BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS
B. Penyajian Data dan Analisis
3. Letak Geografis
Secara geografis, letak IAIN Jember berada cukup strategis untuk dijadikan sebagai tempat lembaga perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan berada dipinggir jalan tepatnya di Jalan Mataram No. 1 Mangli Jember, tepat di belakang Polsek Kaliwates yang jalanannya tidak terlalu ramai dan suasana yang kondusif. Lembaga ini memiliki pagar yang mengelilingi gedung IAIN serta terdapat beberapa petugas keamanan yang menjaganya.
tidak dapat dipisahkan dengan ‘media massa’. Teknologi yang semakin maju, cara berkomunikasi yang beragam, serta semakin boomingnya sosial media menjadi salah satu contoh nyata perkembangan dalam dunia komunikasi. Berdasarkan data yang diperoleh peneliti melalui wawancara dengan mahasiswa, terdapat beberapa sifat yang menjadi pola komunikasi mahasiswa dalam interaksinya secara virtual, diantaranya adalah:
a. Bersifat terbuka (open mindedness)/suasana yang nyaman
Sikap terbuka sangat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan komunikasi yang efektif. Perasaan bebas dan nyaman ini diungkapkan oleh Anis Fuadah (21). Anis adalah mahasiswa Muamalah yang baru menginjak semester 5. Ia menyatakan bahwa berkomunikasi secara virtual membuatnya merasa nyaman, bebas, dan leluasa.
“Saya lebih merasa nyaman pakai media. Soalnya aku pemalu mbak, jadi aku merasa nyaman, bebas dengan menggunakan media karena lebih leluasa. Tujuan saya menggunakan jejaring sosial pun selain buat berinteraksi, juga buat bersilaturrahim dengan temen-temen yang jauh mbak. Juga lagi ngikutin trend yang ada, upload-upload foto, dan lain-lain.”5
Hal serupa juga dirasakan oleh Istiqomatul Muslimah (21).
Mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa Arab ini mengaku lebih menyukai komunikasi bermedia karena dapat memperbanyak teman maupun jaringan.
“Saya suka bermedia, karena ya biar, yang pertama kita biar terus update, kedua, menambah teman, menambah jaringan, terus yang ketiga buat eksistensi diri agar banyak yang mengenal, apalagi manfaatnya buat sebagai alat untuk menjual
5 Anis Fuadah, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 02 September 2015 jam 14.30.
olshop, transaksi jual beli, salah satunya saya menjual kerudung lewat media.”6
Dina Khusniah (21) mahasiswa prodi Muamalah juga mengaku dalam berkomunikasi lebih nyaman dan efisien bermedia (virtual).
“Sebenernya lebih enak berkomunikasi secara langsung ya, cuman untuk kenyamanan dan keefisienan berkomunikasi itu melalui sosial media lebih baik.”7
Pendapat lain juga mengatakan hal yang serupa, seperti dinyatakan oleh Emilia Hasanah (22) mahasiswa prodi Pendidikan Agama Islam. Ia mengatakan bahwa sebenarnya komunikasi bermedia itu dirasa lebih enak dikarenakan lebih leluasa dalam berpikir.8
b. Verbalitas tulisan
Komunikasi secara virtual mengandalkan tulisan sebagai bentuknya, sehingga hal ini sangat disukai oleh mereka yang menggemari tulis-menulis daripada langsung lewat suara. Hal ini dirasakan oleh Jumu’ati (23) mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam. Menurutnya, ia lebih dapat mengekspresikan feelnya menggunakan tulisan.
“Kalau saya lebih suka lewat media, karena saya lebih enak ngeluarin unek-unek, pokoknya yang mau diomongin itu semuanya tanpa ada rasa malu atau gak enak.”9
6 Istiqomatul Muslimah, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 02 September 2015 jam 18.00.
7 Dina Khusniah, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 02 September 2015 jam 18.10.
8 Emilia Hasanah, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 02 September 2015 jam 16.00.
9 Jumu’ati, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 02 September 2015 jam 16.11.
Karena berbasis teks, hal ini memudahkan informasi karena dapat mendeskripsikannya secara detail, jelas dan praktis.
“Mempermudah kita dalam berkomunikasi, lebih hemat, lebih cepat, apalagi buat bertransaksi, dalam hal ini jualan online itu enak banget.”10
Selain pendeskripsian informasi yang detail, komunikasi bermedia ternyata dapat membuat obrolan cukup mengalir. Pernyataan tersebut diungkapkan Lailatul Istiqlaliah yang menyatakan bahwa komunikasi bermedia (jejaring sosial) membuat percakapan semakin fleksible dan nyaman digunakan.11 Bahkan hanya dengan pesan singkat berbasis teks, seseorang tetap dapat menyambung tali silaturrahmi kepada sesamanya.
c. Terdapat jeda waktu
Komunikasi virtual mempunyai jeda waktu yang memungkinkan komunikasi pelakunya tertunda sesaat. Misalnya saja, jika seseorang mengirimkan teks message kepada temannya, namun belum ada balasan karena si teman tadi sedang mandi atau pergi ke suatu tempat.
“Sebenarnya kalo komunikasi itu lebih enak bicara langsung, soalnya kalo media itu sangat terbatas, sedangkan kalo langsung itu tidak terbatas oleh waktu bisa kapan aja, bisa berjam-jam itu terserah kita,” 12 ungkap Ani’matul Hoiro (23) mahasiswa Pendidikan Agama Islam.
Menurut Debi Nurmatuz Zahro (20) mahasiswa prodi Perbankan Syari’ah, komunikasi bermedia beresiko tertunda (delay). Ia
10 Jumu’ati, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 02 September 2015 jam 16.11.
11 Lailatul Istiqlaliah, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 02 September 2015 jam 16.00.
12 Ani’matul Hoiro, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 02 September 2015 jam 16.00.
mengatakan bahwa komunikasi bermedia sangat beresiko tertunda karena memungkinkan si penerima pesan sedang tidak ada di tempat atau dikarenakan disibukkan dengan aktifitas lain. 13 Komukasi bermedia juga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu sebagian orang hanya bisa berkomunikasi lewat media ketika paket internet atau wifi dalam mode on. Pendapat tersebut diungkapkan Titik Ismiyati. Menurutnya, penggunaan komunikasi bermedia jarang ia lakukan karena biaya yang cukup mahal. Oleh karena itu biasanya ia hanya dapat mengakses jejaring sosial satu minggu sekali hingga satu bulan sekali, tidak terkecuali jika terdapat signal wifi.14
d. Kekaburan fisik, dan emosi
Dalam komunikasi virtual, pelaku komunikasi tidak dapat melihat secara langsung keadaan fisik, dan emosi lawan bicaranya.
Hal inilah yang membuat nyaman para mahasiswa untuk saling berinteraksi dan bertukar informasi.
“Saya lebih enak pakai media. Karena lebih greget kan enggak tak langsung leat wajahnya, jadi gik mikir kira-kira gimana ekspresinya, engak sek dokrema gitu, lebur dah (seperti yang kayak bagaimana begitu, red),”15 tutur Ita Syarofah (21) mahasiswa Muamalah.
Menurut sebagian orang, komunikasi virtual dapat mengurangi rasa nerveous ataupun canggung saat berbicara dengan lawan bicara.
Ungkapan tersebut diakui Emil. Menurutnya, jika berkomunikasi
13 Debi, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 02 September 2015 jam 17.00.
14 Titik Ismiyati, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 02 September 2015 jam 16.00
15 Ita Syarofah, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 02 September 2015 jam 19.00.
secara langsung terkadang terdapat rasa minder, canggung, dan semacamnya. Ia menambahkan bahwa bermedia itu lebih bersifat santai, dan nyaman. Hal serupa juga diakui Laila (22), ia mengatakan, komunikasi secara langsung membuatnya merasa grogi dan takut salah menyampaikan pesannya.
“Eem, kalo face to face itu sering grogi kalo mau ngomong itu takut salah, takut itu, sedangkan kalo lewat media, seperti sms, atau chatting itu kan kita bisa merancang apa yang akan kita ucapkan, kita lontarkan.”
e. Internetholic
Internetholic (kecanduan internet atau menjadi multikepribadian): ketidakmampuan sistem psikis beradaptasi dengan lingkungan. Pilihan sistem untuk menseleksi tergantung dari nilai dan norma (struktur) internal sistem psikis pengguna internet sebagai amunisi kerja internalnya. Berdasarkan data yang didapat oleh peneliti, 10 dari 15 narasumber, mengaku menjadi internetholic, artinya dalam sehari mereka tidak dapat menghitung berapa kali telah mengakses internet. Hal ini diungkapkan oleh Weny Rosalina (22) mahasiswa prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam.
“Kalo saya sangat sering, saya bisa menilai diri saya sendiri kalo saya ini tergolong over, apalagi saat sendiri pengennya terus komunikasian sama temen-temen.”16
Laila juga mengaku sebagai pecandu internet, bahkan sikapnya kerap kali ditegur oleh teman-temannya. Karena sikapnya itulah yang
16 Weny Rosalina, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 02 September 2015 jam 21.00.
membuat teman-temannya merasa jengkel kepadanya, bahkan merasa diacuhkan saat bicara dengannya.
“Hahaha,, ini contohnya saya sendiri mbak, biasanya saya sama temen-temen didemo gara-gara kalo saya sudah pegang handphone,,, temen-temen pada ngomong ke saya. Waah kalo si lala sudah pegang hape, jangan diomongin deh, sampek bilang gitu. Soalnya gini, sudah fokus sama bbmnya itu, sampek ndak saya hiraukan...”
Seorang internetholic, lebih cenderung tidak menghiraukan lingkungan sekitarnya. Bahkan ketika sudah asyik dengan akun jejaring sosial seperti facebook, BBM, dan WhatsApp, terkadang seseorang menjadi lupa berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan sekitar. Aktifitas meng-update status, saling berkomentar, dan lain-lain, dapat membuat larut seseorang untuk berlama-lama menggunakan jejaring sosial yang pada akhirnya membuat lupa akan berinteraksi dengan orang-orang lingkungan sekitar. Hal inilah yang dialami Weny (22).
“Yang jelas itu ya kesel, segitu fokusnya sama sosmed sampek suaraku yang cukup keras seperti angin saja. Tetapi terkadang aku juga begitu sih.”
Berdasarkan uraian di atas, pola komunikasi mahasiswa IAIN Jember dalam interaksi virtual lebih cenderung cair, terbuka, bebas dan nyaman. Hal ini dikarenakan komunikasi virtual lebih menonjolkan sisi tulisan, dan terdapat jeda waktu yang memungkinkan penerima pesan tidak dapat langsung melontarkan umpan balik. Selain itu, dalam komunikasi virtual seseorang tidak
dapat melihat secara langsung (kabur) fisik dan emosi lawan bicaranya, karena memang dilakukan di ruang virtual.
2. Pola komunikasi mahasiswa IAIN Jember dalam interaksi faktual.
Fenomena komunikasi melalui internet sekarang ini bagi sebagian orang tampaknya lebih menarik daripada berkomunikasi secara langsung tatap muka (face to face). Gejala inilah yang oleh Walther (1996) disebut sebagai komunikasi hiperpersonal, yakni komunikasi dengan perantara internet yang secara sosial lebih menarik daripada komunikasi langsung.
komunikasi hiperpersonal pun disinyalir akan mampu menciptakan keakraban, bahkan keintiman di antara partisipannya. Hanya saja keintiman yang terjalin belum tentu bersesuaian antara yang terjadi dalam realitas dunia maya (hiperrealitas) dengan realitas yang sesungguhnya.17 Berdasarkan data yang diperoleh peneliti melalui wawancara dengan mahasiswa, terdapat beberapa sifat yang menjadi pola komunikasi mahasiswa dalam interaksinya secara virtual, diantaranya adalah:
a. Besifat tertutup/suasana yang kaku
Keakraban atau keterbukaan satu sama lain merupakan pemenuhan kebutuhan akan kasih sayang. Suatu komunikasi akan terpelihara dengan baik, apabila kedua belah pihak mampu merespon untuk terbuka satu sama lain (konfirmasi dan diskonfirmasi).
Konfirmasi menurut Sieburg dan Larson adalah “any behavior that cause another person to value himself more”. Sebaliknya diskonfirmasi
17 Desy Kurniasari, Jejaring Sosial Menggantikan Komunikasi Face to Face,
http://deziechelsealovers.blogspot.com/2013/05/jejaring-sosial-menggantikan-komunikasi.html diakses pada tanggal 03 September 2015 jam 05.34.
adalah “behavior that cause a person to value himself less” Jadi, suatu konfirmasi akan memperteguh hubungan interaksi atau komunikasi, sedang diskonfirmasi akan merusaknya.18 Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan, komunikasi yang terjadi antara mahasiswa IAIN Jember dalam interaksi faktualnya lebih cenderung kaku, tidak merasa bebas dalam komunikasinya sehari-hari. Hal ini diungkapkan oleh Jumani Nur Diniyah (19).
“Saya merasa kurang nyaman, kurang leluasa dalam berpikir apabila saya langsung tatap muka. Kalau menggunakan media saya rasa lebih enak gitu.”19
Hal serupa juga dialami oleh Lailatul Istiqlaliah (22) mahasiswa prodi Muamalah. Ia mengatakan bahwa komunikasi secara langsung (face to face) sering membuatnya grogi, apalagi yang menjadi lawan bicaranya adalah orang yang disegani.
“Eeem, kalo face to face itu seringkali grogi kalau mau ngomong itu takut salah, takut itu, sedangkan kalo lewat media, seperti sms, atau chatting itu kan kita bisa merancang apa yang akan kita ucapkan, kita lontarkan.”
Komunikasi langsung bagi sebagian orang mampu membuat perasaan yang canggung, apalagi jika melihat kedudukan seseorang tersebut. Sikap tawadhu’ dapat membuat seseorang merasa tidak nyaman ketika akan mengungkapkan gagasannya. Pendapat tersebut diakui Weny yang mengatakan bahwa ia merasa canggung untuk berkomunikasi dengan dosen pembimbingnya.
18 Nurhasanah, Bab II Kajian Pustaka, http://digilib.upnjatim.ac.id/files/disk1/3/jiptupn-gdl-nurhasanah-140-3-babii.pdf diakses pada tanggal 24 Agustus 2015 jam 15.11.
19 Jumani Nur Diniyah, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 02 September 2015 jam 10.00.
b. Verbalitas suara
Didalam komunikasi langsung lebih mengandalkan suara lisan untuk memperjelas apa yang dikomunikasikan. Ketika seseorang berhadapan langsung, maka dapat dipastikan kejelasan fisik, emosi, bahkan sisi sensitifnya akan mudah tampak. Dalam hal ini, suaralah yang mendominasi pesan yang akan disampaikan kepada penerima pesan. Kejelasan suara mampu membuat seseorang merasa nyaman dalam berkomunikasi. Pernyataan ini diungkapkan oleh Lia Tri Desi (19) mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam.
“Saya lebih merasa nyaman dan lebih nangkep bila komunikasi dilakukan secara langsung, dalam hal ini saling berhadapan satu sama lain. Soalnya ndak ada rasa canggung ataupun ndak enak ketika langsung melihat lawan bicaranya.”20
Karena bentuknya yang lebih dominan dengan suara sebagai penjelas isi pesan, tidak jarang komunikasi langsung dilakukan sembari menjalankan aktifitas lainnya. Layaknya sebuah media penyiaran seperti radio, yang dapat didengarkan sambil menjalankan aktifitas lainnya, maka komunikasi secara langsung yang didominasi oleh suara juga dapat dilakukan sembari melakukan aktifitas lainnya.
Namun hal inilah yang menjadi pendapat miring bagi sebagian besar kalangan masyarakat terutama mahasiswa. Sebab dengan mengandalkan suara yang dapat didengarkan sembari menjalankan aktifitas lainnya, membuat penyampai pesan seolah-olah tidak dihiraukan dan diperhatikan ketika komunikasi berlangsung.
20
Lia Tri Desi, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 02 September 2015 jam 15.00.
“Ya, saya sering dicuekin gara-gara temen-temen lebih asyik ke sosmed mereka sendiri. Yaa, saya juga mengaca pada diri saya sendiri ya, kadang-kadang saya juga sering begitu, kalo temen lagi ngomong, dan saya lagi asyik dengan media saya, ya saya cuekin,” aku Istiqomatul Muslimah (21).
Hal serupa juga diungkap oleh Ani’matul Hoiro (23) ketika tengah asyik berbicara dan lawan bicaranya tengah asyik dengan dunianya sendiri. Ia menjadi kesal akan sikap lawan bicaranya yang asyik dengan dunianya sendiri tanpa memperhatikan apa yang disampaikan oleh penyampai pesan.
“Ya pernah, ya sedikit kesal. Setidaknyalah kalo kita bicara langsung, dan salah satu dari kita ndak menghiraukan dalam artian repot sendiri dengan dunia mereka, kayak pembicaraan dengan mereka itu seolah-olah kosong, ndak ada apa-apanya.”
c. Real Time
Komunikasi langsung mempunyai sifat yang real time, sehingga tidak terbatas oleh waktu, dan dapat dilakukan oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Hal ini diungkapkan oleh Debi Nurmatuz Zahro (20) mahasiswa prodi Perbankan Syari’ah. Ia mengatakan bahwa komunikasi secara langsung lebih ia sukai dikarenakan langsung dapat menerima umpan balik (undelayed message), selain itu terdapat kejelasan pesan. Menurut sebagian orang, dalam komunikasi langsung lebih cenderung digunakan untuk berkomunikasi dengan orang-orang terdekat.
“Kalau menurutku, seperti yang dekat dengan kita di dalam kota itu lebih enakan face to face. Sedangkan kalo di luar kota kan ndak mungkin kita harus mendatangi mereka dulu,” terang Hoiro.
d. Kejelasan fisik, dan emosi
Kejelasan fisik, emosi dapat diketahui secara langsung bila menggunakan komunikasi faktual (face to face). Hal inilah yang membuat sebagian kecil mahasiswa lebih memilih komunikasi langsung daripada komunikasi virtual. Seperti yang diungkapkan oleh Farda Indi Masruroh (22) mahasiswa prodi Pendidikan Agama Islam.
“Kalau saya terus terang lebih suka tatap muka atau langsung ya, karena jelas, kalaupun bohong itu kelihatan dari mukanya.”21 Kejelasan fisik lawan bicara menjadi salah satu indikasi atau dapat dijadikan tolak ukur bahwa seseorang tersebut berbohong atau tidak dalam berkomunikasi. Spektrum mengatakan kebohongan sangatlah luas, mulai dari tidak mengerjakan pekerjaan rumah hingga
‘kebohongan basa-basi’ dalam merespon pertanyaan seperti ‘apakah menurutmu suaraku bagus saat aku menyanyi tadi’. Kebohongan dijumpai pula dalam berbagai rapat negosiasi bisnis model standar hingga dalam urusan-urusan besar menyangkut penyelenggaraan negara.22 Menurut Zaqiya (22) mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam, kejelasan informasi dapat diperoleh melalui komunikasi langsung.
“Ya, enakan komunikasi langsung, karena lebih jelas. Tetapi untuk hal-hal lain, bermedia juga perlu.”23
21 Farda Indi Masruroh, Wawancara, Jember. Pada hari Rabu 19 Agustus 2015 jam 14.39.
22 James Borg, Pintar Membaca Bahasa Tubuh, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), cet.ke-1, hal. 222.
23 Zaqiya, Wawancara, Jember. Pada hari Minggu 06 Sepetember 2015 jam 14.11.
Sependapat dengan Zaqiya, Titik Ismiyati (20) mahasiswa prodi Pendidikan Agama Islam mengaku lebih enjoy dengan komunikasi langsung.
e. Individualisme
Komunikasi yang dilakukan secara virtual cenderung membuat seseorang lebih suka menyendiri. Hal inilah yang dapat mengurangi komunikasi secara langsung dalam kehidupan sehari-hari yang tanpa disadari dengan sendirinya membentuk kerenggangan dalam hubungan sosial dan kualitas dalam kepekaan sosial juga akan tumpul karena terlalu seringnya menggunakan perantara (virtual).
“Raja atau ratu sosmed akan memecah dua perhatiannya ke ponsel dan obrolan langsung. Banyak saya menemui anak-anak yang mendadak “lola” saat memegang handphone karena mereka nggak fokus. Bahkan ada yang mengatakan handphone itu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat, dan menurutku itu sangat benar,” ungkap Weny.
Farda juga mempunyai pandangan yang sama tentang sikap individualisme mahasiswa dalam kehidupan nyata. Ia menyatakan, seorang yang lebih menyukai komunikasi bermedia cenderung lebih suka menghabiskan waktunya dengan dunianya. Farda juga menambahkan, sikap individualisme sering kali membuat orang lain tersakiti.
“Pernah sih, sebenarnya kesel banget. Tapi ya buat kesadaran kita masing-masinglah bagaimana kita ndak terlalu tergantung dengan sosmed, menggunakannya itu sesuai kebutuhan saja, jadi jangan sampai itu melukai perasaan orang lain. Gunakanlah sesuai situasi dan kondisi."
Berdasarkan uraian di atas, pola komunikasi mahasiswa IAIN Jember dalam interaksi faktual lebih cenderung kaku, tidak merasa bebas dalam komunikasinya sehari-hari. Selain itu, komunikasi ini lebih real time, lebih menonjol pada aspek suara, serta mampu melihat secara jelas fisik dan juga emosi dari lawan bicara tanpa ada suatu hijab yang menutupinya.
Kajian data di atas jika dikaitkan dengan teori determinisme teknologi pemikiran Marshall McLuhan, yang mengatakan bahwa penemuan atau perkembangan teknologi telah mampu mengubah kebudayaan manusia, dimana budaya itu sendiri dibentuk dari bagaimana cara berkomunikasi, maka selaras dengan cara berkomunikasi masyarakat saat ini. Menurut Luhan, perkembangan teknologi komunikasi akan memicu dunia ini menjadi sebuah global village. Konsep yang dijelaskan oleh Luhan memaparkan bahwa tidak ada lagi pembatasan, baik dari sisi waktu maupun tempat dalam berkomunikasi. Dari perkembangan jaringan, perkembangan perangkat dan jejaring sosial yang muncul di dalam perkembangan teknologi, secara otomatis hal ini juga mengubah bagaimana masyarakat bertindak, dan berkomunikasi dengan sesamanya di dunia nyata.