• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penilaian efisiensi jangka pendek armada penangkapan

SARANA PRODUKSI Galangan Kapal

4.3. Analisis Kapasitas Perikanan Tangkap

4.3.2 Penilaian efisiensi jangka pendek armada penangkapan

Selain menganalisis efisiensi DEA yang bersifat jangka panjang dengan variabel tahun sebagai DMU, penelitian ini juga mengukur efisiensi yang bersifat jangka pendek (short-run). Untuk menganalisis efisiensi dalam jangka pendek, dilakukan dengan membandingkan efisiensi antar kapal. Pada analisis ini yang menjadi DMU- nya adalah kapal pukat cincin, pancing dan jaring insang untuk perairan utara dengan variabel input-nya adalah lama waktu penangkapan, jumlah trip/bulan, ukuran kapal (GT), dan biaya operasional dan variabel output yang digunakan adalah catch (hasil tangkapan). Untuk perairan selatan, DMU yang digunakan hanya kapal pukat cincin saja dengan input dan output yang sama.

4.3.2.1 Perairan utara

(1) Kapal Pukat Cincin

Untuk mengetahui efisiensi dalam jangka pendek, dilakukan analisis dengan menggunakan metode DEA. Input yang digunakan adalah data ukuran kapal (GT), lama operasi penangkapan (jam), effort (trip/bulan) dan biaya operasional per trip (Rp). Sedangkan sebagai data output adalah harga penjualan (Rp) dan jumlah hasil tangkapan ikan yang diperoleh (ton). Dalam hal ini DMU merupakan 20 unit kapal pukat cincin yang ada di perairan utara. Apabila dari hasil analisis DEA nilai skornya 1, maka dapat disimpulkan bahwa input yang digunakan sudah efisien untuk memperoleh output yang diharapkan.

0 0 0 0 0 0 2 1 8 3 6 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Ju m la h Ka p a l 0.0-0 .10 0.11 -0.20 0.21 -0.30 0.31 -0.4 0 0.41 -0.50 0.51 -0.60 0.61 -0.7 0 0.71 -0.80 0.81 -0.90 0.91 -0.99 Efis ien S k o r e fi si e n si

Gambar 47. Distribusi efisiensi kapal pukat cincin di perairan utara

Dari 20 kapal pukat cincin beroperasi di perairan utara 30% atau 6 unit kapal mempunyai skor efisiensi 1, efisiensi diatas 0.90 sebanyak 15% (3 kapal), efisiensi

0.81-0.90 sebanyak 40% (8 kapal), dan efisiensi dibawah 0.80 sebanyak 15% (3 kapal). Rata-rata kapal pukat cincin memiliki nilai efisiensi cukup tinggi, mencapai 88%. Kapal pukat cincin yang memiliki persentase efisiensi antara 61-100% dapat ditingkatkan efisiensinya dengan melakukan perubahan terhadap input yang digunakan. Biaya Operasional GT Kapal Lama Penangkapan Jumlah trip/bulan GT Kapal -16.39% Lama Penangkapan -47.96% Jumlah trip/bulan -18.16% Biaya Operasional -17.50%

Gambar 48. Potensi perbaikan efisiensi kapal pukat cincin.

Dari Gambar 48 dapat diketahui bahwa untuk meningkatkan efisiensi kapal pukat cincin dapat dilakukan dengan mengurangi ukuran GT kapal 16.39%, mengurangi lama penangkapan 47.96%, jumlah trip/bulan 18.16% dan mengurangi biaya operasional sebesar 17.50%. Proyeksi perbaikan efisiensi untuk masing-masing kapal dapat dilihat pada Lampiran 8.

(2) Huhate

Dari 24 kapal huhate yang beroperasi di perairan utara, 10 kapal (42%) diantaranya sudah efisien dengan input yang digunakan. Sisanya 7 kapal (29%) memiliki tingkat efisiensi diatas 0.90 dan 7 kapal (29%) memiliki efisiensi dibawah 0.90. Akan tetapi secara rata-rata tingkat efisiensi kapal mencapai angka 92%. Dengan demikian kapal pancing yang kurang efisien dapat dilakukan usaha perbaikan sehingga mampu mencapai tingkat efisiensi yang tinggi. Secara jelas distribusi efisiensi huhate di perairan utara disajikan pada Gambar 49.

0 0 0 0 0 0 1 5 1 7 10 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Ju m lah Kap a l 0.0- 0.10 0.11 -0.2 0 0.21- 0.30 0.31 -0.4 0 0.41 -0.5 0 0.51- 0.60 0.6 1-0. 70 0.71- 0.80 0.8 1-0. 90 0.91 -0.9 9 Efisi en

S kor e fisie nsi

Gambar 49. Distribusi efisiensi kapal huhate di perairan utara.

Usaha memperbaiki efisiensi kapal huhate dapat dilakukan dengan menambah lama waktu penangkapan ikan mencapai 50.79%. Selain itu pengurangan ukuran kapal sebesar 24.45%, pengurangan jumlah trip/bulan dan penambahan biaya operasional akan meningkatkan efisiensi kapal dalam operasi penangkapan ikan. Jumlah trip/bulan yang terlalu banyak akan memperbesar biaya operasional dan berdampak pada stok sumberdaya ikan di perairan utara. Proyeksi perbaikan efisiensi untuk masing-masing kapal dapat dilihat pada Lampiran 9.

Jumlah trip/bulan Lama Penangkapan GT Kapal Biaya Operasional GT Kapal -24.45% Lama Penangkapan 50.79% Jumlah trip/bulan -16.45% Biaya Operasional 8.31%

(3) Jaring insang tetap

Kapal jaring insang yang berhasil didata sebanyak 26 unit. Dari jumlah tersebut hanya 3 kapal (12%) memiliki persentase efisiensi 100%, 6 kapal (23%) dengan nilai efisiensi berkisar 0.60-0.80 sedangkan sisanya 17 kapal (65%) berada di bawah skor 0.60. Kondisi berarti telah terjadi inefisiensi input sehingga perlu perbaikan yang menyeluruh terhadap kapal jaring insang jika masih ingin beroperasi di perairan utara. Selain melakukan perbaikan, alternatif langkah yang dapat dilakukan adalah dengan menarik izin usaha bagi kapal-kapal yang sudah tidak efisien dan menggantinya dengan jenis alat tangkap lain yang lebih efisien.

5 1 1 4 6 0 2 4 0 0 3 0 1 2 3 4 5 6 Ju m lah K ap a l 0.0- 0.10 0.1 1-0.2 0 0.2 1-0. 30 0.3 1-0. 40 0.4 1-0. 50 0.51 -0.6 0 0.61 -0.7 0 0.71 -0.8 0 0.81 -0.9 0 0.91 -0.9 9 Efisie n S k o r e f is ie n s i

Gambar 51. Distribusi efisiensi kapal jaring insang di perairan utara.

Potensi perbaikan efisiensi kapal jaring insang dapat dilakukan pada pengurangan GT kapal 27.35%, mempersingkat waktu penangkapan 20.47%, mengurangi jumlah trip/bulan 32.33% dan memangkas biaya operasional sebesar 19.86%. Proyeksi perbaikan efisiensi untuk masing-masing kapal dapat dilihat pada Lampiran 10.

Jumlah trip/bulan Lama Penangkapan GT Kapal Biaya Operasional GT Kapal -27.35% Lama Penangkapan -20.47% Jumlah trip/bulan -32.33% Biaya Operasional -19.86%

Gambar 52. Potensi perbaikan efisiensi kapal jaring insang.

Secara umum untuk meningkatkan efisiensi kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal-kapal perikanan (kapal pukat cincin, jaring insang dan pancing) yang beroperasi di perairan utara dapat dilakukan dengan cara mengurangi GT kapal sebesar 31.58%, mengurangi lama waktu penangkapan ikan sebesar 15.47%, mengurangi jumlah trip/bulan sebesar 34.50% dan memperkecil biaya operasional sebeasar 18.45%. Biaya operasional merupakan variabel input yang sukar untuk dikendalikan. Hal ini berkaitan dengan harga kebutuhan kapal yang tergantung dari kebijakan pemerintah dan ketersediaan jenis kebutuhan dilokasi penangkapan. Adanya rekomendasi untuk meminimalkan biaya operasional mengindikasikan bahwa biaya penangkapan ikan di perairan utara tergolong mahal (high cost). Untuk itulah diperlukan manajemen pengoperasian kapal yang efektif sehingga mampu menekan biaya operasional untuk meningkatkan efisiensi penangkapan.

Jumlah trip/bulan GT Kapal Biaya Operasional Lama Penangkapan GT Kapal -31.58% Lama Penangkapan -15.47% Jumlah trip/bulan -34.50% Biaya Operasional -18.45%

Gambar 53. Potensi perbaikan efisiensi kapal di perairan utara.

Proyeksi perbaikan efisiensi untuk tiap kapal dapat dilakukan dengan merubah nilai input. Misalnya kapal pukat cincin usaha baru yang memilki efisiensi 88.20% dapat ditingkatkan efisiensinya dengan mengurangi GT kapal sebesar 17.79%, mengurangi lama waktu penangkapan sebesar 33.97%, mengurangi jumlah trip/bulan sebesar 25.84% dan menekan biaya operasional sebesar 17.79%.

Tabel 27. Proyeksi perbaikan efisiensi kapal pukat cincin usaha baru di perairan utara Nama Kapal

Parameter

Skor

Data Aktual Target Selisih Persentase

Usaha baru 0.882

GT Kapal 30.99 25.476 -5.514 -17.79

Lama Penangkapan (jam) 24 15.848 -8.152 -33.97

Jumlah trip/bulan 21 15.574 -5.426 -25.84

Biaya Operasional 1292500 1062535.5 -229964.5 -17.79

Keuntungan 16250000 16250000 0 0.00

Hasil Tangkapan 2500 2500 0 0.00

4.3.2.2 Perairan selatan Kapal Pukat Cincin

Jumlah kapal pukat cincin yang beroperasi di perairan selatan mencapai 58 kapal. Dari jumlah tersebut 11 kapal (19%) diantaranya efisien dengan skor efisiensi sama dengan 1, 5 kapal (9%) memiliki skor efisiensi antara 0.91-0.99, 7 kapal (12%) memiliki skor efisiensi 0.81-0.90, 5 kapal (9%) memiliki skor efisiensi antara 0.71- 0.80 dan sisanya yaitu 30 kapal (52%) memiliki nilai skor efisiensi dibawah 0.7.

Dengan demikian kapal-kapal yang memiliki persentase nilai efisiensi dibawah 70% memerlukan banyak perbaikan untuk mencapai efisien, sedangkan kapal yang nilai efisiensinya dibawah 10% sebaiknya tidak digunakan lagi untuk melakukan aktifitas penangkapan ikan di perairan selatan.

6 0 0 0 3 13 8 5 7 5 11 0 2 4 6 8 10 12 14 Ju m lah K ap al 0.0- 0.10 0.11- 0.20 0.21- 0.30 0.31- 0.40 0.41- 0.50 0.51- 0.60 0.61- 0.70 0.71- 0.80 0.81 -0.9 0 0.91- 0.99 Efis ien

Skor e fisie nsi

Gambar 54. Distribusi efisiensi kapal pukat cincin di perairan selatan.

Gambar 55 menunjukkan potensi perbaikan efisiensi bagi kapal pukat cincin yang beroperasi di perairan selatan. Secara umum efisiensi kapal pukat cincin dapat ditingkatkan dengan cara mengurangi ukuran GT kapal sebesar 27.97%, mengurangi lama waktu penangkapan ikan sebesar 29.49%, mengurangi jumlah trip/bulan sebesar 26.87% dan mengurangi biaya operasional sebesar 15.67%.

Jumlah trip/bulan Lama Penagkapan GT Kapal Biaya Operasional GT Kapal -27.97% Lama Penagkapan -29.49% Jumlah trip/bulan -26.87% Biaya Operasional -15.67%

Efisiensi bagi tiap-tiap kapal pukat cincin yang beroperasi di perairan selatan dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah input. Sebagai contoh, kapal Kartika yang memiliki persentase efisiensi sebesar 43.1% dapat ditingkatkan efisiensinya dengan cara mengurangi jumlah kapal sebesar 56.92%, mengurangi lama waktu penangkapan sebesar 76.13%, mengurangi jumlah trip penangkapan sebesar 56.92% dan mengurangi biaya operasional sebesar 62.95%. Proyeksi perbaikan untuk masing- masing kapal pukat cincin dapat dilihat pada Lampiran 11.

Tabel 28. Proyeksi perbaikan efisiensi kapal pukat cincin kartika Nama Kapal

Parameter

Skor

Data Aktual Target Selisih Persentase

Kartika 0.431

GT Kapal 43.21 18.613 -24.60 -56.92

Lama Penangkapan (jam) 10 2.387 -7.61 -76.13

Jumlah trip/bulan 10 4.308 -5.69 -56.92

Biaya Operasional 1215100 450196.56 -764903.44 -62.95

Keuntungan 19500000 19500000 0.00 0.00

Hasil Tangkapan 3000 3000 0.00 0.00

4.3.3 Pembahasan

Pemahaman yang paling sederhana terhadap kapasitas perikanan adalah kemampuan suatu kapal atau armada dalam melakukan penangkapan ikan. Kemampuan ini didasarkan pada banyaknya nelayan dalam suatu armada, ukuran setiap kapal, peralatan teknis yang tersedia, kemampuan dan pengetahuan nelayan dalam penangkapan dan waktu yang dibutuhkan dalam penangkapan. Masing-masing komponen ini memberikan kontribusi dalam usaha penangkapan ikan. Kapasitas sering juga diartikan sebagai variabel yang sederhana dan mudah untuk diukur seperti jumlah kapal, karakterisitik fisik, waktu untuk penangkapan ikan, alat tangkap dan metode yang digunakan. Dari perspektif teknologi, kapasitas diartikan sebagai seberapa besar jumlah ikan yang dapat ditangkap dengan sejumlah input tertentu (aktivitas armada dan stok ikan itu sendiri). Dalam perspektif ekonomi, kapasitas perikanan tangkap, atau bisa juga disebut efisiensi, pada dasarnya merupakan fungsi dari input dan output. Kirkley and Squires (1999), mendefinisikan kapasitas dari sudut pandang ekonomi dan teknologi sebagai jumlah maksimum yang dapat diproduksi per unit waktu dengan lahan dan peralatan yang ada, dimana keberadaan dari berbagai faktor produksi variabel tidak dibatasi.

Tingkat efisiensi produksi pada hakekatnya merupakan nilai yang menunjukkan perbandingan antara produksi perikanan dengan upaya yang dilakukan pada tahun tertentu. Nilainya berkisar antara 0.1-1.0, artinya efisiensi produksi maksimum yang dapat dicapai adalah 100%. Apabila pencapaian tingkat efisiensi produksi berada di dibawah 1.0 maka masih terdapat peluang untuk meningkatkannya melalui berbagai upaya. Upaya tersebut dapat berupa pengurangan atau penambahan baik input maupun output produksi.

Untuk mengetahui tingkat efisiensi tahunan kegiatan perikanan di perairan Gorontalo, maka dilakukan analisis DEA dengan menggunakan effort sebagai faktor

input dan produksi sebagai output dengan DMUnya adalah tahun periodik. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam dua puluh tahun terakhir tingkat efisiensi kegiatan perikanan tangkap di perairan Gorontalo berfluktuasi. Hal ini antara lain dipengaruhi oleh angka produksi perikanan dan juga fluktuatif dan effort yang cenderung meningkat dari tahun-ketahun.

Perikanan pelagis kecil di perairan utara yang didominasi oleh nelayan pukat cincin, jaring insang hanyut, payang, bagan, jaring lingkar dan pukat pantai memiliki tingkat efisiensi antara 0.388-1.00. Pada tahun 2000 tingkat efisiensi perikanan pelagis kecil di perairan utara mencapai 100%. Walaupun efisiensi 100% hanya terjadi pada tahun tersebut bukan berarti pada tahun-tahun yang lain terutama untuk pengelolaan perikanan dimasa mendatang tidak dapat dilakukan perbaikan. Untuk dapat meningkatkan nilai efisiensi perikanan tangkap pelagis kecil di perairan utara maka dapat dilakukan pengurangan jumlah upaya yang telah melampaui upaya optimal sehingga dengan upaya yang lebih kecil mampu menghasilkan produksi yang optimal. Berbeda dengan nilai tingkat efisiensi perikanan tangkap di perairan utara, di perairan selatan nilai efisiensi aktifitas perikanan tangkap pelagis kecil berkisar antara 0.235- 1.000. Persentase efisiensi 100% juga terjadi pada tahun 2000. Dengan nilai efisiensi mutlak 100% selayaknya data produksi dan effort pada tahun tersebut dapat dijadikan acuan kebijakan pengelolaan perikanan sehingga fenomena excess capacity tidak terjadi.

Jumlah trip penangkapan ikan pelagis kecil baik di perairan utara maupun selatan saat ini telah melampaui jumlah trip optimum sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan ancaman bagi kelestarian sumberdaya ikan di kedua perairan tersebut. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa pada rezim pengelolaan MSY

yang saat ini di jadikan acuan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan di Indonesia, jika jumlah effort yang digunakan terus meningkat sementara hasil tangkapan cenderung

stagnan maka akan menimbulkan gejala tangkap lebih. Artinya fenomena kelebihan input dalam hal ini jumlah trip hendaknya segera dicarikan alternatif kebijakan sehingga pronsip pemanfaatan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab dapat diterapkan.

Pada perikanan pelagis besar baik di perairan utara maupun selatan, terjadi tren penurunan angka efisiensi pada periode tahun 1992-1999. Hal ini antara lain disebabkan oleh kenaikan biaya melaut diantaranya pencabutan subsidi BBM yang dilakukan oleh pemerintah sehingga mengakibatkan ongkos melaut semakin tinggi. Besarnya biaya melaut ternyata tidak sebanding dengan hasil tangkapan yang diperoleh sehingga efisiensi penangkapan ikan pelagis besar semakin menurun.

Peningkatan jumlah upaya yang proporsional dengan peningkatan jumlah produksi akan meningkatkan efisiensi perikanan tangkap. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 35, 37, 41 dan 43 dimana mulai tahun 2001 terjadi tren peningkatan nilai efisiensi baik perikanan pelagis kecil maupun pelagis besar di kedua perairan baik perairan utara maupun selatan. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor

input oleh nelayan sudah cukup efisien untuk memperoleh hasil tangkapan yang diinginkan.

Alat tangkap pukat pantai, pukat cincin dan bagan merupakan alat tangkap yang paling efisien untuk menangkap ikan pelagis kecil di perairan utara karena memiliki persentase skor efisiensi 100%. Sedangkan di perairan selatan pukat cincin, jaring lingkar dan baganlah yang menjadi alat tangkap paling efisien. Untuk perikanan pelagis kecil di perairan utara, jaring insang hanyut dan jaring lingkar merupakan alat tangkap dengan efisiensi paling kecil. Keduanya memiliki persentase efisiensi masing- masing 7.5% dan 13.5%. Dengan kondisi tersebut jaring insang hanyut dan jaring lingkar perlu perbaikan sangat besar untuk mencapai efisiensi yang optimal.

Jaring insang hanyut merupakan alat tangkap yang paling tidak efisien untuk menangkap ikan pelagis kecil di perairan selatan dengan persentase efisiensi 11.40% diikuti pukat pantai (15%) dan payang (22.40%). Nilai efisiensi yang rendah menggambarkan bahwa jumlah effort yang dilakukan oleh nelayan jaring insang hanyut, pukat pantai, payang dan jaring lingkar terlalu tinggi dan tidak sebanding dengan produksi yang diperoleh. Untuk dapat meningkatkan nilai efisiensinya maka salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah mengurangi jumlah trip, sedangkan untuk meningkatkan jumlah tangkapan sudah tidak direkomendasikan karena berdasarkan hasil pada bab sebelumnya produksi aktual ikan pelagis kecil di kedua

perairan telah berada diatas produksi optimal baik pada rezim pengelolaan MSY, MEY

maupun open access.

Perikanan pelagis besar yang berkembang di perairan Gorontalo meliputi perikanan huhate, pancing ulur dan pukat cincin yang beroperasi di perairan utara sedangkan huhate, pancing ulur, pukat cincin dan pancing tonda beroperasi di perairan selatan. Berdasarkan hasil analisis DEA ketiga jenis alat tangkap ikan pelagis besar yang beroperasi di perairan utara sudah efisien. Sedangkan di perairan selatan hanya pancing ulur yang tidak efisien. Untuk dapat meningkatkan nilai efisiensi pancing ulur dapat dilakukan dengan mengurangi faktor input yang digunakan sehingga sebanding dengan jumlah output yang diperoleh.

Hasil perhitungan efisiensi alat tangkap pada perikanan pelagis besar baik di perairan utara maupun perairan selatan akan digunakan dalam penentuan alokasi optimum armada perikanan tangkap pelagis besar di kedua perairan. Pengalokasian dititik beratkan pada alat tangkap yang sudah efisien yaitu huhate, pancing ulur, pukat cincin, dan pancing tonda. Hal yang sama juga dilakukan untuk perikanan pelagis kecil di kedua perairan. Hasil alokasi optimum yang akan dijelaskan pada bab berikutnya diharapkan mampu memberikan alternatif kebijakan untuk keberlanjutan pengelolaan perikanan pelagis di perairan Gorontalo.

Fenomena kapasitas berlebih (excess capacity) merupakan suatu kondisi dimana terjadi kelebihan input dalam menghasilkan output yang diinginkan. Pada kasus di perairan utara selisih effort target dengan effort aktual bernilai negatif. Pada perikanan pelagis kecil dan pelagis besar di perairan utara, fenomena kapasitas berlebih terjadi dalam waktu 20 tahun terakhir. Excess capacity terbesar perikanan pelagis kecil terjadi pada tahun 1986 yaitu sebanyak 12 240 trip dan kemudian tahun 1996 sebanyak 10 293 trip. Pada perikanan pelagis besar, kapasitas berlebih terbesar terjadi pada tahun 1999 sebesar 15.69% atau 6 523 trip dan tahun 1997 dengan kelebihan input sebesar 6 265 trip. Hal ini berarti bahwa dalam melakukan aktifitas penangkapan ikan pelagis, input dalam hal ini jumlah trip yang dilakukan nelayan terlalu tinggi sehingga perlu dilakukan pengurangan untuk mencapai afisiensi penuh (fully efficient) dimana jumlah input yang digunakan sebanding dengan output berupa hasil tangkapan yang diperoleh.

Sementara itu, di perairan selatan fenomene excess capacity jugaterjadi setiap tahun, baik pada perikanan pelagis kecil maupun pelagis besar. Hal ini dapat dilihat dari adanya selisih antara effort target dengan effort aktual yang bernilai negatif. Tingginya jumlah trip akan semakin menambah tekanan terhadap sumberdaya ikan

sehingga akan berdampak pada laju pemulihan sumber daya. Pada perikanan pelagis kecil, kapasitas berlebih terbesar terjadi pada tahun 1986 sebesar 11% atau 39 568 trip sedangkan pada perikanan pelagis besar excess capacity terjadi pada tahun 1999 dengan kelebihan input sebesar 18 656 trip. Kebijakan pengurangan atau pembatasan jumlah trip dengan cara melakukan closing area dan closing seasone dapat menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan efisiensi di perairan Gorontalo.

Hasil analisis efisiensi jangka pendek terhadap 20 kapal pukat cincin di perairan utara menunjukkan bahwa jumlah kapal yang benar-benar efisien hanya 30%. Sisanya memiliki nilai efisiensi antara 61-99 %. Jumlah kapal yang belum efisien tersebut mencapai 14 kapal. Dari ke empat belas kapal tersebut, kapal yang memiliki nilai efisiensi paling rendah dapat dipertimbangkan lagi apakah izinnya akan dicabut atau diperpanjang. Kapal pukat cincin yang belum efisien tapi tetap diizinkan beroperasi harus melakukan perbaikan terhadap faktor input berupa jumlah trip/bulan, biaya operasional, ukuran GT kapal dan lama penangkapan demi pencapaian efisiensi penuh. Dalam upaya perbaikan tersebut, potensi perbaikan yang dapat dilakukan oleh pemilik kapal adalah dengan menekan biaya operasional 17.50%, mengurangi jumlah trip/bulan 18.16%, mengurangi lama waktu penangkapan 47.96% memeperkecil ukuran GT kapal 16.39% dari ukuran saat ini.

Kapal pukat cincin yang beroperasi di perairan selatan lebih banyak yaitu 58 kapal. Dari jumlah tersebut 19% (11 kapal) diantaranya efisien. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai efisiensi kapal sejenis di perairan utara. Sebanyak 17 kapal memiliki efisiensi berkisar 71-99% dan sisanya yaitu 30 kapal (52%) memiliki nilai efisiensi dibawah 70%. Apabila melihat data tersebut dihubungkan dengan terjadinya akses berlebih di perairan selatan, maka salah satu kebijakan yag dapat ditempuh adalah mencabut izin kapal-kapal pukat cincin yang efisiensinya paling rendah sehingga mampu mengurangi jumlah effort yang telah melampaui effort

optimal. Potensi perbaikan bagi kapal pukat cincin yang belum efisien dapat dilakukan dengan cara mengurangi ukuran GT kapal sebesar 27.97%, mengurangi lama waktu penangkapan ikan sebesar 29.49 %, mengurangi jumlah trip/bulan sebesar 26.87% dan mengurangi biaya operasional sebesar 15.67 %.

Pukat cincin merupakan salah satu alat yang produktif dan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Dengan selektivitas yang tinggi terhadap hasil tangkapan, alat ini menjadi salah satu pilihan menarik bagi pengusaha/nelayan yang berniat terjun di dunia perikanan tangkap. Selain mampu menghasilkan tangkapan yang berlimpah, pengoperasian pukat cincin juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah

besar mencapai 22 orang per kapal. Kenaikan harga BBM pada awal tahun 1998 menjadi kendala utama hingga saat ini bagi nelayan pukat cincin. Konsumsi BBM merupakan komponen utama dalam pos biaya operasional yang harus ditanggung. Sehingga akibat melambungnya harga BBM tidak jarang jatah perbekalan BBM untuk melaut dikurangi hingga mencapai 30%. Pengurangan jumlah BBM tersebut berdampak pada kemampuan kapal dalam mencapai dan memburu ikan tangkapan yang semakin berkurang. Dalam artian kapal pukat cincin hanya mampu menangkap ikan di sekitar perairan yang pada kenyataannya merupakan kawasan padat tangkap. Adanya kapal-kapal lain yang juga mengalami masalah serupa menimbulkan persaingan antar nelayan. Tentu saja jumlah tangkapan akan menurun sementara jumlah ABK dan biaya operasional tetap sama bahkan cenderung bertambah.

Seperti dalam uraian sebelumnya bahwa jumlah kapal pukat cincin yang memiliki efisiensi 100% hanya 17 kapal dari total 78 kapal yang beroperasi di perairan Gorontalo. Hal ini bisa terjadi karena ketatnya persaingan bukan saja antar kapal pukat cincin tapi juga dengan kapal-kapal lain yang menangkap ikan di perairan yang sama. Rekomendasi untuk mengurangi jumlah kapal pukat cincin harus benar- benar dipertimbangkan mengingat pencabutan izin bagi kapal-kapal yang tidak efisien memang akan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan. Tetapi dilain pihak ABK kapal yang tidak berkerja lagi akan menimbulkan kerawanan sosial dan menimbulkan permasalahan baru di masyarakat. Untuk itulah diperlukan kajian komprehensif terkait kebijakan pembatasan armada penangkapan di perairan Gorontalo.

Kapal huhate yang beroperasi di perairan utara berjumlah 24 kapal dimana 10 kapal (42%) diantaranya sudah efisien. Sisanya 7 kapal (29%) memiliki tingkat efisiensi diatas 0.90 dan 7 kapal (29%) memiliki efisiensi dibawah 0.90. Akan tetapi secara rata-rata tingkat efisiensi kapal mencapai angka 92%. Angka ini menunjukkan bahwa kapal yang belum efisien memerlukan perbaikan yang tidak terlalu besar. Potensi perbaikan efisiensi kapal pancing dapat dilakukan dengan menambah lama waktu penangkapan ikan mencapai 50.79%, pengurangan ukuran kapal sebesar 24.45%, pengurangan jumlah trp/bulan 16.45% dan penambahan biaya operasional 8.31%. Pengurangan jumlah trip/bulan akan mengurangi tekanan terhadap sumberdaya dan menurunkan biaya operasional. Akan tetapi pengurangan jumlah trip/bulan dapat digantikan dengan menambah waktu penangkapan dilaut. Dengan demikian adanya penambahan biaya operasional dapat digunakan untuk menjangkau

Kapal jaring insang yang berhasil didata di perairan utara sebanyak 26 unit. Dari jumlah tersebut hanya 3 kapal (12%) yang memiliki persentase efisiensi 100 %, 6 kapal (23%) dengan nilai efisiensi berkisar 0.60-0.80 sedangkan sisanya 17 kapal