• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENGETAHUAN LOKAL DALAM CARA PENANGKAPAN

4.1 Penyangkulen

Penyangkulen berasal dari bahasa Gayo, diambil dari kata dasar cangkul yang

merupakan bagian utama dari penyangkulen(cangkul yang dimaksud disini bukan cangkul; dalam bahasa Indonesia). Teknik penangkapan ikan Depik ini terbagi dari beberapa bagian yaitucangkul,penuet, dan paruk.Cangkul adalah jaring yang berukuran panjang 4 m dan lebar 4 m , cangkul ini berfungsi sebagai penangkap ikan Depik.

Cangkul atau jaring terbuat dari benang yang memiliki serat yang lebih besar dari pada

Penuet adalah bambu yang berukuran 4,5 m atau 5 m, penuet berfungsi sebagai pengangkat jaring. Paruk adalah empat batang bambu yang sudah diraut, paruk berfungsi untuk pengikat jaring dan sebagai penghubung antara cangkul dan penuet. Penyangkulen biasanya dibuat 4 sampai 5 meter dari pinggir danau. berikut penuturan dari seorang informan bernama Aman Nani berumur 63 tahun.

“Ukuran penyangkulen dua.. lebar dua meter panjang tiga meter dari pinggir ke tengah empat sampai lima meter tergantung tempat ya… Penuet yang sudah disediakan ukuran empat setengah hampir lima meter untuk mengangkat jaring penuet namanya. Paruk bambu yang sudah diraut sebanyak empat biji yang ukurannya empat meter, untuk tempat jaring tempat pengikat bawahnya tu. Jaring terbuat dari benang yang besar lubangnya setengah centi panjang empat meter lebar empat meter. Dia musti empat persegi, penuet, parok, jaring kalo disatukan namanya cangkul.”

Di tempat penyangkulen biasanya disediakan sebuah rumah (umah; dalam bahasa Gayo), dengan ukuran panjang 3 m dan lebar 2 m. Bentuk rumah ini sangat sederhana dan semua bahan bangunannya terbuat dari papan kayu. Rumah ini berfungsi sebagai tempat peristirahatan bagi nelayan, tempat peyimpanan makanan dan sebagai pelindung nelayan dari hujan dan angin kencang. Rumah penyangkulen sangat penting bagi nelayan ikan Depik, karena jam kerja nelayan yang tidak menentu dan disertai iklim yang tidak menentu pula, serta rumah ini juga sebagai tempat jaga agar ikan yang sudah di cangkul tidak dicuri oleh orang lain. Apalagi ikan Depik hanya datang saat angin kencang disertai hujan serta gelombang air danau yang besar. Seperti yang diutarakan oleh informan bernama Aman Nani berumur 63 tahun, berikut penuturannya:

“Nggak tentu dia jamnya, kadang malam… kadang-kadang jam empat (sore) kadang-kadang pagi. Itu sebabnya ini rumah ini, tempat jaga.”

Rumah penyangkulen ini ibarat rumah yang ada di tengah sawah atau di ladang dan hampir memiliki fungsi yang sama. Didalam rumah penyangkulen ini biasanya juga

disediakan tempat muniru (perapian), tempat perapian ini sangat sederhana hanya sepetak tempat untuk membakar kayu. Muniru ini berfungsi untuk menghangatkan tubuh ketika suhu udara dalam keadaan dingin. Berhubung suhu udara di daerah danau rendah, apalagi pada malam hari suhu udara bisa mencapai 16°-19°C. Tempat muniru biasanya berukuran tidak besar sekitar setengah meter, dan dibuat berbentuk kotak.

Rumah ini menyatu dengan penyangkulen dan hanya dipisah oleh lepo (teras), di teras inilah peralatan cangkul diletakkan. Biasanya di bawah lepo dekat dengan

penyangkulen digantung alat penerang yaitu rime (petromak) berbahan bakar minyak

tanah masyarakat lokal menyebutnya dengan “minyak lampu”. Rime digunakan apabila aktivitas penangkapan ikan Depik dilakukan pada malam hari, fungsi dari rime yang dimaksud bukan sebagai penerang bagi nelayan melainkan sebagai penarik perhatian dari ikan Depik. karena berdasarkan dari informasi yang didapat mengatakan bahwa ikan Depik suka dengan cahaya matahari. Maka lampu rime digunakan sebagai manipulasi dari cahaya matahari, berikut penuturan dari seorang informan bernama Aman Nani berumur 63 tahun:

“Khusus penangkapan itu, jika malam hari harus dipasang lampu kecil yang disebut lampu rime namanya karena ikan depik suka sama terang atau cahaya. Lampu rime dipasang di bawah teras dekat dengan air aaa…”

Berikut adalah gambar ilustrasi dari penyangkulen yang dibuat sendiri oleh peneliti, ilustrasi ini dibuat bertujuan untuk menjelaskan bentuknya dan karena

penyangkulen sudah tidak ditemukan lagi di sekitar Danau Laut Tawar, sehingga peneliti

tong tempat ikan penuet

paruk

jaring umah/rumah lepo lampu rime

Gambar 4.1 ilustrasi penyangkulen

4.1.1 Keunggulan Hasil Penangkapan dari Teknik Penyangkulen

Hasil tangkapan yang diperoleh melalui teknik penyangkulen terlihat pada ikan Depik yang diperoleh, secara fisik ikan yang didapat tidak cacat dan di tubuh ikan Depik sering didapati telurnya yang masih utuh. Karena ikan Depik yang ditangkap dengan menggunakan doran (jaring) biasanya dalam kondisi fisik yang tidak baik seperti perut yang pecah. Sedangkan hasil ikan Depik dengan menggunakan cara dedesen biasanya jarang ditemui telur ikan yang terdapat pada tubuhnya, karena biasanya ikan Depik sudah bertelur (bahasa setempat telur ikan; pire) di dalam dedesen. Harga jual ikan Depik dari penyangkulen juga memiliki harga yang lebih tinggi dari pada yang lain. Seperti yang diutarakan oleh seorang informan bernama Aman Nani berumur 63 tahun.

“itulah kalo depik kenak cangkul tu mahal harganya telornya nggak ada keluar sampe segini, ko tengok waktu kita sayur.” (itulah kalau Ikan Depik yang tertangkap dengan cangkul tu mahal harganya telurnya tidak ada keluar sampai besar, kamu lihat waktu dimasak).

Sayangnya teknik penangkapan ikan Depik dengan cara penyangkulen ini sudah tidak digunakan lagi oleh nelayan ikan Depik. Ini disebabkan karena masuknya alat tangkap jaring, masyarakat lokal menyebutnya dengan doran. Hilangnya alat tangkap ini

maka hilang pula pengetahuan orang Gayo secara tidak langsung tentang penyangkulen seperti cara pembuatan penyangkulen.

Dokumen terkait