• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterangan

Tidak Dianalisis Kebun Campuran Belukar Tegalan

Keterangan Jalan Belukar Kebun Campuran Tegalan PETA PENYEBARAN SATUAN LAHAN PENGAMATAN INTENSIF

Peta Jawa Barat Lokasi 25 - 40 % 15 - 25 % 25 - 40 % 15 - 25 % 15 - 25 % 25 - 40 % 15 - 25 % 25 - 40 % 25 - 40 % 25 - 40 % 15 - 25 % 25 - 40 % 785000 785000 790000 790000 795000 795000 800000 800000 805000 805000 9 25 500 0 92 550 00 92 6 0 0 00 92 60 0 00 92 65 0 0 0 92 65 0 0 0 92 70 0 00 92 700 00 9 27 500 0 92 750 00 92 80 0 0 0 92 80 0 0 0 2 0 2 4 Kilometers Sumber :

- Peta Topografi (Bakosurtanal) Skala 1 : 50.000

- Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung Departemen Kehutanan

U

Evaluasi Penggunaan Lahan Sekarang

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui keadaan penggunaan lahan yang telah ada, mengevaluasi kecocokannya berdasarkan kelas kemampuan lahan, serta melakukan pendugaan erosi yang terjadi dan erosi yang dapat ditoleransikan. Penggunaan Lahan Sub DAS Ciasem Hulu

Penggunaan lahan wilayah Sub DAS Ciasem Hulu terdiri atas pemukiman, sawah, kebun campuran, tegalan, hutan, perkebunan dan semak belukar (Tabel 5). Apabila dibandingkan pada luas total sub DAS, sawah merupakan penggunaan lahan yang paling luas mencapai 5.540.43 Ha atau 33.95%, kemudian perkebunan 3.474.09 Ha atau 21.29%.

Berdasarkan sistim pengairannya, sawah terbagi menjadi sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Sawah irigasi menyebar di bagian hilir pada keadaan lereng agak landai (3%-8%), sedangkan sawah tadah hujan menyebar pada bagian tengah dan hulu, dengan keadaan lereng bervariasi mulai agak landai (3%-8%) sampai sangat curam (>40%) (Gambar 7).

Perkebunan memiliki luasan yang mencapai 3.474.09 Ha atau 21.29% (Tabel 5) dari luas total sub DAS, status pengelolaannya merupakan perkebunan negara. Berdasarkan penyebarannya, perkebunan mengumpul di bagian hulu dan bagian hilir, pada bagian hulu berupa perkebunan teh yang dikelola oleh PT Perkebunan Negara (PT. PN) VIII Kebun Ciater, dan bagian hilirnya perkebunan karet yang termasuk dalam pengelolaan PT. PN VIII Kebun Jalupang.

Bentuk penggunaan lahan lainnya berupa kebun campuran dan hutan. Kebun campuran menyebar mulai bagian hulu sampai hilir, dimana tanaman yang dikembangkan terdiri dari cengkeh, teh, durian, jeruk, nangka, rambutan, nenas dan pisang, dan juga tanaman kehutanan berupa sengon (Paraserianthes falcataria). Penggunaan lahan hutan, luasnya hanya 2.178.07 Ha atau 13.35% dari luas total sub DAS (Tabel 5). Berdasarkan fungsinya, hutan terbagi menjadi hutan produksi, yang dikelola oleh Perum Perhutani BKPH Cisalak KPH Bandung Utara, dengan jenis pohon berupa Pinus dan Jati, dan hutan lindung yang pengelolaan dilakukan oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Barat.

Luas hutan ini, apabila dibandingkan dengan ketentuan pada Undang- undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, luasnya masih lebih kecil dari kondisi minimal yaitu 30% dari luas wilayah. Dengan demikian masih perlu adanya upaya pengembangan kawasan, yang dapat diarahkan untuk dijadikan sebagai kawasan hutan atau memiliki fungsi seperti hutan. Salah satu bentuk penggunaan lahan yang relatif dapat diubah menjadi hutan adalah semak belukar, dan untuk kebun campuran adalah tegalan.

Luas semak belukar dan tegalan hanya sebagian kecil dari luas penggunaan lahan yang ada, yaitu 1.307.99 Ha atau 8.01% (Tabel 5) dari luas total sub DAS. Berdasarkan survei lapangan, lahan tegalan sebagian besar merupakan tanah negara dan tanah swasta baik perorangan maupun badan usaha, yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan garapan. Lahan semak belukar umumnya merupakan lahan-lahan bekas perkebunan yang sudah tidak dimanfaatkan lagi dan dibiarkan terlantar.

Apabila dilihat dari persentase luas masing-masing penggunaan lahan sub DAS Ciasem Hulu dan dibandingkan dengan luas total masing-masing penggunaan lahan pada DAS Ciasem, maka penggunaan lahan berupa hutan, semak belukar, dan kebun campuran, persentasenya cukup tinggi (Tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa, walaupun luasnya relatif kecil dibanding kondisi ideal (minimal 30% dari luas wilayah), tetapi memiliki peranan yang sangat penting sebagai daerah tangkapan air (catchment area) di DAS Ciasem.

Tabel 11 Persentase Luas Penggunaan Lahan Sub DAS Ciasem Hulu dibandingkan dengan Luas Penggunaan Lahan DAS Ciasem

No. Penggunaan Lahan Luas pada Sub DAS Ciasem

Hulu (Ha)

Luas pada DAS Ciasem (Ha) Persentase (%) 1. Pemukiman 1 494.14 9 861.00 15.15 2. Sawah 5 540.43 56 070.00 9.88 3. Kebun Campuran 2 324.90 7 991.00 29.09 4. Tegalan 547.39 2 507.50 21.83 5. Hutan 2 178.07 3 984.10 54.67 6. Perkebunan 3 474.09 16 885.00 20.58 7. Semak Belukar 760.60 1 979.50 38.42 8. Lain-lain 0.00 1 873.90 0.00 Jumlah 16 319.62 101 152.00 16.13

Sumber : Buku Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah DAS Ciasem Balai Pengelolaan DAS Citarum Ciliwung (2004)

Kecocokan Penggunaan Lahan dengan Kelas Kemampuan Lahan

Berdasarkan evalusi kecocokan penggunaan lahan dengan menggunakan klasifikasi kemampuan lahan (Lampiran 4 dan 5), pada masing-masing satuan lahan pengamatan intensif dengan melakukan proses matching antara faktor- faktor penghambat dan kriteria kelas kemampuan lahan, maka dihasilkan kelas kemampuan lahan pada masing-masing penggunaan lahan, seperti tersaji dalam Lampiran 10 dan 11.

Berdasarkan hasil tersebut, diperoleh kelas kemampuan lahan pada satuan lahan pengamatan intensif, masuk dalam kriteria kelas III dan kelas IV. Satuan lahan pengamatan intensif termasuk kelas III adalah unit SLH 159 dan 13 (penggunaan lahan berupa tegalan), kemudian unit SLH 18 (penggunaan lahan berupa semak belukar). Satuan lahan pengamatan intensif yang termasuk dalam kelas IV, terdiri atas unit SLH 158 (tegalan), unit SLH 127, 128, 110, 111 dan 81 (kebun campuran) serta unit SLH 17, 176, 238 dan 38 (semak belukar).

Menurut Arsyad (1989), yang mengacu pada Klingebiel dan Montgomery (1973), lahan kelas III dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan suaka margasatwa. Sedangkan lahan kelas IV dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian pada umumnya, tanaman rumput, padang rumput, padang penggembalaan, hutan lindung atau suaka alam. Berdasarkan hal tersebut, maka semua unit lahan yang dianalisis telah cocok dengan kelas kemampuannya (Tabel 12).

Tabel 12 Hasil Evaluasi Kecocokan Penggunaan Lahan Berdasarkan Kelas Kemampuan Lahan pada Satuan Lahan Pengamatan Intensif

No. Unit SLH Kelas Kemampuan Lahan Faktor Penghambat Penggunaan Lahan Sekarang Hasil Evaluasi

13, 159 III Kemiringan lereng Tegalan Cocok

18 III Kemiringan lereng Semak belukar Cocok

158 IV Kemiringan lereng Tegalan Cocok

127, 128, 110, 111, 81

IV Kemiringan lereng Kebun campuran Cocok 17, 176, 238 IV Kemiringan lereng Semak belukar Cocok

38 IV Tingkat erosi Semak belukar Cocok

Faktor penghambat atau ancaman kerusakan yang menentukan kelas kemampuan lahan tersebut adalah faktor kemiringan lereng, kecuali unit lahan 38 yang disebabkan oleh faktor tingkat erosi. Hasil ini menunjukkan, bahwa penggunaan lahan yang telah ada sekarang, walaupun telah cocok dengan kelas kemampuannya, tetapi karena faktor pembatas berupa kemiringan lereng, maka perlu perhatian khusus pada tindakan pengelolaan lahan, terutama penerapan tindakan konservasi tanah.

Tindakan pengelolaan lahan yang harus diterapkan pada lahan kelas III dan IV sesuai dengan penggunannya, menurut Arsyad (1989), adalah sebagai berikut: (1) lahan kelas III, apabila dipakai untuk tanaman semusim atau pertanian pada umumnya dengan faktor penghambat kemiringan lereng, maka diperlukan tindakan konservasi tanah berupa guludan bersaluran, penanaman dalam strip, penggunaan mulsa, pergiliran tanaman atau pembuatan teras atau kombinasi dari tindakan-tindakan tersebut, (2) lahan kelas IV diperlukan tindakan konservasi yang lebih sulit seperti pembuatan teras bangku, saluran bervegetasi, dan dam penahan/penghambat disamping tindakan yang dilakukan untuk memeliharan kesuburan tanah.

Dengan demikian, walaupun semua penggunaan lahan telah sesuai dengan kelas kemampuannya, tetapi karena faktor penghambat yang dominan adalah kemiringan lereng dan adanya dampak negatif seperti banjir dan kekeringan di daerah hilir, fluktuasi debit serta sedimentasi yang tinggi pada sub DAS Ciasem Hulu, maka untuk jangka panjang penggunaan lahan berupa semak belukar dan tegalan dapat diarahkan menjadi hutan atau kebun campuran, yang didukung dengan tindakan konservasi yang tepat, sehingga dapat berfungsi baik sebagai daerah resapan air.

Prediksi Erosi pada Pola Tanam dan Agroteknologi Aktual

Prediksi erosi dilakukan untuk menduga besarnya nilai erosi (A) yang terjadi pada kondisi pola tanam dan agroteknologi aktual di lapangan, kemudian hasilnya dibandingkan dengan nilai erosi yang dapat ditoleransikan (Atol).

Evaluasi Pola Tanam dan Agroteknologi

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, pemanfaatan lahan tegalan umumnya menggunakan jenis tanaman semusim, untuk kebun campuran menggunakan tanaman tahunan, sedangkan semak belukar didominasi oleh semak belukar dan alang-alang dengan kondisi lahan yang tidak terurus atau terlantar. Status petani yang mengelola lahan tegalan, umumnya merupakan petani penggarap, dengan kepemilikan lahan beragam, baik perorangan, badan usaha swasta, atau tanah negara.

Jenis tanaman yang dikembangkan pada lahan tegalan masih sangat sedikit, jenis yang dominan adalah ubi kayu, jenis tanaman lainnya yang ditemukan berupa kencur, cabai, dan padi gogo. Pada lahan kebun campuran berupa tanaman tahunan dengan jenis tanaman yang dominan adalah cengkeh dan durian, tanaman lainnya berupa rambutan, kopi, nangka, bambu, sengon. Sedangkan pada lahan semak belukar didominasi oleh semak dan belukar bercampur dengan alang-alang, anakan dan tegalan pohon.

Pengaturan pola tanam pada lahan tegalan umumnya dilakukan secara tumpang sari dan tanaman tunggal (monokultur). Komposisinya terdiri dari (1) kencur dan cabai. (2) padi gogo dan cabai, dan (3) ubi kayu.

Pelaksanaan kegiatan pada lahan tegalan masih dilakukan secara konvensional, karena sebagian besar belum menerapkan agroteknolgi yang tepat, seperti pengapuran, pemupukan, pemberian mulsa, pengendalian hama dan penyakit, serta tindakan konservasi tanah seperti pembuatan guludan, pembuatan guludan bersaluran, pembuatan teras dan lain-lain.

Pengaturan pola tanam pada kebun campuran sangat bervariasi, umumnya yang dijadikan tanaman pokok adalah cengkeh dan durian, sebagian ada yang ditanami tanaman sela berupa tanaman buah-buahan misalnya nangka, dan bagian pinggir lahannya ditanami nenas dan pisang. Lahan-lahan kebun campuran, banyak yang telah menerapkan tindakan konservasi tanah berupa pembuatan teras, tetapi kondisinya sudah jelak karena kurang pemeliharaan, selain itu kondisi penutupan tanah sangat terbuka, karena rumput yang tumbuh selalu dibersihkan.

Bentuk penggunaan lahan semak belukar, penutupan lahan didominasi oleh alang-alang, anakan dan tegakan pohon. Pada lahan semak belukar telah

dilakukan tindakan konservasi berupa pembuatan teras, tetapi kondisinya buruk karena sebagian besar merupakan lahan bekas perkebunan yang ditinggalkan, hasil pengamatan selengkapnya tersaji dalam Tabel 13.

Penerapan pola tanam pada lahan tegalan, hanya dilakukan satu kali dalam setahun, setelah itu lahan diberakan. Kegiatannya sangat dipengaruhi oleh musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Tahapan kegiatan dan waktu pelaksanaan masing-masing pola tanam seperti tersaji dalam Tabel 14.

Hasil evaluasi pola tanam dan agroteknologi aktual, serta kondisi penutupan lahan pada satuan lahan pengamatan intensif, dipakai sebagai variabel untuk melakukan prediksi erosi dan analisis usaha tani. Analisis usaha tani hanya difokuskan pada bentuk penggunaan lahan tegalan, analisis ini bertujuan untuk mendapat gambaran pendapatan yang diperoleh petani dalam memanfaatkan lahannya, apakah besarnya sudah mencapai standar hidup layak.

Tabel 13 Pola Tanam Aktual pada Lahan Tegalan, Kebun Campuran dan Semak Belukar Unit lahan Kelas Kemampuan Lahan Penggunaan

lahan Pola tanam Keterangan

159 III Tegalan Kencur + cabai - diberakan Tumpangsari

158 IV Tegalan Padi gogo + cabai –

diberakan

Tumpangsari

13 III Tegalan Ubi kayu Monokultur

127 IV Kbn campuran Jeruk + durian Campuran

128 IV Kbn campuran Cengkeh + sengon + bambu Campuran

110 IV Kbn campuran Durian + cengkeh + sengon

+ rambutan + bambu + nenas

Campuran

111 IV Kbn campuran Cengkeh + durian + nangka

+ ubi kayu Campuran

81 IV Kbn campuran Kopi + cengkeh + kayu

rimba Campuran

17 IV Semak belukar Semak belukar + alang-

alang

18 III Semak belukar Semak belukar + alang-

alang

178 IV Semak belukar Semak belukar

238 IV Semak belukar Semak belukar + Kayu

rimba

38 IV Semak belukar Rumput + semak

Tabel 14 Tahapan Kegiatan dan Waktu Pelaksanaan Penerapan Pola Tanam pada Lahan Tegalan

Unit Lahan Bulan

159 158 13 Agustus Pembersihan lahan Pembersihan lahan Pembersihan lahan

September- Oktober awal

Pengolahan tanah Pengolahan tanah Pengolahan tanah

Oktober akhir Penanaman kencur Penanaman padi gogo Penanaman ubi kayu November Pemeliharaan kencur Pemeliharaan padi gogo Pemeliharaan Desember Pemeliharaan kencur + Penanaman cabai Pemeliharaan padi gogo + Penanaman cabai Pemeliharaan Januari-Maret Pemeliharaan kencur dan cabai

Pemeliharaan padi gogo dan cabai

Pemeliharaan

April Panen cabai Panen padi gogo + cabai

Mei Pemeliharaan dan

panen cabai

Pemeliharaan dan panen cabai

Pemeliharaan

Juni Panen kencur dan panen cabai

Panen cabai Panen ubi kayu

Juli Diberakan Diberakan diberakan

Sumber : Hasil pengamatan

Prediksi Erosi (A)

Pendugaan erosi dilakukan berdasarkan persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation), dan dihasilkan masing-masing faktor sebagai berikut :

Erosivitashujan(R). Faktor R dihitung dengan menggunakan rumus Bols (1978), hal ini dikarenakan pada Sub DAS Ciasem Hulu tidak terdapat stasiun penangkar hujan otomatis. Data yang dipakai curah hujan bulanan rata-rata (Lampiran 12a), curah hujan maksimum selama 24 jam (Lampiran 12b) dan jumlah hari hujan (Lampiran 12c). Data tersebut diperoleh dari stasiun pengamat curah hujan Curug Agung Kecamatan Sagalaherang selama periode 10 tahun. Lokasi stasiun tersebut terletak di tengah areal wilayah sub DAS.

Berdasarkan data tersebut, diperoleh curah hujan rata-rata bulanan berkisar antara 11.6mm–383.50mm, curah hujan rata-rata bulanan terrendah terjadi pada bulan Agustus dan tertinggi pada bulan Januari, jumlah hari hujan rata-rata perbulan berkisar 0.50 hari–16.80 hari, dan curah hujan maksimum selama 24 jam dalam bulan yang bersangkutan berkisar antara 11.10mm–75.40mm, curah hujan maksimum terrendah terjadi pada bulan Agustus dan September sedangkan tertinggi pada bulan Mei. Berdasarkan perhitungan data-data tersebut, diperoleh nilai indeks daya erosi (erosivitas) curah hujan Sub DAS Ciasem Hulu sebesar 2.472.39.

Faktor erodibilitas tanah (K). Berdasarkan hasil pengukuran dan perhitungan, nilai K untuk masing-masing satuan lahan pangamatan intensif, selengkapnya disajikan dalam Lampiran 14. Menurut klasifikasi kelas kepekaan erosi, lahan yang termasuk dalam kelas sangat rendah (0.00–0.10) terdapat pada penggunaan lahan tegalan, kebun campuran masuk kategori rendah (0.11-0.20) kecuali unit lahan 128 (kategori agak tinggi), sedangkan penggunaan lahan semak belukar masuk dalam kategori kelas sangat rendah, rendah dan sedang. Hasil selengkapnya disajikan dalam Tabel 15.

Tabel 15 Nilai Kepekaan Erosi (erodibilitas) Tanah (K) pada Satuan Lahan Pengamatan Intensif

No. Penggunaan Lahan No. Unit lahan Nilai K Kelas Kepekaan Erosi 1. Tegalan 159, 158, 13 0,05 - 0,08 sangat rendah

127, 110, 111, 81 0,11 – 0,15 rendah 2. Kebun Campuran 128 0,35 agak tinggi 17, 238 0,04 – 0,08 sangat rendah 18, 176 0,14 – 0,17 Rendah 3. Semak Belukar 38 0,32 Sedang

Sumber : Hasil analisis

Faktor lereng (LS). Kemiringan lereng dan panjang lereng merupakan unsur topografi yang sangat berpengaruh terhadap terjadinya aliran permukaan dan

erosi. Penentuan nilai faktor ini didasarkan pada hasil pengukuran di lapang. Hasil pengukuran dan perhitungan nilai LS selengkapnya disajikan dalam Lampiran 13.

Berdasarkan hasil pengumpulan data tersebut, nilai faktor kemiringan lereng berkisar antara 12%-26%, dan panjangnya berkisar antara 100m–295m. Faktor kemiringan dan panjang lereng ini merupakan penyebab terjadinya erosi yang sangat tinggi.

Memperhatikan nilai faktor lereng (LS) yang cukup tinggi, maka kegiatan pengelolaan lahan memerlukan tindakan pengawetan tanah, baik metode vegetatif seperti penanaman dalam strip atau metode mekanik seperti pembuatan teras.

Faktor pengelolaan tanaman (C) dan tindakan konservasi (P). Penentuan kedua nilai tersebut dilakukan di lapangan. Nilai C didasarkan pada identifikasi jenis penggunaan lahan untuk pengelolaan tanaman dan nilai P ditentukan dengan melihat ada tidaknya tindakan konservasi.

Hasil pengamatan menunjukan, bahwa lahan tegalan dipakai untuk pengembangan tanaman semusim, umumnya tanaman ubi kayu, penampakan permukaan tanah sebagian besar terbuka, hanya sebagian kecil yang tertutup oleh rumput dan semak belukar. Pengelolaan lahan tegalan umumnya belum digarap dengan baik, tindakan konservasi tanah belum dilakukan. Masyarakat umumnya memanfaatkan lahan-lahan tersebut sebagai sumber tambahan penghasilan bukan sumber mata pencaharian utama.

Pada penggunaan lahan kebun campuran, jenis tanaman yang dikembangkan berupa tanaman buah-buahan, seperti durian, jeruk dan tanaman perkebunan berupa cengkeh. Umumnya pengelolaan lahan telah dilakukan secara intensif. Sedangkan lahan-lahan berupa semak belukar pada umumnya merupakan lahan- lahan bekas perkebunan, dan lahan terlantar, ada juga yang dipakai oleh masyarakat sebagai tempat penggembalaan ternak, selengkapnya hasil pengamatan untuk penentuan nilai C dan P tersaji dalam Lampiran 15.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut, kemudian dilakukan perhitungan pendugaan laju erosi yang terjadi, yaitu pada penggunaan lahan tegalan, kebun campuran dan semak belukar dengan kelas kemiringan antara 15%-40%. Hasil selengkapnya tersaji dalam Lampiran 16.

Erosi yang Dapat Ditoleransi (Atol)

Untuk mengetahui seberapa besar bahaya kehilangan tanah akibat terjadinya erosi pada suatu bidang lahan, maka ditentukan perbandingannya, yaitu dengan menentukan besarnya erosi yang dapat ditoleransikan (Atol).

Perhitungan erosi yang dapat ditoleransikan (Atol), dilakukan dengan

menggunakan metode yang dikemukakan oleh Wood dan Dent (1983) dalam

Hardjowigeno (2003), hasil selengkapnya tersaji dalam Lampiran 17.

Penentuan nilai erosi yang dapat ditoleransikan penting, untuk mengkaji dan memberikan penjelasan kepada masyarakat atau pun pengambil kebijakan, bahwa terjadinya laju erosi yang tidak terkendali dan melebihi nilai yang dapat ditoleransikan akan memberikan dampak negatif terhadap pengelolaan lahan di wilayah tersebut dan juga di wilayah lain terutama di daerah hilir.

Berdasarkan perhitungan, nilai (Atol) pada lokasi penelitian sangat

bervariasi, sebagian besar nilainya lebih besar dari nilai maksimum yang dikemukakan oleh Arsyad (1989), yaitu sebesar 25 ton/ha/tahun, hal ini disebabkan kedalaman equivalen tanah (DE) pada lokasi-lokasi satuan lahan

pengamatan intensif, jauh lebih besar dari kedalaman minimum tanah (Dmin) pada

lokasitersebut. Menurut Hardjowigeno (2003), untuk tanah yang dalam, dimana kedalaman equivalen tanah (DE) lebih besar kedalaman minimum tanah (Dmin),

maka (Atol) boleh lebih tinggi daripada kecepatan pembentukan tanah.

Perbandingan hasil perhitungan antara nilai prediksi erosi (A) dan besarnya nilai erosi yang ditoleransikan (Atol) pada satuan lahan pengamatan intensif,

menunjukan bahwa, erosi yang terjadi umumnya lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransikan. Perbandingan selengkapnya disajikan dalam Tabel 16, dan penyebaran erosi dapat dilihat dalam Gambar 11.

Beberapa faktor utama penyebab terjadinya laju erosi yang jauh lebih besar daripada nilai erosi yang dapat ditoleransi, adalah karena faktor curah hujan dan faktor lereng, selengkapnya tersaji dalam Tabel 17.

Tabel 16 Perbandingan Nilai A dan Nilai Atol masing-masing Satuan Lahan

Pengamatan Intensif berdasarkan Penggunaan Lahan pada Sub DAS Ciasem Hulu

No. No. Unit Lahan Penggunaan Lahan Erosi (A) (ton/ha/th) (Atol) (ton/ha/th) Perbandingan A terhadap Atol

1. 13 Tegalan 171.97 48.40 > (lebih besar) 2. 158 Tegalan 478.01 39.27 > (lebih besar) 3 159 Tegalan 251.03 37.38 > (lebih besar) 4 81 Kebun Campuran 240.08 26.93 > (lebih besar) 5 110 Kebun Campuran 193.39 24.89 > (lebih besar) 6 111 Kebun Campuran 218.95 27.92 > (lebih besar) 7 127 Kebun Campuran 167.56 26.79 > (lebih besar) 8 128 Kebun Campuran 443.23 25.66 > (lebih besar) 9 38 Semak Belukar 1210.82 34.84 > (lebih besar) 10. 17 Semak Belukar 16.15 44.85 < (lebih kecil) 11 18 Semak Belukar 12.00 36.08 < (lebih kecil) 12 176 Semak Belukar 584.68 40.74 > (lebih besar) 13 238 Semak Belukar 26.16 23.94 > (lebih besar)

Sumber : Hasil analisis

Tabel 17 Faktor-Faktor Penyebab Utama Terjadinya Nilai A Lebih Besar dari Atol

No. Unit Lahan

Penggunaan Lahan

Perbandingan

A terhadap Atol Faktor-faktor Penyebab Utama

13, 158, 159

Tegalan Lebih besar Curah hujan, kemiringan lereng, tidak ada tindakan konservasi, permukaan tanah terbuka

81, 110, 111, 127, 128

Kebun campuran Lebih besar Curah hujan, kemiringan lereng, permukaan tanah terbuka, kontruksi teras yang jelek

38, 176, 238,

Semak belukar Lebih besar Curah hujan, kemiringan lereng, tidak ada tindakan konservasi

PETA

Dokumen terkait