BAB 3. METODE PENELITIAN
3.4 Tahapan Penelitian
3.4.4 Pengujian Parameter Spesifik
Diidentifikasi dengan tata nama meliputi nama ekstrak, nama latin tumbuhan, bagian tumbuhan yang digunakan, dan nama Indonesia tumbuhan (Depkes RI, 2000).
3.4.4.2 Organoleptik
Dalam Depkes RI (2005) identifikasi organoleptik menggunakan pancaindera mendeskripsikan berupa: bentuk, warna, bau dan rasa.
3.5 Penginduksian Hiperurisemia dengan Kafein 27 mg/200 g BB
Prosedur induksi kafein terhadap tikus uji sebagai berikut: hewan uji diaklimatisasi selama 2 minggu sebanyak 25 ekor. Tikus uji sebanyak 5 ekor dijadikan sebagai kontrol normal dan 20 ekor diinduksi dengan kafein. Tikus uji dipuasakan selama 12 jam, sebelum dilakukan pengambilan darah tikus diinduksi dengan kafein. Induksi kafein diberikan secara oral dengan dosis 27 mg/200 g BB.
Induksi kafein dilakukan selama 6 hari. 1 jam setelah penginduksian pada hari ke-6, kadar asam urat tikus uji diukur dengan metode kolorimetri enzimatik.
Pada hari ke-7 hewan uji diberikan perlakuan berdasarkan kelompok masing-masing setiap hari. Pengukuran kadar asam urat selanjutnya dilakukan pada hari ke 9, 12 dan 15.
Parameter hiperurisemia adalah tikus uji dengan kadar asam urat melebihi batas normal. Taconic Technical Laboratory, 1998 dalam Kusmiyati, 2008
26
menyebutkan kadar asam urat normal pada tikus jantan adalah 4,37 ± 1.11 mg/dl dan 2,92 ± 0,241 mg/dl pada tikus betina.
3.6 Uji Antihiperurisemia
3.6.1 Pembuatan Sediaan Dosis Uji a. Dosis Ekstrak Daun Sidaguri
Dosis yang digunakan pada ekstrak etanol 70% daun sidaguri adalah dosis 50 mg/kgBB pada mencit. Untuk dosis pada tikus dikonversikan menjadi 25 mg/kgBB. Perhitungan dosis ada pada Lampiran 6. Jumlah suspensi ekstrak yang diberikan kepada 1 ekor tikus dengan berat badan 200 gram adalah 2 ml. Ekstrak diberikan secara oral dalam bentuk suspensi. Suspending agent yang digunakan adalah Na CMC dengan konsentrasi 0,5%. Proses pembuatan suspensi Na CMC 0,5% adalah dengan mengembangkan Na CMC dengan air panas sebanyak 20 kali berat Na CMC.
b. Dosis Allopurinol sebagai Kontrol Positif
Dosis allopurinol untuk asam urat pada manusia adalah 100 mg per hari.
Dosis allopurinol untuk setiap 200 g BB tikus yaitu 10 mg/kgBB. Perhitungan dosis ada pada Lampiran 6. Jumlah suspensi allopurinol yang diberikan kepada 1 ekor tikus dengan berat badan 200 gram adalah 2 ml. Allopurinol diberikan secara oral dalam bentuk suspensi. Suspending agent yang digunakan adalah Na CMC dengan konsentrasi 0,5%. Proses pembuatan suspensi Na CMC 0,5% adalah dengan mengembangkan Na CMC dengan air panas sebanyak 20 kali berat Na CMC.
c. Dosis Kafein sebagai Penginduksi Asam Urat pada Tikus
Dosis yang digunakan pada kafein sebagai penginduksi asam urat adalah dosis 27 mg/ 200 g BB (Azizahwati, 2005).
Perhitungan dosis ada pada Lampiran 6. Jumlah kafein yang diberikan kepada 1 ekor tikus dengan berat badan 200 gram adalah 2 ml. Kafein diberikan secara oral dalam bentuk suspensi. Suspending agent yang digunakan adalah Na CMC dengan konsentrasi 0,5%. Proses pembuatan suspensi Na CMC 0,5% adalah dengan mengembangkan Na CMC dengan air panas sebanyak 20 kali berat Na CMC.
3.6.2 Pengelompokan Hewan Uji dan Cara Kerja
Menurut WHO (2000) untuk perlakuan menggunakan hewan uji berupa tikus tiap kelompok perlakuan terdiri dari 5 tikus. Untuk mengatasi drop out hewan uji dilebihkan 20% atau dilebihkan 1 ekor tikus tiap kelompok.
Tabel 3.1 Perlakuan Hewan Uji
Kelompok Jumlah Perlakuan
Kontrol normal 5 Diberikan suspensi Na CMC 0,5 %
Kontrol negatif 5 Diberikan suspensi kafein 27 mg/200 g BB sebanyak 2 ml
Kontrol positif (allopurinol)
5 Diberikan suspensi kafein 27 mg/200 g BB sebanyak 2 ml, satu jam kemudian diberi suspensi allopurinol 10 mg/kgBB sebanyak 0,5 ml
Ekstrak sidaguri tunggal
5 Diberikan suspensi kafein 27 mg/200 g BB sebanyak 2 ml, satu jam kemudian diberi suspensi ekstrak daun sidaguri dosis 25 mg/kgBB
Kombinasi ekstrak mg/kgBB dan allopurinol 10 mg/kgBB
3.6.3 Pengambilan Darah
Pengambilan darah dilakukan melalui sinus orbital mata tikus pada hari ke 0, 6,9,12 dan 15. Tikus diberikan anastesi umum secara inhalasi dengan eter. Pada mata tikus, mikrohematokrit dimasukkan ke dalam pangkal bola mata sambil diputar halus ke arah belakang bola mata sehinga darah mengalir melalui mikrohematokrit tersebut.
Darah ditampung hati-hati ke dalam mikrotube, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Serum yang diperoleh kemudian dipisahkan dengan mikropipet lalu disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 2-8ºC hingga dilakukan pengukuran asam urat.
3.6.4 Pengukuran Asam Urat
Pengukuran kadar asam urat dilakukan dengan metode kolorimetri enzimatik menggunakan pereaksi untuk asam urat.
28
Prinsip reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
urikase
Asam urat + O2 + H allantoin + CO2 +H2O2
peroksidase
H2O2 + DCHBS + 4-aminoantipiril N-(4-antipiril)-3-kloro-5-sulfonat-p- benzokuinonimuin +HCl +H2O
Ket: DCHBS = diklorohidroksi benzen sulfonat
Pada kuvet blanko, sampel, dan standar dimasukkan 1000 µL pereaksi asam urat. Pada kuvet sampel ditambahkan 20 µL serum dan pada kuvet standar ditambahkan 20 µL standar asam urat, lalu dikocok. Campuran tersebut diinkubasi selama 30 menit pada suhu 25-30ºC hingga terbentuk warna merah muda. Serapan sampel dan standar diukur terhadap blanko pereaksi pada panjang gelombang 520 nm.
Tabel 3.2 Volume blanko, sampel, dan standar pada pengukuran asam urat Kuvet Pereaksi Asam
Terminasi hewan uji dilakukan dengan metode inhalasi senyawa eter.
Cairan eter dimasukkan ke dalam toples, lalu dijenuhkan. Tikus dimasukkan ke dalam toples yang telah dijenuhkan dengan eter, diamkan hingga denyut jantung tikus uji tidak terasa.
3.7 Analisis Data
3.7.1 Analisis secara Statistik
Data yang didapatkan diolah secara statistik dengan menggunakan aplikasi SPSS. Analisis data yang pertama yang dilakukan adalah uji normalitas dan uji
homogenitas. Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan Metode Kolmogorov-Smirnof, sedangkan uji homogenitas dilakukan dengan menggunakan Metode Levene. Analisis masalah yang dilakukan adalah dengan Metode One-Way ANOVA yang dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) apabila data terdistribusi normal dan memiliki varian homogen. Apabila data tidak terdistribusi normal atau varian tidak homogen, dilakukan analisis dengan metode Kruskal-Wallis yang dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney (Dahlan, 2010).
Hipotesis :
Ho : tidak ada perbedaan bermakna antara setiap kelompok Ha : ada perbedaan bermakna antara setiap kelompok Pengambilan keputusan :
Apabila nilai signifikansi ≥ 0,05, maka Ho diterima.
Apabila nilai signifikansi ≤ 0,05, maka Ho ditolak.
3.7.2 Perhitungan Persentase Penurunan Asam Urat (Purwatiningsih et al., 2010)
Data yang diperoleh berupa persentase penurunan kadar asam urat dalam darah. Persentase penurunan kadar asam urat dihitung dengan rumus:
Persentase penurunan kadar asam urat =
Keterangan:
AU0: kadar asam urat darah normal pada hari ke-0 AU6: kadar asam urat darah pada hari ke-6
AUx: kadar asam urat darah pada hari ke-9, 12 dan 15
BAB 4
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Determinasi Tanaman
Determinasi tanaman dilakukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman uji adalah benar tanaman sidaguri dari famili Malvaceae. Surat determinasi dapat dilihat pada lampiran 1.
4.1.2 Ekstraksi
Berdasarkan hasil pengeringan maserat, diperoleh rendemen ekstrak etanol 70% daun sidaguri sebesar 17,26%. Perhitungan rendemen ekstrak sidaguri dapat dilihat pada lampiran 6.
4.1.3 Parameter Standar
Hasil pengujian parameter standar spesifik dan non spesifik yang dilakukan terhadap ekstrak dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Parameter standar ekstrak etanol 70% daun sidaguri
Pengujian Parameter Hasil
4.2 Pembahasan
Pada penelitian ini, dilakukan uji antihiperurisemia kombinasi ekstrak etanol 70% daun sidaguri dan allopurinol terhadap tikus Sprague Dawley yang diinduksi kafein. Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman sidaguri pada bagian daunnya yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITRO). Sebelum daun sidaguri digunakan sebagai bahan penelitian, dilakukan determinasi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman uji adalah benar daun sidaguri dari famili Malvaceae.
Daun sidaguri kemudian diproses menjadi simplisia dengan berbagai tahapan: yaitu sortasi basah, pencucian, pengeringan, sortasi kering dan penghalusan menjadi serbuk simplisia. Serbuk simplia daun sidaguri yang digunakan untuk ekstraksi sebanyak 500 gram yang kemudian diperoleh ekstrak kental etanol 70% daun sidaguri sebanyak 86,3 gram dengan rendemen 17,26%.
Ekstraksi dilakukan secara maserasi, metode ini dipilih karena mudah dan menghasilkan rendemen yang tinggi (Saifudin, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Ridwanty (2011) rendemen ekstrak etanol 70% daun sidaguri diperoleh sebesar 29,21%. Pemilihan etanol sebagai pelarut berdasarkan metode yang distandarisasi BPOM (2005) bahwa untuk ekstraksi suatu bahan yang akan digunakan sebagai obat harus menggunakan etanol sebagai pelarutnya. Etanol memiliki sifat mudah menguap, murah, mudah didapat dan cukup aman. Etanol sebesar 70% digunakan karena etanol 70% dapat menarik senyawa bersifat polar, semipolar, dan non polar dimana senyawa yang diharapkan yaitu senyawa flavonoid yang bersifat polar.
Ekstrak kental yang diperoleh, dilakukan uji parameter standar ekstrak yakni parameter standar spesifik dan non spesifik. Uji parameter spesifik adalah identifikasi terhadap bentuk, warna, bau dan rasa ekstrak secara organoleptis.
Diperoleh hasil berupa ekstrak kental berwarna hijau tua, berbau aromatik dan memiliki rasa pahit.
Uji parameter non spesifik berupa uji kadar air dan kadar abu. Persentase kadar air ekstrak etanol 70% daun sidaguri diperoleh sebesar 16,85%. Batas kadar
32
air ekstrak yang memenuhi syarat menurut Depkes (1995) adalah dibawah 10%.
Penelitian yang dilakukan oleh Ridwanty (2011), persentase kadar air yang diperoleh yaitu sebesar 14,7%. Kelebihan air dalam simplisia menyebabkan pertumbuhan mikroba, jamur atau serangga serta mendorong kerusakan bahan aktif (WHO, 1998). Ekstrak yang diperoleh tetap digunakan pada penelitian walaupun tidak memenuhi standar karena selama penyimpanan ekstrak tidak ditumbuhi jamur ataupun mikroba.
Uji kadar abu dilakukan untuk memberikan gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak.
Prinsip uji kadar abu yaitu dengan memanaskan ekstrak pada temperatur dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik (Depkes RI, 2000). Hasil uji kadar abu ekstrak didapatkan persentase 17,35%. Dalam Depkes (2005) kadar abu sidaguri adalah sebesar 8%.
Besarnya persentase kadar abu yang diperoleh pada penelitian ini dapat disebabkan oleh terdapatnya mineral seperti oksalat pada daun sidaguri yang menyebabkan kadar abu tinggi. Umur panen tanaman berkaitan erat dengan kadar pati maksimum, yang menentukan tinggi rendahnya kadar oksalat. Semakin panjang umur panen, maka kadar oksalatnya semakin rendah, demikian sebaliknya (Pancasasti, 2016).
Pada penelitian ini hewan uji yang digunakan adalah tikus putih galur Sprague-Dawley berjenis kelamin jantan yang berusia 2-3 bulan dalam kondisi sehat dengan berat badan 200-250 gram. Tikus dipilih sebagai hewan uji karena tikus memiliki sifat fisiologis yang mirip dengan manusia.
Kelompok perlakuan yang diujikan yaitu kelompok kontrol dan kelompok uji. Kelompok kontrol terdiri dari kontrol normal, kontrol positif, dan kontrol negatif. Menurut Budiharto (2008) kelompok kontrol digunakan untuk memastikan bahwa hasil uji tidak terpengaruh oleh faktor lain yang dapat mempengaruhi hasil uji.
Senyawa yang digunakan pada kontrol positif adalah allopurinol dengan dosis tikus 10 mg/kgBB dengan tujuan untuk memastikan bahwa asam urat tikus uji terbukti menurun dengan obat asam urat yang telah beredar di masyarakat.
Obat allopurinol memiliki mekanisme kerja menghambat kerja enzim xantin
oksidase (Dipiro et al. 2009). Hal ini berkaitan dengan mekanisme kerja dari sidaguri, flavonoid yang terkandung dari ekstrak sidaguri memiliki efek inhibitor xantin oksidase (Iswantini, et al. 2009).
Pada kelompok uji normal, tikus uji diberikan Na CMC 0,5% untuk memastikan bahwa kadar asam urat tikus tanpa perlakuan berada pada rentang normal. Kelompok uji negatif, tikus diberikan kafein 27 mg/ 200 g BB tanpa diberikan tambahan berupa ekstrak sidaguri ataupun allopurinol. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa kadar asam urat tikus uji yang diinduksi kafein 27 mg/
200 g BB dapat meningkatkan kadar asam urat seperti kondisi penderita asam urat.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Azizahwati (2005) kafein dapat digunakan sebagai penginduksi asam urat karena kafein merupakan komponen alkaloid derivat xantin yang mengandung gugus metil yang akan dioksidasi oleh xantin oksidase membentuk asam urat sehingga dapat meningkatkan kadar asam urat di dalam tubuh.
Pengujian yang dilakukan yaitu kelompok uji penggunaan ekstrak sidaguri secara tunggal dan penggunaan kombinasi ekstrak sidaguri dan allopurinol. Dosis yang digunakan untuk ekstrak sidaguri yaitu 25 mg/kgBB, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Simarmata et al (2012) dosis terbaik dalam menurunkan kadar asam urat yaitu dosis 50 mg/kgBB pada mencit. Untuk tikus dikonversikan dosisnya menjadi 25 mg/kgBB. Dosis allopurinol yang digunakan pada manusia sehari yaitu 100 mg, dikonversikan pada tikus menjadi 10 mg/kgBB (Perhitungan dosis pada lampiran 6).
Tikus uji diaklimatisasi selama 2 minggu sebelum dilakukan penginduksian asam urat. Aklimatisasi tikus bertujuan untuk membuat tikus uji beradaptasi dengan lingkungannya, menstabilkan parameter fisiologis dan perilaku tikus akibat proses pengiriman, dan menganalisa kelayakan tikus untuk menjadi tikus uji. Arts et al. (2012) tikus dianggap layak menjadi tikus uji apabila selama proses aklimatisasi tidak terjadi penurunan berat badan lebih dari 10%.
Sebelum dilakukan penginduksian, pada hari ke-0 dilakukan pengukuran kadar asam urat tikus untuk mengetahui seluruh kelompok tikus mempunyai kadar asam urat yang normal. Tikus dipuasakan selama 12 jam sebelum dilakukan
34
pengambilan darah, hal ini bertujuan agar tidak terjadi perubahan kadar asam urat karena asupan makanan.
Taconic Technical Laboratory, 1998 dalam Kusmiyati, 2008 menyebutkan bahwa kadar asam urat normal pada tikus jantan adalah 4,37 ± 1,11 mg/dl, sedangkan pada tikus betina sebesar 2,92 ± 0,241 mg/dl. Pada penelitian rerata kadar asam urat tikus putih jantan sebelum perlakuan (hari ke-0) untuk semua kelompok adalah 4,46 ± 1,50 mg/dl (Tabel 4.3). Rerata yang didapatkan menunjukkan nilai asam urat tikus uji pada hari ke-0 adalah normal.
Rerata kadar asam urat setelah dilakukan penginduksian kafein selama 6 hari yaitu 5,86 ± 1,74. Nilai yang dihasilkan menunjukkan nilai kadar asam urat lebih tinggi daripada rerata kadar asam urat pada hari ke-0. Dengan demikian pengkondisian hiperurisemia berhasil dilakukan, yaitu nilai asam urat lebih tinggi dibandingkan nilai asam urat normal.
Hasil pengukuran kadar asam urat tikus uji dianalisis secara statistika dengan menggunakan program SPSS 22.0. Berdasarkan pada uji normalitas (One-Sample Kolmogrof-Smirnov Test) diketahui bahwa nilai kadar asam urat tikus uji seluruh kelompok terdistribusi normal (p ≥ 0.05) dan pada uji homogenitas (Levene) menunjukkan terdistribusi homogen (p ≥ 0.05) pada H6, H9, H12, dan H15 tapi tidak terdistribusi homogen pada H0 sehingga dilakukan uji Kruskal Wallis. Uji Kruskal Wallis untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kadar asam urat pada kelompok uji. Menurut Dahlan (2010) pengolahan data tidak bisa dilanjutkan dengan uji One-Way Anova jika terdapat setidaknya satu kelompok tidak terdistribusi normal.
Nilai yang diperoleh dari Kruskal Wallis yaitu (p ≥ 0.05) data kadar asam urat tikus tidak berbeda secara bermakna pada H0, H6, H9, dan H12 tapi ada perbedaan secara bermakna pada H15. Sehingga dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney pada hari ke 15, bertujuan untuk menentukan kelompok mana yang memberikan nilai yang berbeda secara bermakna dengan kelompok lainnya. Hasil uji statistik Mann-Whitney menunjukkan bahwa hasil antara kelompok uji kontrol positif (allopurinol 10 mg/kgBB), ekstrak sidaguri 25 mg/kgBB dan kombinasi ekstrak sidaguri 25 mg/kgBB dan allopurinol 10 mg/kgBB tidak berbeda signifikan (p ≥ 0.05) pada H15 yang berarti tidak ada perbedaan efek yang
dihasilkan dalam menurunkan kadar asam urat antar kelompok perlakuan. Data kadar asam urat tikus uji kontrol negatif berbeda secara bermakna ( p ≤ 0.05) dengan kelompok perlakuan; kontrol positif, ekstrak tunggal dan penggunaan kombinasi pada H15.
Berdasarkan hasil persentase penurunan kadar asam urat tikus uji selama 15 hari. Persentase penurunan kadar asam urat pada pemberian ekstrak tunggal sidaguri 25 mg/kgBB adalah 64,90%. Ekstrak etanol 70% daun sidaguri yang dilakukan oleh Simarmata et al. (2012) persentase penurunan kadar asam urat diperoleh sebesar 49.45%. Flavonoid yang terkandung dari ekstrak sidaguri memiliki mekanisme kerja menghambat kerja enzim xantin oksidase, sehingga dapat digunakan untuk menurunkan kadar asam urat (Iswantini et al. 2009).
Persentase penurunan kadar asam urat pada tikus uji kontrol positif (allopurinol) diperoleh sebesar 67,86%. Penelitian yang dilakukan oleh
Simarmata et al. (2012) persentase penurunan kadar asam urat dengan allopurinol 10 mg/kgBB sebesar 44,31%. Obat allopurinol digunakan sebagai penurun kadar
asam urat karena memiliki mekanisme kerja menghambat kerja enzim xantin oksidase, yang berperan mengubah hipoxantin menjadi asam urat. (Dipiro, et al.
2009).
Kombinasi penggunaan ekstrak etanol 70% daun sidaguri dan allopurinol diperoleh persentase penurunan kadar asam urat sebesar 50,25%. Berdasarkan hasil persentase penurunan kadar asam urat tikus uji, persentase penurunan kadar asam urat pada pemberian ekstrak etanol 70% daun sidaguri 25 mg/kgBB secara tunggal sebesar 64,90% lebih besar dibandingkan persentase penurunan kadar asam urat pada pemberian kombinasi ekstrak etanol 70% daun sidaguri 25 mg/kgBB dan allopurinol 10 mg/kgBB yakni 50,25%. Allopurinol 10 mg/kgBB yang diberikan secara tunggal memiliki persentase penurunan kadar asam urat yang lebih tinggi dibandingkan persentase penurunan ekstrak etanol 70% daun sidaguri 25 mg/kgBB secara tunggal ataupun kombinasi ekstrak etanol 70% daun sidaguri 25 mg/kgBB dan allopurinol 10 mg/kgBB yakni sebesar 67,86%.
Persentase penurunan kadar asam urat pada penggunaan kombinasi memiliki persentase penurunan yang lebih kecil dibandingkan penggunaan allopurinol dan ekstrak sidaguri secara tunggal. Hal ini disebabkan karena
36
allopurinol memiliki mekanisme kerja inhibisi kompetitif dengan menghambat kerja enzim xantin oksidase (Deglin, 2004) dan flavonoid yang terkandung dari ekstrak sidaguri memiliki mekanisme kerja inhibisi kompetitif dengan menghambat kerja enzim xantin oksidase (Iswantini, et al. 2009). Penggunaan secara kombinasi allopurinol dan ekstrak sidaguri tidak memberikan hasil yang signifikan dalam menurunkan kadar asam urat bisa terjadi karena kompetisi dalam memperebutkan sisi aktif enzim xantin oksidase pada penggunaan kombinasi tidak hanya terjadi antara inhibitor dengan substrat (xantin), tetapi antara inhibitor dengan inhibitor (Aldiyati, 2012).
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan:
1. Kadar asam urat tikus uji kelompok perlakuan pada hari ke 15 terdapat perbedaan secara bermakna ( p ≤ 0.05) dengan kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa kontrol positif, ekstrak sidaguri tunggal dan penggunaan kombinasi ekstrak sidaguri dan allopurinol mampu menurunkan kadar asam urat dan aktif sebagai antihiperurisemia secara in vivo.
2. Persentase penurunan kadar asam urat tikus uji yang diberikan secara kombinasi ekstrak etanol 70% daun sidaguri 25 mg/kgBB dan allopurinol 10 mg/kgBB memiliki persentase penurunan kadar asam urat yang lebih kecil dibandingkan persentase penurunan kadar asam urat yang diberikan ekstrak sidaguri secara tunggal ataupun allopurinol secara tunggal, yakni sebesar 50,25% ( p ≥ 0.05).
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui interaksi yang terjadi pada penggunaan kombinasi ekstrak etanol 70% daun sidaguri dan Allopurinol dalam menurunkan hiperurisemia.
DAFTAR PUSTAKA
Aldiyati, (2012). Interaksi Allopurinol dan Ekstrak Etanol Daun Gandarusa (Justicia gendarussa B) terhadap Kadar Asam Urat Darah pada Tikus Putih Jantan. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Arts et al. 2012. The Impact of Transportation on Physiological and Behavioral Parameters in Rats: Implications for Acclimatization Periods. ILAR J (2012) 53 (1): E82-E98 DOI: 10.1093/ilar.53.1.82
Azizahwati et al (2005). Efek Penurunan Kadar Asam Urat Dalam Darah Tikus Putih Jantan dari Rebusan Akar Tanaman Akar Kucing (Acalypha indica L). Departemen Farmasi FMIPA-UI. Depok. ISSN: 1412-2855. Vol. 4 No.
I. hlm. 213-218.
BPOM RI. 2005. Gerakan Nasional Minum Temulawak. Jakarta: BPOM RI.
Budiharto. 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan dengan Contoh Bidang Ilmu Kesehatan Gigi. Jakarta: Penerbit IKAPI. hlm. 51.
Dahlan, Sopiyudin. (2010). Mendiagnosis dan Menata Laksana 13 Penyakit Statistik: Disertai Aplikasi Program Stata. Jakarta: IKAPI. hlm. 178.
Deglin, Judith Hopfer. (2004). Pedoman Obat untuk Perawat (4 ed.). Jakarta:
EGC.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Edisi I. hlm. 13-31.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia.
Jakarta: Ditjen POM. Edisi IV. hlm. 1035.
Departemen Kesehatan republik Indonesia. (2005). Materia Medika Indonesia.
Jilid VI. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. hlm.
247-251.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2008). Farmakope Herbal Indonesia.
Edisi I. hlm. XXV.
Dipiro et al. (2005). Pharmacotherapy ; A Pathophysiologic Approach (6 th).
New York: McGRAW-HILL. hlm. 1705.
Dipiro et al. (2009). Pharmacotherapy Handbook (7 th). New York: McGRAW-HILL. hlm. 1-3.
Firdausi (2012). Interaction of Allopurinol with Salam (Eugenia polyantha Weight) Leaves Infusion to Blood Uric Acid Level of Male White Rat.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Hardman et al. (2012). Goodman & Gilman Dasar Farmakologi Terapi (10 ed., Vol.2). Jakarta: EGC. Hlm. 666-705.
Kusmiyati, A. (2008). Kadar Asam Urat Serum dan Urin Tikus Putih Hiperurikemia Setelah Pemberian Jus Kentang (Solanum tuberosum L).
Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Mipa UNS, Surakarta.
Hidayat. (2006). Obat Herbal (H. Medicine): Apa Yang Perlu Disampaikan Pada Mahasiswa Farmasi dan Mahasiswa Kedokteran. Pengembangan Pendidikan. 3. No. 1. hlm. 141-147.
Howkin, DW, Rahn, DW. (1997). Pharmacotherapy; A Pathophysiological Approach (3 th). London: Black Well Scientific Publication. hlm. 1755-1760.
Iswantini et al. (2009). Indonesian Sidaguri (Sida rhombifolia L) as Antigout and Inhibition Kinetics of Flavonoids Crude Extract on the Activity of Xanthine Oxidase. Biopharma Research Center. IPB. hlm. 408-504.
Lancet. (2000). Herb-drug Interaction. Vol. 355. hlm. 134-138.
Longe et al. (2002). The Gale Encyclopedia of Medicine (Vol. 3). America: Gale Group.
Malole dan Pramono. (1989). Penggunaan Hewan-hewan di Laboratorium.
Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Antar universitas Bioteknologi. hlm. 104-107.
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2016). Formularium Obat Herbal Indonesia. hlm. 58-60.
Pancasasti, Ranthy. (2016). Pengaruh Elevasi Terhadap Kadar Asam Oksalat Talas Beneng (Xanhosoma undipes K.Koch) Di Sekitar Kawasan Gunung Karang Provinsi Banten. Volume 5. No. I. p-ISSN: 2301-4652 / e-ISSN : 2503-068X.
Prasetya, Yudha. (2009). Uji Efektifitas Etanol Daun Sirih (Piper betle L) terhadap Penurunan Kadar Asam Urat Darah pada Tikus Putih Jantan yang Diinduksi Kafeina. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
40
Price et al. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4.
Jakarta: EGC. hlm. 1402-1406.
Purwatiningsih et al. (2010). Antihyperuricemic Activity of the Kepel (Stelechocarpus burahol (BI.) Hook.F.& Th). Leaves Extract and Xanthine
Purwatiningsih et al. (2010). Antihyperuricemic Activity of the Kepel (Stelechocarpus burahol (BI.) Hook.F.& Th). Leaves Extract and Xanthine