• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENILAIAN BIOFISIK, SOSIAL, EKONOMI Penilaian Biofisik

“Potensi Pengembangan Sagu untuk Mendukung Ketahanan Pangan Lokal di Wilayah Kabupaten Merauke”

PENILAIAN BIOFISIK, SOSIAL, EKONOMI Penilaian Biofisik

Penilaian Biofisik

Tanaman sagu membutuhkan air yang cukup, namun penggenangan permanen dapat mengganggu pertumbuhan sagu. Sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa yang bergambut dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di hutan rawa yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi dan tanah mineral di rawa-rawa air tawar dengan kandungan tanah liat > 70% dan bahan organik 30%.

Tanaman sagu paling baik bila ditanam pada tanah yang mempunyai pengaruh pasang surut, terutama bila air pasang tersebut merupakan air segar. Lingkungan yang paling baik untuk pertumbuhannya adalah daerah yang berlumpur, dimana akar nafas tidak terendam. Pertumbuhan sagu juga dipengaruhi oleh adanya unsur hara yang disuplai dari air tawar, terutama potasium, fosfat, kalsium, dan magnesium.

Di dataran Merauke banyak terdapat sungai dan rawa yang mengalir sepanjang tahun sehingga airnya dapat dimanfaatkan untuk pengairan. Tanah pada lahan basah terbentuk dari endapan sungai, endapan laut, dan bahan organik, dengan rejim kelembaban tanahnya akuik.Pembentukkan tanah di dataran aluvial sangat dipengaruhi oleh aktivitas dan pola aliran sungai. Sedangkan di dataran pantai dipengaruhi oleh proses pasang surut air laut.

Oleh karena itu dengan melihat penilaian biofisik, secara keseluruhan lahan basah di wilayah Kabupaten Merauke cukup berpotensi untuk pengembangan tanaman sagu.

Penilaian Sosial dan Ekonomi

Sektor pertanian menjadi fokus program pembangunan pemerintah setempat karena Merauke memang memiliki lahan yang terbuka basah yang sangat luas. Korporasi pertanian merupakan salah satu cara cepat untuk mengembangkan pertanian di kawasan Indonesia timur ini. Korporasi atau bisnis ini mau tidak mau membutuhkan sejumlah tenaga kerja yang ahli dan berpengalaman. Petani dan ahli pertanian dari luar daerah pasti didatangkan untuk mengolah tanah guna mendatangkan keuntungan bagi investor. Namun, petani lokal atau masyarakat asli Papua setempat yang belum begitu mahir mengelola pertanian tidak bisa ditinggalkan begitu saja demi mempercepat laju

68

keuntungan. Keterlibatan masyarakat lokal atau masyarakat asli setempat harus selalu diperhatikan.

Konsep ini merupakan cara pengembangan dengan memperhatikan kearifan lokal masyarakat asli Papua dimana sagu merupakan makanan pokok. Masyarakat lokal Papua telah mengetahui teknologi budidaya sagu secara turun-temurun dengan praktik pengolahan secara konvensional. Sehingga dengan adanya pengembangan tanaman sagu, masyarakat lokal Papua akan lebih mudah untuk diarahkan dalam pengembangan pertanian karena menyangkut makanan pokok dan budaya mereka sendiri.

Populasi tanaman sagu Papua kini mulai berkurang seiring dengan alih fungsi kawasan menjadi areal permukiman dan peruntukan lain. Berkurangnya populasi tanaman sagu mengakibatkan cadangan pangan lokal semakin rendah dan bisa mengakibatkan lahan penghidupan masyarakat semakin berkurang.Oleh karena itu, pengembangan tanaman sagu tidak bermaksud menggeser pola makan masyarakat Papua dari beras untuk kembali ke sagu, namun lebih ke arah ketahanan pangan lokal dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Selain sebagaibahan pangan pokok,sagu bisa digunakan sebagaibahan baku agroindustry yang berperan dalam peningkatan pendapatan masyarakat melalui penciptaan kesempatan kerja sekaligus penciptaan nilai tambah. Tanaman sagu mempunyai banyak manfaat.Sagu mempunyai banyak kegunaan, di mana hampir semua bagian tanaman mempunyai manfaat tersendiri. Batangnya dapat dimanfaatkan sebagai tiang atau balok jembatan, daunnya sebagai atap rumah, pelepahnya untuk dinding rumah, dan acinya sebagai sumber karbohidrat (bahan pangan) dan untuk industri, juga sebagai bahan baku untuk pembuatan spirtus atau alkohol. Ampasnya dapat dimanfaatkan sebagai pulp untuk pembuatan kertas atau pakan ternak.

Aci sagu dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan, baik makanan pokok maupun makanan ringan. Oleh karena itu, tanaman sagu memegang peranan penting dalam penganekaragaman makanan untuk menunjang stabilitas pangan dan berpeluang untuk dikembangkan menjadi usaha industri rumah tangga.

KESIMPULAN

Secara penilaian biofisik, sosial dan ekonomi wilayah Kabupaten Merauke berpotensi untuk pengembangan tanaman sagu. Populasi tanaman sagu Papua kini mulai berkurang seiring dengan alih fungsi kawasan menjadi areal permukiman dan peruntukan lain. Berkurangnya populasi tanaman sagu mengakibatkan cadangan pangan lokal semakin rendah dan bisa mengakibatkan lahan penghidupan masyarakat semakin berkurang. Oleh karena itu, pengembangan tanaman sagu tidak bermaksud menggeser pola makan masyarakat Papua dari beras untuk kembali ke sagu, namun lebih ke arah ketahanan pangan lokal dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Konsep ini merupakan cara pengembangan dengan memperhatikan kearifan lokal masyarakat asli Papua dimana sagu merupakan makanan pokok serta produk budaya. Selain sebagai bahan pangan pokok, sagu bisa digunakan sebagai bahan baku agroindustry yang berperan dalam peningkatan pendapatan

69 masyarakat melalui penciptaan kesempatan kerja sekaligus penciptaan nilai tambah.

REKOMENDASI

Melihat potensi wilayah yang ada dengan kondisi biofisiknya maka kabupaten Merauke perlu melakukan pengembangan di sektor tanaman sagu. Sektor ini mempunyai peluang pengembangan yang sama dengan sektor pertanian lainnya bila lebih dioptimakan sehingga tanaman sagu dengan tanaman lainnya bisa diintegrasikan. Oleh sebab itu perlu investasi terbuka untuk melakukan kemitraan dengan perusahaan pemasaran yang sudah ada di tingkat provinsi maupun nasional.Namun demikian, pengelolaannya diarahkan melalui pembudidayaan sagu yang lebih intensif dengan tetap memperhatikan kearifan lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Alfons, J. B., 2011. Reklamasi Lahan Sagu Mendukung Usahatani Berbasis Sagu di Maluku. Jurnal Budidaya Pertanian 7(2):87-93.

Djaenudin, D. 2007. Potensi Sumber Daya Lahan untuk Perluasan Areal Tanaman Pangan di Kabupaten Merauke.Iptek Tanaman Pangan 2(2):180-194

Kanro, M. Z., A. Rouw, A. Widjono, Syamsudin, Amisnaipa, dan Atekan. 2003. Tanaman Sagu dan Potensinya di Papua.Jurnal Litbang Pertanian 22(3):116-124.

Marfai, MA dan A. Cahyadi.2012. Kajian Kesesuaian Lahan untuk Mendukung Pengembangan Komoditas Pertanian di Wilayah Perbatasan Negara Republik Indonesia (Studi Kasus di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua).

Jurnal Bumi Lestari, Volume 12(2):260 – 267.

Pemerintah Kabupaten Merauke. 2004. Profil investasi Kabupaten Merauke Provinsi Papua. Merauke.38 hal.

Prasetyo, LB., IBK Wedastara, PT Maulinda. 2012. Pemetaan Sebaran Carbon Di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Kerja sama Fakultas Kehutanan IPB dengan WWF Indonesia. Jakarta. 39 hal.

Rante, Y. 2012. Pengembangan, Peningkatan Daya Saing Produk Agribisnis dan Agroindustri di Kabupaten Keerom Provinsi Papua Guna Pemberdayaan Ekonomi Rakyat Serta Menunjang Ekspor Non Migas Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas.Jurnal Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis 3(1):87-112.

Syakir, M. dan E. Karmawati.2013. Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon spp.) sebagai Bahan Baku Bioenergi.Perspektif 12(2):57-66.

Tarigan, H dan E. Ariningsih. 2007. Peluang dan Kendala Pengembangan Agroindustri Sagu di Kabupaten Jayapura. Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.Hal.135-140.

71

BAB III

PENUTUP

73 Kesimpulan Umum

Konsep pengelolaan klasik yang hanya menitikberatkan pada keuntungan ekonomi menyebabkan eksploitasi lahan yang berlebihan mengakibatkan penurunan daya dukung lahan dan kerusakan lingkungan. Seharusnya pengelolaan tanah dan lahan merupakan suatu konsep manajemen yang bersifat komprehensif dimana dalam penerapannya dapat mengsinergikan antara berbagai faktor-faktor yang melekat pada suatu lahan antara lain sifat biofisik, lingkungan sosial dan budaya masyarakat di sekitar lahan, dan nilai ekonomi lahan tersebut. Dengan konsep baru ini, pengelolaan lahan dilakukan secara berimbang dan menyesuaikan dengan potensi dan kesesuaian terhadap daerah masing-masing. Pengelolaan tanah dan lahan perlu mengadopsi sistem budidaya yang bersifat lebih fleksibel dan ramah lingkungan. Aturan adat dan kearifan lokal juga dapat menjadi bagian dari suatu sistem pengelolaan tanah dan lahan yang ramah lingkungan. Setiap daerah di Indonesia memiliki kondisi lingkungan biofisik, sosial budaya dan ekologi yang khas, maka dalam melakukan pengelolaan lahannya juga memiliki suatu sistem yang khas dan spesifik lokasi tersebut.

Rekomendasi Umum

Berdasarkan hasil pengkajian konsep-konsep pengelolaan tanah dan lahan pada berbagai daerah yang telah dipaparkan pada isi makalah, dalam lingkup pengelolaan tanah dan lahan maka dapat diambil suatu rekomendasi usaha-usaha yang dapat dilakukan antara lain;

1. Dalam rangka untuk menjaga stabilitas dan ketahanan pangan nasional,  Usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam konsep pengelolaan lahan

diantaranya dengan melakukan intensifikasi pertanian melaui adopsi sistem budidaya Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT) padi. Sistem budidaya ini terbukti mampu meningkatkan hasil produksi padi sawah. Sistem PTT padi juga dapat diterapkan di lahan rawa pasang surut dan rawa lebak tentunya dengan sentuhan teknologi yang berbeda dan menyesuaikan dengan kondisi sosial dan agroekosistem lahan rawa.

 Cara kedua adalah dengan melakukan ekstensifikasi lahan pertanian, yaitu dengan mencetak sawah-sawah baru di lahan marginal seperti lahan rawa dan lahan gambut. Indonesia memiliki luasan lahan rawa yang luas seperti di daerah sumatera bagian timur dan kalimantan bagian selatan yang sudah sejak puluhan tahun yang lalu telah dimanfaatkan secara lokal sebagai lahan pertanian di lahan basah. Daerah papua, memiliki potensi pembukaan lahan rawa menjadi lahan pertanian baru.

 Cara ketiga adalah dengan mengoptimalkan produksi pangan alternatif selain beras, dalam hal ini adalah sagu. Masyarakat Indonesia daerah timur pada dasarnya menjadikan sagu sebagai makanan pokoknya. Perlu adanya pencetakkan lahan perkebunan sagu terutama di Provinsi papua yang memiliki ketersediaan lahan yang luas dan kondisi

74

agroekosistem yang cocok untuk budidaya sagu. Perlu diketahui bahwa usaha ini dilakukan bukan untuk memaksa secara tidak langsung penduduk Indonesia untuk makan sagu sebagai pengganti beras, tetapi usaha ini dilakukan untuk menambah produksi tanaman pangan agar neraca pangan nasional lebih berimbang. Tidak hanya sagu, komoditi lain seperti jagung, sorgum, ubi jalar dan ketela pohon juga dapat menjadi alternatif untuk menyumbang produksi pangan nasional. 2. Dalam rangka untuk menjaga kelestarian lahan dan lingkungan lokal,

 Pemerintah dalam hal ini sebagai pembuat kebijakan harus mampu membuat dan melaksanakan suatu peraturan perundangan yang bersifat mengikat semua pihak dalam menjaga dan melindungi kelestarian dan keberlanjutan lahan-lahan pertanian di Indonesia

 Praktek pengelolaan lahan yang dilakukan harus sinergis antar berbagai kepentingan baik pemerintah, pengguna lahan, dan potensi dari lahan tersebut sehingga arah pengelolaan yang terbentuk dapat berkelanjutan secara ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan

 Salah satu alternatif lain dalam penerapan aturan yang dapat menjaga kelestarian lahan dan lingkungan adalah dengan menerapkan aturan-aturan adat dan pengetahuan lokal (kearifan lokal) pada daerah-daerah di Indonesia yang masih kental akan hukum adat. Setiap daerah di Indonesia pasti memiliki suatu aturan adat yang khas dan bersifat turun-temurun serta dipatuhi oleh msyarakat adat. Juga adanya pengetahuan lokal dalam budidaya pertanian dapat menjadi alternatif bagian dari suatu sistem pengelolaan tanah dan lahan yang lebih ramah lingkungan.

Dokumen terkait