• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTRIBUSI AL-SUYUTI

A. Penjelasan al-Suyuti atas Ayat-Ayat Yang Dianggap Musykil Dalam Kitab Al-Itqān

cara al-Suyuti dalam menyelesaikan penjelasan ayat-ayat musykil sehingga kita bisa mengetahui bagaimana asbāb al-Nuzūl ini sangat berkaitan dengan ayat-ayat musykil, dalam penulisannya pada bab ini terbagi kedalam dua sub pembahasan, untuk sub yang pertama penulis mencantumkan tentang ayat-ayat yang dianggap musykil oleh sebagian sahabat dalam kitab al-Itqān, dan yang selanjutnya tentang klasifikasi riwayat yang digunakan al-Suyuthi dalam menjelaskan ayat-ayat musykil tersebut.

A. Penjelasan al-Suyuti atas Ayat-Ayat Yang Dianggap Musykil Dalam Kitab Al-Itqān.

Ada beberapa ayat yang dianggap musykil oleh sebagian kalangan para sahabat dalam kajian al-Suyuthi yang dicontohkan di kitab al-Itqān. Adanya perbedaan pemahaman dengan historis yang berbeda yang membuat para sahabat ini mengalami kesulitan dalam memahami teks al-Qur‟an, diantara kelima ayat itu adalah, dalam al-Qur‟an surah al-Māidah ayat 93, al-Qur‟an surah al-Talaq ayat 4, al-Qur‟an surah al-Baqarah ayat 115, al-Qur‟an surah al-Baqarah 158 dan al-Qur‟an surah al-„Imrān ayat 188.

46

1. Al-Qur’an Surah Al-Maidah Ayat 93.

Ayat pertama yang dianggap musykil atau sulit dipahami oleh sebagian sahabat adalah pada surah al-Māidah ayat 93 yang berbunyi:

ُلِمَعَو اْوُ نَمٰاَّو اْوَقَّ تا اَم اَذِا اْ وُمِعَط اَمْيِف ٌحاَنُج ِتٰحِلّٰصلا اوُلِمَعَو اْوُ نَمٰا َنْيِذَّلا ىَلَع َسْيَل

او

َْيِْنِسْحُمْلا ُّبُِيُ ُّٰللّاَوۗ اْوُ نَسْحَاَّو اْوَقَّ تا َُّثُ اْوُ نَمٰاَّو اْوَقَّ تا َُّثُ ِتٰحِلّٰصلا

)

٣٩

(

Artinya: Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan (dahulu), apabila mereka bertakwa dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, selanjutnya mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (Qs. al-Māidah/ 5: 93).

Ayat ini dianggap musykil oleh salah satu sahabat yang bernama Utsman bin Madz‟un dan Amr bin Ma‟dikarib1

, sahabat tersebut kesulitan dalam memahami ayat pada surah al-Maidah 93 perihal diperbolehkannya meminum khamr, menurut utsman bin Ma‟dzun dan Amr bin Ma‟dikarib meminum khamr itu mubah dan boleh untuk diminum, kedua sahabat ini mengambil ayat al-Māidah: 93 sebagai bahan rujukannya dalam membolehkan meminum khamr. Sahabat tersebut tidak mengetahui akan

asbāb al-Nuzūl dari ayat ini sehingga mengakibatkan adanya

kesalahpahaman dalam memahami makna dari ayat tersebut.2

Sebagaimana yang penulis kutip dalam kitab al-Itqān “Diceritakan dari Utsman bin Madz‟un dan Amr bin Ma‟dikarib, keduanya pernah

1 Dalam riwayat lain disebutkan bahwa yang meminum khamr tersebut adalah Qodamah Ibn Ma‟Dzun, saudara dari Utsman bin Madz‟un, al-Suyūṭī mengambil riwayat tersebut dikarenakan al-Suyūṭī menukil dari kitab al-Burhān karangan al-Zarkasy, Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī abd al-Rahmān Ibn Abī Bakar al-Suyūṭī, Al-Itqān Fī „Ulūm al-Qurān, Juz I (Markaz al-Dirāsāh al-Qur‟āniyah),192.

2 Imam Suyūṭī, Al-Itqān Fī „Ulūm al-Qurān: Studi al-Qur‟an Komprehensif, Terj.Tim Editor Indiva, Cet.1 (Solo: Indiva Pustaka, 2008), 125.

47 berkata bahwa khamr itu mubah (boleh diminum), dan keduanya berdalil dengan firman Allah:

اَمْيِف ٌحاَنُج ِتٰحِلّٰصلا اوُلِمَعَو اْوُ نَمٰا َنْيِذَّلا ىَلَع َسْيَل

(Qs. al-Māidah/ 4: 93). Seandainya keduanya mengerti sebab turunnya ayat ini niscaya mereka tidak berkata demikian dan sebab turunnya ayat ini adalah ada orang-orang yang berkata, “Jika khamr diharamkan maka bagaimana dengan orang yang terbunuh di jalan Allah, kemudian mati sementara dia masih meminum khamr padahal khamr itu najis?” Maka turunlah ayat ini. (HR. Ahmad, An-Nasa‟i, dan lainnya)”3

2. Al-Qur’an Surah Al-Talaq Ayat 4

Ayat selanjutnya yang dianggap musykil dalam memahami adalah ayat

al-Talaq pada ayat ke 4 yang berbunyi :

ْيِ ّٰلاَّو ٍٍۙرُهْشَا ُةَثٰلَ ث َّنُهُ تَّدِعَف ْمُتْ بَ تْرا ِنِا ْمُكِٕىّٰۤاَسِّن ْنِم ِضْيِحَمْلا َنِم َنْسِٕىَي ْيِ ّٰۤ ّٰلاَوّٰۤ

ُتٰلوُاَو َۗنْضَِيُ َْلَ

َّٰللّا ِقَّتَّ ي ْنَمَو َّنُهَلَْحْ َنْعَضَّي ْنَا َّنُهُلَجَا ِلاَْحَْْلْاۗ

وَّل ْ َعَْجْ

ٗ

ْنِم

هِرْمَا

ٗ

اًرْسُي

)

٤

(

Artinya: Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) diantara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan-perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya. (al-Talaq/ 65: 4).

Dalam ayat tersebut ada sebagian para imam dan golongan

al-Ḍahiriah (orang yang melihat penjelasan melalui teks) yang kesulitan

dalam memahami makna ْمُتْبَت ْرا . bahwa tidak ada masa iddah bagi orang ِنِا yang tua ragu. Kesulitan memahami tersebut dikatakan karena golongan

al-Ḍahiriah (orang yang melihat penjelasan melalui teks) tersebut tidak

melihat di sisi lain yakni asbāb al-Nuzūl.4

3 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī abd al-Rahmān Ibn Abī Bakar al-Suyūṭī, Al-Itqān Fī „Ulūm al-Qurān, 192.

48

Sehingga menurut al-Suyūṭī dalam kitab al-Itqān dijelaskan bahwa “Diantara ayat yang musykil dipahami adalah:

َنِم َنْسِٕىَي ْيِ ّٰلاَوّٰۤ

ٍٍۙرُهْشَا ُةَثٰلَ ث َّنُهُ تَّدِعَف ْمُتْ بَ تْرا ِنِا ْمُكِٕىّٰۤاَسِّن ْنِم ِضْيِحَمْلا

(Qs. al-Talaq/ 65: 4). Makna al-Ṣarṭ di dalam ayat ini telah dianggap

musykil bagi sebagian para Imam, sehingga golongan al-Ḍahiriah

mengatakan bahwa sesungguhnya wanita yang menopause itu tidak ada iddah baginya apabila ia tidak ragu. Hal seperti ini telah dijelaskan di dalam asbāb al-Nuzūl, yaitu ketika ayat yang ada di surat al-Baqarah ini turun berkenaan dengan sejumlah kaum wanita. “Maka mereka (sahabat Nabi) berkata: masih tersisa sejumlah kelompok wanita yang belum disebutkan, yaitu anak-anak dan orang dewasa, maka turunlah ayat tersebut” (HR. Hakīm dari „Ubay bin Ka‟ab). Dengan demikian, dapat diketahui bahwa ayat tersebut merupakan suatu pesan yang ditujukan bagi seseorang yang tidak mengetahui dan merasa ragu bagaimana hukumnya. Mereka, (kaum wanita) dalam masalah „iddah, apakah berkewajiban untuk menunggu masa iddah atau tidak? Apakah „iddah mereka seperti yang ada di surat al-Baqarah atau tidak? Maka makna

ْمُتْ بَ تْرا ِنِا

adalah „jika sulit bagi kalian tentang hukum mereka dan kalian tidak mengetahui bagaimana mereka menunggu masa „iddah, maka inilah hukum mereka.”5

3. Al-Qur’an Surah Al-Baqarah Ayat 115

Ayat selanjutnya yang dianggap kesulitan dalam memahami teks adalah pada al-Qur‟an surah al-Baqarah ayat 115, yang berbunyi :

5 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī abd al-Rahmān Ibn Abī Bakar al-Suyūṭī, Al-Itqān Fī „Ulūm al-Qurān, 193.

49

ِلَع ٌعِساَو َّٰللّا َّنِا ۗ ِّٰللّا ُوْجَو َّمَثَ ف اْوُّلَوُ ت اَمَنْ يَاَف ُبِرْغَمْلاَو ُقِرْشَمْلا ِِّٰللَّو

ٌمْي

١١١

Artinya: Dan milik Allah timur dan barat. Kemanapun kamu menghadap disanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha luas, Maha Mengetahui (Qs. al-Baqarah/ 2: 115)

Ayat ini dianggap sulit dipahami oleh al-Suyūṭī karena tidak adanya penjelasan mengenai arah kiblat shalat dari Nabi Saw. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa

ٌمْيِلَع ٌعِساَو َّٰللّا َّنِا ۗ ِّٰللّا ُوْجَو َّمَثَ ف اْوُّلَوُ ت اَمَنْ يَاَف

bahwa kemanapun kamu menghadap disanalah wajah Allah, sungguh Allah maha luas, maha Mengetahui. Sehingga menurut al-Suyūṭī kaum muslimin akan merasa kesulitan jika menggunakan ayat ini sebagai dalil dalam menghadap kemana dalam beribadah shalat. Sehingga harus ditelusuri lebih lanjut mengenai asbāb al-Nuzūl nya agar kaum muslimin tidak kebingungan dalam memahami teks nya.6

Sebagaimana yang penulis kutip dalam kitab al-Itqān, bahwa menurut al-Suyūṭī “diantara ayat yang musykil (sulit) dipahami adalah firman Allah SWT:

ٌمْيِلَع ٌعِساَو َّٰللّا َّنِا ۗ ِّٰللّا ُوْجَو َّمَثَ ف اْوُّلَوُ ت اَمَنْ يَاَف

(QS. al-Baqarah/ 2: 115). Sesungguhnya jika kandungan makna lafadz dalam ayat ini diserahkan kepada kita (tidak ada penjelasan dari Nabi), maka akan muncul suatu pemahaman bahwa tidak wajib bagi orang yang sedang shalat untuk menghadap kiblat, baik dalam bepergian atau sedang di rumah, tetapi pemahaman seperti ini bertentangan dengan Ijma‟ „Ulama‟. Maka ketika diketahui asbāb al-Nuzūl ayat ini, dapat diketahui bahwa

50

yang dimaksud adalah dalam shalat sunah safar atau berlaku bagi seseorang”7

4. Al-Qur’an Surah Al-Baqarah 158.

Ayat berikutnya yang dianggap musykil terjadi pada al-Qur‟an surah al-Baqarah ayat 158 yang berbunyi :

َّي ْنَا ِوْيَلَع َحاَنُج َلََف َرَمَتْعا ِوَا َتْيَ بْلا َّجَح ْنَمَف ۚ ِّٰللّا ِرِٕىّٰۤاَعَش ْنِم َةَوْرَمْلاَو اَفَّصلا َّنِا

َفَّوَّط

ٌمْيِلَع ٌرِكاَش َّٰللّا َّنِاَف ٍۙاًرْ يَخ َعَّوَطَت ْنَمَو ۗ اَمِِبِ

)

١١١

(

Artinya: Sesungguhnya Safa dan Marwah merupakan sebagian

syi„ar (agama) Allah. Maka barangsiapa beribadah Haji ke Baitullah

atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa„i antara keduanya, dan barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui. (Qs. al-Baqarah/ 2: 158)

Ayat diatas dianggap musykil oleh Urwah bin Zubair tatkala memahami tentang hukum dari Sa‟i antara Safa dan Marwah.Urwah memahami bahwa perbuatan Sa‟i merupakan perbuatan kaum jahiliah sehingga kaum muslimin tidak diperkenankan untuk melakukannya, namun pendapat Urwah bin Zubair ini dibantah oleh Aisyah ra. Dengan memberitahukan kepada Urwah tentang asbāb al-Nuzūl dari ayat ini.8

Hal ini, sebagaimana dengan apa yg dituturkan oleh al-Suyūṭī dalam kitab al-Itqān. Bahwa “Di antara ayat yang juga musykil maknanya adalah firman Allah SWT:

ِّٰللّا ِرِٕىّٰۤاَعَش ْنِم َةَوْرَمْلاَو اَفَّصلا َّنِا

(Qs. al-Baqarah: 158). Secara tekstual dari ayat ini tidak menunjukkan bahwa Sa‟i itu fardu. Tetapi ada sebagian ulama berpendapat bahwa Sa‟i itu tidak wajib karena berpegang pada dalil ini. Aisyah pernah membantah Urwah bin Zubair

7 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī abd al-Rahmān Ibn Abī Bakar al-Suyūṭī, Al-Itqān Fī „Ulūm al-Qurān, 193.

51 ketika dia berpendapat seperti itu dengan sebab turunnya ayat ini, yaitu bahwa para sahabat merasa berdosa untuk melakukan sa‟i di antara Shafa dan Marwah, karena termasuk perbuatan jahiliah, maka turunlah ayat ini.9

5. Al-Qur’an Surah Al-‘Imrān Ayat 188.

Kemudian ayat selanjutnya yang dirasa musykil atau sulit untuk dipahami terjadi pada al-Qur‟an surah al-'Imrān ayat 188 yang berbunyi:

َلْ

ُهَّ نَ بَسَْتَ َلََف اْوُلَعْفَ ي َْلَ اَِبِ اْوُدَمُّْيُ ْنَا َنْوُّ بُِيَُّو اْوَ تَا اَِبِ َنْوُحَرْفَ ي َنْيِذَّلا ََّبََسَْتَ

َنِّم ٍةَزاَفَِبِ ْم

ٌمْيِلَا ٌباَذَع ْمَُلََو ِۚباَذَعْلا

)

١١١

(

Artinya: Jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan, jangan sekali-kali kamu mengira bahwa mereka akan lolos dari azab. Mereka akan mendapat azab yang pedih. (Qs. al-'Imrān/ 3: 188).

Ada salah satu sahabat yaitu Marwan bin Hakam yang kesulitan dalam memahami al-Qur‟an pada surah al-„Imrān ayat 188. Sehingga Ibn Abas memberikan pejelasan dengan menunjukan asbāb al-Nuzūl ketika ayat ini turun, sebagaimana apa yang dituturkan oleh al-Suyūṭī dalam kitab al-Suyūṭī yang berbunyi “Marwan bin Hakam pernah merasa kesulitan memahami firman Allah SWT:

اَِبِ َنْوُحَرْفَ ي َنْيِذَّلا ََّبََسَْتَ َلْ

atau al-

„Imrān: 188 dan dia berkata, “Jikalau setiap orang merasa senang terhadap

apa yang diberikan kepadanya dan ia merasa senang apabila dipuji dengan apa yang tidak ia lakukan sebagai penyiksaan, niscaya kita semua akan disiksa, hingga Ibnu Abbas menjelaskan kepadanya: sesungguhnya ayat tersebut turun kepada ahli kitab yaitu ketika Nabi saw. bertanya kepada mereka tentang sesuatu, maka mereka menyembunyikan sesuatu itu dan menceritakan sesuatu itu dengan yang lainnya dan memperlihatkan sesuatu itu bahwa mereka telah menceritakannya dengan sesuatu yang

9 Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī abd al-Rahmān Ibn Abī Bakar al-Suyūṭī, Al-Itqān Fī „Ulūm al-Qurān, 193-194.

52

ditanyakan oleh Nabi saw. kepada mereka tentang sesuatu itu, dan mereka meminta dipuji dengan demikian itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)”10

Dokumen terkait