• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini penulis menguraikan mengenai kesimpulan dan saran yang berdasarkan pembahasan dan jawaban atas rumusan masalah yang telah diuraikan.

DAFTAR PUSTAKA

Berisi sumber-sumber pustaka yang dikutip dalam penulisan hukum dan dijadikan bahan pemikiran dalam penulisan hukum ini.

LAMPIRAN

commit to user

9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Putusan Hakim

a. Pengertian Hakim

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Adapun tugas- tugas Hakim diantaranya adalah :

1) Menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

2) Memberikan keterangan pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada lembaga negara apabila diminta.

3) Sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dalam masyarakat.

Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang hakim adalah : a) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

b) Jujur. c) Merdeka.

d) Berani mengambil keputusan.

e) Bebas dari pengaruh baik dari luar ataupun dari dalam.

Dalam menjalankan tugasnya, hakim memiliki kemerdekaan yang dijamin dalam Udang-Undang. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menyebutkan bahwa “ kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia”.

commit to user

b. Pengertian Putusan Hakim

Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam suatu peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum. Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan (M. Yahya Harahap, 2000: 326).

Pada Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 11 KUHAP ditentukan bahwa: ”Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

Sedangkan menurut Lilik Mulyadi, putusan hakim itu merupakan : “Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan segala tujuan menyelesaikan perkara “.(Lilik Mulyadi, 2007: 121)

Putusan harus sah untuk dapat dilaksanakan. Syarat sahnya putusan diatur dalam Pasal 195 KUHAP yakni apabila diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat dapat mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan juga dapat memantau apakah jalannya persidangan sesuai dengan ketentuan di dalan KUHAP atau tidak.

Kemudian, apabila kita melihat dari ketentuan KUHAP, dapat disimpulkan bahwa putusan hakim itu pada hakikatnya dapat dikategorisasikan kedalam dua jenis, yaitu putusan akhir dan putusan yang bukan putusan akhir. Apabila suatu perkara oleh majelis hakim diperiksa sampai selesai pokok perkaranya, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (3) dan ayat (8), Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP dinamakan dengan ”putusan akhir” atau ”putusan”.

commit to user

Pada jenis putusan seperti ini prosedural yang harus dilakukan adalah setelah persidangan dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, pemeriksaan identitas terdakwa, dan peringatan agar mendengar dan memperhatikan segala sesuatu di dalam persidangan, pembacaan surat dakwaan, keberatan, pemeriksaan alat bukti, replik dan duplik kemudian re-replik dan re-duplik, pernyataan pemeriksaan ”ditutup”, serta musyawarah majelis hakim, dan pembacaan ”putusan”.

Adapun mengenai putusan yang bukan putusan akhir dalam praktik dapat berupa ”penetapan” atau ”putusan sela” yang bersumber pada ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Putusan ini secara formal dapat mengakhiri perkara apabila terdakwa/penasihat hukum dan penuntut umum telah menerima putusan itu. Akan tetapi, secara materiil perkara tersebut dapat dibuka kembali apabila salah satu pihak (terdakwa/ penasihat hukum atau penuntut umum) mengajukan perlawanan dan perlawanan tersebut oleh pengadilan tinggi dibenarkan sehingga pengadilan tinggi memerintahkan pengadilan negeri melanjutkan pemeriksaan perkara yang bersangkutan

Sejalan dengan ketentuan tersebut Pasal 196 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa:

1) Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa, kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain.

2) Dalam hal lebih dari seorang terdakwa dalam suatu perkara, putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada.

Dengan demikian pada saat hakim menjatuhkan putusan, terdakwa harus hadir dan mendengarkan secara langsung tentang isi putusan tersebut. Apabila terdakwa tidak hadir, maka penjatuhan putusan tersebut harus ditunda, kecuali dalam hal terdapat lebih dari satu terdakwa dalam satu perkara, tidak harus dihadiri oleh seluruh terdakwa. Berdasarkan Pasal 196 ayat (2) KUHAP putusan dapat diucapkan dengan hadirnya terdakwa yang ada. Dalam penjelasan Pasal 196 ayat (2) KUHAP disebutkan bahwa

commit to user

setelah diucapkan putusan tersebut berlaku baik bagi terdakwa yang hadir maupun tidak hadir.

c. Jenis Putusan

Putusan hakim dibagi menjadi tiga macam, yakni: 1) Putusan bebas (Vrjspraak/acquittal)

Di dalam suatu persidangan pengadilan, seorang terdakwa dibebaskan apabila ternyata perbuatannya yang tersebut dalam surat dakwaan seluruhnya atau sebagian tidak terbukti, secara sah dan meyakinkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP ketiadaan terbukti ini ada dua macam:

a) Ketiadaan alat bukti yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai minimum, yaitu adanya hanya pengakuan terdakwa saja, tanpa dikuatkan oleh alat-alat bukti yang lain.

b) Minimum yang ditetapkan oleh undang-undang telah terpenuhi yaitu adanya dua orang saksi atau lebih, akan tetapi hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa (Martiman Prodjohamidjojo, 1982 : 130).

2) Putusan lepas dari segala tuntutan (Van rechtvervolging)

Apabila suatu perbuatan yang dalam surat dakwaan itu terbukti, tetapi tidak merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran maka terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum. Pasal 191 ayat (2) KUHAP Hal ini akan terjadi jika :

a) Adanya kekeliruan dalam surat dakwaan, yakni apa yang didakwakan tidak cocok dengan salah satu penyebutannya oleh hukum pidana dari perbuatan yang diancam dengan hukuman pidana.

b) Adanya hal-hal yang khusus, yang mengakibatkan terdakwa tidak dijatuhi hukuman pidana menurut Pasal dalam (44 - 51 KUHP)

commit to user

3) Putusan pemidanaan (Veroldeling)

Putusan Pemidanaan diatur oleh ketentuan Pasal 193 ayat (1) KUHAP. Apabila dijabarkan lebih detail, terhadap putusan pemidanaan dapat terjadi jika :

a) Dari hasil pemeriksaan di depan persidangan b) Majelis hakim berpendapat, bahwa:

(1) Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum;

(2) Perbuatan terdakwa tersebut merupakan ruang lingkup tindak pidana (kejahatan/misdrijven atau pelanggaran/overtredingen) (3) Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta-fakta di

persidangan Pasal 183, Pasal 184 ayat (1) KUHAP

c) Oleh karena itu majelis hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa.

Putusan hakim dapat dieksekusi bila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang telah diterima oleh para pihak yang bersangkutan. Putusan yang berupa penghukuman terdakwa dapat berupa pidana seperti yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, yaitu :

(1) Pidana Pokok (a) Pidana mati. (b) Pidana penjara. (c) Kurungan. (d) Denda.

(e) Pidana tutupan. (2) Pidana Tambahan

(1) Pencabutan hak-hak tertentu (2) Perampasan barang-barang tertentu (3) Pengumuman putusan hakim.

commit to user

d. Isi Putusan

Apabila pemeriksaan sidang dinyatakan selesai seperti apa yang diatur dalam Pasal 182 ayat (1) KUHAP, tahap proses persidangan selanjutnya ialah penuntutan, pembelaan, dan jawaban. Dan kalau tahap proses penuntutan, pembelaan, dan jawaban telah berakhir, tibalah saatnya hakim ketua menyatakan ”pemeriksaan dinyatakan tertutup”. Pernyataan inilah yang mengantar persidangan ke tahap musyawarah hakim, guna menyiapkan putusan yang akan dijatuhkan pengadilan (M. Yahya Harahap, 2000 : 347).

Dalam Pasal 182 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditentukan bahwa musyawarah yang disebut diatas harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam persidangan. Ditentukan selanjutnya dalam Pasal 182 ayat (5) KUHAP bahwa dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasanya. Dalam ayat berikutnya, yakni Pasal 182 ayat (6) KUHAP itu diatur bahwa sebisa mungkin musyawarah majelis merupakan permufakatan bulat, kecuali jika hal itu telah diusahakan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka ditempuh dua cara yaitu :

1) Putusan diambil dengan suara terbanyak;

2) Jika yang tersebut pada huruf a tidak dapat diperoleh, maka yang dipakai ialah pendapat hakim yang menguntungkan bagi terdakwa.

Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim, dan menurut ayat (2) Pasal itu, kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi kecuali yang tersebut pada angka g dan i putusan batal demi hukum. Ketentuan tersebut adalah:

a) Kepala putusan yang ditulis berbunyi : ”DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”

b) Nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur dan tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa. c) Dakwaan,sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.

commit to user

d) Pertimbangan yang disusun secara singkat mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

e) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.

f) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.

g) Hari dan tanggal diadakanya musyawarah majelis hakim kecuali perkara oleh hakim tunggal.

h) Peryataan kesalahan terdakwa, peryataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.

i) Ketentuan pada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya pasti dan ketentuan mengenai barang bukti.

j) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat autentik yang dianggap palsu.

k) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.

l) Hari dan tanggal putusan, nama Penuntut Umum, nama Hakim yang memutus dan nama Panitera.

Kemudian, dalam Pasal 200 KUHAP dikatakan bahwa surat putusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan tersebut diucapkan.

commit to user

2. Tinjauan Tentang Pemidanaan a. Tujuan Pemidanaan

Tujuan dari pidana dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Dimulai dari yang paling tua tujuan pidana adalah pembalasan (revenge). Pidana dijatuhkan atau diberikan untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau yang menjadi korban kejahatan.

Tujuan berikutnya adalah untuk penghapusan dosa (evpiation) atau retribusi (retribution) yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptakan balasan antara yang hak dan batil. Tujuan yang dipandang sebagai tujuan yang berlaku sekarang ialah variasi dari bentuk penjeraan (deterrent), baik ditujukan kepada pelanggar hukum sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi jahat, perlindungan kepada masyarakat dari perbuatan jahat.

Tujuan terakhir inilah yang menjadi tujuan paling populer karena bukan saja bertujuan memperbaiki kondisi penjeraan tetapi juga mencari alternatif lain yang bukan bersifat pidana dalam membina pelanggar hukum.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Buku I tentang aturan umum dikemukakan tujuan pemidanaan adalah :

1) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.

2) Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat.

3) Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

commit to user

b. Teori Pemidanaan

Tentang maksud penjatuhan pidana terdapat beberapa teori yang mengemukakan mengapa suatu kejahatan dikenakan suatu pidana antara lain :

1) Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Pidana harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana. ”Jadi dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri”(Muladi, Barda Nawawi Arief, 1998 :10-11). 2) Teori Relatif

Menurut teori ini pidana dijatuhkan bukan semata-mata untuk memberikan tuntutan absolut dari keadilan. Menurut teori ini ”pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai , tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat” (Muladi, Barda Nawawi Arief, 1998 :16). Dasar pembenar adanya pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan karena orang melakukan kejahatan seperti dalam teori absolut tetapi supaya orang jangan melakukan kejahatan.

Harus ada tujuan yang lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian, teori ini juga disebut dengan teori tujuan (doel-theorien). Tujuan ini harus diarahkan untuk mencegah agar kejahatan yang dilakukan tidak terulang lagi (prevensi). Prevensi ada dua macam, yaitu prevensi khusus dan prevensi umum. Dalam prevensi umum pidana dijatuhkan agar orang tidak melakukan kejahatan yang sama. Dalam prevensi khusus, pidana dijatuhkan agar pelaku dari kejahatan tersebut tidak mengulangi lagi perbuatannya.

commit to user

3) Teori Gabungan

Teori ini merupakan gabungan dari kedua teori yaitu teori absolut dan teori relatif. Teori ini mendasarkan pidana sebagai pembalasan dan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat yang diterapkan dengan cara pembinaan dengan menitik beratkan pada salah satu unsur, tanpa menghilangkan unsur lain maupun menitik beratkan pada semua unsur yang ada.

Dalam teori ini ”mungkin mengenai beratnya pidana terdapat perselisihan paham, tetapi mengenai kaedah atau perlunya pidana tidak ada perbedaan pendapat” (Adami Chazawi, 2001 :158). Teori ini tidak hanya sebagai pembalasan atau prevensi, tetapi juga memperbaiki pelaku kejahatan.

3. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana

Tindak Pidana Dalam KUHP dikenal istilah Strafbaarfeit, atau yang dalam ilmu pengetahuan hukum disebut delik. Sedangkan pembuat Undang-Undang dalam merumuskan Undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.

Strafbaarfeit sendiri berarti suatu kelakuan manusia yang diancam pidana

oleh peraturan perundangan, jadi yang diancam pidana adalah manusia, sehingga banyak ahli hukum yang mengartikan Strafbaarfeit sebagai tindak pidana.

Pemberian definisi tentang pengertian hukum atau pengertian dalam ilmu-ilmu sosialnya pastilah terdapat perbedaan-perbedaan pendapat, maka dalam pemberian pengertian terhadap tindak pidana juga terdapat bermacam-macam pendapat yang diberikan oleh para sarjana dikelompokan menjadi 2 (dua) aliran yaitu Monistis dan Dualistis:

commit to user

a. Aliran Monistis

Menurut pendapat Simons (dalam Wirjono Prodjodikoro,1986:56) “Strafbaarfeit yaitu kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab”.

Menurut Van Hammel bahwa “Strafbaarfeit yaitu kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan ”.

Menurut Pompe pengertian Strafbaarfeit dibedakan : a) Definisi menurut teori memberikan pengertian

“Strafbaarfeit” adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

b) Definisi menurut hukum positif, merumuskan pengertian “Strafbaarfeit”adalah suatu kejadian (fekt) yang oleh peraturan Undang-Undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum. Sedangkan menurut Simons, Strafbaarfeit diartikan sebagai kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan orang yang mampu bertanggung jawab.(Sudarto, 1990 :43)

b. Aliran Dualistis

Menurut pendapat Moeljatno bahwa “Perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukun, larangan mana disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar”(Moeljatno,1982: 54)

commit to user

Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa ”Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman dan pelakunya dikatakan sebagai subyek tindak pidana”( Wirjono Prodjodikoro, 1996: 55).

Pengertian tindak pidana atau Strafbaarfeit yang diberikan oleh beberapa ahli tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang yaitu melanggar suatu aturan hukum pidana atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan oleh suatu aturan aturan hukum positif serta perbuatan yang apabila melanggar diancam dengan pidana oleh karena itu suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana atau tindak pidana apabila ada suatu kenyataan bahwa ada aturan yang melarang perbuatan tersebut dan ancaman pidana bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut, dalam larangan dan ancaman tersebut terdapat hubungan yang erat. Oleh karena itu antara peristiwa dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada suatu kemungkinan hubungan yang erat dimana satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. Guna menyatakan hubungan yang erat itu maka digunakan perkataan perbuatan yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjukkan kepada dua keadaan konkrit yaitu:

a. Adanya kejadian yang tertentu, serta

b. Adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno, 1982 : 39).

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Suatu perbuatan untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana atau tindak pidana, maka perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur pidana yaitu :

commit to user

1) Subyek Tindak pidana

Siapa yang bisa menjadi subyek tindak pidana sebagaimana tercantum dalam KUHP, yaitu seorang manusia sebagai pelaku, hal ini terdapat dalam perumusan tindak pidana KUHP, sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno yaitu:

“Yang dapat menjadi subyek tindak pidana sebagaimana tercantum dalam KUHP yaitu seorang manusia sebagai pelaku hal ini terdapat di dalam perumusan tindak pidana KUHP. Daya pikir merupakan syarat bagi subyek tindak pidana, juga pada wujud hukumnya yang tercantum dalam Pasal 2 KUHP yaitu hukuman penjara dan hukuman denda.” (Moeljatno, 1982: 54).

KUHP dalam perumusannya menggunakan kata “Barang siapa”, hal ini menunjukkan yang menjadi subyek tindak pidana adalah manusia. Namun dalam perkembangan selanjutnya dalam pergaulan hidup kemasyarakatan bukan hanya manusia saja yang terlibat, seperti contoh-nya badan hukum, sehingga yang dapat memungkinkan melakukan tindak pidana bukan hanya manusia akan tetapi badan hukum pun juga bisa melakukan tindak pidana karena pada dasarnya badan hukum juga dapat melakukan perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh manusia, sehingga bisa termasuk dalam perumusan tindak pidana. Kemungkinan badan hukum atau perundang-undangan yang berlaku, hukuman yang dikenakan dapat berupa denda yang dibayarkan oleh badan hukum yang bersangkutan.

2) Harus Ada Perbuatan Manusia

Untuk menguraikan perbuatan manusia dalam perkembangannya dapat dilihat dari aktifitasnya. Biasanya perbuatan yang dilakukan bersifat positif atau aktif tetapi ada pula perbuatan yang negatif atau pasif yang dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana yaitu :

commit to user

Contoh perbuatan negatif :

a) Mengetahui adanya permufakatan jahat tetapi tidak dilaporkan walaupun ada kesempatan untuk melapor pada yang berwajib. b) Tidak bersedia menjadi saksi

Akibat perbuatan manusia, merupakan syarat mutlak dari perbuatan atau tindak pidana.

Contoh perbuatan positif :

a) Misal A. Membunuh B dengan alasan bahwa B telah membunuh C kakak dari A. Memang di daerah yang bersangkutan ada anggapan bahwa hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa.

3) Bersifat Melawan Hukum

Mengenai sifat melawan hukum, merupakan sesuatu hal yang sangat penting, karena dalam tindak pidana hal-hal yang bersifat tidak melawan hukum sudah tidak lagi menjadi persoalan hukum pidana. Pengertian melawan hukum itu sendiri ada dua, yaitu melawan hukum formil dan melawan hukum materiil, seperti yang dikemukakan oleh Moeljatno :

a) Melawan hukum formil, yaitu :

Apabila perbuatan telah sesuai dengan larangan Undang-Undang, maka disitu ada kekeliruan letak melawan hukumnya perbuatan sudah nyata, dan sifat melanggarnya ketentuan Undang-Undang kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh Undang-Undang.

b) Melawan hukum materiil, yaitu :

Ada yang berpendapat, bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang sesuai dengan larangan Undang-Undang itu bersifat melawan hukum. Bagi mereka yang dinamakan hukum bukanlah Undang-Undang saja, tetapi di samping Undang-Undang terdapat hukum tertulis, yaitu norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. (Moeljatno, 1982 : 130)

commit to user

Sifat melawan hukum materiil itu sendiri dibagi menjadi dalam dua fungsi yaitu fungsi positif dan fungsi negatif, sedangkan di Indonesia menganut sifat melawan hukum dalam fungsi positif. Disini akan dijelaskan sifat melawan hukum dalam fungsi positif dan negatif menurut Sudarto :

a) Sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsi yang positif menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang ada diluar undang-undang. Jadi disini diakui hukum yang tak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.

b) Sifat melawan hukum yang materiil dalam fungsi negatif mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada diluar Undang-Undang menghapus sifat melawan hukumnya yang memiliki rumusan Undang-Undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapus sifat melawan hukum.( Sudarto, 1990 : 82 )

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan melawan hukum formil adalah telah memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam rumusan dari dalam Undang-Undang dan sifat melawan hukumnya harus berdasar Undang-Undang-Undang-Undang. Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum materiil adalah suatu perbuatan itu melawan hukum atau tidak dilihat dari Undang-Undang dan juga aturan-aturan yang hukum yang tidak tertulis.

Dokumen terkait