• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penghambatan Aktivitas Enzim α Glukosidase secara In Vitro

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.2. Hidrolisat, Konsentrat, dan Isolat Protein Teripang

4.2.3. Penghambatan Aktivitas Enzim α Glukosidase secara In Vitro

Penghambatan suatu reaksi yang dikatalisis enzim dapat menghambat jalur metabolik utama dengan mencegah pembentukan suatu metabolit esensial maupun metabolit yang tidak diinginkan. Enzim α-glukosidase (EC 3.2.1.20) adalah enzim yang mengkatalisasi pemecahan ikatan α-1,6 glikosida. Enzim ini berfungsi untuk melanjutkan kerja α-amilase, yaitu menghidrolisis lanjut α-limit dextrin menjadi glukosa (Berdanier et al. 2006). Alfa-glukosidase pada pencernaan mamalia berada pada permukaan membran brush border sel usus halus dan merupakan enzim yang mengkatalisis proses akhir pencernaan karbohidrat pada proses pencernaan (Lebovitz 1997). Senyawa yang dapat menghambat aktivitas enzim tersebut menunjukkan indikasi sebagai antidiabetes. Penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase pada penderita DM sangat bermanfaat untuk menurunkan kadar glukosa darah, terutama setelah makan. .

Hasil uji daya hambat aktivitas enzim α-glukosidase (Gambar 17) dan sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 8) uji daya hambat HPT, KPT, dan IPT terhadap aktivitas enzim α-glukosidase menunjukkan adanya perbedaan yang

sangat nyata antar perlakuan (P<0.01). Uji lanjut Duncan (Lampiran 8) menunjukkan bahwa HPT, KPT, dan IPT memiliki daya hambat terhadap aktivitas enzim α-glukosidase mulai dari konsentrasi 1000-10 000 ppm. HPT memiliki daya hambat tertinggi dan berbeda sangat nyata (P<0.01) dibandingkan KPT dan IPT pada setiap konsentrasi yang diuji, mulai dari 1000 ppm hingga 10 000 ppm. Rata-rata daya hambat HPT terhadap enzim α-glukosidase sebesar 22% pada konsentrasi 1000 ppm dan 72% pada konsentrasi 10 000 ppm, untuk KPT 12% (1000 ppm) dan 56% (10 000 ppm), sedangkan IPT 13% (1000 ppm) dan 58% (10 000 ppm). Perbedaan kemampuan daya hambat HPT, KPT, dan IPT terhadap enzim α-glukosidase diduga akibat perbedaan kandungan asam amino bebas. Data tersebut menunjukkan bahwa HPT memiliki potensi yang lebih besar sebagai antidiabetes karena menurut Inzucchi (2002), enzim α-glukosidase berfungsi menghidrolisis karbohidrat menjadi gula sederhana (glukosa) pada usus, sehingga senyawa yang dapat menghambat aktivitas enzim α-glukosidase menunjukkan indikasi bahwa senyawa tersebut berpotensi sebagai antidiabetes dan dapat memperlambat penyerapan glukosa setelah makan, sehingga menurunkan kadar glukosa darah.

Gambar 17 Daya hambat HPT, KPT, dan IPT terhadap aktivitas enzim α-glukosidase. Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada setiap konsentrasi menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01). HPT=Hidrolisat Protein Teripang, KPT=Konsentrat Protein Teripang, IPT=Isolat Protein Teripang.

Penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase oleh hidrolisat, konsentrat, dan isolat protein teripang diduga karena adanya perbedaan kadar asam amino yang menyusun protein maupun peptida-peptida pendek yang dikandung oleh ketiga produk tersebut. Hidrolisat protein teripang yang memiliki kadar protein dan asam amino bebas lebih tinggi serta kemungkinan terbentuknya peptida- peptida pendek bioaktif yang lebih banyak selama proses hidrolisis memiliki daya hambat terhadap aktivitas enzim α-glukosidase lebih besar dibandingkan konsentrat dan isolat protein teripang. Li et al. (2004) melaporkan bahwa beberapa asam amino penyusun protein maupun peptida seperti triptopan, fenilalanin, tirosin atau prolin pada C-terminal, dan asam amino alifatik bercabang seperti alanin, valin, isoleusin dan leusin pada N-terminal memiliki kemampuan sebagai inhibitor suatu enzim, seperti yang telah dicobakan pada enzim Angiotensin I-Converting Enzyme. Sedangkan Moritoh et al. (2009) melaporkan bahwa voglibose memiliki kemampuan meningkatkan aktivitas glukagon-like peptide-1 (GLP-1), sehingga dapat menghambat aktivitas enzim α-glukosidase. Selanjutnya Koch et al. (1988) melaporkan bahwa telah ditemukan suatu peptida yaitu peptida YY yang terdapat pada bagian ileum dan usus besar yang memiliki kemampuan menghambat aktivitas enzim glukosidase usus.

Mekanisme lain yang diduga dapat menghambat aktivitas enzim α- glukosidase adalah adanya beberapa senyawa bioaktif yang terkandung dalam hidrolisat, konsentrat, dan isolat protein teripang. Penghambatan oleh beberapa senyawa bioaktif tersebut diduga dapat berikatan dengan enzim dan menyebabkan penurunan kecepatan reaksi enzim. Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan metabolisme karbohidrat menjadi glukosa oleh enzim α-glukosidase, sehingga dengan sendirinya akan menurunkan kadar glukosa dalam darah yang sangat bermanfaat bagi penderita DM.

Mekanisme penghambatan oleh peptida-peptida pendek dan senyawa bioaktif tersebut dapat bersifat kompetitif, non kompetitif maupun unkompetitif (Suhartono 1989). Efek penghambatan akan terjadi karena inhibitor yang diduga peptida-peptida pendek dan beberapa senyawa bioaktif tersebut akan berikatan dengan sisi allosterik maupun aktif enzim, sehingga dapat membentuk ikatan dengan enzim dalam keadaan bebas, disamping dapat membentuk ikatan dengan

komplek enzim substrat. Ikatan inhibitor terhadap enzim bebas dan enzim substrat dapat menyebabkan terbentuknya kompleks enzim inhibitor atau enzim substrat inhibitor yang bersifat tidak produktif karena tidak dapat membentuk produk. Produk hanya akan terbentuk jika ikatan inhibitor lepas dari kompleks enzim substrat inhibitor. Reaksi sampingan yang sangat merugikan akibat pengaruh inhibitor pada jenis penghambatan ini adalah besarnya peluang sisi aktif enzim untuk berubah secara permanen dari keadaan alami jika kompleks enzim inhibitor memiliki ikatan yang sangat kuat. Hal ini akan menyebabkan enzim kehilangan reaktifitasnya secara permanen (Suhartono 1989).

4.3.Aktivitas Hipoglikemik

Hasil pengukuran kadar glukosa darah seluruh sampel uji (hidrolisat, konsentrat, dan isolat) dibuat dalam bentuk kurva dan dibandingkan aktivitas hipoglikemiknya. Rata-rata hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus (n=5) pada saat puasa dan selama uji aktifitas hipoglikemiknya disajikan pada Lampiran 9. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi pada perubahan kadar glukosa darah tikus. Kondisi ini dipengaruhi oleh kadar glukosa darah puasa dan respon individu. Variasi respon glikemik yang ditimbulkan ini, tidak hanya terjadi pada hewan percobaan, tetapi juga pada manusia, sebagaimana hasil penelitian Marsono et al. 2002 menunjukkan bahwa adanya variasi kadar glukosa darah relawan yang diukur pada pengujian indeks glikemik (IG). Berdasarkan hal tersebut, untuk melihat respon glikemik tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan cara memplotkan data pada kurva. Aktivitas hipoglikemik hidrolisat, konsentrat, dan isolat protein teripang dapat ditentukan dengan cara menghitung perubahan kadar glukosa darah, yaitu selisih antara kadar glukosa darah setelah konsumsi hidrolisat, konsentrat, dan isolat protein teripang terhadap kadar glukosa darah puasa (Tabel 11, 12, dan 13). Data tersebut kemudian diplot pada kurva dan aktivitas hipoglikemik ditunjukkan dengan luas area di bawah kurva (Gambar 18, 19, dan 20) dari masing-masing perlakuan. Semakin besar luas area di bawah kurva atau semakin tinggi respon glikemiknya berarti aktivitas hipoglikemiknya semakin rendah (Widowati 2007).

Tabel 11 Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian hidrolisat protein teripang terhadap kadar glukosa darah puasa (n=5)

No Perlakuan

Perubahan kadar glukosa darah (mg/dl)

Luas kurva (mm2) Puasa

Setelah pemberian perlakuan Hidrolisat Protein Teripang 30*) 60**) 90 120 150 1. KN 0 1.4a 1 -1.8 0.4 2.6 385.33a 2. KP 0 42.6b 10.4 0.4 -5.4 -9.2 2302.33c 3. Acarbose 0 10.8a 5.2 -0.6 -9.8 -9.2 930.17ab 4. HPT 100 mg/kg bb 0 10.6a 3.4 -4.8 -7 -9 1261.83b 5. HPT 200 mg/kg bb 0 9.8a -3.6 -8 -8 -88 1191.83b 6. HPT 300 mg/kg bb 0 3.8a 6.6 -0.6 -7.4 -10.4 707.00ab Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01). KN=kontrol negatif, KP=kontrol positif, Acarbose= kontrol obat, HPT=hidrolisat protein teripang 100, 200, dan 300 mg/kg bb. *) puncak perubahan kadar glukosa darah.

Hasil sidik ragam (ANOVA) aktivitas hipoglikemik perlakuan hidrolisat protein teripang menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) terhadap luas area di bawah kurva kadar glukosa darah (Lampiran 10). Uji lanjut Duncan (Lampiran 10) menunjukkan kelompok perlakuan HPT 300 mg/kg bb memiliki luas area di bawah kurva menyamai kelompok perlakuan kontrol obat acarbose dan kontrol negatif (tikus normal), bahkan sangat nyata lebih kecil dibandingkan kelompok perlakuan kontrol positif (tikus DM). Hal tersebut berarti perlakuan pemberian HPT 300 mg/kg bb memiliki kemampuan dan sifat hipoglikemik terbaik.

Tabel 12 Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian konsentrat protein teripang terhadap kadar glukosa darah puasa (n=5)

No Perlakuan

Perubahan kadar glukosa darah (mg/dl)

Luas kurva (mm2) Puasa

Setelah pemberian perlakuan Konsentrat Protein Teripang 30*) 60 90 120 150 1. KN 0 1.4a 1 -1.8 0.4 2.6 385.33a 2. KP 0 42.6d 10.4 0.4 -5.4 -9.2 2302.33c 3. Acarbose 0 10.8ab 5.2 -0.6 -9.8 -9.2 930.17ab 4. KPT 100 mg/kg bb 0 26.2c 17 5 3.2 3 1820.00bc 5. KPT 200 mg/kg bb 0 19.8bc 14.6 5.6 1.8 1.6 1811.00bc 6. KPT 300 mg/kg bb 0 11.25abc 9.5 -3.5 1.75 -2 910.00ab Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01). KN=kontrol negatif, KP=kontrol positif, Acarbose= kontrol obat, KPT=konsentrat protein teripang 100, 200, dan 300 mg/ kg bb. *) puncak perubahan kadar glukosa darah.

Perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) terhadap luas area di bawah kurva kadar glukosa darah, juga diperlihatkan oleh perlakuan konsentrat protein teripang berdasarkan hasil sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 11). Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 11) menunjukkan kelompok perlakuan KPT 300 mg/kg bb memiliki luas area di bawah kurva menyamai kelompok perlakuan kontrol obat acarbose dan kontrol negatif (tikus normal), bahkan sangat nyata lebih kecil dibandingkan kelompok perlakuan kontrol positif (tikus DM). Hasil ini berarti perlakuan pemberian KPT 300 mg/kg bb memiliki kemampuan dan sifat hipoglikemik terbaik.

Tabel 13 Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian isolat protein teripang terhadap kadar glukosa darah puasa (n=5)

No Perlakuan

Perubahan kadar glukosa darah (mg/dl)

Luas kurva (mm2) Puasa

Setelah pemberian perlakuan Isolatt Protein Teripang 30*) 60 90 120 150 1. KN 0 1.4a 1 -1.8 0.4 2.6 385.33a 2. KP 0 42.6d 10.4 0.4 -5.4 -9.2 2302.33c 3. Acarbose 0 10.8ab 5.2 -0.6 -9.8 -9.2 930.17ab 4. IPT 100 mg/kg bb 0 28c 17.2 2.6 1.6 0.4 2030.00c 5. IPT 200 mg/kg bb 0 18.8bc 4.2 -2 -2.2 -7.4 1586.00bc 6. IPT 300 mg/kg bb 0 9.2ab 8.4 -0.2 -6.2 -7.8 804.33ab Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01). KN=kontrol negatif, KP=kontrol positif, Acarbose= kontrol obat, IPT=isolat protein teripang 100, 200, dan 300 mg/kg bb. *) puncak perubahan kadar glukosa darah.

Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh sidik ragam (ANOVA) pada pemberian perlakuan isolat protein teripang yang berbeda sangat nyata (P<0.01) terhadap luas area di bawah kurva kadar glukosa darah (Lampiran 12). Selanjutnya hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 12) memperlihatkan kelompok perlakuan 300 mg/kg bb memiliki luas area di bawah kurva yang sangat nyata lebih kecil dibandingkan kelompok perlakuan kontrol positif (tikus DM), sedangkan kelompok perlakuan IPT 100 dan 200 mg/kg bb tidak berbeda nyata. Kelompok Perlakuan IPT 300 mg/kg bb memiliki luas area di bawah kurva menyamai kelompok perlakuan kontrol obat acarbose dan kontrol negatif (tikus normal). Data ini menunjukkan bahwa kelompok perlakuan pemberian IPT 300 mg/kg bb memiliki kemampuan dan sifat hipoglikemik terbaik.

Parameter lain yang dapat digunakan untuk menentukan perlakuan yang memiliki sifat hipoglikemik terbaik adalah dengan mempertimbangkan puncak kadar glukosa darah. Seluruh perlakuan yang diuji menunjukkan puncak perubahan kadar glukosa darah terjadi pada menit ke-30 setelah pemberian perlakuan, kecuali perlakuan HPT 300 mg/kg bb, puncak kadar glukosa darah dicapai pada menit ke-60 (Gambar 18, 19, dan 20).

Hasil sidik ragam (ANOVA) puncak kadar glukosa darah perlakuan hidrolisat protein teripang menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) (Lampiran 13). Uji lanjut Duncan (Lampiran 13) menunjukkan kelompok perlakuan HPT 100, 200, dan 300 mg/kg bb serta kontrol obat acarbose berbeda sangat nyata dengan kontrol positif (tikus DM). Puncak kadar glukosa darah kelompok perlakuan 100 dan 200 mg/kg bb serta kontrol obat acarbose dan kontrol positif (tikus DM) terjadi pada menit ke-30, sedangkan kelompok perlakuan HPT 300 mg/kg bb pada menit ke-60. Hasil ini mendukung analisis statistik luas area di bawah kurva sebelumnya yang menyatakan bahwa kelompok perlakuan HPT 300 mg/kg bb memiliki kemampuan dan sifat hipoglikemik terbaik. Hasil yang sama juga ditunjukkan oleh dua kelompok perlakuan lainnya, yaitu kelompok perlakuan konsentrat dan isolat protein teripang. Berdasarkan sidik ragam (ANOVA) (Lampiran 14 dan 15) menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0.01) terhadap waktu puncak kadar glukosa darah. Uji lanjut Duncan (Lampiran 14 dan 15) menunjukkan kelompok perlakuan KPT dan IPT 300 mg/kg bb menyamai kelompok kontrol negatif (tikus normal) dan sangat nyata lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol positif (tikus DM), sebaliknya kelompok perlakuan 100 dan 200 mg/kg bb menunjukkan puncak kadar glukosa darah sangat nyata lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan kontrol negatif. Hasil ini juga menguatkan hasil analisis statistik luas area di bawah kurva sebelumnya, bahwa kelompok perlakuan KPT dan IPT 300 mg/kg bb memiliki kemampuan dan sifat hipoglikemik terbaik.

Gambar 18 Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian HPT. KN=kontrol negatif, KP=kontrol positif, Acarbose= kontrol obat, HPT=hidrolisat protein teripang 100, 200, dan 300 mg/kg bb.

Gambar 19 Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian KPT. KN=kontrol negatif, KP=kontrol positif, Acarbose= kontrol obat, KPT=konsentrat protein teripang 100, 200, dan 300 mg/kg bb.

Gambar 20 Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian IPT. KN=kontrol negatif, KP=kontrol positif, Acarbose= kontrol obat, IPT=isolat protein teripang 100, 200, dan 300 mg/kg bb.

Kadar glukosa darah dalam kondisi normal akan meningkat setelah makan dan tetap bertahan dalam waktu singkat. Kondisi ini menyebabkan sekresi insulin akan meningkat, seiring dengan meningkatnya kadar glukosa darah. Hormon insulin tersebut berfungsi mentransfer glukosa agar dapat dimanfaatkan oleh sel- sel jaringan. Glukosa yang tidak dimanfaatkan oleh sel akan disimpan di dalam hati dalam bentuk glikogen yang jumlahnya sekitar dua per tiga dari glukosa yang diserap oleh usus. Beberapa jam berikutnya, jika konsentrasi kadar glukosa darah dan sekresi insulin mulai berkurang, maka glikogen yang disimpan dalam hati akan dilepas kembali ke dalam darah dalam bentuk glukosa. Hormon yang berperan dalam pelepasan kembali glukosa ke dalam darah adalah glukagon yang dihasilkan oleh sel alfa pulau Langerhans. Hormon insulin dan glukagon bekerja berlawanan, insulin untuk menurunkan kadar glukosa darah dan glukagon untuk meningkatkan kadar glukosa darah, sehingga kadar glukosa di dalam darah tetap terjaga pada tingkat normal.

Pada penderita DM, peningkatan kadar glukosa darah setelah mengkonsumsi makanan tidak diimbangi oleh sekresi insulin. Hal ini disebabkan: (1) produksi insulin sangat terbatas bahkan tidak dapat memproduksi insulin lagi karena terjadi kerusakan pada sel beta pankreas, (2) mengalami resistensi insulin, meskipun sel beta pankreas mampu memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup, tetapi tidak dapat bekerja normal, disebabkan reseptor insulin pada permukaan sel tertutup oleh lemak (kasus obesitas) sehingga menurunkan laju pengambilan glukosa oleh sel-sel tubuh (pada DM tipe II). Kondisi ini menyebabkan penderita DM, jika mengkonsumsi jenis pangan yang sama dengan orang sehat (normal) maka kadar glukosa darahnya akan tetap tinggi dan bertahan dalam waktu yang lama.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka pada penderita DM dalam melakukan terapi diet harus memilih jenis pangan yang memiliki aktivitas hipoglikemik tinggi atau yang mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah (Widowati 2007). Hidrolisat protein teripang memiliki aktivitas hipoglikemik tinggi, sehingga dapat menghambat kenaikan kadar glukosa darah dan memiliki puncak glikemik yang lebih rendah dibandingkan konsentrat dan isolat protein teripang. Oleh karena itu, mengkonsumsi hidrolisat protein teripang sebagai

pangan fungsional bagi penderita DM, dapat menghambat kenaikan kadar glukosa darah secara drastis, sehingga sekresi insulin yang diperlukan dapat disesuaikan dengan kondisi diabetes yang mempunyai gangguan dalam produksi maupun yang mengalami resistensi insulin.

4.4.Evaluasi Daya Hipoglikemik Hidrolisat, Konsentrat, dan Isolat Protein