• Tidak ada hasil yang ditemukan

5. PENGAWASAN MUTU TERHADAP PRODUKREJECT

6.3. Pengawasan Mutu Produk Berdasarkan Produk Reject 1.Mutu Adonan 1.Mutu Adonan

6.3.3. Faktor Produk Reject

6.3.3.2. Penggunaan Air

Dalam pembuatan roti pasti memiliki standart untuk masing-masing bahan dalam pembuatan roti termasuk air. Pada pembuatan roti tawar biasa memerlukan air dingin sebanyak 19,5kg (biang) dan 8 kg (adonan kedua) dan untuk roti tawar klasik sebanyak 0 kg (biang) dan 34kg (adonan mixing). Walaupun telah ada takaran pastinya, tetapi masih ditemukan banyak produk reject. Hal tersebut disebabkan dari alat/wadah yang digunakan untuk menuangkan air ke dalam

mixer tidak terdapat takaran-takaran (gelas takar) sehingga sangat berpotensi terjadi kelebihan maupun kekurangan penggunaan air karena hanya mengandalkan metode kira-kira.

Penambahan air pun juga harus tepat dan sesuai takaran karena menurut Desroiser(1998), penambahan air yang berlebihan/overmampu menyebabkan adonan menjadi lengket, susah diolah, dan menjadi sangat cepat mengembang, sedangkan dengan penambahan air yang kurang (terlalu sedikit)akan mengakibatkan adonan menjadi kering bahkan overdry, keras dan tidak mengembang dengan baik (bantet) selama proses pengadukan. Jumlah penggunaan air yang diperlukan dapat diketahui apabila jenis penggunaan tepung juga telah diketahui. Dapat dikatakan bahwa total air yang digunakan dalam pembuatan adonan bergantung pada tingkat kemampuan adonan dalam penyerapan air. Matz (1992) menjelaskan bahwa, tepung yang berprotein tinggi akan mampu menyerap air lebih banyak daripada tepung yang berprotein rendah. Selain takaran air, dalam pembuatan roti juga harus memperhatikan jenis-jenis air yang digunakan. Pada pembuatan roti, perusahaan menggunaan air PAM yang apabila ingin digunakan akan melewati alat penyulingan dan masuk ke dalam tangki dan siap untuk digunakan. Proses pernyulingan ini sangat berfungsi untuk meminimalisasi adanya air keras atau air sadah.Menurut Albert et al (1984), batas maksimal kandungan air sadah adalah 300mg/l CaCO3. Adanya air keras atau sadah, seperti yang telah diketahui bahwa air keras mengandung Mg2+ yang dapat mengakibatkan adonan melepaskan gas CO2 dari dalam adonan dan adonan akan mengempes. Sehingga penggunaan airpun harus menggunakan jenis air sedang,

46

karena air sedang dapat meningkatkan kualitas jaringan gluten di dalam roti. Selain itu, bisa juga dengan menggunakan alat tambahan untuk melakukan pengecekkan terhadap air yang akan digunakan seperti metode titrasi. Untuk mengetahui tingkat kesadahan air dapat menggunakan metode titrasi. Metode titrasi ini sangat mudah dilakukan karena termasuk metode sederhana yang tidak membutuhkan waktu yang lama. Metode titrasi ini menggunakan larutan EDTA sebagai titran dengan BET (Eriochrome Black T). Titrasi ini dihentikan ketika larutan berubah warna menjadi biru yang menunjukkan tingkat kesadahan. Untuk mengukur tingkat kesadahan dapat dilakukan dengan rumus :

Kesadahan (mg/l CaCO3) = ml EDTA yang digunakan x 20

Gambar 12. Alat Untuk Titrasi

Sumber : http://kimiadasar.com/titrasi-asam-basa/ 6.3.3.3.Bentuk Adonan dan Resiko Penempatan di Loyang

Aspek yang mempengaruhi karakteristik roti baik roti tawar biasa maupun roti tawar klasik selain aspek bahan baku dan proses produksi ada pula bentuk dari adonan itu sendiri. Pembuatan adonan untuk keduanya menggunakan bahan yang sama, hanya berbeda pada pembuatan biang dan bentuk adonan saat diletakkan di dalam loyang/loaf. Pada pembuatan biang hanya dilakukan pada roti tawar biasa dan tidak pada roti tawar klasik karena pada roti tawar biasa memiliki luas permukaan yang lebih besar dan saat dikemas bagian daging dari roti tawar biasa akan lebih mencolok dibandingkan dengan roti tawar klasik. Penampakan dari roti tawar klasik lebih dicover oleh permukaan kulitnya sendiri sehingga bagian dalam tidak terlihat oleh konsumen. Selain itu lebih disebabkan karena perbedaan karakteristik yang ingin dicapai dimana karakteristik roti tawar biasa adalah roti

yang soft/lunak/halus, berpori kecil hingga sedang dan daging berwarna putih bersih. Karakteristik dari roti tawar klasik yang dicapai adalah roti yang bertekstur

soft pada bagian daging dan bertekstur cukup keras kering untuk permukaan kulit terluar, berpori sedang dan permukaan kulit berwarna coklat. Penampakan kedua roti dapat dilihat pada gambar 13.

a) b)

Gambar 13. Foto Penampakan Produk Jadi Roti Tawar : a) Roti Tawar Biasa dan b) Klasik

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Selain dilihat dari perbedaan adonan biang, juga terdapat perbedaan adonan saat diletakkan di dalam loyang/loaf. Pada roti tawar biasa, adonan dibentuk

menyerupai bentuk huruf “U”, sedangkan pada roti tawar klasik, adonan dibentuk

adonan lonjong. Foto penampakan bentuk adonan dapat dilihat pada gambar 14.

a) b)

Gambar 14. Penampakan Bentuk Adonan : a) Adonan “U” (Roti Tawar Biasai)

dan b) Lonjong (Roti Tawar Klasik)

48

Bentuk huruf “U” yang saling berlawanan pada roti tawar biasa ini bertujuan

untuk mendapatkan rongga yang memadat (berongga padat) dan untuk mengimbangkan proses pengembangan produk nantinya. Pada adonan roti klasik dibuat lonjong dengan tujuan untuk mendapatkan permukaan roti yang coklat kering dibandingkan bagian dalam, berongga sedang (tidak sepadat pada adonan roti tawar). Selian itu, pada roti klasik juga ditujukan untuk mendapatkan bentuk meninggi di bagian tengahnya. Hasil jadi keduanya sangat berbeda dimana dari segi bentuk roti, rongga dan permukaan. Masing-masing memiliki tujuan yang berbeda. Menurut buku dari Koswara (2009), roti yang berkualitas dan bermutu adalah roti yang memiliki bentuk dan ukuran yang simetris, tidak bantet, berongga kecil dan memiliki tekstur yang lembut pada daging. Selama pembuatan roti yang berkualitas akan dipengaruhi oleh adonan yang dibuat. Teknik pembentukkan dari adonan dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk memperoleh hasil maksimal seperti rongga kecil padat dan keempukan. Semakin berhimpitan adonan yang dipanggang maka adonan akan semakin bercampur, terjadi reaksi penekanan diantara adonan sehingga rongga adonan akan saling berhimpitan. Hal tersebut, memaksa adonan untuk saling bergabung, menekan antar rongga sehingga lebih memadat, roti lebih kokoh dan simetris.

Tidak hanya bentuk adonan yang mempengaruhi melainkan posisi peletakkan adonan juga sangat mempengaruhi produk akhir. Pada roti tawar biasa dengan

sistem “U”, peletakkannya harus saling berlawanan membentuk sistem “

∪∩∪∩

”.

Apabila selama peletakkan ada beberapa bagian yang tidak berlawanan akan menyebabkan bagian yang salah peletakkan menghasilkan rongga yang besar dibandingkan pada bagian dengan peletakkan yang benar (saling berlawanan). Hal tersebut sangat dihindar selama proses peletakkan adonan roti. Demikian pula pada roti tawar klasik dengan adonan yang lonjong. Walaupun terlihat mudah, hanya adonan lonjong yang diletakkan dalam loyang. Tetapi, justru menghasilkan produk reject paling banyak dibandingkan seluruh roti. Hal tersebut disebabkan karena peletakkan yang terbalik.

Selama pembuatanadonan lonjong dengan cara digiling dan dirollakan ada bagian yang membentuk lipatan, dan bagian lipatan tersebut harus diletakkan di bagian bawah (kontak dengan loyang). Apabila bagian lipatan tersebut berada di atas dan permukaan halus berada di bawah maka dapat menyebabkan hasil jadi dari permukaan roti menjadi tidak mulus dan pecah sehingga roti yang memiliki permukaan pecah dan tidak rata akan dimasukkan dalam daftar produk reject dan dibuang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Cointreau, (2005) bahwa selama proses pengolahan roti akan saling berkaitan dan mempengaruhi. Roti yang baik tidaknya hanya ditentukan dari bahan baku yang berkualitas tetapi juga dipengaruhi oleh proses dan teknik yang digunakan. Ketiga aspek tersebut akan saling mempengaruhi pada hasil akhir. Bahan baku berkualitas, tetapi selama proses tidak dikontrol maka hasil akhir dari roti tidak akan maksimal. Demikian pula pada teknik pengolahannya dimana harus tahu kapan mencampurkan bahan satu dengan yang lain, kapan harus lanjut ke proses berikutnya dan bagaimana menempatkan adonan yang benar pada loyang. Selain itu, Cointreau, (2005) menambahkan pula bahwa penempatan adonan di dalam loyang harus sesuai dengan ukuran loyang dan pada bagian lipatan adonan berada dibawah serta pada bagian lapisan adonan yang memiliki permukaan halus berada di atas (diletakkan di atas).

Laconing, (1995) menambahkan bahwa peletakkan adonan yang salah/tidak sesuai dapat mengakibatkan rongga roti besar, pecah pada permukaan dan tidak simetris. Pada prinsipnya pada permukaan adonan yang halus harus diletakkan menghadap ke atas dan bagian yang tidak rata menghadap ke bawah. Hal tersebut bertujuan agar roti yang dihasilkan memilili permukaan yang halus, rongga kecil dan bentuk

simetris. Apabila dalam peletakkan terjadi kesalahan “Error”dimana permukaan

kasar berada di bagian atas/menghadap ke atas maka pada hasil jadi roti nantinya mengakibatkan beberapa hal seperti permukaan roti yang tidak halus (ada bagian-bagian roti yang menonjol), retak dipermukaan bahkan hingga pecah.Permukaan daging roti tawar biasa yang berongga padat dan yang berongga besar dapat dilihat pada gambar 15 dan permukaan roti tawar klasik yang halus dan yang pecah dapat dilihat pada gambar 16.

50

a) b)

Gambar 15. Permukaan Daging Roti Tawar : a) Berongga Padatdan b) Berongga Besar

Sumber : Dokumentasi Pribadi

a) b)

Gambar 16. Permukaan Roti Tawar Klasik : a) Halusdan b) Pecah Sumber : Dokumentasi Pribadi

Dokumen terkait