• Tidak ada hasil yang ditemukan

SARANA PRODUKSI Galangan Kapal

4.5. Strategi Kebijakan Perikanan Tangkap

Hasil riset menunjukan bahwa telah terjadi kapasitas berlebih jumlah armada yang ada di perairan Gorontalo. Instrumen pembatasan jumlah kapal termasuk dalam regulasi pengendalian input. Hal ini dilakukan dalam kerangka mengatur effort

penangkapan. Dalam konteks pengelolaan perikanan, model tersebut dapat dilakukan melalui empat elemen (Charles, 2001), yaitu: pembatasan jumlah kapal penangkap, pembatasan kapasitas per kapal, pembatasan intensitas operasi dan pembatasan waktu penangkapan.

Dalam jangka pendek, kebijakan penetapan pembatasan jumlah kapal akan mengurangi hasil tangkapan aktual tetapi memberikan efek jangka panjang berupa meningkatkan kapasitas penangkapan (Metzner, 2005). Namun dalam pemilihan kebijakan pengendalian input tersebut terutama melalui penarikan armada (vessel decommisioning) yang dinyatakan tidak efisien perlu dilakukan secara hati-hati. Meskipun secara ekonomi, upaya tersebut mampu mencegah efek inefisiensi (kapasitas berlebih) atau bahkan mampu meningkatkan efisiensi (kapasitas), akan tetapi dampak sosial yang ditimbulkan jauh lebih besar seperti pengangguran dan faktor resistensi pemilik kapal. Menurut Sularso (2005), penerapan kebijakan ini perlu

memperhatikan tindakan terhadap kapal-kapal yang dikeluarkan dari perairan, bentuk kompensasi dan siapa yang akan memberikan kompensasi

Untuk meningkatkan efisiensi, usaha perikanan yang dinyatakan tidak efisien dapat ditempuh dengan cara mengurangi jumlah effort, BBM dan ABK sekaligus. Implikasi dari pengurangan ABK adalah penurunan biaya operasional dan proporsi bagi hasil yang diterima nelayan. Dengan demikian pemilik dan buruh lainnya akan memperoleh bagian yang memadai. Memang hal ini akan berdampak pada pengangguran dan kemiskinan akibat PHK sebagian ABK. Bisa saja mereka dialihkan (atau bereaksi sendiri) ke alat tangkap lainnya atau bekerja di industri pasca-panen. Namun apabila di daerah tersebut ditemukan kasus perikanan sebagai employment of the last resort (Fauzi, 2005) seperti di perairan utara, maka dampak langsung PHK tersebut semakin parah. Kebanyakan nelayan di Perairan Gorontalo tidak mempunyai sumber pendapatan alternatif, sehingga perlu diciptakan kesempatan kerja baik secara vertikal maupun horizontal untuk menunjang kegiatan perikanan pasca kebijakan ini diterapkan. Salah satu kebijakan yang ditempuh berupa penguatan program pemberdayaan ekonomi eks-ABK kapal yang tidak efisien.

Kebijakan pajak mampu mengurangi efek over kapasitas dalam jangka pendek. Namun dalam penerapannya membutuhkan penyesuaian (adjustment) tingkat pajak untuk mempertahankan tingkat kapasitas sesuai dengan tujuan pengelolaan (Metzner, 2005). Meski penerapan pajak untuk mengkoreksi kelebihan upaya terlihat sangat mudah secara teoritis, dalam praktiknya penerapan tersebut perlu dicermati secara hati-hati. Menurut Fauzi (2004), sulit sekali menentukan tingkat pajak terhadap input, karena komponen input pada perikanan terdiri dari berbagai komponen (tenaga kerja, mesin, gross tonnage, jumlah trip dam sebagainya). Jika pajak diterapkan pada salah satu jenis input seperti gross tonnage misalnya, akan terjadi substitusi ke input yang tidak dikenakan pajak seperti dengan menambah ABK dan jumlah trip. Dengan demikian, pajak semacam ini tidak akan berlaku efektif terhadap pengurangan kelebihan upaya penangkapan.

Sistem (pungutan atau pajak) perikanan di Indonesia dihitung berdasarkan produktivitas dan gross tonnage yang besarnya bervariasi tergantung alat tangkap yang dioperasikan. Penerapan pajak (pungutan hasil perikanan) pada perikanan pukat cincin di Indonesia sebesar 2.5 persen akan menyebabkan tambahan biaya operasi. Apabila pemerintah akan menaikkan besaran PHP maka akan menambah biaya per

upaya yang pada gilirannya mengurangi profit yang diperoleh. Pemerintah menetapkan pungutan dengan mengacu pada ukuran kapal (GT) sebagai dasar perhitungan. Dari sisi pengusaha, hal ini dianggap memberatkan karena dimensi kapal tersebut tidak mencerminkan kemampuan kapal menampung hasil tangkapan (yang biasanya menggunakan volume palka). Dengan demikan terdapat kecenderungan pengecilan GT yang dilakukan pengusaha kapal untuk menghindari PHP sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan. Namun, penentuan pajak yang terlalu rendah akan menimbulkan undervaluation terhadap sumberdaya ikan. Dari sisi pemerintah, pajak merupakan komponen penting sebagai penerimaan pemerintah. Namun, kebijakan fiskal tersebut akan menjadi instrumen yang distortif jika tujuannya adalah kelestarian sumber daya. Hal ini dikarenakan pengaturan pajak akan menciptakan praktek IUU fishing. Menurut Atmaja (2006), kejadian tersebut mengindikasikan bahwa kapasitas kapal belum sepenuhnya dapat terkontrol dengan baik.

Pada dasarnya tujuan dari sebuah pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin keberlanjutan stok ikan dan menghasilkan manfaat ekonomi dalam bentuk rente (profit) dari usaha perikanan itu sendiri. Berdasarkan hasil telaah sebelumnya menunjukkan bahwa kegiatan perikanan di Perairan Gorontalo telah berkembang secara intensif baik dari segi jumlah, ukuran maupun dari teknik penangkapan serta mengalami pergeseran daerah penangkapan dari wilayah dekat pantai ke wilayah tengah. Bukti empiris tersebut setidaknya memberikan gambaran bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan oleh nelayan di Provinsi Gorontalo sudah mulai menggunakan kapal yang lebih memadai yang dilengkapi peralatan modern lainnya sebagai alat bantu penangkapan memungkinkan nelayan tersebut menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh (offshore). Tujuan dari pengelolaan perikanan pada umumnya didesain untuk pengendalian dan pembatasan intensitas penangkapan. Dalam literatur pengelolaan perikanan, terdapat model pengelolaan yang diarahkan untuk merespon praktek open access yang sering menimbulkan overfishing. Model tersebut pada dasarnya dikelompokkan kedalam dua pendekatan, yaitu pengendalian output (output control) dan pengendalian input (input control).

Untuk kepentingan jangka pendek dengan sasaran untuk meminimasi dampak kapasitas berlebih dan efisiensi, maka alternatif strategi pengelolaan perikanan di Provinsi Gorontalo menggunakan pendekatan pengendalian faktor input. Hal ini cukup dipahami karena langkah pembatasan input yang tepat sangat penting dalam konteks perikanan yang bertanggung. Keuntungan penggunaan pendekatan ini jika

dibandingkan dengan pengendalian output diantaranya lebih mudah dan murah dipantau dan dilaksanakan khususnya dalam perikanan multispesies seperti perikanan di perairan Gorontalo. Dalam kaitan dengan hal ini maka dilakukan penentuan alternatif kebijakan pengelolaan berbasis pengukuran efisiensi, kapasitas dan optimasi yang rasional.

Berdasarkan hasil penilaian terhadap efisiensi, kapasitas perikanan dan pengalokasian jumlah alat tangkap maka perlu adanya alternatif untuk strategi kebijakan pengelolaan armada penangkapan di Provinsi Gorontalo. Dalam menentukan pola pengembangan strategi kebijakan perikanan tangkap di Provinsi Gorontalo maka dilakukan berdasarkan pertimbangan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman terhadap perikanan tangkap di Perairan Gorontalo dapat dirumuskan yaitu :

Kekuatan (strengths)

¾ Mempunyai sumberdaya ikan di dua perairan yaitu Laut Sulawesi dan Teluk Tomini.

¾ Daerah ruaya jenis-jenis ikan pelagis besar yang diduga merupakan bagian dari daerah ruaya yang sangat luas mencakup lautan Pasifik, Laut Sulawesi dan Laut Maluku.

¾ Mempunyai jumlah nelayan yang memadai (17 468 orang).

¾ Perahu/kapal penangkap ikan penangkapan (perairan utara 2 221 unit dan perairan selatan 3 911 unit).

¾ Beragamnya jumlah alat tangkap (perairan utara 6 jenis dan perairan selatan 8 jenis).

¾ Memiliki beberapa alat tangkap yang efisien (pukat pantai, pukat cincin, bagan untuk perikanan pelagis kecil dan huhate, pukat cincin dan pancing ulur untuk perikananan pelagis besar di perairan utara), sedangkan untuk perairan selatan pukat cincin, jaring lingkar dan bagan untuk ikan pelagis kecil serta huhate, pukat cincin dan pancing tonda untuk ikan pelagis besar.

¾ Akses pemasaran hasil tangkapan yang lancar kewilayah Manado dan Makasar. Kelemahan (weakness)

¾ Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang sudah overfishing secara ekonomi dan secara biologi.

¾ Daya jangkau daerah penangkapan nelayan rendah, hanya di sekitar perairan sekitar Gorontalo.

¾ Terdapat alat tangkap yang tidak efisien yaitu di perairan utara payang, jaring insang hanyut dan jaring lingkar (ikan pelagis kecil), dan payang, pukat pantai, dan jaring insang hanyut (ikan pelagis kecil) dan pancing ulur (ikan pelagis besar) di perairan selatan.

¾ Terjadi kapasitas berlebih baik antar tahun dan armada penangkapan. Peluang (opportunities)

¾ Masih belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah perairan Gorontalo.

¾ Kebutuhan akan protein dari sumberdaya ikan yang besar akibat semakin meningkatnya jumlah penduduk di Gorontalo.

Ancaman (threat)

¾ Perubahan orientasi generasi muda yang lebih memilih pekerjaan lain dari pada menjadi nelayan.

¾ Terciptanya pengangguran di tingkat nelayan. ¾ Banyaknya alat tangkap yang tidak dimanfaatkan.

Dengan memperhatikan kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan tersebut di atas maka diperkirakan sasaran kuantitatif yang dapat dicapai untuk kontribusi terhadap strategi kebijakan di Perairan Gorontalo antara lain :

1. Perlunya regulasi pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan bagi nelayan di Gorontalo.

2. Mengoptimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan dengan alat tangkap yang efisien.

3. Perlu regulasi penggunaan alat tangkap yang tidak efisien serta merusak tempat hidup dan ruaya ikan.

4. Mengoptimalkan alat tangkap yang efisien, dan pendampingan serta pemberian fasilitas bagi nelayan.

5. Perlu regulasi yang membatasi kapasitas berlebih bagi penangkapan ikan.

6. Pemberdayaan masyarakat nelayan dari aspek pengolahan hasil tangkapan nelayan (industri perikanan) bagi nelayan yang memiliki alat tangkap tidak efisien.

7. Perlu distribusi alat tangkap dan armada yang sesuai dengan keadaan wilayah penangkapan bagi nelayan kecil.

Untuk mempertegas implikasi terhadap strategi kebijakan di Provinsi Gorotalo maka beberapa solusi yang dapat dikemukakan yaitu :

1. Adanya terobosan baru berupa kebijakan-kebijakan rasional dalam merestriksi tingkat upaya penangkapan (effort) yang melibatkan partisipasi masyarakat seperti kemungkinan pengembangan marine protected area (MPA) di Perairan Gorontalo, yaitu berupa penentuan suatu kawasan sebagai kawasan konservasi sehingga banyak memberikan manfaat signifikan dalam membantu pengelolaan sumberdaya perikanan seperti perlindungan terhadap spesies yang rentan, perlindungan pemijahan, peningkatan biomas ikan dan produktivitas, serta manfaat lainnya yang bersifat pemeliharaan ekosistem dalam jangka panjang. 2. Perlunya mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkan sebagai implikasi

dari pilihan kebijakan yang diambil seperti pengangguran, kemiskinan, konflik sosial dan lain-lain.

3. Fakta menunjukkan adanya usaha penangkapan merugi secara ekonomi, dan kondisi tersebut mencerminkan overfishing secara ekonomi.Jumlah input masih sudah melebihi effort pada kondisi open access. Demikian adanya dengan terjadinya peningkatan effort yang signifikan selama lima tahun terakhir dan hasil analisis menunjukkan gejala kapasitas berlebih maka diperlukan strategi pengelolaan perikanan di Perairan Gorontalo dalam mereduksi terjadinya kapasitas berlebih, yaitu dengan cara pembatasan jumlah kapal penangkap dan pembatasan intensitas operasi serta melalui penerapan pajak. Dari pilihan strategi tersebut kiranya perlu memahami pertimbangan kemungkinan penerapannya serta implikasi yang akan ditimbulkan apabila kebijakan tersebut diterapkan.

5.1 KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan analisis yang dilakukan, maka kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

¾ Perairan Utara

1) Tingkat pemanfaatan produksi lestari ikan pelagis kecil yaitu 3 034.95 ton dengan upaya optimum 7 152 trip dan ikan pelagis besar yaitu 853.00 ton dengan upaya optimum 1 894 trip.

2) Aktivitas penangkapan ikan pelagis kecil dan pelagis besar di perairan utara memiliki tingkat efisiensi yang berfluktuasi. Selama 20 tahun terakhir (1986– 2005) kondisi perikanan tangkap pelagis kecil pada tahun 2000 menunjukkan tingkat yang efisien, sedangkan untuk ikan pelagis besar tahun efisien terjadi pada tahun 2005 dan selain tahun tersebut telah terjadi kelebihan kapasitas dari segi jumlah operasi penangkapan.

3) Pukat pantai, pukat cincin dan bagan merupakan alat tangkap pelagis kecil yang paling efisien di perairan utara, sedangkan untuk perikanan pelagis besar huhate, pancing ulur dan pukat cincin merupakan alat tangkap yang efisien. Adapun alat tangkap yang tidak efisien yaitu payang, jaring insang hanyut dan jaring lingkar sehingga masih membutuhkan perbaikan untuk mencapai tingkat efisiensi. 4) Jumlah armada yang efisien di perairan utara yaitu pukat cincin berjumlah 30

persen, pancing berjumlah 42 persen, dan jaring insang berjumlah 12 persen. 5) Rasionalisasi jumlah unit armada penangkapan di perairan utara dapat dilakukan

dengan alokasi armada penangkapan ikan pelagis kecil: pukat pantai 17 unit, pukat cincin 27 unit, bagan 53 unit. Untuk ikan pelagis besar: huhate 2 unit, pukat cincin 27 unit dan pancing ulur 34 unit.

¾ Perairan Selatan

6) Tingkat pemanfaatan produksi lestari ikan pelagis kecil yaitu 5 199.14 ton dengan upaya optimum 14 156 trip dan ikan pelagis besar yaitu 1 105.61 ton dengan upaya optimum 6 167 trip.

7) Selama 20 tahun sejak tahun 1986–2005 di wilayah perairan selatan menunjukkan bahwa pada tahun 2000 merupakan tahun yang paling efisien dibandingkan dengan tahun-tahun yang lain baik untuk perikanan pelagis kecil maupun besar sehingga pada tahun ini dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengalokasian jumlah upaya dan hasil tangkapan dan selain pada tahun tersebut telah terjadi kapasitas berlebih.

8) Alat tangkap yang paling efisien untuk perairan selatan adalah pukat cincin, jaring lingkar dan bagan (pelagis kecil) dan huhate, pukat cincin dan pancing tonda (pelagis besar). Payang, pukat pantai, jaring insang hanyut (pelagis kecil) dan pancing ulur (pelagis besar) merupakan jenis alat tangkap yang paling tidak efisien sehingga perlu dipertimbangkan penggunaannya dimasa mendatang karena telah terjadi kelebihan kapasitas.

9) Dari keseluruhan kapal pukat cincin yang dianalisis menunjukkan sekitar 19 persen kapal pukat cincin yang memiliki tingkat kapasitas yang layak dan 81 persen telah terjadi kelebihan kapasitas.

10)Rasionalisasi unit armada penangkapan di perairan selatan dapat dilakukan dengan alokasi jenis alat tangkap pelagis kecil: jaring lingkar sebanyak 35 unit, pukat cincin 86 unit, bagan 136 unit, pelagis besar : huhate sebanyak 8 unit, pukat cincin sebanyak 36 unit dan pancing tonda 138 unit.

¾ Perairan Provinsi Gorontalo

1) Secara umum kegiatan perikanan tangkap di Gorontalo telah mengalami gejala overfishing baik secara ekonomi maupun biologi.

2) Tingkat efisiensi perikanan tangkap selama 20 tahun berfluktuasi

3) Adanya fenomena kapasitas berlebih baik antar waktu maupun antar alat tangkap.

4) Adanya beberapa alat tangkap yang tidak efisien karena tingginya jumlah input yang digunakan dalam hal ini jumlah effort dikhawatirkan dapat memberikan tekanan yang besar terhadap sumberdaya ikan.

5) Adanya beberapa jumlah alat tangkap yang sudah efisien tapi belum optimal dari segi jumlah

6) Dalam kaitan dengan optimalisasi effort, pemanfaatan sumberdaya ikan, tenaga kerja dan kontribusi PAD dimasa datang pengembangan perikanan pelagis kecil lebih baik dan cocok daripada perikanan pelagis besar di Provinsi Gorontalo

7) Beberapa hal yang dapat ditempuh untuk pengembangan perikanan tangkap di Provinsi Gorontalo yaitu: pengendalian jumlah armada yang sudah tidak efisien, pembatasan hasil penangkapan, penyediaan mata pencaharian alternatif, mengoptimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan dengan alat tangkap yang efisien, perlu regulasi penggunaan alat tangkap yang tidak efisien serta merusak tempat hidup dan ruaya ikan, pengembangan usaha perikanan budidaya bagi nelayan yang tidak memiliki armada penangkapan.

5.2. Saran

Berdasarkan dari penelitian ini maka penulis mencoba memberikan solusi menyeluruh yang terkait dengan strategi kebijakan pengelolaan sumber daya ikan di Perairan Gorontalo dengan menyarankan beberapa hal yaitu :

(1) Perlu ada penentuan alokasi optimal armada perikanan tangkap di perairan Gorontalo dengan mengedepankan aspek kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya.

(2) Perlu ada peningkatan pemanfaatan sumberdaya ikan pada wilayah perairan yang lebih potensial dan melakukan rasionalisasi upaya tangkap pada perairan padat tangkap; peningkatan pengelolaan dan pemanfaatan data serta informasi sumberdaya perikanan tangkap untuk mendukung perencanaan program dan pengendalian kegiatan perikanan tangkap.

(3) Perlu adanya pengembangan sumberdaya ikan yang lebih mencakup pada perairan lebih luas dengan menggalakan pemanfaatan perikanan offshore dan high sea fishing dengan menggunakan metode dan alat tangkap yang sesuai dengan kondisi perairan di Gorontalo.

(4) Dibutuhkan adanya jalinan kerjasama antara wilayah yang bertujuan untuk mengintegrasikan pengelolaan sumberdaya ikan dengan saling memberikan informasi dan koordinasi upaya penangkapan dalam hal ini dengan membentuk forum wilayah pengelolaan antara Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Gorontalo dan Maluku

(5) Diperlukan kebijakan terhadap pengembangan terhadap program budidaya perairan yaitu ikan kerapu, beronang, ikan hias air laut, tambak, dan pemanfaatan potensi perairan tawar seperti pengelolaan danau limboto untuk budidaya ikan air tawar serta mengoptimalkan pengembangan sektor pariwisata bahari sebagai sarana rekreasi baik di pesisir dan perairan danau

(6) Diperlukan kebijakan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat nelayan di Gorontalo yang lebih beroreantasi kepada program penguatan modal usaha perikanan, peningkatan akses untuk penambahan modal awal, teknologi, pasar, manajemen dan informasi serta aset-aset ekonomi produktif yang lain bagi nelayan yang dikenai aturan pengurangan jumlah berdasarkan jumlah alat tangkap yang efisien dan optimal

(2) Untuk penelitian lanjut bahwa varibel yang digunakan pada penelitian ini masih sangat terbatas, terdapat banyak variabel yang dapat digunakan antara lain, variabel aspek teknis dari masing-masing jenis armada kapal. Hal ini terkait dengan solusi jangka panjang melalui regulasi mengenai peningkatan taktik penangkapan, mengontrol penggunaan jumlah lampu sorot dan dimensi sosial (konflik nelayan). Penelitian lanjutan diharapkan dapat menggunakan variabel tersebut dalam aplikasi model sehingga dapat menangkap fenomena secara lebih komprehensif dan representatif.