebar di antara 2000’ Lintang Utara – 1020’ Lintang Selatan dan 1040 – 1080 Bujur Timur, namun hanya 49 pulau diantaranya

(23)

area daratan dan perairan dengan luas keseluruhan mencapai 4.929,7 km². Meskipun luas wilayah daratan hanya mencapai 503,1 km², namun wilayah daratan Kecamatan Gunung Kijang merupakan wilayah daratan terluas dibandingkan 5 kecamatan lain yang ada di Kabupaten Bintan. Kecamatan ini memiliki sekitar 15 buah pulau, akan tetapi pulau yang dihuni oleh penduduk hanya berada di daratan bagian timur laut Pulau Bintan. Sedangkan beberapa pulau yang menjadi bagian dari wilayah kecamatan ini antara lain Pulau Nikoi, Pulau Beralas Bakau, dan Pulau Beralas Pasir.

yang berpenghuni. Pulau-pulau yang relatif besar antara lain adalah Pulau Bintan, Mapur, dan Tambelan.

Gambar 2.1.

Peta Kawasan Gunung Kijang

Keterangan:

1. Kota Tanjung Pinang

2. Kijang (pusat Kec. Bintan Timur) 3. Kawal (pusat Kec. Gunung Kijang 4. Desa Gunung Kijang

5. Desa Malang Rapat

Pulau Bintan 1 2 3 4 5

(24)

Kecamatan Gunung Kijang meliputi 3 desa dan 1 kelurahan, yaitu Desa Gunung Kijang, Teluk Bakau, Malang Rapat dan Kelurahan Kawal. Secara administratif wilayah Kecamatan Gunung Kijang berbatasan dengan wilayah Kecamatan Teluk Sebong di sebelah utara, Kecamatan Teluk Bintan di sebelah barat, Kecamatan Bintan Timur di selatan, dan Laut Cina Selatan di sebelah timur. Pusat aktivitas ekonomi untuk kawasn ini terletak di Kelurahan Kawal yang berjarak sekitar 20 km dari ibukota kabupaten. Hampir seluruh wilayah desa di kecamatan ini dapat diakses dengan jalan darat beraspal yang menghubungkan wilayah ini dengan ibukota kabupaten. Sementara itu beberapa wilayah yang terletak relatif jauh dari jalan raya sulit diakses, terutama dipengaruhi oleh faktor kondisi jalan dan sarana transportasi umum yang masih terbatas.

Kedua desa yang menjadi lokasi survai dalam penelitian ini memiliki karakteristik wilayah yang cukup berbeda. Lokasi Desa Gunung Kijang berada di wilayah paling ujung bagian selatan Kecamatan Gunung Kijang. Secara administratif wilayah desa ini berbatasan dengan wilayah Kelurahan Kawal di sebelah utara, Desa Toapaya (barat), Desa Kelong dan Kelurahan Sei Lekop (selatan), dan Laut Cina Selatan (timur). Desa Gunung Kijang terdiri dari 10 rukun tetangga (RT) atau kampung, diantaranya adalah Kampung Masiran, Tanjung Tangkap, Galang Batang Ulu, Galang Batang Ilir, dan Melayu.

Desa Malang Rapat berada di wilayah paling ujung sebelah utara Kecamatan Gunung Kijang. Wilayah desa ini berbatasan langsung dengan wilayah Desa Berakit di sebelah utara, Desa Teluk Bakau (selatan), Desa Toapaya (barat) dan Laut Cina Selatan (timur). Desa ini memiliki satu dusun yang meliputi 3 rukun warga (RW) dan 6 rukun tetangga (RT), diantaranya adalah wilayah Kampe dan Teluk Dalam yang menjadi lokasi survei.

Dilihat dari topografinya, kondisi alam Kecamatan Gunung Kijang cukup bervariasi. Daerah di sepanjang pantai timur Pulau Bintan memanjang dari selatan ke utara, mulai dari wilayah pesisir Desa Gunung Kijang, Kelurahan Kawal, Desa Teluk Dalam, sampai ke

(25)

wilayah pesisir Desa Malang Rapat. Kondisi topografi di daerah pesisir ini umumnya merupakan dataran yang landai dengan ketinggian wilayah hanya sekitar 5 sampai 10 meter di atas permukaan laut.

Kondisi topografi pesisir di bagian timur Kecamatan Gunung Kijang ini berbeda dengan kondisi di daerah pedalaman. Daerah pedalaman wilayah kecamatan ini (termasuk di Desa Malang Rapat), umumnya merupakan kawasan perkebunan dan pertanian. Selain perkebunan karet dan kelapa sawit, di beberapa lokasi juga terdapat areal pertanian, terutama untuk komoditi sayur-sayuran. Sementara itu topografi daerah berbukit-bukit dapat dijumpai di beberapa wilayah, terutama di kawasan hutan lindung yang terletak di Desa Gunung Kijang. Daerah di sekitar kawasan hutan lindung ini menjadi area penambangan bahan galian yang memang menjadi salah satu potensi yang dimiliki daerah ini, seperti bahan galian pasir, batu granit dan bauksit.

Sebagaimana wilayah-wilayah lain yang ada di Pulau Bintan, Kecamatan Gunung Kijang beriklim tropis dengan temperatur rata-rata antara 23,9 dan 31,8 derajat celcius dengan kelembaban udara sekitar 85 persen (BPS Kabupaten Bintan, 2006). Masyarakat di kecamatan ini mengenal dua musim, yaitu musim penghujan dan kemarau. Musim hujan di wilayah ini berlangsung lebih lama, ditandai dengan curah hujan yang hampir terjadi sepanjang tahun. Hal ini memberikan keuntungan bagi penyediaan air untuk keperluan sehari-hari masyarakat di wilayah ini. Sedangkan musim kemarau umumnya berlangsung pada bulan Juli dan Agustus.

Kedaan cuaca di wilayah Kecamatan Gunung Kijang dipengaruhi oleh angin utara, timur, barat, dan selatan. Musim angin utara umumnya berlangsung antara bulan November dan Maret. Musim ini ditandai dengan angin yang sangat kencang dan gelombang laut yang besar, terutama pada bulan Desember dan Januari. Pada bulan ini angin dan gelombang yang cukup besar dapat merusak perahu nelayan serta bagian-bagian rumah yang ada di sepanjang pesisir pantai. Nelayan pada musim ini juga sulit untuk pergi melaut

(26)

dikarenakan perahu dan alat tangkap mereka tidak mampu melawan kuatnya angin dan gelombang. Pada musim ini nelayan umumnya hanya melaut di sekitar pesisir pantai. Sedangkan bagi mereka yang memiliki perahu dan alat tangkap yang lebih memadai, musim ini mendatangkan keuntungan sendiri karena bersamaan waktunya dengan musim ikan tenggiri yang harganya relatif mahal. Pada musim ini nelayan juga dapat melaut pada waktu angin kelihatan teduh pada jarak sampai dengan 4 mil dari garis pantai.

Musim angin timur umumnya berlangsung antara bulan Maret dan Mei, sedangkan musim angin barat berlangsung antara bulan Juni dan Agustus/September. Keadaan cuaca pada kedua musim ini cukup teduh karena angin bertiup tidak terlalu kencang. Hal ini memungkinkan nelayan untuk pergi melaut setiap hari dengan jangkauan wilayah yang lebih luas dan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Sedangkan musim angin selatan berlangsung antara bulan September dan November yang ditandai dengan kondisi air laut yang lebih keruh. Masa ini merupakan masa peralihan dari musim teduh ke musim gelombang kuat, yang biasa dikenal dengan musim pancaroba.

2.2. Kondisi Sumber Daya Alam

Sebagai daerah kepulauan dengan wilayah perairan yang jauh lebih luas, daerah-daerah di Kabupaten Bintan memiliki sumber daya perairan yang berpotensi untuk terus dikembangkan. Selain itu wilayah daratan Pulau Bintan ternyata juga memiliki berbagai potensi sumber daya alam yang potensial mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat di wilayah tersebut, apabila dikelola dengan baik dan berkesinambungan. Pada bagian ini uraian tentang kondisi sumber daya alam yang meliputi potensi sumber daya alam di darat dan potensi sumber daya alam di laut, baik di tingkat Kecamatan Gunung Kijang maupun di tingkat Desa (Malang Rapat dan Gunung Kijang).

(27)

Sumber Daya Alam (Darat)

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Kecamatan Gunung Kijang memiliki wilayah terluas dibandingkan kecamatan-kecamatan lainnya di Kabupaten Bintan. Kecamatan ini juga memiliki kawasan hutan lindung seluas 760 Km2 yang terletak di Desa Gunung Kijang. Sebagaimanana telah disebutkan sebelumnya, daerah sekitar kawasan hutan lindung di Desa Gunung Kijang ini memiliki potensi di sektor pertambangan. Sampai saat ini terdapat beberapa perusahaan penambangan bahan galian yang masih beroperasi, antara lain usaha penambangan pasir dan batu granit. Usaha lain yang terdapat di desa ini antara lain industri pembuatan batu bata merah, industri pemecah batu dan industri pembuatan bahan bangunan (beton). Industri-industri tersebut telah beroperasi di wilayah ini sejak beberapa puluh tahun terakhir, dengan menempati lahan yang kebanyakan milik penduduk setempat yang telah dijual ke pengusaha.

Kegiatan penambangan pasir dan bahan galian lainnya telah lama beroperasi di daerah ini, selain untuk memenuhi kebutuhan lokal, juga untuk keperluan ekspor ke negara tetangga2. Pengerukan pasir di daerah ini umumnya kurang diimbangi dengan upaya pelestarian lingkungan dan reklamasi di area penambangan tersebut. Di beberapa wilayah desa di wilayah ini dengan mudah dapat dilihat lahan yang terbuka lebar dan dalam, bekas-bekas area penambangan pasir yang ditinggalkan oleh pengelola, setelah selesai beroperasi. Area yang sebelumnya merupakan daerah hutan atau tegalan yang ditumbuhi semak belukar, kini berubah menjadi daerah kering dan tandus, atau menjadi daerah dengan genangan air seperti ’danau-danau’ kecil. Hal

2

Industri penambangan pasir telah beroperasi di daerah ini puluhan tahun terakhir dan semakin meningkat aktivitasnya sampai adanya peraturan nasional yang melarang ekspor pasir darat yang berlaku awal tahun 2007 ini. Kebijakan ini memerlukan pengawasan yang ketat dalam pelaksanaannya, karena ditengarai kegiatan ekspor pasir ini tetap dapat berlangsung secara ilegal. Pengangkutan pasir ekspor biasanya dilakukan dengan menggunakan tongkang melalui pelabuhan-pelabuhan darat kecil (jeti) dengan luas minimal satu hektar yang umumnya dimiliki setiap perusahaan yang beroperasi (www.kompas.com/kompas-cetak/0703/17/Fokus/3393394).

(28)

ini berdampak pada penurunan daya dukung lingkungan di wilayah tersebut, karena untuk memfungsikan kembali lahan tersebut terkendala dengan status tanah yang telah berganti pemilik dan kebanyakan tidak tinggal di wilayah tersebut.

Selain memiliki potensi di sektor pertambangan bahan galian, di pesisir Desa Gunung Kijang memiliki potensi sektor perkebunan kelapa. Namun demikian usaha pengembangan sektor ini mengalami kemunduran, karena selain areal lahan perkebunannya semakin sempit, juga karena tanaman kelapa yang dimiliki penduduk semakin tua dan tidak terawat, sehingga tidak produktif lagi.

Kondisi serupa juga dapat dijumpai di Desa Malang Rapat yang memiliki tanaman kelapa di sepanjang pesisir. Usaha perkebunan kelapa di wilayah ini masih potensial untuk dikembangkan, sehingga diharapkan dapat mendukung kegiatan perekonomian penduduk di wilayah tersebut. Selama ini pemanfaatan lahan pertanian di desa ini masih terbatas pada usaha perkebunan kelapa, terutama untuk daerah-daerah landai di sepanjang pesisir pantai. Namun sebagai usaha turun menurun, perkebunan kelapa kurang terawat, dan tidak diimbangi dengan proses peremajaan pohon yang berkesinambungan, sehingga menjadi kurang produktif. Selain itu, perkembangan usaha ini juga

Gambar 2.2.

Salah satu areal bekas penambangan pasir di Desa Gunung Kijang

(29)

menghadapi kendala karena semakin terbatasnya lahan yang dimiliki oleh penduduk3, sehingga mengurangi potensi sumber penghasilan masyarakat dari sektor tersebut.

Potensi lainnya di wilayah pedalaman Desa Malang Rapat adalah pengembangan lahan pertanian untuk tanaman pangan dan buah-buahan. Akhir-akhir ini sebagian penduduk (terutama pendatang dari Jawa) telah mulai mengembangkan usaha tanaman ini, meskipun masih terbatas luas dan jenis tanamannya (CRITCS COREMAP Kabupaten Bintan, 2006). Hasil pertanian ini selain dapat memenuhi kebutuhan pangan di lokasi yang selama ini tergantung pasokan dari luar, juga dapat menambah pendapatan penduduk.

3

Fenomena semakin terbatasnya lahan yang dimiliki penduduk di lokasi penelitian telah berlangsung sejak lama. Banyak penduduk yang sebelumnya memiliki tanah yang luas, tetapi telah menjual tanah-tanah mereka kepada pihak lain, dan hanya menyisakan sebagian kecil tanah-tanah tersebut untuk tempat tinggal mereka. Banyak tanah-tanah kosong di sepanjang pesisir Desa Malang Rapat yang sebelumnya dimiliki oleh penduduk setempat, kini telah dijual kepada pihak lain. Hal yang sama terjadi di Desa Gunung Kijang, lahan yang dulu milik penduduk kini dijual dan dimanfaatkan untuk usaha perkebunan, pertambangan, atau pengembangan sektor pariwisata.

Gambar 2.3. Areal Perkebunan Kelapa di

(30)

Pariwisata merupakan sektor yang sangat potensial untuk dikembangkan di Kecamatan Gunung Kijang, khususnya wisata pantai di sepanjang Pantai Trikora di Desa Malang Rapat. Hal ini didukung dengan lokasi kawasan Pantai Trikora4 yang hanya berjarak sekitar 45 kilometer dari Kota Tanjung Pinang dengan waktu tempuh 1 sampai 1,5 jam. Keberadaan wisata pantai ini juga telah meningkatkan dinamika ekonomi di wilayah ini dengan telah beroperasinya berbagai resort di sepanjang jalan ke arah pantai tersebut, maraknya pedagang kaki lima di sepanjang pantai, terutama waktu sore hari.

Di beberapa wilayah lain, seperti di Desa Gunung Kijang, juga mulai muncul beberapa cottage atau pondok wisata yang semakin banyak dikunjungi wisatawan mancanegara terutama dari negara tetangga. Beberapa resort tersebut umumnya dimiliki oleh pengusaha asing (antara lain dari Singapore) dengan membeli lahan milik masyarakat. Sedangkan peran lainnya dari masyarakat setempat masih sangat terbatas dalam pengembangan kegiatan pariwisata di wilayah ini. Beberapa orang terlibat sebagai tenaga bangunan atau penjaga resort/cottage tersebut. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah setempat, agar pengembangan wisata pantai berbasis masyarakat, sehingga dapat menjadi alternatif sumber mata pencaharian bagi penduduk di sekitarnya. Selama ini keberadaan berbagai penginapan dan resort mampu menarik wisatawan asing untuk berkunjung, namun belum banyak memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya.

4

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pemerintah Kabupaten Bintan juga telah mengidentifikasi potensi kawasan Pantai Trikora untuk dikembangkan sebagai daerah pariwisata. Kawasan pantai ini diharapkan dapat berkembang seperti kawasan Lagoi di Kecamatan Teluk Sebong. Daerah seluas 23.000 hektar ini telah berkembang menjadi daerah tujuan pariwisata internasional dan telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan sarana yang memadai. Berbeda dengan pengembangan kawasan Lagoi yang ditujukan bagi turis asing (jarang atau hampir tidak ada turis lokal yang berkunjung ke kawasan ini), pengembangan kawasan Pantai Trikora nantinya diharapkan dapat juga dimanfaatkan untuk turis domestik.

(31)

Potensi Sumber Daya Laut

Sumber daya wilayah perairan Kecamatan Gunung Kijang cukup beragam, antara lain berupa hutan mangrove, terumbu karang dan berbagai hasil perikanan tangkap. Pada saat penelitian dilakukan hutan mangrove di Kecamatan Gunung Kijang yang masih relatif lebat hanya ditemukan di daerah pantai Kampung Masiran di Desa Gunung Kijang. Menurut penuturan salah seorang informan, luas hutan mangrove terus mengalami penurunan, yaitu terutama ketika industri arang masih beroperasi di wilayah tersebut. Banyak penduduk yang menebang batang-batang mangrove di wilayah tersebut untuk memenuhi keperluan industri tersebut.

Sumber daya perairan yang penting lainnya adalah terumbu karang, . yang terdapat di sepanjang pantai di wilayah kecamatan. Kondisi terumbu karang pada saat ini telah mengalami kerusakan, akibat berbagai faktor, alam maupun ulah manusia. Menurut survai tentang kondisi terumbu karang yang dilakukan oleh Critc Coremap Kabupaten Bintan pada tahun 2006 lalu, rata-rata tutupan karang hidup di 11 titik yang diamati, termasuk dalam kategori sedang yaitu 32,05 persen. Sedangkan rata-rata karang mati mencapai 30,91 persen. Kondisi karang yang rusak atau mati diyakini disebabkan oleh

Gambar 2.4.

(32)

ulah manusia, antara lain akibat penggunaan bom dan jaring dasar untuk menangkap ikan yang dilakukan oleh nelayan. Hal ini antara lain dibuktikan dengan adanya patahan karang yang banyak dijumpai antara lain di daerah Teluk Dalam, Desa Malang Rapat (CRITCS COREMAP Kabupaten Bintan, 2006).

Sumber daya laut lainnya yang berpotensi untuk dikembangkan adalah sektor perikanan tangkap. Saat ini, perikanan tangkap yang dilakukan penduduk masih bersifat tradisional, sehingga hasil penangkapan relatif sedikit. Hasil penangkapan ikan penduduk desa setempat, berbeda jauh dengan hasil nelayan dari luar wilayah yang menggunakan alat-alat yang lebih canggih. Penurunan hasil tangkapan yang dirasakan oleh para nelayan juga disebabkan jumlah nelayan yang semakin meningkat di perairan kecamatan ini, terutama nelayan dari luar wilayah tersebut. Saat ini perairan desa tidak hanya merupakan wilayah tangkap penduduk setempat, akan tetapi juga merupakan wilayah tangkap penduduk desa-desa lainnya.

Meskipun sektor perikanan tangkap masih potensial untuk terus dikembangkan, tetapi kuantitas ikan tangkap di lokasi penelitian menurut beberapa informan telah mengalami penurunan produksi. Penurunan ini disebabkan antara lain oleh cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan di waktu sebelumnya, seperti penggunaan bom dan racun. Kini cara-cara penangkapan ikan dengan penggunaan bom dan racun sudah mulai berkurang, Menurut penuturan beberapa nelayan, pada umumnya pengguna bom dan racun dilakukan oleh nelayan dari pulau lain.

Sumber daya laut (SDL) yang menjadi unggulan penduduk desa masih terbatas pada hasil tangkapan ikan hidup dan mati., antara lain ikan kerapu, tenggiri, pari, sagai (putih) udang, cumi/sotong dan ketam/kepiting. Usaha budi daya sektor perikanan belum banyak dikembangkan di daerah penelitian, meskipun cukup potensial untuk budi daya kepiting bakau. Di beberapa kampung wilayah Desa Gunung Kijang, beberapa nelayan telah melakukannyaa secara tradisional, tetapi belum ada nelayan setempat yang mengembangkan usaha ini.

(33)

2.3. Sarana dan Prasarana

Kemajuan pembangunan suatu daerah dapat dilihat antara lain melalui ketersediaan berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan dan dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat di daerah tersebut. Bagian ini merupakan deskripsi tentang berbagai sarana dan prasarana sosial ekonomi yang terdapat di Kecamatan Gunung Kijang, khususnya di lokasi penelitian.

Sarana Pendidikan dan Kesehatan

Sarana pendidikan di Kecamatan Gunung Kijang relatif terbatas, yaitu sekolah dasar (SD) sebanyak 14 buah, yang umumnya terletak di sepanjang jalan utama yang melewati desa-desa di kecamatan ini. Sarana pendidikan menengah (SMP) berjumlah 3 buah, terdiri dari 2 sekolah umum dan 1 sekolah agama (MTs) dan sekolah menengah tingkat atas (SMA) hanya satu buah.

Kendala utama untuk memanfaatkan sarana tersebut adalah terbatasnya akses terutama bagi penduduk yang tinggal relatif jauh dari jalan utama yang menghubungkan desa-desa di Kecamatan Gunung Kijang dengan ibukota kabupaten. Sebagai contoh, di Desa Gunung Kijang hanya terdapat sebuah SD negeri yang lokasinya agak jauh dari beberapa RT/kampung yang letaknya berjauhan. Dengan kondisi geografis dan jalan yang kurang memadai, serta tidak memiliki transportasi umum, perbedaan akses yang dimiliki warga untuk memanfaatkan sarana pendidikan tersebut, menjadi hambatan untuk pencapaian Wajar 9 tahun. Masyarakat di desa ini umumnya tinggal mengelompok dengan jarak antar kampung yang relatif berjauhan, dan kurang didukung sarana jalan yang memadai, karena sebagian jalan desa masih berupa jalan tanah yang belum diaspal. Kondisi jalan semakin memprihatinkan karena banyaknya beban berat kendaraan proyek milik perusahaan pertambangan yang banyak beroperasi di wilayah ini.

(34)

Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, biasanya penduduk pergi ke Kawal atau tempat lain yang jarak dan waktu tempuhnya lebih lama. Penduduk yang tinggal di sekitar jalan raya, akses ke kota lebih mudah karena dapat menumpang kendaraan perusahaan yang beroperasi setiap hari. Kondisi yang berbeda dialami masyarakat di Desa Malang Rapat, khususnya Dusun Kampe yang lokasinya di pnggir jalan berasapal, anak-anak sekolah mendapat kemudahan karena dapat memanfaatkan bus sekolah yang disediakan secara gratis oleh Pemerintah Daerah. Keberadaan sarana angkutan ini cukup membantu, terutama bagi mereka yang harus pergi ke tempat lain untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP dan SMA. Sarana kesehatan yang tersedia di kecamatan ini adalah sebuah puskesmas dengan seorang tenaga dokter umum dan beberapa tenaga paramedis. Selain puskesmas, pelayanan kesehatan di tingkat desa juga didukung dengan keberadaan puskesmas pembantu (pustu) dan pos pelayanan terpadu (posyandu). Selain sarana kesehatan tersebut, penduduk juga masih dapat mengakses sarana kesehatan lain seperti rumah sakit, klinik dan tempat praktek dokter yang tersedia di pusat kabupaten, dan di Tanjung Pinang.

Gambar 2.5.

Posyandu di Desa Gunung Kijang, juga untuk Kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)

(35)

Sarana Ekonomi

Salah satu sarana ekonomi yang penting bagi masyarakat adalah keberadaan pasar. Aktifitas ekonomi masyarakat Kecamatan Gunung Kijang masih terpusat di Kota Kawal. Selain pasar, di kelurahan ini juga terdapat beberapa pusat pertokoan yang menyediakan berbagai barang kebutuhan sehari-hari masyarakat. Bagi penduduk di Desa Gunung Kijang, mereka juga memiliki alternatif untuk pergi ke Kijang (ibukota Kecamatan Bintan Timur) yang jaraknya relatif hampir sama dengan ke Kawal. Dalam kurun waktu tertentu, masyarakat yang relatif mampu biasanya juga pergi ke Tanjung Pinang untuk berbelanja barang-barang yang tidak tersedia di Kawal maupun Kijang.

Di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang, sarana untuk melakukan kegiatan ekonomi masih sangat terbatas. Di lokasi kajian, belum tersedia pasar untuk transaksi jual beli. Sarana ekonomi masih terbatas pada keberadaan beberapa warung sederhana atau pedagang keliling yang kadang-kadang datang ke desa. Demikian pula sarana untuk kegiatan jual beli hasil kegiatan kenelayanan, seperti tempat pelelangan ikan (TPI), sampai saat ini belum tersedia di Kecamatan Gunung Kijang. Sarana penunjang kegiatan kenelayanan yang tersedia berupa dermaga-dermaga kecil yang dipergunakan untuk menambatkan perahu nelayan dan mendaratkan ikan. Di Kelurahan Kawal terdapat sebuah dermaga yang relatif besar, sedangkan di Desa Malang Rapat terdapat 3 buah dermaga kecil. Hasil tangkapan ikan selanjutnya ditampung di tempat pedagang pengumpul (Taoke) atau langsung diangkut ke Kawal atau tempat lain (Kijang atau Tanjung Pinang) untuk dipasarkan.

Nelayan di Desa Malang Rapat pada umumnya terutama yang tinggal dekat dengan jalan raya memperoleh kemudahan dalam pemasaran hasil produksi, karena keberadaan jalan darat yang cukup memadai di sepanjang pantai Desa Malang Rapat, Teluk Bakau, dan Kawal. Untuk mobilitas antara daerah atau memasarkan hasil produksi, masyarakat dapat menggunakan kendaraan sendiri atau menumpang kendaraan lain yang banyak berlalu lalang di jalan tersebut.

(36)

Sedangkan penduduk di Desa Gunung Kijang lebih terbatas akses transportasinya, sehingga harus menggunakan kendaraan sendiri untuk mengangkut hasil tangkapan mereka ke penampung atau lokasi pemasaran.

Sarana lain yang mendukung kegiatan kenelayanan di Kecamatan Gunung Kijang adalah tersdedianya stasiun pengisian bahan bakar milik Pertamina, antara lain di dekat kantor Desa Malang Rapat. Fasilitas ini selain banyak membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar alat transportasi darat, juga sangat membantu para nelayan memenuhi kebutuhan bakan bakar untuk perahu motornya.

Sarana Transportasi dan Komunikasi

Wilayah daratan Kecamatan Gunung Kijang merupakan bagian dari Pulau Bintan, yang sekaligus juga menjadi bagian dari ibukota kabuputen, mempunyai akses ke Kota Tanjung Pinang dan Provinsi Kepulauan Riau. Berkaitan dengan sarana transportasi darat, fasilitas jalan beraspal di Pulau Bintan umumnya telah menjangkau sebagian besar kecamatan dan desa di wilayah ini, termasuk dengan wilayah Kecamatan Gunung Kijang. Hal ini juga didukung dengan keberadaan berbagai angkutan umum maupun kendaraan sewa yang relatif memadai dan biaya yang cukup terjangkau. Namun demikian angkutan umum dari Tanjung Pinang ke Kecamatan Gunung Kijang hanya beroperasi pada jam-jam tertentu, dan hanya melayani rute sampai ke Kota Kawal yang menjadi pusat aktivitas di kecamatan tersebut. Transportasi dari Kawal ke desa-desa di sekitarnya seperti Malang Rapat dan Teluk Bakau, harus menyewa kendaraan bermotor atau memakai jasa ojek.

(37)

Kondisi yang lebih sulit apabila harus melanjutkan perjalanan kampung-kampung di Desa Gunung Kijang. Selain kondisi jalan yang belum memadai (masih banyak jalan tanah), lokasi kampung juga berjauhan, penduduk banyak mengelompok di dalam kebun yang lokasinya agak ke dalam dari jalan beraspal. Hal ini berpengaruh terhadap langkanya fasilitas angkutan umum yang melalui rute ke desa ini, meskipun secara geografis letak wilayah desa ini lebih dekat ke arah Tanjung Pinang, dibandingkan desa-desa lainnya di Kecamatan Gunung Kijang. Masyarakat umumnya menggunakan kendaraan motor sendiri atau menumpang kendaraan lain untuk mobilitas ke luar wilayah desa ini.

Sumber informasi yang banyak digunakan masyarakat Kecamatan Gunung Kijang adalah televisi dan radio lokal, meskipun untuk jangka waktu yang relatif terbatas, tergantung fasilitas PLN ke wilayah tersebut. Fasilitas listrik PLN belum dinikmati oleh semua penduduk desa, karena baru menjangkau wilayah-wilayah tertentu di kecamatan ini. Demikian pula di Desa Malang Rapat, jangkauan fasiltas listrik terbatas di sepanjang jalan utama dan pusat Desa Malang Rapat, belum sampai ke kampung yang relatif jauh dari pusat seperti Dusun Kampe yang berbatasan dengan desa di wilayah kecamatan lain. Demikian juga untuk sebagian besar kampung yang

Gambar 2.6.

Kondisi Jalan di Desa Malang Rapat (kiri) dan Desa Gunung Kijang (kanan)

(38)

ada di Desa Gunung Kijang, belum memperoleh fasilitas listrik PLN. Salah satu sebab belum meratanya fasilitas listrik di Kecamatan Gunung Kijang, karena wilayah desa yang cukup luas dengan jarak antar kampung yang relatif jauh. Meskipun banyak usulan pengadaan listrik PLN oleh kampung/desa, tetapi sampai sekarang masih banyak wilayah yang belum terpenuhi.

Bagi daerah yang belum memperoleh fasilitas listrik PLN, masyarakat harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk memenuhi kebutuhan listrik sendiri, misal bagi yang relatif mampu dengan menggunakan mesin genset untuk keperluan penerangan dan aktivitas lainnya. Untuk menghemat biaya, biasanya penggunaan mesin genset dibatasi waktunya pada sore dan malam hari (pukul 17.00-22.00). Sedangkan bagi masyarakat yang kurang beruntung, cukup menggunakan pelita yang biayanya relatif murah. Keterbatasan fasilitas penerangan yang dialami di beberapa wilayah seperti Kampung Masiran dan Kampung Galang Batang Ilir (Desa Gunung Kijang) dan Kampung Kampe (Desa Malang Rapat), berpengaruh terhadap aktivitas warga, seperti kebutuhan penerangan untuk keluarga dan kegiatan belajar anak sekolah, akses hiburan dari televisi dan radio. Dengan mesin genset, waktunya terbatas dan biayanya relatif mahal.

Media informasi berupa surat kabar hanya dapat diakses terutama di pusat kabupaten dan kecamatan. Di tingkat desa, masyarakat umumnya belum terbiasa mengakses kedua sumber informasi. Demikian pula sarana telepon kabel juga belum menjangkau seluruh wilayah. Dengan kemajuan teknologi, sebagian masyarakat desa berusaha memiliki sarana telepon genggam (mobile phone) untuk memenuhi kebutuhan komunikasi dengan pihak lain.

Wilayah daratan Kecamatan Gunung Kijang mempunyai akses jalan menuju pusat kabupaten dan Tanjung Pinang, melalui sarana transportasi perairan yang sangat terbatas. Penduduk setempat pada umumnya menggunakan kapal nelayan untuk mobilitas ke pulau-pulau kecil di sekitar wilayah kecamatan ini. Sedangkan untuk bepergian ke daerah-daerah lain di luar kabupaten, seperti Kota Batam, masyarakat dapat memanfaatkan akses jalan darat ke Tanjung

(39)

Pinang, kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan fasilitas kapal ferry.

Kelembagaan Sosial-Ekonomi dan pengelolaan SDL

Kelembagaan sosial di daerah penelitian belum banyak berkembang, kecuali kelembagaan sosial yang berkaitan dengan struktur administrasi pemerintahan desa. Di tingkat desa, terdapat kelembagaan sosial seperti Badan Perencana Desa (BPD) yang belum berfungsi secara optimal, dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang operasionalnya sampai ke tingkat desa. Di Desa Gunung Kijang program ini antara lain berupa pinjaman dana bergulir kepada kelompok nelayan dan kelompok wanita tani. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut dapat mengajukan pinjaman kepada pimpinan desa, untuk selanjutnya dilakukan verifikasi terhadap kelayakan usaha yang dilakukan oleh masing-masing kelompok.

Kelembagaan sosial yang bersifat informal mempunyai kegiatan antara lain arisan simpan pinjam yang di kelola beberapa nelayan di Kampung Masiran dan Kampung Galang Batang Ilir, Desa Gunung Kijang. Kegiatan arisan antara nelayan-nelayan di kedua kampung ini dilakukan secara bergantian tempatnya, di Kampung Masiran dan di Kampung Galang Batang Ilir. Kegiatan arisan selama ini cukup membantu para nelayan, terutama bagi nelayan yang mengalami kesulitan keuangan atau membutuhkan bantuan modal.

(40)

BAB III

PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT

.

Pengelolaan sumber daya laut merupakan hal yang penting dalam program penyelamatan terumbu karang. Melalui pengelolaan yang optimal, dengan memperhatikan keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi, keberlanjutan sumber daya laut yang merupakan sumber penghidupan masyarakat akan terjaga. Bab ini akan menguraikan aspek yang terkait dengan pengelolaan sumber daya laut yaitu pengetahuan, sikap dan kepedulian masyarakat terhadap terumbu karang. Selanjutnya tentang pemanfaatan sumber daya laut termasuk produksi, pemasaran dan pengelolaan pascapanen, wilayah pengelolaan, teknologi yang digunakan dan terakhir tentang permasalahan dalam pengelolaan SDL baik internal maupun eksternal.

3.1. Pengetahuan, Sikap dan Kepedulian Masyarakat Terhadap Penyelamatan Terumbu Karang

Pengetahuan tentang terumbu karang

Pengetahuan merupakan dasar untuk melakukan tindakan yang benar. Dalam konteks pelestarian terumbu karang, pengetahuan tentang terumbu karang sangat diperlukan bagi stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan tersebut. Stakeholders utama yang terlibat adalah nelayan dan masyarakat yang tinggal disekitarnya, karena mereka ini yang selalu berinteraksi dengan laut. Dengan pengetahuan yang memadai diharapkan nelayan dan masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam menjaga terumbu karang dari tindakan yang merusak sehingga dapat berkelanjutan untuk digunakan bagi generasi selanjutnya.

(41)

Pengetahuan responden berkaitan dengan terumbu karang bervariasi (Diagram 3.1). Sebagian besar responden pada penelitian ini (83 persen) mengetahui bahwa ’terumbu karang merupakan mahluk hidup’, Kondisi ini cukup menggembirakan karena pengetahuan ini dapat menjadi dasar dalam tindakan untuk tetap memelihara terumbu karang, dan mempertahankan supaya tetap hidup, sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan di wilayah tersebut.

Diagram 3.1.

Pengetahuan Responden tentang ‘Terumbu Karang sebagai Mahluk Hidup’

83% 5%

12%

Ya Tidak Tidak tahu

Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007 Pengetahuan selanjutnya berkaitan dengan terumbu karang termasuk dalam jenis tumbuh-tumbuhan atau hewan. Untuk pertanyaan ini, sebagian besar responden tidak mengetahui bahwa terumbu karang termasuk jenis hewan. Sebagian besar (70 persen) responden menyatakan jawaban yang salah yaitu ‘terumbu karang termasuk dalam kategori tumbuh tumbuhan’. Sedangkan untuk jawaban ‘merupakan jenis hewan’ hanya sekitar 5 persen, selebihnya

(42)

berpendapat termasuk dalam kedua jenis (hewan dan tumbuh-tumbuhan) dan tidak tahu. Ketidaktahuan ini perlu mendapatkan perhatian karena akan berpengaruh terhadap cara pemeliharaannya. Oleh karena sebagian besar responden mengatakan terumbu karang sebagai tumbuh-tumbuhan, kemungkinan masyarakat akan memperlakukan terumbu karang sebagai tumbuh-tumbuhan yang tentunya berbeda perlakuannya apabila mereka mengetahui terumbu karang termasuk jenis makhluk hewan.

Diagram 3.2.

Pengetahuan Responden tentang Jenis Mahluk Hidup dari Terumbu Karang

Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007 Pengetahuan yang penting adalah tentang kegunaan terumbu karang. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa sebagian besar responden (97 persen) mengetahui kegunaan terumbu karang yaitu sebagai tempat ikan hidup, bertelur dan mencari makan. Demikian pula pengetahuan responden tentang kegunaan terumbu karang lainnya seperti melindungi keragaman ikan/biota laut (keanekaragaman hayati) dan melindungi pantai dari ombak dan badai juga tinggi masing–masing mempunyai persentase 96 dan 86. Pengetahuan

(43)

responden tentang kegunaan terumbu karang ini diperoleh dari hasil interaksi keseharian nelayan dengan laut terutama dengan terumbu karang. Menurut para nelayan, di wilayah yang terumbu karangnya masih bagus, ditemukan berbagai macam biota laut dalam jumlah yang banyak.

Sedangkan pengetahuan tentang kegunaan terumbu karang yang sifatnya ekonomis seperti sebagai sumber bahan baku untuk obat, fondasi rumah dan lainnya serta sumber pendapatan masyarakat dan tempat wisata hanya diketahui oleh sebagian masyrakat masing-masing 63, 68 dan 53 persen. Meskipun daerah ini merupakan daerah wisata yang berbasis kelautan, masyarakat kurang mengetahui bahwa terumbu karang berguna untuk sasaran tempat wisata. Kondisi ini kemungkinan karena masyarakat kurang dilibatkan dalam kegiatan wisata tersebut, sehingga pengetahuan masyarakat terbatas.

Diagram 3.3.

Pengetahuan tentang Kegunaan Terumbu Karang

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Tempat ikan hidup/btelur Melindungi keragaman Melindungi pantai dr omb Sumber bahan baku Sumber pendpatan masy Tempat wisata

(44)

Pendapat tentang kondisi terumbu karang sangat beragam. Persentase tertinggi terlihat pada responden yang berpendapat terumbu karang dalam kondisi rusak dan kurang baik, masing-masing 31 dan 26 persen. Meskipun demikian, responden yang berpendapat terumbu karang dalam kondisi baik masih cukup tinggi (sekitar 25 persen) Selebihnya berpendapat ’tidak tahu’ dan ’terumbu karang dalam kondisi sangat rusak’. Pandangan responden yang beragam terhadap kondisi terumbu karang kemungkinan akan berdampak terhadap pengelolaan selanjutnya.

Diagram 3.4.

Pendapat responden tentang kondisi terumbu karang

0 5 10 15 20 25 30 35 Baik Kurang baik Rus ak Sangat rus ak Tidak tahu

Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI 2007 Meskipun pendapat responden tentang kondisi terumbu karang beragam, tetapi sikap responden terhadap perbaikan terumbu karang sangat positif. Sebagian besar responden (90 persen) mengungkapkan bahwa kondisi terumbu karang perlu diperbaiki. Responden yang mengatakan kondisi terumbu karang tidak perlu diperbaiki sangat terbatas yaitu hanya 3 persen, sedangkan 7 persen lainnya tidak tahu.

(45)

Pernyataan responden ini akan menjadi modal yang potensial untuk mendorong program penyelamatan terumbu karang.

Pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan pengetahuan dan sikap terhadap alat tangkap yang merusak. Pengetahuan tentang alat tangkap yang merusak terumbu karang sangat penting diketahui, terutama oleh nelayan yang pekerjaan sehari-harinya sebagai penangkap ikan. Dengan bekal pengetahuan tentang alat tangkap yang merusak, diharapkan akan berpengaruh terhadap pengurangan penggunaan alat tersebut. Pengetahuan tentang alat tangkap yang merusak sangat beragam. Sebagian besar responden mengungkapkan bahwa bom, sianida/racun/tuba dan trawl/pukat harimau/pukat ular dan lampara dasar merupakan alat tangkap yang merusak. Bom sebagai alat tangkap yang merusak, diungkapkan oleh semua responden, sedangkan sianida/racun dan trawl sebagai alat tangkap yang merusak diungkapkan oleh masing-masing 89 dan 87 persen responden.

Relatif tingginya pengetahuan responden tentang alat tangkap yang merusak terumbu karang, disebabkan pengalaman yang diperoleh sebagai nelayan baik dengan melihat maupun mendengar cerita dari orang lain. Informan yang pernah melihat penggunaan bom menceritakan bahwa setelah bom dilemparkan dan meledak, ikan-ikan mati dan terumbu karang pecah berantakan. Beberapa tahun yang lalu bom marak digunakan di wilayah ini, dan kebanyakan dilakukan oleh nelayan dari luar. Namun dalam dua tahun terakhir penggunaan bom sebagai penangkap ikan sudah menurun secara drastis.

Penggunaan alat tangkap lainnya (selain ketiga alat tersebut) sebagai perusak karang, hanya diungkap oleh sebagian kecil responden (Tabel 3.1). Kemungkinan karena alat-alat tersebut banyak digunakan masyarakat di wilayah ini sebagai penangkap ikan. Sebagian besar responden mengungkapkan bahwa bagan tancap merupakan alat tangkap yang tidak merusak terumbu karang. Alat tangkap ini banyak digunakan oleh nelayan di lokasi penelitian terutama di Teluk Pucung Desa Malang Rapat. Menurut penuturan informan, bagan tancap

(46)

tidak hanya dimiliki oleh nelayan di desa ini tetapi juga oleh nelayan luar wilayah ini. Demikian pula bubu sebagai alat penangkap ikan yang merusak terumbu karang hanya dikemukakan oleh 5 persen responden, meskipun penggunaaan alat tersebut dilekatkan pada karang. Ketidaktahuan masyarakat bahwa sebagian alat-alat tersebut juga merusak terumbu karang perlu mendapat perhatian, paling tidak masyarakat diberi pengetahuan untuk mengurangi risiko alat tersebut terhadap kerusakan karang.

Tabel 3.1.

Pengetahuan Responden tentang Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang (dalam persen)

Pendapat alat tangkap merusak Jenis alat tangkap

Ya Tidak Bom 100 0 Bagan tancap 2 98 Bagan apung 3 97 Sianida/racun/tuba 89 11 Bubu/perangkap ikan 5 95 Trawl/pukat harimau/pukat ular/lampara dasar 87 13 Jarring apung 4 96 Pancing 3 97 Tombak/panah 7 93

Lainnya: jarring ketam 7 93

Lainnya jaring ikan 7 93

N 100 Sumber: Survai Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, PPK-LIPI, 2007

Pendapat responden tentang kondisi terumbu karang yang perlu perbaikan, juga didukung oleh kebanyakan responden yang tidak setuju pada pengambilan karang hidup yaitu sekitar 83 persen, Responden yang berpendapat setuju terhadap pengambilan karang hidup hanya sekitar 5 persen. Demikian pula untuk pengambilan

(47)

karang mati, persentase tertinggi (sekitar 48 persen) tidak setuju dengan pengambilan karang mati, dan yang menyetujui sekitar seperempat dari jumlah responden, selebihnya tidak mempunyai pendapat. Relatif tingginya responden yang setuju terhadap pengambilan karang mati karena nelayan umumnya beranggapan pengambilan karang mati tidak berpengaruh terhadap kerusakan biota laut. Dari hasil pengamatan di lapangan terlihat bahwa beberapa rumah menggunakan karang mati sebagai bahan untuk pondasi rumah.

Pengetahuan dan sikap terhadap kebijakan pengelolaan terumbu karang

Pengetahuan stakeholder terkait pengelolaan terumbu karang dapat dilihat dari pendapat mereka tentang kebijakan pemerintah terhadap pelestarian terumbu karang, termasuk nelayan dan masyarakat di sekitarnya. Sejauh mana masyarakat mengetahui peraturan dan bagaimana sikap mereka terhadap aturan yang berlaku. Tampaknya peraturan tentang larangan pengambilan terumbu karang belum tersebar luas pada masyarakat di wilayah penelitian. Hasil survai menunjukkan bahwa lebih dari separuh (51 persen) responden menyatakan tidak mengetahui adanya peraturan pengambilan terumbu karang hidup. Data hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa sekitar 12 persen dari jumlah responden yang mengetahui larangan tersebut bersikap tidak setuju terhadap larangan tersebut. Meskipun demikian sekitar 65 persen dari responden yang mengetahui peraturan tersebut juga mengetahui sanksi dari larangan pengambilan karang. Berdasarkan data tersebut, dikhawatirkan pelestarian terumbu karang akan terganggu, karena masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui peraturan dan sanksi bila peraturan dilanggar.

Meskipun masih banyak responden yang tidak mengetahui tentang peraturan larangan pengambilan terumbu karang dan sanksinya, namun tindakan responden cenderung positif, karena mereka berpendapat untuk memelihara terumbu karang dapat dilakukan dengan jalan tidak mengambil terumbu karang. Dalam setahun

(48)

terakhir, responden yang melakukan pengambilan terumbu karang hidup relatif sedikit (hanya satu responden) dan penggunaannya untuk keperluan sendiri. Sedangkan responden yang masih mengambil terumbu karang mati sekitar 3 persen (3 orang) yang digunakan untuk keperluan sendiri dan untuk dijual. Kondisi ini merupakan sikap positif masyarkat untuk membantu pelestarian terumbu karang di wilayah tersebut.

Penggunaan bom

Bom merupakan salah satu alat tangkap ikan yang potensial merusak terumbu karang. Peraturan terhadap larangan penggunaan jenis bahan peledak yang dapat merusak ekositem satwa dan tumbuh-tumbuhan karang di laut beserta sanksinya terdapat dalam UU RI No. 7 Tahun 1999. Peraturan tentang larangan ini telah diketahui secara luas oleh masyarakat di daerah penelitian. Hal tersebut ditunjukkan oleh data dari hasil survai yang mengungkapkan bahwa sebagian besar atau lebih dari tiga seperempat jumlah responden telah mengetahui adanya peraturan tersebut. Dari mereka yang mengetahui ini sekitar 85 persen menyetujui adanya peraturan, selebihnya tidak menyetujui (12 persen) dan tidak tahu sebesar 3 persen. Relatif tingginya masyarakat yang menyetujui larangan penggunaan bom, diharapkan akan membantu terpeliharanya kekayaan sumber daya laut dari ancaman penggunaan bom.

Meskipun sebagian besar responden mengetahui peraturan larangan penggunaan bom, tetapi hanya sekitar 67 persen diantaranya yang mengetahui adanya sanksi atas pelanggaran peraturan tersebut. Dilihat dari penggunaan bom di wilayah penelitian, dalam setahun terakhir masih terdapat sekitar 16 persen responden yang mengetahui adanya penggunaan bom oleh orang lain, tetapi hanya seorang responden yang masih melakukannya untuk menangkap ikan. Jumlah ini relatif tinggi bila dibandingkan dengan temuan di wilayah Desa Mapur Kecamatan Bintan Timur (Widayatun dan Mujiyani, 2006). Masih berlangsungnya penggunaan bom untuk menangkap ikan akan mengganggu upaya pelestartian terumbu karang di wilayah tersebut.

(49)

Penggunaan sianida

Penggunaan sianida/racun/tuba dalam penangkapan ikan berdampak terhadap kerusakan terumbu karang, sehingga terdapat peraturan yang melarang penggunaan alat tangkap ini. Pengetahuan tentang pelarangan penggunaan sianida sebagai alat penangkapan ikan cukup meluas di kalangan masyarakat di wilayah penelitian. Hasil survai menunjukkan sekitar 63 persen responden mengetahui peraturan tersebut, dan sekitar 81 persen diantaranya bersikap setuju terhadap peraturan tersebut. Sedangkan responden yang mengetahui adanya sanksi apabila terjadi pelanggaran hanya sekitar 62 persen. Hasil survai juga mengungkapkan bahwa sekitar 8 persen responden mengetahui adanya penggunaan sianida untuk menangkap ikan oleh orang lain, namun hanya sekitar 2 persen penggunaan sianida oleh responden.

Penggunaan trawl

Trawl merupakan alat penangkap ikan berupa jaring besar, dengan armada penangkap ikan yang relatif besar pula. Dalam operasionalnya trawl dapat menjaring semua ikan yang kecil maupun besar dan merusak terumbu karang, sehingga trawl merupakan alat penangkap ikan yang berbahaya bagi pelestarian terumbu karang. Kebijakan pemerintah untuk melarang penggunaan trawl telah dikeluarkan melalui KEPPRES No. 80 tahun 1982.

Pengetahuan responden tentang larangan penggunaan trawl relatif tinggi, karena lebih dari separuh jumlah responden (61 persen) telah mengetahui larangan tersebut, dan hanya sekitar 10 persen yang tidak menyetujui adanya larangan tersebut. Adapun yang mengetahui adanya sanksi atas pelanggaran larangan tersebut masih terbatas, yaitu kurang dari separuh (46 persen) dari jumlah responden yang mengetahui larangan tersebut.

Meskipun terdapat larangan penggunaan trawl, namun masih terdapat nelayan yang menggunakannya meskipun relatif kecil. Dalam setahun

Referensi

Dokumen terkait

Dari Hasil Survei Kehutanan 2014 (SKH2014) , banyaknya rumah tangga yang sumber pendapatan utamanya dari memungut hasil hutan/menangkap satwa liar sebesar

Hasil produksi budi daya yang terus mengalami perkembangan, baik dari sisi produksi maupun pendapatan, menyebabkan sebagian besar nelayan mulai mengalihkan aktivitas

Indikator untuk keberhasilan COREMAP dari aspek sosial-ekonomi adalah: (1) pendapatan yang diterima dari, dan jumlah penduduk yang menerima pendapatan dari kegiatan ekonomi

Mengingat mayoritas penduduk Kelurahan Karas mempunyai kegiatan ekonomi yang sangat bergantung pada sumberdaya laut, maka ada kemungkinan di kemudian hari kegiatan tersebut

Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP II 148.. Anak-anak mudanya lebih suka merantau ke daerah lain untuk memperoleh penghasilan yang lebih menjanjikan. Nampaknya

Pendapatan tertinggi kemungkinsn diperoleh saat angin tenang sehingga mereka mempunyai waktu melaut yang panjang, memiliki alat tangkap lebih dari satu dengan teknologi sarana

alah satu tujuan program COREMAP II adalah untuk meningkatkan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat nelayan, yaitu dengan memperhatikan kelestarian terumbu karang yang ada di kawasan

2014: Keterangan: Prt = Pendapatan/rumah/tangga P1 = Pendapatan on farm usaha tani, ternak, pekarangan, dan perikanan P2 = Pendapatan off farm buruh tani P3 = Pendapatan di luar