• Tidak ada hasil yang ditemukan

PM.15 PENGULANGAN PEMBERIAN MATERI AJAR MATEMATIKA BERDASAR TEORI BRUNER

Dalam dokumen Prosiding Semnas Pembejaran Mat 6 Des 09 (Halaman 168-180)

R. Rosnawati Abstrak

Matematika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah merupakan alat untuk mengembangkan kemampuan berfikir siswa. Pertumbuhan pengetahuan ditunjukkan oleh bertambahnya ketidakbergantungan respon dari stimulus. Pertumbuhan itu tergantung kepada bagaimana seorang siswa menginternalisasikan tiga tahapan yaitu enaktif, ikonik dan simbolik pada proses pembelajaran menjadi suatu simpanan informasi atau pengetahuan, dimana penyajian materi dikemas secara berulang yaitu materi sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul kembali secara terintegrasi di dalam suatu materi baru yang lebih kompleks.

A. Pendahuluan

Mengajaran matematika tidaklah mudah, karena siswa mendapatkan bahwa matematika memang tidaklah mudah (Jaworski dalam Marsigit, 1996:66). Objek yang abstrak, aksiomatik, simbolik, dan deduktif dari kajian matematika menjadi salah satu alasan sulitnya mempelajari matematika, walaupun diberikan pada sekolah menengah, dimana siswa sudah berada pada taraf bepikir operasional formal. Pada taraf operasional formal siswa mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”. Model berpikir ilmiah dengan tipe hipothetico-deductive dan

inductive, dengan kemampuan menarik kesimpulan, menafsirkan dan mengembangkan hipotesa. Semakin tinggi tahap perkembangan kognitif seseorang, akan semakin teratur dan semakin abstrak cara berpikirnya.

Tentunya agar matematika yang abstrak, aksiomatik, simbolik, dan deduktif dapat dipahami siswa dengan mudah proses pembelajaran harus memperhatikan tingkat perkembangan siswa baik secara fisik maupun psikologis (Suryanto dan Hisyam, 2000:127). Penyajian matematika yang abstrak perlu didahului dengan penyajian wujud matematika yang lebih konkrit, yaitu menggunakan benda-benda konret atau manipulatif atau permasalahan-permasaahan yang berkonteks real, yang dapat dibayangkan dalam benak siswa. Menurut psikologi kognitif, memanipulasi dan

mengalami kegiatan yang berkonteks real merupakan landasan bagi pembentukan pengetahuan (Bell, Margaret, 1991:351).

Bruner mengemukakan bahwa siswa akan belajar efektif jika memanipulasi benda konkrit, yang secara intuitif akan melekat pada diri siswa (dalam Erman, 2001). Pembelajaran menurut Bruner dengan menggunakan pendekatan spiral, dimulai dari hal konkrit ke abstrak, dari yang sederhana ke hal yang kompleks, dari hal yang mudah ke yang lebih sulit. Hal ini berarti bentuk spiral tersebut vertikal dari bawah ke atas, mulai dengan diameter kecil dan semakin membesar. Pendekatan spiral dapat dikaji pada penyajian materi untuk tingkat SD, SMP/MI dan SLTA. Ada beberapa topik materi matematika di SLTA yang merupakan pengulangan materi di SMP sebagai contoh persamaan kuadrat, begitu pula topik di SMP yang hampir sama dengan di SD, misalnya topik pecahan. Meskipun kompetensi yang dirumuskan sudah berbeda untuk setiap tingkatan, namun pelaksanaan pembelajaran di sekolah umumnya terjadi pengulangan, bahkan keluasan materi yang diberikan untuk tingkat SD sama dengan tingkat SMP. Dalam makalah ini aan dikaji pengulangan yang dimaksud berdasarkan Teori Bruner.

B. Teori Bruner

Dalam memandang proses belajar, Bruner lebih peduli terhadap proses belajar daripada hasil belajar, menurutnya belajar merupakan faktor yang menentukan dalam pembelajaran dibandingkan dengan perolehan khusus, yaitu metode penemuan (dicovery). Discovery learning dari Bruner merupakan model pengajaran yang melambangkan berdasarkan pada pandangan kognitif tentang pembelajaran dalam prinsip konstruksitivis dan discovery learning siswa didorong untuk belajar sendiri secara mandiri. Proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.

Bruner telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan berfikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia,

bagaimana manusia belajar, atau memperoleh pengetahuan dan mentransformasi pengetahuan. Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemproses, pemikir dan pencipta informasi.

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh cara sisa melihat lingkungan, yaitu:

a. Tahap enaktif, yaitu seseorang melakukan aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan.

b. Tahap ikonik, seseorang memahami objek melalui gambar dan visualisasi verbal.

c. Tahap simbolik, seseorang mampu memiliki ide-ide atau gagasan abstrak yang dipengaruhi oleh kemampuan dalam berbahasa dan logika.

Berkaitan dengan pengembangan materi, gagasan yang terkenal dari Bruner adalah spiral kurriculum. Secara singkat, kurikulum spiral menuntut guru untuk memberi materi pelajaran setahap demi setahap dari yang sederhana ke yang kompleks, dimana materi yang sebelumnya sudah diberikan suatu saat muncul kembali secara terintegrasi di dalam suatu materi baru yang lebih kompleks. Demikian seterusnya sehingga siswa telah mempelajari suatu ilmu pengetahuan secara utuh.

Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan yang berbeda. Dalam pemahaman konsep, konsep-konsep sudah ada sebelumnya. Sedangkan dalam pembentukan konsep tindakan dilakukan untuk membentuk kategori-kategori baru. Menurut Bruner belajar matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu,(dalam Hudoyo, 1990:48). Pembentukan konsep dapat mudah dipahami siswa apabila dilakukan melalui pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi siswa (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika.

C. Pengembangan Materi Ajar Matematika Berdasar Kurikulum Nasional

yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baik dalam sain maupun dalam teknologi pendidikan itu sendiri. Pembentukan kurikulum menekankan kepentingan dan keperluan masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.

Kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Dewey menyatakan bahwa skema kurikulum harus menyesuaikan dengan keperluan sebuah komunitas, membuat pilihan yang dapat meningkatkan kualitas komunitas tersebut agar tercipta kehidupan masa depan lebih baik. Menurut Middleton (1999), berhasil tidaknya implementasi kurikulum yang diperbaharui cenderung ditentukan oleh persepsi atau keyakinan yang dimiliki oleh guru. Perubahan kurikulum berkait dengan perubahan paradigma pembelajaran. Perubahan paradigma baik langsung atau tidak langsung akan memberikan dampak bagi para guru di mana mereka perlu melakukan penyesuaian. Sangat mungkin penyesuaian yang dilakukan akan memberikan ketidaknyamanan lingkungan pembelajaran bagi guru yang bersangkutan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa para guru akan bersikap mendukung implementasi dimaksud apabila mereka memahami kurikulum baru tersebut secara rasional dan praktikal. Studi lain yang dilakukan oleh Taylor dan Vinjevold (1999) mengungkapkan bahwa kegagalan implementasi kurikulum disebabkan oleh rendahnya pengetahuan konseptual guru, kurang penguasaan terhadap topik yang diajarkan, dan kesalahan interpretasi dari apa yang tertulis dalam dokumen kurikulum.

Kurikulum terbaru yang dikeluarkan oleh pemerintah adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang selanjutnya ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) nomor 22, 23, dan 24 tahun 2006. Menurut Undang-undang nomor 24 tahun 2006

pasal 1 ayat 15, KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan, yang bertujuan untuk memandirikan dan memberdayakan satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan kepada lembaga pendidikan dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam pengembangan kurikulum. BNSP mengembangkan delapan standar untuk pelaksanaan pembelajaran, yang selanjutnya tingkat satuan pendidikan menjabarkan lebih lanjut.

Salah satu komponen dalam pengembangan KTSP oleh tiap satuan pendidikan adalah pengembangan silabus. Silabus merupakan rencana pembelajaran pada suatu kelompok mata pelajaran tertentu, termasuk matematika, mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar yang dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Pengembangan silabus berbasis KTSP sepenuhnya diserahkan kepada guru, sehingga akan berbeda antara guru satu dengan guru lain. Namun suatu silabus minimal memuat enam komponen utama, yaitu : standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, materi standar, kegiatan belajar mengajar, dan standar penilaian.

Dengan demikian guru memiliki kewenangan dalam pengelolaan materi, keluasan materi hingga pendekatan yang dipilih, dengan batasan yang tercantum dalam standar isi.

Misal saja dalam menterjemahkan kompetensi dasar untuk kelas VIII semester 1 sebagai berikut: 1.2 Menguraikan bentuk aljabar ke dalam faktor-faktornya

Salah satu contoh materi yang dikembangkan guru adalah diberikan bentuk kuadrat sebagai salah satu bentuk aljabar. Indikator yang dikembangkan guru adalah berkaitan dengan kompetensi dasar tersebut adalah :

1. Memfaktorkan bentuk kuadrat

2. Mengubah menjadi bentuk kuadrat sempurna

Kompetensi yang dikembangkan adalah pemfaktoran bentuk kuadrat. Pengembangan materi ini cukup baik mengingat kompetensi dasar minimal yang ingin dicapai adalah menguraikan bentuk aljabar ke dalam faktor-faktornya, tidak terbatas pada bentuk aljabar khusus berupa bentuk kadrat. Kebanyakan sekolah menengah

pertama di Yogyakarta memberikan penekanan pada kompetensi memfaktorkan bentuk kuadrat, bahkan sampai pada penentuan akar persamaan kuadrat.

Pengembangan materi minimal untuk mencapai kompetensi dasar 1.2 tersebut di atas adalah menguraikan bentuk aljabar ke dalam faktor-faktornya, sehingga diharapkan siswa memiliki kemampuan memfaktorkan bentuk kuadrat ke dalam faktor-faktornya, dapat dilakukan dengan menggunakan batang aljabar, melalui aktivitas pembelajaran sebagai berikut:

1. Mintalah siswa untuk menggunakan ubin aljabar untuk menyatakan bentuk kuadrat sebagai jumlah dari luas ubin-ubin tersebut, misalnya x2 + 4x + 3 dinyatakan ddengan menggunakan ubin aljabar menjadi sebagai berikut

1 1 1

x2 x x x x

2. Mintalah siswa untuk membentuk ubin aljabar pada kegiatan 1 menjadi bentuk persegi panjang dengan aturan tidak menyisakan ubin dari model kuadrat tersebut. Harapannya siswa melakukan eksplorasi sehingga memperoleh strategi untuk membentuk persegi dengan menyatakan persegi satuan sebagai berikut:

Langkah selanjutnya siswa melengkapi persegi itu dengan ubin x.

Kegiatan 1 dan 2 merupakan tahapan enaktif.

3. Mintalah siswa untuk mentabulasikan hasil pengamatan dalam tabel berikut : Tabel 1

Bentuk kuadrat dan model ubin aljabar Bentuk persegi- panjang Panjan g perseg i- Lebar persegi- panjang Luas persegi- panjang

g x2 + 5x + 6 (x+3) (x+1) (x+3)(x+1) = x2 + 5x + 6 2x2 +7 x + 6 Dan seterusnya

Kegiatan 3 merupakan kegiatan ikonik

4. Mintalah siswa untuk menganalisa persoalan berikut:

Apabila bentuk kuadratnya adalah x2 + bx + c, mintalah siswa untuk menggunakan strateginya dalam memfaktorkan bentuk kuadrat tersebut.

Jumlah dari bilangan-bilangan ini sama dengan ….

x2 + bx + c = (x + ฀)(x + ฀)

Hasil kali dari bilangan-bilangan ini sama dengan …..

Kegiatan terahir adalah tahap simbolik, siswa harus sudah dapat melepas ketergantungan dengan menggunkan alat peraga berupa batang aljabar dan gambar dari persegi panjang sebagai representasi dari bentuk kuadrat.

Bentuk kuadrat yang diperkenalkan dapat diubah menjadi bentuk kuadrat sempurna, alat peraga batang aljabar dapat digunakan untuk memperkenalkan bentuk kuadrat sempurna melalui tahapan enaktif, ikonik, dan diakhiri dengan refleksi sehingga tahapan simbolik dapat dilalui siswa.

Materi bentuk kuadrat lengkap dengan pemfaktoran akan muncul kembali di sekolah menengah atas, dengan standar kompetensi yang dirumuskan adalah sebagai berikut:

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar 2. Memecahkan masalah yang

berkaitan dengan fungsi, persamaan dan fungsi kuadrat serta pertidaksamaan kuadrat

2.1Memahami konsep fungsi

2.2Menggambar grafik fungsi aljabar sederhana dan fungsi kuadrat

2.3Menggunakan sifat dan aturan tentang persamaan dan pertidaksamaan kuadrat 2.4Melakukan manipulasi aljabar dalam

perhitungan yang berkaitan dengan persamaan dan pertidaksamaan kuadrat 2.5Merancang model matematika dari masalah

yang berkaitan dengan persamaan dan/atau fungsi kuadrat

2.6Menyelesaikan model matematika dari masalah yang berkaitan dengan persamaan dan/atau fungsi kuadrat dan penafsiranny Pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan materi untuk mencapai standar kompetensi ini adalah fungsi. Siswa diperkenalkan grafik fungsi kuadrat (yang mungkin) sudah dikenal saat mempelajari gerak parabola di dalam mata pelajaran fisika. Akan sangat sulit dipahami oleh siswa apabila materi dikemas dalam urutan penyampaian adalah persamaan kuadrat terlebih dahulu, penentuan akar melalui berbagi cara dan setelah itu diberikan fungsi kuadrat.

Mudahnya penyampaian melalui pendekatan fungsi, dikarenakan masalah kontekstual yang sangat dekat dengan persoalan ini adalah gerakan lempar lembin, ataupun bola dan peristiwa lain di dalam fisika dan kehidupan sehari-hari, jadi penyampaian melalui pendekatan fungsi tidak disampaikan secara deductf dengan memberikan definisi dari fungsi, yang diartikan dalam matematika sebagaimana diperkenalkan oleh Leibniz (1646-1716) yang digunakan untuk menyatakan suatu hubungan atau kaitan yang khas antara dua himpunan. Suatu fungsi f dari himpunan A ke himpunan B adalah suatu relasi yang memasangkan setiap elemen dari A secara tunggal, dengan elemen pada B. Dalam mempelajari fungsi kuadrat perlu kiranya diberikan penekanan pada siswa bentuk grafik fungsi kuadrat sebagai bentuk parabola. Siswa sebaiknya dilatih untuk berfikir secara intuitif grafik fungsi kuadrat berkaitan dengan nilai dari a, b pada bentuk umum fungsi kuadrat f(x) = ax² + bx + c

1. Diberikan 2 gambar grafik fungsi kuadrat f(x) = x2 dan 2 2 1 ) (x x f  yang terletak dalam satu bidang koordinat. Mintalah siswa untuk memberikan dugaan gambar fungsi kuadrat untuk f(x) = 2x2; f(x) = 5x2 ; dan 2

4 1 )

(x x

f

2. Mintalah siswa untuk menggambar grafik fungsi f(x) = -x2; f(x) = -2x2 ; 2 2 1 ) (x x f  ; 2 4 1 ) (x x

f  , mintalah siswa menggambar dalam satu diagram kartesius dengan f(x) = x2 dan 2

2 1 )

(x x

3. Mintalah siswa untuk menggambar grafik f(x) = x2 dan f(x) = x2 -4x dalam satu bidang koordinat

4. Mintalah siswa untuk memberikan prediksi bagaimana gambar f(x) = x2 -2x dan

f(x) = x2 - 6x

5. Mintalah siswa untuk memberikan rediksi bagaimana gambar f(x) = x2 + 2x

6. Bila memungkinkan (mengunakn kalulator grafik) mintalah siswa untuk menganalisa perbedaan nilai c pada grafik fungsi kuadrat

Setelah siswa memahami gambar dari grafik fungsi kuadrat, langkah berikutnya adalah penentuan titik potong dengan sumbu x, atau nilai f(x) = 0

f(x)= 0 = ax2+bx+c

Sehingga akan membentuk persamaan kuadrat. Dengan pengenalan pemfaktoran bentuk kuadrat saatdi SMP, siswa diharapkan pada materi persamaan dan fungsi kuadrat siswa lebih memahami konsep pemfaktoran pada persamaan dan fungsi kuadrat. Selanjutnya aalah bentuk kuadrat sempurna.

Bentuk kuadrat dapat diubah menjadi kuadrat sempurna, seperti yang dia pernah diperkenalkan saat di SMP, sehingga bentuk fungsi kuadrat dapat dinyatakan

f(x)= ax2+bx+c       a c x a b x a x f( ) 2 =           a c a b a b x a b x a 2 22 22 4 4 =                       2 2 2 4 4 2 a ac b a b x a = a (x+p)2 – q) dengan p= a b 2 dan q= 2 2 4 4 a ac b

Mintalah siswa untuk melakukan eksplorasi makna dari titik (p,q) dalam fungsi kuadrat, yang merupakan titik balik dari grafik fungsi kuadrat. Pengetahuan siswa berkaitan dengan bentuk kuadrat sangat dibutuhkan dalam pencapaian kompetensi ini, dan agar materi dalam kurikulum tidak menjadi padat, maka kontinuitas dari jenjang sebelumnya sangat penting, bukan pengulangan statis yang diharapkan tetapi materi pada tingkat sebelumnya yang digunakan sebagai pengenalan awal siswa, sangat penting artinya pada penanaman konsep pada materi “pengulangan” dengan situasi yang lebih kompleks.

Dalam kurikulum KTSP guru sangat berperan dalam pengembangan silabus, yang memuat enam komponen utama, yaitu : standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, materi standar, kegiatan belajar mengajar, dan standar penilaian. Pengembangan materi standar perlu memperhatikan materi sebelumnya dan materi setelahnya dalam hal ini seorang guru SMP matematika harus menganalisa materi matematika SD dan melihat materi matematika SMA. Saat guru bertugas memberikan pengenalan konsep, maka pengembangan berpikir intuitif siswa akan konsep secara formal harus diberikan guru melalui kegiatan penemuan, sehingga diharapkan informasi/pengetahuan yang diperoleh siswa dapat tersimpan secara sistematis dalam memori siswa, sehingga akan mudah digunakan siswa pada situasi yang lebih kompleks, saat pengulangan materi berkaitan dengan penanam konsep yang lebih mendalam.

Daftar Pustaka

Arifwidiyatmo. 2008. Teori Belajar Jerome .Bruner. http://arifwidiyatmoko.wordpress.com/

Erman Suherman, dkk, 2003, Strategi Pembelajaran Matematika Kontenporer, Common Textbook, Bandung : Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Herman Hudojo, 2001. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.

Malang : JICA-UNM

Marigit. 1996. Pembenahan Gaya Mengajar (Teaching Styles) sebagai upaya Peningkatan Mutu Pengajaran Matematika. Cakrawala Pendidikan . November 1996. Hlm 64-89

Suryanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Milenium III. Yogyakarta : Adicita Karya Nsa.

PM.16. BEBERAPA ALASAN PENYEBAB TIMBULNYA KESULITAN GURU SMA DALAM

Dalam dokumen Prosiding Semnas Pembejaran Mat 6 Des 09 (Halaman 168-180)