• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Kehidupan masyarakat di Nagari ulakan tidak terlepas dari ajaran Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin yang menjadi acuan dalam menjalankan kehidupan sehari- hari. Penulis menyimpulakan dari hasil penelitian bahwa benar adanya semua kehidupan masyarakat di Nagari Ulakan tidak terlepas dari ajaran Tuanku keramat Syekh Burhanuddin. Masyarakat di Nagari Ulakan mengamalkan ajaran Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Syekh Burhanuddin Menjadi panutan dalam masyarakat tersebut. Masyarakat mengerti akan fenomena alam yang terjadi pada lingkungan mereka bijak sana berinteraksi didalam hidup bermasyarakat, mematuhi adat yang berlaku, masyarakat mengkaitan ajaran Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin dengan amal dan ketakwaan.

Bahasa yang digunakan dalam cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin lebih banyak menggunakan bahasa masyarakat Nagari Ulakan. Seperti pada penamaan tokoh dalam cerita, nama bangunan dalam cerita banyak menggunakan bahasa daerah. Seperti kata Surau yang artinya temapt ibadah.

Tema dalam cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin digunakan pendapat Atar Semi yang mengatakan bahwa untuk melihat tema sebuah cerita, ada faktor penting yang harus dikaji, yaitu :

4. Melihat persoalan yang paling menonjol

6. Menghitung waktu penceritaan sebuah persoalan

Persoalan yang paling menonjol dalam cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin adalah tentang perjuangannya mengislamisasikan masyarakat Nagari Ulakan. Persoalan perjuangannya itu sangat banyak dijelaskan dalam cerita ini. tokoh yang diceritakan adalah orang-orang yang berjuang dalam mengislamisasikan masyarakat Nagari Ulakan. Persoalan yang menimbulkan konflik adalah persoalan tentang Syekh Burhanuddin mulai mengislamisasikan masyarakat tetapi mendapat ancaman dari tokoh adat dan masyarakat lainnya tetapi Syekh Burhanuddin tetap saja berjuang untuk mengislamisasikan masyarakat. Perlahan-lahan akhirnya masyarakat dan tokoh adat mulai menerima keberadaan Syekh Burhanuddin dan ajaran yang dibawanya. Persoalan yang paling lama diceritakan adalah persoalan Syekh Burhanuddin menuntut ilmu agamanya, mulai berguru kepada Tuanku Madinah hingga Ia wafat lalu Syekh burhanuddin berguru kepada Syekh Abdurrauf, dalam perjalanannya berguru ini lah sangat lama diceritakan sehingga dia kembali ke Nagari Ulakan. Berdasarkan ketiga unsur tema diatas dapat diketahui bahwa tema dari cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin adalah sikap kepahlawanannya dalam mengislamisasikan masyarakat Nagari Ulakan.

Latar tempat yang terdapat di dalam cerita Tuanku Keramat syekh Burhanuddin adalah di Kuawek Galundi Nan Baselo (Pariangan Padang Panjang), Tapakis Ulakan, Nagari Malalo, Nagari Asam Pulau, Batang Anai, Sintuk Lubuk Alung, Tanjung Medan, Nagari Ulakan, Pulau Angso, Aceh dan Gunung Sitoli. Latar waktu adalah latar yang mengungkapkan kapan sebuah peristiwa itu berlangsung atau terjadi. Adapun latar waktu yang terdapat di dalam cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin adalah sebagai berikut: Pada saat usia antara 9 sampai 11 tahun : Syekh Burhanuddin melawan

seekor harimau untuk melindungi teman sepermainannya. Sejak usia dini : Syekh Burhanuddin telah mendapatkan pendidikan akhlak dan budi pekerti yang baik. Ketika Ia berumur 7 tahun : Syekh Burhanuddin telah dibawa orang tuannya untuk belajar kepada seorang gurajat. Setiap hari : Syekh Burhanuddin mengembalakan kerbau. Sesampainya Syekh Burhanuddin di Aceh : untuk menuntut dan melanjutkan ilmunya kepada syekh Abdurrauf.

Pemikiran di dalam cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin adalah pemikiran beliau untuk mengislamisasikan masyarakat di Nagari Ulakan pada umumnya. Yang pada masa itu masyarakat di Nagari Ulakan masih menganut Animisme. Di dalam cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin. Syekh Burhanuddin dapat dikategorikan sebagai tokoh utama cerita, serta Idris (Khatib Majolelo), Syekh Abdulah Arif (Tuanku Madinah), Syekh Abdurrauf (Syekh kuala), Khatib Sangko, Kalik-kalik Jantan, Gaga Tangah Padang, Si Hujan Paneh, dan Si Waman sebagai tokoh pembantu.

Nilai kepahlawanan yang terdapat dalam cerita Taunku Keramat Syekh Burhanuddin adalah sebagai berikut :

1. Mampu mengalahkan seekor harimau

2. Melanjutkan perjuangan gurunya walaupun mendapat tantangan dari masyarakat

3. Memiliki tanda-tanda untuk menjadi khalifah

4. Kepatuhan seorang murid pada gurunya

7. Membentuk gelar-gelar pada masyarakat Nagari Ulakan

8. Pernyataan etos masyarakat

9. Sebagai perwujudan sikap dan pegangan hidup

10. Sebagai gambaran cara hidup

6.2 Saran

Berdasarkan pengalaman penulis dilapangan, ada beberapa saran yang hendak penulis sampaikan, yaitu :

1. Hendaknya masyarakat lebih meningkatkan kepeduliannya terhadap warisan dari Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin, agar ajaran kehidupan yang telah diajarkan beliau biasa dijaga sepanjang masa dan masyarakat pendukungnya hidup berdasarkan contoh hidup yang telah diwariskan oleh beliau

2. Penelitian terhadap cerita keramat sangat berguna bagi kelestarian nilai sejarah dari cerita tersebut.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Yang Relevan

Syekh Burhanuddin merupakan tokoh yang sangat populer di Minangkabau. Hal ini terkait dengan kontribusi dan perjuangannya sebagai pelopor islamisasi di tanah Minangkabau. Dalam berbagai literatur, kajian mengenai Syekh Burhanuddin sudah ramai diperbincangkan, tetapi masih banyak terjadi kesimpangsiuran masalah angka tahun, sehingga kronologi sejarah tidak akurat, berikut ini beberapa literatur yang membahas mengenai Syekh Burhanuddin yang sudah penulis temui, antara lain:

Syekh Burhanuddin dan Islamisasi di Minangkabau (Syarak Mandaki Adat Manurun), yang ditulis oleh Duski Samat dan diterbitkan oleh The Minangkabau Foundation di Jakarta tahun 2002. Buku ini terdiri dari 230 halaman. Penulis buku ini lebih banyak membahas mengenai budaya masyarakat Minangkabau yang muncul setelah Syekh Burhanuddin wafat, salah satunya yaitu budaya bersafa.4 Pembahasannya yang menonjol mengenai perjanjian bukit Marapalam, secara umum yang menyangkut islamisasi di Minangkabau.

Tarekat Syatariah di Minangkabau, yang ditulis oleh Oman Faturrahman, diterbitkan oleh Prenada Media Group di Jakarta tahun 2008, terdiri dari 172 halaman. Tulisan ini membahas mengenai pemikiran tarekat Syatariah yang dibawa oleh Syekh

Burhanuddin dari Aceh. Penelitian ini hanya sedikit membahas mengenai riwayat Syekh Burhanuddin dan islamisasi di Minangkabau.

Mahmud Yunus dalam bukunya Sejarah Islam di Minangkabau (1969), mengupas peranan Syekh Burhanuddin sebagai tokoh yang mengembangkan ajaran Islam, yang perpusat di Ulakan. Syekh Burhanuddin adalah seorang ulama sekaligus pelopor islamisasi di Minangkabau. Buku ini membahas riwayat Syekh Burhanuddin dan kontribusinya dalam islamisasi di Minangkabau.

2.2 Kosmologi Masyarakat Nagari Ulakan

2.2.1 Sistem Kepercayaan dan Agama

Masyarakat Ulakan beragama Islam, maka bila ada orang Ulakan yang tidak memeluk agama Islam adalah suatu keganjilan yang mengherankan, walaupun kenyataannya ada sebagian yang tidak patuh menjalankan syari'at-syari'atnya. Masyarakat desa percaya dengan hantu, seperti kuntilanak, perempuan menghirup ubun- ubun bayi dari jauh, dan menggasing (santet), yaitu menghantarkan racun melalui udara. Upacara-upacara adat di Ulakan meliputi :

1. Upacara Kitan dan Katam berhubungan dengan lingkaran hidup manusia, seperti:

a. Upacara Turun Tanah/Turun Mandi adalah upacara bayi menyentuh tanah pertama kali,

b. Upacara Kekah adalah upacara memotong rambut bayi pertama kali. 2. Upacara selamatan orang meninggal pada hari ke-7, ke-40, dan ke-100.

2.2.2 Adat Istiadat Masyarakat Nagari Ulakan

Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan orang Ulakan pada umumnya mengaku berasal dari Darek (pusat alam Minangkabau). Orang yang tidak bisa menunjukan dimana daerah Darek asal muasal nenek moyangnya berarti bukan asli orang Ulakan, sebab Ulakan itu rantau, setiap rantau jelas ada Dareknya. Kepastian asal-usul Darek seseorang juga menjadi persyaratan untuk menentukan status sosialnya dalam tatanan kemasyarakatan. Bahkan raja, penghulu, dan datuk-datuk yang sekarang memegang jabatan secara turun-temurun juga harus bisa menjelaskan dimana sumber Dareknya. Dari sini jelas betapa keterkaitan dan ketersambungan hubungan antara Darek dan rantau sangat penting.

Suku tertua diyakini yang dianggap membuka dan merintis nagari, menebang hutan, membuka daerah baru pada sekitar abad XII M adalah suku Panyalai (Chaniago) dan suku Koto. Dari kedua suku asal ini ada “orang tua yang berempat” yang memiliki kedudukan khusus di tengah-tengah masyarakat. Empat suku lainnya merupakan belahan, ada juga yang menyebut orang yang datang kemudian, yaitu suku Sikumbang dan Tanjung belahan atau mengisi adat pada suku Koto dan suku Jambak, sedangkan suku Guci belahan atau mengisi adat pada suku Panyalai (Chaniago).

Pemuka adat Ulakan dan tokoh masyarakat menuturkan bahwa Nagari Ulakan sebagai daerah rantau bagi pusat kerajaan Minangkabau telah lama dikenal terutama sejak kehadiran Syekh Burhanuddin abad ke-17 M. Atau ke-12 H. Nama Nagari Ulakan ini kemudian menjadi pusat perhatian setelah Syekh Burhanuddin mengembangkan agama Islam serta mendirikan surau sebagai pusat pendidikan Islam di Minangkabau masa itu.

Bila dilihat dari asal muasal Nagari Ulakan yang dirintis oleh nenek moyang orang Koto dan Panyalai maka dapat disimpulkan bahwa daerah Ulakan sama dengan daerah Pesisir Barat pulau Sumatera sudah dikenal pedagang asing (Arab, Cina, Portugis dan terakhir Belanda) sejak dulu. Ada informasi menyebutkan bahwa jauh sebelum datang ke Pesisir Pantai barat pulau Sumatera ini sudah berkembang juga agama Hindu dan Budha. Bukti pengaruh agama Hindu dan Budha pernah ditemukan dari arsitektur rumah ibadah (surau) di Pariaman dan sekitarnya yang berbentuk pura, dengan atap lancip ke atas. Begitu juga bahasa ibadah yang digunakan masih menggunakan sebutan Hindu misalnya kata shalat dengan sembahyang. Lebih-lebih lagi dikalangan tradisionil masih ada yang menggunakan stanggi untuk tempat kemenyan yang akan dibakar ketika mendo’a. Kemenyan dan alat yang berhubungan ritual tesebut masih menjadi budaya keagamaan masyarakat Ulakan dan golongan yang terpengaruh dengan paham itu.

Adat nagari Ulakan terbagi kepada 4 bagian disebut Adaik nan ampek (adat yang empat) yaitu: 1. Adat yang sebenarnya adat (Adaik nan sabana Adaik)

Adat ini merupakan adat yang paling utama yang tidak dapat dirubah sampai kapanpun dia merupakan harga mati bagi seluruh masyarakat nagari Ulakan, tidaklah bisa dikatakan dia orang Ulakan apabila tidak melaksanakan Adat ini dan akan dikeluarkan dia dari orang Ulakan apabila meninggalkan adat ini, adat ini yang paling prinsip adalah bahwa seorang Ulakan wajib beragama Islam dan akan hilang Minangnya kalau keluar dari agama Islam.

2. Adat yang di adatkan (Adaik nan diadaikkan)

Adat ini adalah sebuah aturan yang telah disepakati dan diundangkan dalam tatanan Adat nagari Ulakan dari zaman dulu melalui sebuah pengkajian dan penelitian yang amat dalam dan sempurna oleh para nenek moyang orang Ulakan dizaman dulu, contohnya yang paling prinsip dalam adat ini adalah adalah orang Ulakan wajib memakai kekerabatan Matrilineal mengambil pesukuan dari garis ibu dan nasab keturunan dari ayah, makanya ada Dunsanak (persaudaraan dari keluarga ibu) dan adanya Bako (persaudaraan dari keluarga ayah), Memilih dan atau menetapkan Penguhulu suku dan Ninik mamak dari garis persaudaraan badunsanak berdasarkan dari ampek suku asal (empat suku asal) Koto Piliang, Bodi, Caniago atau berdasarkan pecahan suku nan ampek tersebut, menetapkan dan memlihara harta pusaka tinggi yang tidak bisa diwariskan kepada siapapun kecuali diambil manfaatnya untuk anak kemenakan, seperti sawah, ladang, hutan, pandam pakuburan, rumah gadang dll.

Kedua adat diatas disebut Adaik nan babuhua mati (Adat yang diikat mati) dan inilah disebut Adat, adat yang sudah menjadi sebuah ketetapan dan keputusan berdasarkan kajian dan musyawarah yang menjadi kesepakatan bersama antara tokoh Agama, tokoh Adat dan cadiak pandai diranah Minang, adat ini tidak boleh dirubah- rubah lagi oleh siapapun, sampai kapanpun, sehingga ia disebut Nan indak lakang dek paneh nan indak lapuak dek hujan, dibubuik indaknyo layua dianjak indaknyo mati (Yang tidak lekang kena panas dan tidak lapuk kena hujan, dipindah tidak layu dicabut tidak mati). Kedua adat ini juga sama diseluruh daerah dalam wilayah Nagari Ulakan tidak boleh ada perbedaan karena inilah yang mendasari adat di Nagari Ulakan itu sendiri yang membuat keistimewaan dan perbedaannya dari adat-adat lain di dunia. Ana

3. Adat yang teradat (Adaik nan Taradaik)

Adat ini adanya karena sudah teradat dari zaman dahulu dia adalah ragam budaya di beberapa daerah di nagari ulakan yang tidak sama masing-masing daerah, adat ini juga disebut dalam istilah Adaik salingka nagari (adat selinkar daerah). Adat ini mengatur tatanan hidup bermasyarakat dalam suatu Nagari dan iteraksi antara satu suku dan suku lainnya dalam nagari itu yang disesuaikan dengan kultur didaerah itu sendiri, namun tetap harus mengacu kepada ajaran agama Islam. Adat ini merupakan kesepakatan bersama antara Penguhulu Ninik mamak, Alim ulama, cerdik pandai, Bundo Kanduang dan pemuda dalam suatu nagari di nagari Ulakan, yang disesuaikan dengan perkembangan zaman memakai etika-etika dasar adat Minangkabau namun tetap dilandasi ajaran Agama Islam.

4. Adat istiadat (Adaik Istiadaik)

Adat ini merupakan ragam adat dalam pelaksanaan silaturrahim, berkomunikasi, berintegrasi, bersosialisasi dalam masyarakat nagari Ulakan seperti acara pinang meminag, pesta perkawinan dll, adat inipun sama dalam wilayah nagari Ulakan, adat inipun disebut Adaik nan babuhua sintak (adat yang tidak diikat mati) dan inilah yang namakan Istiadat, karena ia tidak diikat mati maka ia boleh dirubah kapan saja diperlukan melalui kesepakatan Penghulu Ninik Mamak, Alaim Ulama, Cerdik Pandai, Bundo Kanduang dan pemuda yang disesuaikan dengan perkembangan zaman namun acuannya adalah sepanjang tidak melanggar ajaran Adat dan ajaran Agama Islam, sehingga disebut dalam pepatah adat maso batuka musim baganti, sakali aie gadang sakali tapian baranjak.

2.2.3 Sosial Budaya Masyarakat Nagari Ulakan

Ulakan adalah nama sebuah Nagari yang terletak dalam sebuah wilayah pemerintahan terendah kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman. Secara geografis daerah ini berada dalam daratan rendah dengan kawasan pantai yang cukup luas di pinggir Samudera Indonesia. Iklim cuaca yang baik di daerah pinggir pantai menjadikan mata pencaharian utama penduduknya sebagai nelayan, di samping itu juga ada sebagian kecil yang bertani. Tetapi, juga tidak sedikit anak Nagari Ulakan yang berada di perantauan.

Masyarakat Nagari Ulakan menganut sistem kekerabatan matrilineal. Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu. Seorang anak laki-laki atau perempuan merupakan garis keturunan dari perkauman ibu. Ayah tidak dapat memasukkan anaknya ke dalam sukunya sebagaimana yang berlaku dalam sistem patrilineal. Dengan kata lain seorang anak di Ulakan akan mengikuti suku ibunya.

Segala sesuatunya diatur menurut garis keturunan ibu. Tidak ada sanksi hukum yang jelas mengenai keberadaan sistem matrilineal ini, artinya tidak ada sanksi hukum yang mengikat bila seseorang melakukan pelanggaran terhadap sistem ini. Sistem ini hanya diajarkan secara turun temurun kemudian disepakati dan dipatuhi, tidak ada buku rujukan atau kitab undang-undangnya. Namun demikian, sejauh manapun sebuah penafsiran dilakukan atasnya, pada hakekatnya tetap dan tidak beranjak dari fungsi dan peranan perempuan itu sendiri.

pusaka suatu kaum dari kepunahan, baik rumah gadang, tanah pusaka dan sawah ladang.

Dalam sistem matrilineal perempuan diposisikan sebagai pengikat, pemelihara dan penyimpan, sebagaimana diungkapkan pepatah adatnya amban puruak atau tempat penyimpanan. Itulah sebabnya dalam penentuan peraturan dan perundang-undangan adat, perempuan tidak diikut sertakan. Perempuan menerima bersih tentang hak dan kewajiban di dalam adat yang telah diputuskan sebelumnya oleh pihak ninik mamak. Perempuan menerima hak dan kewajibannya tanpa harus melalui sebuah prosedur apalagi bantahan. Hal ini disebabkan hak dan kewajiban perempuan itu begitu dapat menjamin keselamatan hidup mereka dalam kondisi bagaimanapun juga. Semua harta pusaka menjadi milik perempuan, sedangkan laki-laki diberi hak untuk mengatur dan mempertahankannya.

Perempuan tidak perlu berperan aktif seperti ninik mamak. Perempuan minangkabau yang memahami konstelasi seperti ini tidak memerlukan lagi atau menuntut lagi suatu prosedur lain atas hak-haknya. Mereka tidak memerlukan emansipasi lagi, mereka tidak perlu dengan perjuangan gender, karena sistem matrilineal telah menyediakan apa yang sesungguhnya diperlukan perempuan.

Kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam adat Minangkabau berada dalam posisi seimbang. Laki-laki punya hak untuk mengatur segala yang ada di dalam perkauman, baik pengaturan pemakaian maupun pembagian harta pusaka. Perempuan sebagai pemilik dapat mempergunakan semua hasil itu untuk keperluannya anak beranak.

Peranan laki-laki di dalam dan di luar kaumnya menjadi sesuatu yang harus dijalankannya dengan seimbang dan sejalan. Adapun peranan laki-laki di minangkabau terbagi atas:

Sebagai Kemenakan

Di dalam kaumnya seorang laki-laki berawal sebagai kemenakan. Sebagai kemenakan dia harus mematuhi segala aturan yang ada di dalam kaum. Belajar untuk mengetahui semua aset kaumnya dan semua anggota keluarga kaumnya. Oleh karena itu, ketika seseorang berstatus menjadi kemenakan, dia selalu disuruh ke sana ke mari untuk mengetahui segala hal tentang adat dan perkaumannya. Dalam kaitan ini, peranan surau menjadi penting, karena surau adalah sarana tempat mempelajari semua hal itu baik dari mamaknya sendiri maupun dari orang lain yang berada di surau tersebut. Dalam menentukan status kemenakan sebagai pewaris sako dan pusako.

anak kemenakan dikelompokan menjadi tiga kelompok: a. Kemenakan di bawah daguak

Kemenakan di bawah daguak adalah penerima langsung waris sako dan pusako dari mamaknya

b. Kemenakan di bawah pusek

Kemenakan di bawah pusek adalah penerima waris apabila kemenakan di bawah daguak tidak ada (punah).

c. Kemenakan di bawah lutuik

Kemenakan di bawah lutuik, umumnya tidak diikutkan dalam pewarisan sako dan pusako kaum.

Sebagai Mamak

Pada giliran berikutnya, setelah dia dewasa, dia akan menjadi mamak dan bertanggung jawab kepada kemenakannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, tugas itu harus dijalaninya. Dia bekerja di sawah kaumnya untuk saudara perempuannya anak- beranak yang sekaligus itulah pula kemenakannya. Dia mulai ikut mengatur, walau tanggung jawab sepenuhnya berada di tangan mamaknya yang lebih tinggi, yaitu penghulu kaum

Sebagai Penghulu

Selanjutnya, dia akan memegang kendali kaumnya sebagai penghulu. Gelar kebesaran diberikan kepadanya, dengan sebutan datuk. Seorang penghulu berkewajiban menjaga keutuhan kaum, mengatur pemakaian harta pusaka. Dia juga bertindak terhadap hal-hal yang berada di luar kaumnya untuk kepentingan kaumnya. Setiap laki- laki terhadap kaumnya selalu diajarkan; kalau tidak dapat menambah (maksudnya harta pusaka kaum), jangan mengurangi (maksudnya, menjual,menggadai atau menjadikan milik sendiri). Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa peranan seorang laki-laki di dalam kaum disimpulkan dalam ajaran adatnya:

Tagak badunsanak mamaga dunsanak Tagak basuku mamaga suku

Tagak ba kampuang mamaga kampuang Tagak ba nagari mamaga nagari

Peranan Laki-laki di Luar Kaum

Selain berperan di dalam kaum sebagai kemanakan, mamak atau penghulu, seorang anak lelaki setelah dia kawin dan berumah tangga, dia mempunyai peranan lain sebagai tamu atau pendatang di dalam kaum isterinya. Artinya di sini, dia sebagai duta pihak kaumnya di dalam kaum istrinya, dan istri sebagai duta kaumnya pula di dalam kaum suaminya. Satu sama lain harus menjaga kesimbangan dalam berbagai hal, termasuk perlakuan-perlakuan terhadap anggota kaum kedua belah pihak. Di dalam kaum istrinya, seorang laki-laki adalah sumando (semenda). Sumando ini di dalam masyarakat Minangkabau dibuatkan pula beberapa kategori;

a. Sumando ninik mamak

Artinya, sumando yang dapat ikut memberikan ketenteraman pada kedua kaum; kaum istrinya dan kaumnya sendiri. Mencarikan jalan keluar terhadap sesuatu persoalan dengan sebijaksana mungkin. Dia lebih berperan sebagai seorang yang arif dan bijaksana.Sikap ini yang sangat dituntut pada peran setiap sumando di minangkabau.

b. Sumando kacang miang

Artinya, sumando yang membuat kaum istrinya menjadi gelisah karena dia memunculkan atau mempertajam persoalan-persoalan yang seharusnya tidak dimunculkan.Sikap seperti ini tidak boleh dipakai.

c. Sumando lapik buruk

Artinya, sumando yang hanya memikirkan anak istrinya semata tanpa peduli dengan persoalan-persoalan lainnya. Dikatakan juga sumando seperti seperti itu

sumando apak paja, yang hanya berfungsi sebagai tampang atau bibit semata. Sikap seperti ini juga tidak boleh dipakai dan harus dijauhi. Sumando tidak punya kekuasan apapun di rumah istrinya.

2.3 Letak Geografis Nagari Ulakan

Nagari Ulakan sebagai sebuah wilayah pemerintahan terendah memiliki batas- batas sebagai berikut: Sebelah Utara berbatas dengan Kecamatan Nan Sabaris Pauh Kambar. Sebelah Selatan berbatas dengan Kecamatan Batang Anai Pasar Usang. Sebalah Barat berbatas dengan Samudera Indonesia. Sebelah Timur berbatas dengan Kecamatan Perwakilan Lubuk Alung di Sintuk.

Letaknya yang begitu srategis menjadikan daerah ini sebagai jalur perlintaskan bagi orang yang akan menuju Ibu Kota Kabupaten Padang Pariaman. Lebih-lebih lagi, jalur jalan sebagai penghubung antara daerah sekitarnya cukup baik dan beraspal, sehingga arus transportasi antar daerah relatif lancar dan mudah dijangkau dari berbagai tempat. Nagari Ulakan mempunyai luas wilayah 4.150 Ha yang terdiri dari tanah persawahan 1.810 Ha, sawah tadah hujan/ladang 652 Ha, perkebunan rakyat 823 Ha, perumahan dan prasarana sosial 777 Ha, jalan 57 Ha dan laim-lain 33 Ha.

Penduduk kecamatan Ulakan Tapakis berjumlah 18.497 orang yang terdiri dari

Dokumen terkait