BAB 1. PENDAHULUAN
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian dengan judul “uji antihiperurisemia kombinasi ekstrak etanol 70% daun sidaguri dan allopurinol terhadap tikus sprague-dawley yang diinduksi kafein” dibatasi pada pengujian kombinasi ekstrak etanol 70% daun sidaguri dan allopurinol terhadap tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague-Dawley.
Induksi hiperurisemia menggunakan kafein. Desain penelitian adalah eksperimental. Jumlah tikus yang digunakan 25 ekor. Lokasi penelitian adalah di Laboratorium Penelitian 1 dan Laboratorium Animal House di Gedung Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Sidaguri
2.1.1 Morfologi
Sidaguri tumbuh liar di tepi jalan, halaman berumput, hutan, ladang, dan tempat-tempat dengan sinar matahari cerah atau sedikit terlindung. Perdu tegak bercabang ini tingginya dapat mencapai 2 m dengan cabang kecil berambut rapat.
Daun tunggal, letak berseling, bentuknya bulat telur atau lanset, tepi bergerigi, ujung runcing, pertulangan menyirip, bagian bawah berambut pendek warnanya abu-abu, panjang 1,5-4 cm, lebar 1–1,5 cm. Bunga tunggal berwarna kuning cerah yang keluar dari ketiak daun, mekar sekitar pukul 12 siang dan layu sekitar tiga jam kemudian. Buah dengan 8-10 kendaga, diameter 6-7 mm (Menkes RI, 2016).
Gambar 2.1 Tumbuhan Sidaguri (Koleksi Pribadi, 2017)
2.1.2 Sistematika Tumbuhan
Tumbuhan sidaguri memiliki sistematik sebagai berikut: (Tjitrosoepomo, 1991) Divisi : Spermatophyta
Nama daerah: saliguri (Minangkabau), sidaguri (Melayu), sidagori (Sunda), taghuri (Madura), kahindu (Sumba), hutu gamo (Halmahera), digo (Ternate)
2.1.3 Kandungan Kimia
Sidaguri memiliki sifat khas manis dan mendinginkan. Kandungan utama tanaman adalah tanin, flavonoid, saponin, alkaloid dan glikosida. Di samping itu juga ditemui kalsium oksalat, fenol, steroid, efedrin dan asam amino. Kadar kimia zat tersebut ditemui pada kisaran yang berbeda-beda pada jaringan tanaman. Pada akar ditemui alkaloid, steroid dan efedrin. Pada daun ditemui juga alkaloid, kalsium oksalat, tanin, saponin, fenol, asam amino dan minyak atsiri, pada batang ditemui kalsium oksalat dan tanin (Menkes RI, 2016).
2.1.4 Khasiat Sidaguri Uji praklinik :
Ekstrak gabungan sidaguri dengan seledri dapat digunakan sebagai antihiperurisemia dengan mekanisme menghambat aktivitas enzim xantin oksidase.
Ekstrak etanol daun sidaguri menunjukkan aktivitas anti-inflamasi. Edema yang diinduksi dengan menyuntikkan karagenan mengalami penurunan pada perlakuan pemberian ekstrak (400 mg/kg BB) secara oral dibandingkan dengan kelompok kontrol (p < 0,05). Hasil ini mendukung penggunaan ekstrak etanol daun sidaguri dalam mengurangi peradangan.
8
Flavonoid dari ekstrak sidaguri secara in vitro menghambat aktivitas xanthine oxidase (XO) sampai 55% sehingga mempunyai efek antihiperurisemia dan efek inhibisinya 48-71% pada konsentrasi 100-800 mg/L. Studi kinetik mendapatkan inhibisi flavonoid adalah inhibisi kompetitif dengan afinitas (α) 2.32 dan p < 0.01. Fraksionasi menghasilkan 11 fraksi dengan aktivitas paling tinggi pada fraksi 4 yaitu 79% (Menkes RI, 2016).
2.1.5 Data Keamanan
LD50 : ekstrak air pada tikus per oral 8,5 g/kg BB. Ekstrak air bersifat non toksik pada tikus sampai dengan dosis 10 g/kg BB.
Toksisitas subkronik peroral pada tikus dengan dosis 300, 600 dan 1200 mg/kgBB tidak menimbulkan perubahan pada organ (Menkes RI, 2016).
2.1.6 Literatur Review
2.1.6.1 Efek Hipourikemia Ekstrak Daun Sidaguri (Sida Rhombifolia L) pada Mencit Jantan (Simarmata et al., 2012)
Pengujian efek ekstrak etanol daun sidaguri (EEDS) dilakukan secara eksperimental menggunakan alat ukur kadar asam urat Nesco dengan menggunakan potasium oxonate sebagai penginduksi asam urat.
Dosis EEDS yang diujikan yaitu 50 mg/kgBB , 100 mg/kgBB dan 200 mg/kgBB diberikan secara oral, pengamatan selang waktu 60 menit selama 5 jam. Kontrol positif yaitu allopurinol 10 mg/kgBB dan kontrol negatif CMC dosis 1% BB. Data hasil pengujian dianalisis dengan metode analisis variasi (ANAVA). Dilanjutkan dengan uji post hoc duncan.
Hasil analisis yaitu ketiga dosis EEDS memberikan efek penurunan terhadap kadar asam urat. Pemberian ekstrak etanol 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB dan 200 mg/kgBB memberikan hasil yang tidak berbeda signifikan dengan pemberian allopurinol dosis 10 mg/kgBb (p > 0,05) dan memberikan perbedaan yang signifikan dengan pemberian CMC dosis 1% BB (p < 0,05).
Kesimpulan: semua ekstrak etanol daun sidaguri dapat menurunkan kadar asam urat dalam darah dengan dosis terbaik 50 mg/kg BB dengan persentase penurunan 49,45%.
2.1.6.2 Sidaguri sebagai Antigout dan Kinetika Inhibisi Flavonoid pada Aktifitas Xantin (Iswantini et al., 2009)
Hasil menunjukkan bahwa LC50 pada konsentrasi 501 mg/L dan efek inhibisi xantin oksidase 48 – 71 % pada konsentrasi 100 – 800 mg/L.
Studi kinetik menunjukkan tipe inhibisi ekstrak flavonoid yaitu inhibisi kompetitif dengan afinitas inhibisi (α) 2.32 dan p <0.01. Fraksinasi yang dihasilkan yaitu 11 fraksi dengan fraksi 4 memiliki afinitas yang paling tinggi sebesar 79%. Analisis GC-MS pada fraksi 4 menunjukkan ada 39 senyawa organik dan fragmen flavonoid dengan waktu retensi 4.14 , 6.53 , dan 6.74 yang memiliki kesamaan dengan fragmen asam benzoat. Pada uji fitokimia fraksi 4 mengandung flavonoid.
2.1.6.3 Interaksi Allopurinol dengan Infusa Daun Salam (Eugenia polyantha W) terhadap Kadar Asam Urat Darah pada Tikus Putih (Firdausi, 2012)
Subyek penelitian yaitu 20 ekor tikus putih jantan galur Wistar, ± 3 bulan,
± 200 gram. Dibagi menjadi 4 kelompok yaitu kelompok tanpa perlakuan, kelompok allopurinol 10 mg/kgBB, kelompok kombinasi allopurinol 10 mg/kgBB dengan infusa daun salam 2,5 g/kgBB dan kelompok kombinasi allopurinol 10 mg/kgBb dengan infusa daun salam 5 g/kgBB. Induksi hiperurisemia dilakukan dengan memberikan jus hati ayam 3 mg/200 gBB. Pengukuran kadar asam urat darah dilakukan saat sebelum induksi (awal), sebelum perlakuan (pre test) dan setelah perlakuan (post test).
Selisih kadar asam urat darah kelompok tanpa perlakuan yaitu 0,32 ± 0,38;
kelompok allopurinol 10 mg/kgBB yaitu 0,76 ± 0,33; kelompok kombinasi allopurinol 10 mg/kgBB dengan infusa daun salam 2,5 g/kgBB yaitu 0,56 ± 0,54;
dan kelompok kombinasi allopurinol 10 mg/kgBB dengan infusa daun salam 5 g/kgBB yaitu 0,60 ± 0,80.
Pada penelitian ini, pemberian kombinasi allopurinol dengan infusa daun salam menimbulkan interaksi obat yang bersifat antagonistik. Kombinasi allopurinol 10 mg/kgBB dan infusa daun salam 2,5 g/kgBB memiliki efek
10
antagonistik yang lebih kuat dibandingkan dengan kombinasi allopurinol 10 mg/kgBB dan infusa daun salam 5 g/kgBB.
2.1.6.4 Interaksi Allopurinol dan Ekstrak Daun Kepel (Stelechocarpus burahol) terhadap Kadar Asam Urat Darah pada Tikus Putih Jantan (Rezkiawan, 2012)
Penelitian eksperimental yang dilakukan secara in vivo menggunakan 20 ekor tikus putih jantan galur Wistar, usia 3-4 bulan, berat ± 200 g dibagi dalam 4 kelompok: tanpa perlakuan (I), allopurinol 10 mg/kgBB (II), ekstrak daun kepel dosis 50 mg/kgBB dan allopurinol 10 mg/kgBB (III), ekstrak daun kepel dosis 100 mg/kgBB dan allopurinol 10 mg/kgBB (IV).
Tikus diinduksi dengan jus hati ayam dosis 3 mg/200 gBB. Allopurinol dan ekstrak daun kepel diberikan sekali sehari selama 7 hari. Darah diambil dari vena mata dan pemeriksaan kadar asam urat dilakukan pada hari ke-0, 28 dan 35.
Dalam penelitian ini didapatkan selisih kadar asam urat darah kelompok tanpa perlakuan : 0,32 ± 0,38 mg/dl, kelompok allopurinol : 0,76 ± 0,32 mg/dl, ekstrak daun kepel dosis 50 mg/kgBB dan allopurinol 10 mg/kgBB : 0,66 ± 0,38 mg/dl ,ekstrak daun kepel dosis 100 mg/kgBB dan allopurinol dosis 10 mg/kgBB : 0.46 ± 0.46 mg/dl. Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa allopurinol 10 mg/kgBB dan allopurinol 10 mg/kgBB + ekstrak daun kepel 50 mg/kgBB memiliki efek penurunan kadar asam urat darah lebih baik daripada allopurinol 10 mg/kgBB + ekstrak daun kepel 100 mg/kgBB.
2.1.6.5 Interaksi Allopurinol dan Ekstrak Etanol Daun Gandarusa (Justicia gendarussa B) terhadap Kadar Asam Urat Darah pada Tikus Putih Jantan (Aldiyati, 2012)
Penelitian eksperimental dengan 20 ekor tikus putih jantan diinduksi dengan jus hati ayam 3 mg/200 g BB selama 28 hari, dilanjutkan pemberian perlakuan hingga hari ke-35. Tikus dibagi menjadi 4 kelompok yaitu (I) tanpa perlakuan, (II) allopurinol 10 mg/kgBB, (III) kombinasi allopurinol 10 mg/kgBB dan 111,012 mg/kgBB ekstrak etanol daun gandarusa (IV) kombinasi allopurinol
10 mg/kgBB dan 222,024 mg/kgBB ekstrak etanol daun gandarusa. Perlakuan selama 7 hari, pemeriksaan kadar asam urat dilakukan pada hari 0, 28 dan 35.
Hasil penelitian diolah dengan menggunakan Kruskal Wallis, menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara keempat kelompok (p<0,05). Selanjutnya diolah menggunakan Mann-Whitney test dan menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara pemberian allopurinol tunggal dan tanpa perlakuan (p<0,05). Sedangkan antara kelompok tanpa perlakuan dengan kedua kelompok kombinasi tidak ada perbedaan yang bermakna (p>0,05). Dapat disimpulkan bahwa penggunaan allopurinol tunggal 10 mg/kgBB lebih efektif dibandingkan penggunaan kombinasi allopurinol 10 mg/kgBB dengan ekstrak etanol daun gandarusa 111,012 mg/kgBB dan 222,024 mg/kgBB.
2.2 Simplisia, Ekstrak dan Ekstraksi
2.2.1 Definisi Simplisia, Ekstrak dan Ekstraksi
Simplisia atau herbal adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan. Kecuali
dinyatakan lain suhu pengeringan simplisia tidak lebih dari 60°
(Depkes RI, 2008).
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung (Depkes RI, 2008).
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Simplisia yang diekstrak mengandung senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa yang tidak dapat larut seperti serat, karbohidrat, protein dan lain-lain. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Depkes RI, 2000).
2.2.2 Metode Ekstraksi
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2000) ekstraksi menggunakan pelarut terdiri dari dua yaitu:
12
a. Cara Dingin 1) Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.
2) Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan atau penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
b. Cara Panas 1) Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.
2) Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3) Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 - 50°C.
4) Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (~30°C) dan temperatur sampai titik didih air.
5) Infus
lnfus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96 - 98°C) selama waktu tertentu (15 - 20 menit ).
2.3 Hiperurisemia dan Gout 2.3.1 Definisi
Gout merupakan istilah yang dipakai untuk sekelompok gangguan metabolik yang ditandai oleh meningkatnya konsentrasi asam urat (hiperurisemia). Penyakit gout merupakan suatu proses inflamasi yang terjadi karena penumpukan kristal asam urat pada sekitar jaringan sendi akibat kadar asam urat serum yang melebihi kelarutannya. Kristalisasi natrium urat dalam jaringan lunak dan persendian akan membentuk endapan yang dinamakan tofus. Proses ini menyebabkan suatu reaksi inflamasi akut, yaitu artritis akut gout, yang dapat berlanjut menjadi artritis kronis gout. Hiperurisemia didefinisikan sebagai konsentrasi asam urat dalam serum yang melebihi 7 mg/dl. Konsentrasi ini adalah batas kelarutan monososdium urat dalam plasma. Pada konsentrasi 8 mg/dL atau lebih, monosodium urat lebih cenderung mengendap di jaringan (Dipiro et al. 2009).
Ekskresi keseluruhan asam urat pada manusia yang normal berkisar rata-rata 400-600 mg dalam 24 jam. Dua pertiga asam urat yang terbentuk dieliminasi melalui ginjal, sedangkan sepertiganya melalui saluran cerna (Dipiro et al., 2005).
2.3.2 Patofisiologi
Pada kondisi normal kadar asam urat pada laki-laki 3,4-7,0 mg/dl sedangkan pada perempuan antara 2,4-5,7 mg/dl. Jika kelebihan produksi ataupun penurunan ekskresi asam urat dalam tubuh akan meningkat yang disebut hiperurisemia.
Keadaan hiperurisemia tersebut dapat menimbulkan penyakit gout sebagai akibat adanya penimbunan kristal natrium urat pada persendian yang disertai rasa nyeri (Howkin et al., 1997).
14
Patofisiologi Asam Urat
Gambar 2.2 Patofisiologi Gout Sumber: Buku Patofisiologi, 2006
2.3.3 Manifestasi Klinik
Serangan akut artristis gout ditandai dengan onset rasa nyeri yang menyiksa, pembengkakan, dan inflamasi. Serangan ini pada awalnya khas monoartikular, lebih sering mempengaruhi sendi metatarsofalangeal (podagra) dan kemudian mempengaruhi bagian dorsal kaki, pergelangan kaki, tumit, lutut, pergelangan tangan, jari dan siku. Serangan biasanya dimulai pada malam hari, dengan pasien terbangun dari tidurnya dengan rasa nyeri yang menyiksa. Demam dan leukositosis umum terjadi. Serangan yang tidak diobati dapat berlangsung
Serangan akut artritis gout dapat ditimbulkan oleh stres, trauma, konsumsi alkohol, infeksi, operasi, penurunan kadar asam urat serum yang cepat akibat mengkonsumsi obat penurun asam urat, dan mengkonsumsi obat-obat tertentu yang diketahui dapat meningkatkan konsentrasi asam urat (Dipiro et al., 2009).
2.3.4 Diagnosis
Diagnosis definitif dilakukan dengan mengambil cairan sinovial dari sendi yang terkena dan identifikasi kristal intraselular monosodium urat monohidrat pada cairan leukosit sinovial. Bila diagnosis definitif tidak dapat dilakukan, diagnosis preskriptis artritis gout akut dapat dilakukan berdasarkan adanya tanda dan gejala karakteristik serta respons terhadap pengobatan (Dipiro et al., 2009).
2.3.5 Penatalaksanaan Terapi Non Farmakologi
Pasien dianjurkan untuk mengurangi konsumsi makanan yang tinggi mengandung purin, menghindari alkohol, dan menurunkan berat badan jika obesitas (Dipiro et al., 2009).
Terapi Farmakologi
a) Antiinflamasi Nonsteroid (AINS)
Mekanisme kerja: dalam dosis tunggal AINS mempunyai aktivitas analgesik yang setara dengan parasetamol, tetapi parasetamol lebih disukai terutama untuk pasien usia lanjut. Dalam dosis penuh yang lazim AINS sekaligus memperlihatkan efek analgesik yang bertahan lama yang membuatnya sangat berguna pada pengobatan nyeri yang berlanjut atau nyeri berulang akibat radang.
Oleh karena itu, walaupun parasetamol sering mengatasi nyeri dengan baik pada osteoartritis, AINS lebih tepat daripada parasetamol atau analgesik opioid dalam artritis meradang (yaitu artritis rematoid) dan pada beberapa kasus osteoartritis lanjut.
Efek samping: kadang-kadang timbul rasa tidak nyaman pada saluran cerna, mual, diare, kadang-kadang pendarahan dan tukak; dispepsia bisa ditekan dengan meminum obat ini bersama makanan atau susu. Efek samping lain termasuk hipersensitivitas (terutama ruam kulit, angiodema), sakit kepala, pusing,
16
vertigo, gangguan pendengaran. Juga terjadi gangguan pada darah (Dipiro et al., 2009).
b) Kortikosteroid
Mekanisme kerja: kortikosteroid memiliki aktifitas glukokortikoid dan mineralokortikoid sehingga memperlihatkan efek yang sangat beragam yang mempunyai efek terhadap metabolisme karbohidrat, protein dan lipid; efek terhadap kesetimbangan air dan elektrolit; dan efek terhadap pemeliharaan fungsi berbagai sistem dalam tubuh. Kerja obat ini sangat rumit dan bergantung pada kondisi hormonal seseorang. Namun, secara umum efeknya dibedakan atas retensi Na, efek terhadap metabolisme karbohidrat (glukoneogenesis) dan efek antiinflamasi.
Kortikosteroid bekerja melalui interaksinya dengan protein reseptor yang spesifik di organ target, untuk mengatur suatu ekspresi genetik yang selanjutnya akan menghasilkan perubahan dalam sintesis protein lain. Protein terakhir inilah yang akan mengubah fungsi seluler organ target sehingga diperoleh efek antiinflamasi, meningkatnya reabsorbsi Na, meningkatnya asam lemak dan meningkatkan reaktivitas pembuluh terhadap zat vasoaktif.
Efek samping: penggunaan jangka lama akan menimbulkan efek samping glukokortikoid meliputi diabetes dan osteoporosis yang terutama berbahaya bagi usia lanjut. Pemberian dosis tinggi dapat menyebabkan nekrosis avaskular dan sindrom Cushing yang sifatnya berpulih (reversibel). Dan juga dapat terjadi gangguan mental, euphoria, dan miopati (Dipiro et al, 2009).
c) Obat-obat untuk mengatasi gout
Obat yang digunakan untuk mengatasi gout dibedakan menjadi obat untuk penanganan serangan akut gout dan obat yang digunakan untuk penanganan jangka panjang penyakit gout. Obat jangka panjang akan menimbulkan kambuhan dan memperpanjang manifestasi akut bila dimulai saat serangan.
Serangan gout akut biasanya diobati dengan AINS dosis tinggi. Kolkisin bisa dijadikan sebagai alternatif. Untuk pengendalian gout jangka panjang (interval), pembentukan asam urat dan purin bisa dikurangi dengan penghambat xantin oksidase allopurinol atau urikosurik seperti probenesid untuk meningkatkan ekskresi asam urat dalam urin.
- Kolkisin
Mekanisme kerja: mekanisme pasti kerja kolkisin masih belum diketahui.
Kolkisin menunjukkan efeknya dengan mengurangi respon inflamasi terhadap kristal yang terdeposit dan juga dengan mengurangi fagositosis. Kolkisin mengurangi produksi asam laktat oleh leukosit secara langsung dan dengan mengurangi fagositosis sehingga mengganggu siklus deposisi kristal urat dan respon inflamasi.
Efek samping: mual, muntah, dan nyeri pada perut; dosis yang berlebihan juga dapat menyebabkan diare berat, pendarahan saluran cerna, ruam, kerusakan pada ginjal dan hati (Dipiro et al., 2009).
- Allopurinol
Mekanisme kerja: allopurinol dan metabolit utamanya, oksipurinol, merupakan inhibitor xantin oksidase dan mempengaruhi perubahan hipoxantin menjadi xantin dan xantin menjadi asam urat. Allopurinol juga menurunkan konsentrasi intraseluler PRPP. Oleh karena waktu paruh metabolitnya yang panjang, allopurinol dapat diberikan sekali sehari. Dosis oral harian sebesar 300 mg biasanya mencukupi.
Efek samping: ruam, demam, limfadenopati, artalgia, dan eosinofilia, sindrom mirip Stevens-Johnson atau Lyell, jarang terjadi. Gangguan saluran cerna; jarang malaise, sakit kepala, vertigo, mengantuk, gangguan pengecapan, hipertensi, dan neuropati (Dipiro et al., 2009).
- Probenesid
Mekanisme kerja: secara kompetitif menghambat reabsorpsi asam urat pada tubulus proksimal sehingga meningkatkan ekskresi asam urat dan mengurangi konsentrasi urat serum.
Data farmakokinetik: probenesid diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral dan menghasilkan konsentrasi plasma puncak dalam 2 sampai 4 jam. Sebesar 85-95% obat ini terikat pada protein. Probenesid diekskresikan dalam urin terutama sebagai metabolitnya.
18
Efek samping: kadang mual dan muntah, sering buang air kecil, sakit kepala, muka merah, pusing, jarang hipersensitivitas, nekrosis hati dan anemia aplastik (Dipiro et al., 2009).
Tatalaksana Pengobatan untuk Artritis Gout Akut
Gambar 2.3 Penatalaksanaan Pengobatan untuk Artritis Gout Akut Sumber: Iso Farmakoterapi, 2008
2.4 Model Hewan Uji pada Pengujian Efek Antihiperurisemia
Tikus putih sering digunakan dalam penelitian karena memiliki beberapa kelebihan antara lain: mudah dipelihara dalam populasi yang sangat besar, dapat berkembang biak dengan pesat, dan memiliki ukuran yang lebih besar daripada mencit sehingga untuk beberapa percobaan tikus lebih menguntungkan. Tikus putih memperlihatkan masa hamil yang singkat (21-23 hari), jumlah anak yang cukup banyak (6 - 12 ekor), dan dapat hidup sampai 4 tahun. Seekor tikus putih
Artritis gout akut
Onset gejala < 48 jam? NSAID pilihan
Kontraindikasi terhadap NSAID?
Jumlah sendi yang terlibat Respon tidak mencukupi
Kolkisin
Kortikosteroid intraartikular
Respon tidak mencukupi
Parenteral atau kortikosteroid oral
dewasa membutuhkan 15 gram makanan dan 20 - 45 ml air per 100 gram berat badan perhari. Suhu kandang yang dibutuhkan tikus 18-27˚C dan kelembapan relatif 40-70%.
Ada beberapa galur tikus putih antara lain: Long-Evans, Sprague-Dawley, dan Wistar. Tikus putih galur Wistar mempunyai ciri-ciri: warna tubuh putih, mata berwarna merah (albino), ukuran kepala dan ekor lebih pendek dari badannya; galur Sprague-Dawley mempunyai ciri-ciri: warna tubuh putih, mata berwarna merah (albino), ukuran kepala yang kecil, dan ekor lebih panjang dari badannya; sedangkan galur Long-Evans ditandai dengan warna hitam dibagian kepala, dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono, 1989).
2.5 Metoda Pemeriksaan Kadar Asam Urat Darah 2.5.1 Metode Enzimatik Spektrofotometer UV-Vis
Metode ini menggunakan enzim-enzim yang bekerja secara spesifik pada asam urat, sehingga memberikan hasil yang relatif lebih tepat dibandingkan metode lainnya. Prinsip reaksinya adalah mengoksidasi asam urat menjadi alantoin, hidrogen peroksida dan karbon dioksida yang dikatatalisis oleh enzim urikase. Hidrogen peroksida yang terbentuk bereaksi dengan 3,5 dikloro 2-hidroksibenzen sulfonat (DCHBS) dan 4 aminophenzon (PAP) membentuk zat warna quinonimin yaitu N-(4-antipirin)-3 klor-5-sulfonat-p-benzokuinonimuin yang diukur pada panjang gelombang 520 nm dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis (Yuno, 2003).
2.5.2 Tes Strip Asam Urat
Pengukuran kadar asam urat darah tikus putih dilakukan dengan alat tes strip asam urat. Alat ini merupakan alat yang digunakan untuk memonitor tingkat asam urat di dalam darah. Tes ini merupakan spesifik untuk asam urat. Tes tersebut menggunakan oksidasi asam urat dan berdasarkan pada kemajuan teknologi biologi sensor (Prasetya, 2009).
20
2.6 Kafein
Gambar 2.4 Kafein Sumber: www.informasiobat.com
Kafein adalah komponen alkaloid derivat xantin yang mengandung gugus metil yang akan dioksidasi oleh xantin oksidase membentuk asam urat sehingga dapat meningkatkan kadar asam urat dalam tubuh. Pada penelitian ini kafein digunakan sebagai penginduksi asam urat yang dapat menyebabkan hewan coba menjadi hiperurisemia (Azizahwati et al. 2005).
Kafein adalah basa sangat lemah dari larutan air atau alkohol tidak terbentuk garam yang stabil. Kafein terdapat sebagai serbuk putih, atau sebagai jarum mengkilap putih, tidak berbau dan rasanya pahit.
Kafein larut dalam air (1:50), alkohol (1:75), atau kloroform (1:6) tetapi kurang larut dalam eter. Kelarutan naik dalam air panas (1:6 pada 80ºC) atau alkohol panas (1:25 pada 60ºC). Kafein merupakan perangsang susunan saraf pusat, merangsang otot jantung dan melemaskan otot jantung dan melemaskan otot polos bronkus (Sudarmi, 1997).
Dalam dosis standar antara 50-200 mg, kafein utamanya mempengaruhi lapisan luar otak. Pengaruh ini biasanya kelelahan. Dalam dosis besar pusat vasomotor dan pernapasan terpengaruh. Konsumsi kafein sebaiknya tidak melebihi 300 mg sehari. Para ahli menyarankan 200-300 mg kafein dalam sehari merupakan jumlah yang cukup. Mengkonsumsi kafein sebanyak 100 mg tiap hari dapat menyebabkan individu tersebut tergantung pada kafein. Keracunan kafein kronis, bila minum 5 cangkir teh setiap hari yang setara dengan 600 mg kafein.
Lama kelamaan akan memperlihatkan tanda dan gejala seperti gangguan percernaan makanan, rasa lelah, gelisah, suka tidur, tida nafsu makan, sakit kepala, pusing, bingung, berdebar, serak, sesak nafas, dan kadang sukar buang air besar (Setiawan, 2012).
2.7Allopurinol
Gambar 2.5 Allopurinol
Sumber: Buku Dasar Farmakologi Terapi, 2014
Allopurinol merupakan analog hipoxantin. Baik allopurinol maupun metabolit utamanya yaitu oksipurinol (aloxantin), merupakan inhibitor xantin oksidase. Penghambatan enzim inilah yang menghasilkan efek farmakologis
Allopurinol merupakan analog hipoxantin. Baik allopurinol maupun metabolit utamanya yaitu oksipurinol (aloxantin), merupakan inhibitor xantin oksidase. Penghambatan enzim inilah yang menghasilkan efek farmakologis