• Tidak ada hasil yang ditemukan

DISKURSUS ASBĀB AL-NUZŪL

B. Perkembangan Asbāb al-Nuzūl

1. Fase Pertama

Fase ini terbentang sejak abad ke 1 hingga paruh pertama abad ke 2, fase ini mencakup masa Nabi dan para sahabatnya berikut peristiwa-peristiwa sosial politik yang dialami umat Islam awal, mulai dari penurunan wahyu, konflik politik, terbentuknya pemerintahan Islam, hingga peresmian Mushaf Usmani., peristiwa-peristiwa yang tercantum dalam riwayat-riwayat asbaā

al-nuzūl sebenarnya adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa kenabian

dan masa penurunan wahyu kepada Nabi Muhammad., karena itu, Nabi dan para sahabatnya mengetahui dengan pasti peristiwa, pertanyaan, pernyataan, atau pengaduan yang melatarbelakangi penurunan ayat-ayat al-Qur‟an, karena tulis-menulis belum menjadi budaya yang populer dikalangan masyarakat Arab masa itu, maka untuk melestarikan riwayat-riwayat asbāb al-Nuzūl, para sahabat mengingat dan menghafal dengan baik ayat-ayat al-Qur‟an yang turun

4 Alimin Mesra, Ulumul Qur‟an (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jakarta, 2005), 80.

5 M. Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur‟an: Media-media Pokok dalam Menafsirkan al-Qur‟an (Jakarta: NV Bulan Bintang, 1972), 17-18.

19 berikut peristiwa-peristiwa yang melatarbelakanginya.6

Pada masa itu, para sahabat belum menaruh perhatian serius untuk mengkodifikasi secara khusus asbāb al-Nuzūl sebagai ilmu yang penting dalam upaya memahami ayat-ayat al-Qur‟an, hal itu karena para sahabat adalah generasi yang menyaksikan secara langsung penurunan wahyu dan peristiwa serta lingkungan yang mengiringi penurunannya, bahkan, beberapa ayat turun berkenaan dengan diri mereka sendiri, Dengan demikian, pada saat itu belum ada faktor yang menuntut perlunya perhatian atau kodifikasi atas asbāb

al-Nuzūl ayat-ayat al-Qur‟an7

2. Fase Kedua

Setelah Nabi wafat, tonggak misi penyebaran Islam beralih tugas ke para sahabat, Merekalah yang kemudian menyebarkan petunjuk dan ajaran yang pernah disampaikan oleh Nabi, dari para sahabat inilah generasi tabi‟in menimba informasi terkait dengan al-Qur‟an, perhatian umat Islam terhadap

asbāb al-Nuzūl sesungguhnya bisa dikatakan dimulai pada masa tabiin ini,

mereka menerima banyak data dan informasi yang berkaitan dengan latar belakang penurunan ayat-ayat al-Qur‟an dari informasi yang disampaikan para sahabat sepeninggal Nabi Muhammad karena itulah, dalam sumber-sumber

asbāb al-Nuzūl, banyak ditemukan riwayat-riwayat yang bersumber dari para

sahabat terkenal, seperti Ibnu „Abbas, „Aisyah, „Abdullah ibn Mas„ud, dan lain-lain.8

Kepada para sahabat inilah perawi-perawi terkenal dari kalangan tabi‟in berguru, seperti Zirr bin Hubays, Abu Wa‟il Syaqiq bin Salamah, „Alqamah, Aswad, Sa‟id ibn Jubair, „‟Atha bin Abi Rabah, Thawus ibn Kaisan al-Yamani, „Urwah ibn Zubair, Abu Salamah ibn Abd al-Rahman, dan lain-lain.

6 Muhammad Abu Zahwu, Hadis Wa Muhaddisun (Riyadh: Idarah al-Buhus al-„Ilmiyah wa al-Ifta‟, 1984), 49.

7 Yudi Setiadi, Asbāb al-Nuzūl (Makalah Program Magister, Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2021), 7.

20

Riwayat-riwayat seputar asbāb al-Nuzūl dinukil oleh para tabiin dari para sahabat yang menyaksikan atau mendengar langsung dari Rasulullah., namun demikian, pada fase ini, ilmu asbāb al-Nuzūl juga masih menjadi bagian ilmu yang partikular dan belum mendapat perhatian besar dari para ulama, sebagaimana perhatian terhadap sejarah hidup atau tonggak perjuangan Nabi Muhammad.9

3. Fase Ketiga

Fase ini dimulai dari masa kodifikasi hadis dan ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti tafsir fiqih, sejarah, dan sebagainya, pada paruh kedua abad ke 2 Hijriah mulai berkembang upaya kodifikasi ilmu- ilmu Islam yang dimulai dengan perintah Khalifah „Umar ibn „Abd al-„Aziz untuk mulai mendokumentasikan hadis-hadis Nabi, seiring berkembangnya kodifikasi hadis, perhatian terhadap asbāb al-Nuzūl juga meningkat, generasi akhir tabiin dan generasi sesudah tabi‟in semakin menunjukkan keingintahuan mereka terhadap berbagai peristiwa yang melatarbelakangi penurunan ayat-ayat al- Qur‟an, rasa ingin tahu generasi pasca tabi‟in ini mendapatkan jawaban dari riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para tabiin, yang kemudian mereka kodifikasikan dalam berbagai karya terkait al-Qur‟an. Pada masa inilah muncul ulama-ulama yang mengkodifikasi hadis-hadis Nabi dan riwayat-riwayat lainnya dari para sahabat, seperti Ibnu Juraij, Ibnu Ishaq, Malik, Rabi ibn Sabih, Sa‟id ibn Abi „Urabah, Hammad ibn Salamah, Sufyan al-Tsauri, al-Auza‟i, Ibn al-Mubarak, dan lain sebagainya. Pada masa berikutnya muncul pula ulama-ulama yang secara khusus mengumpulkan hadis-hadis Nabi dalam karya-karya tersendiri, seperti Abu Dawud Thayalisi, Ahmad ibn Hanbal, al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud al-Sijistan, Abu „Isa al-Tirmidzi, al-Nasa‟i, Ibnu Majah, dan lain-lain, karya-karya para ulama inilah yang merupakan sumber

9 Yudi Setiadi, Asbāb al-Nuzūl, 7

21 utama riwayat-riwayat asbāb al-Nuzūl.10

Perhatian terhadap asbāb al-Nuzūl meningkat seiring munculnya karya-karya dalam tafsir, hadis, qiraat, fikih, dan sebagainya, namun demikian, perkembangan yang membuat para ulama klasik menaruh perhatian serius terhadap asbāb al-Nuzūl adalah penukilan riwayat-riwayat asbāb al-Nuzūl dalam buku-buku tafsir yang disusun oleh para ulama sejak akhir abad ke 3, terutama sejak kemunculan tafsir Qur‟an lengkap yang ditulis oleh al-Thabari, sejak itulah asbāb al-Nuzūl sebagai sebuah ilmu mulai mendapat perhatian sehingga secara perlahan berubah menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Menurut sebagian pakar ilmu al-Qur‟an, bangunan ilmu asbāb

al-Nuzūl mulai menemukan bentuk finalnya pada paruh kedua abad ke-4 H.

Hal ini terlihat dari buku- buku tafsir yang muncul setelah al-Thabari yang meneguhkan penggunaan asbāb al-Nuzūl dalam menjelaskan makna-makna al-Qur‟an, khususnya tafsir-tafsir yang memiliki corak fikih atau menekankan pada penafsiran ayat-ayat hukum dalam Qur‟an, seperti Tafsìr Ahkam Qur‟an karya Abu Bakar Ahmad ibn „Ali yang masyhur dengan sebutan al-Jashash (w. 370 H).11

Ilmu asbāb al-Nuzūl semakin mengukuhkan dirinya sebagai disiplin ilmu tersendiri mulai awal abad ke 5 H setelah kurang lebih satu abad sebelumnya selalu menjadi bagian dari pembahasan tafsir al-Qur‟an secara umum, fase peneguhan asbāb al-Nuzūl, buku al-Wahidi ini merupakan buku pertama yang secara khusus memuat riwayat-riwayat asbāb al-Nuzūl. Buku ini sangat terkenal dan mendapat kedudukan istimewa setidaknya karena dua hal: pertama, dalam buku-buku sejarah maupun ensiklopedi keilmuan Islam klasik dan modern tidak disebutkan ada sebuah buku yang secara khusus mengkaji asbab al-nuzul sebelum munculnya buku al-Wahidi ini, dan kedua,

10 Yudi Setiadi, Asbāb al-Nuzūl, 7-8.

22

buku ini adalah satu-satunya buku dari masa abad ke 1 H hingga ke 5 H yang sampai ke tangan kaum muslimin saat ini.12

Al-Zarkasyi dan kemudian dikuatkan oleh al-Suyūṭī mengetengahkan pendapat bahwa ulama yang pertama menyusun karya khusus dalam bidang asbāb al-Nuzūl adalah „Ali ibn al-Madini, namun, pendapat ini tidak terlalu kuat karena dua hal, Pertama, buku al-Madini yang menurut Ibn al-Nadim berjudul Kitab al-Tanzil belum pernah ditemukan naskahnya sehingga tidak ada ulama yang memberi informasi jelas mengenai kandungan buku tersebut, Ibnu al-Nadìm juga tidak memasukkan buku tersebut dalam kelompok buku-buku yang secara khusus membahas asbāb

al-Nuzūl Kedua, al-Madini lebih dikenal sebagai seorang ahli hadis daripada ahli

tafsir, ia wafat pada paruh pertama abad ke 3 H (234 H.), menurut Ibnu al-Nadim, al-Madini memiliki beberapa karya dalam disiplin hadis dan ilmu hadis, sementara hingga akhir abad ke 3 H, saat al-Thabari meluncurkan tafsirnya, istilah asbāb a-Nuzūl belum populer sebagai sebuah ilmu yang independen. Hingga masa ini asbāb al-Nuzūl masih menjadi bagian dari pembahasan tafsir al-Qur‟an dan belum menjadi disiplin ilmu yang independen, Jadi, sulit untuk menyimpulkan bahwa istilah asbāb al-Nuzūl sudah mulai digunakan sebagai sebuah judul buku tersendiri sejak pertengahan pertama abad ke 3 H.13

Karena itu, tonggak kemunculan asbāb al-Nuzūl sebagai sebuah ilmu yang independen dalam „Ulūm Qur‟ān dapat dikatakan dimulai oleh al-Wahidi melalui karyanya asbāb al-Nuzūl, pada abad ke 5 H meski begitu, kemunculan karya khusus terkait asbāb al-Nuzūl ini bisa dianggap cukup belakangan bila dibandingkan karya- karya dalam bidang-bidang „ulum

al-Qur‟an lainnya, yang sudah muncul sejak akhir abad ke 2 H, dengan

12 Yudi Setiadi, Asbāb al-Nuzūl

23 demikian, secara umum, fase-fase perkembangan ilmu asbāb a-Nuzūl ini sesungguhnya selaras dengan fase-fase perkembangan keilmuan Islam di masa abad pertengahan Islam, yang dimulai dengan masa kemunculan, pertumbuhan, dan perkembangan, hingga masa kematangannya, sebagaimana disiplin-disiplin keilmuan lainnya, ilmu asbāb al-Nuzūl juga tumbuh-berkembang secara alami hingga menjadi disiplin keilmuan yang independen seperti sekarang ini.14

Dokumen terkait