• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyebab Rendahnya Pemenuhan Elemen 1: Kebijakan dan Kepemimpinan

BAB V HASIL

C. Penyebab Rendahnya Nilai HSE Internal Control Proyek X PT Z Tahun 2014

1. Penyebab Rendahnya Pemenuhan Elemen 1: Kebijakan dan Kepemimpinan

Kepemimpinan

Berdasarkan telaah dokumen dari hasil laporan HSE Internal Control di proyek X PT. Z pada April 2014, diketahui bahwa terdapat delapan temuan yang menyebabkan rendahnya nilai pemenuhan di elemen 1: kebijakan dan kepemimpinan. Temuan-temuan tersebut tercantum pada Tabel 5.3 sebagai berikut:

Tabel 5.3 Temuan di Elemen 1: Kebijakan dan Kepemimpinan

Elemen 1

Kebijakan dan Kepemimpinan

1. Belum adanya bukti pemasangan kebijakan SMK3LL di area kerja dan/ atau bukti sosialisasi dalam lembar induksi

2. Belum adanya rencana pelaksanaan K3LL yang telah disetujui 3. Belum diajukannya struktur organisasi P2K3 atau Safety

Committee Organization di site

4. Belum adanya sosialisasi kebijakan perusahaan tentang K3LL 5. Belum ditentukannya objective/ target K3LL

7. Belum disusunnya job description untuk setiap personel karyawan

8. Belum adanya perwakilan manajemen khusus untuk melaksanakan SMK3LL di site

Sumber: Laporan HSE Internal Control Proyek X PT. Z tahun 2014 (PT. Z, 2014b) Berikut ini adalah penjelasan masing-masing unsur manajemen pada pemenuhan elemen 1: kebijakan dan kepemimpinan:

a. Manusia

Unsur manusia merupakan sumber daya manusia yang terlibat, meliputi jumlah pekerja dan kemampuan manajemen site dalam melaksanakan pemenuhan SMK3LL PT. Z di site untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Jika ditinjau dari jumlah pekerja pada proyek X PT. Z tahun 2014 diketahui tidak memiliki kelemahan. Hal ini diketahui berdasarkan telaah dokumen, jumlah pekerja di proyek X telah tersedia, seperti yang terdapat pada Tabel 5.4 berikut ini:

Tabel 5.4 Jumlah Pekerja pada Proyek X selama Tahun 2014

No. Bulan Jumlah Pekerja

(Orang) 1. Januari 0 2. Februari 458 3. Maret 311 4. April 313 5. Mei 301 6. Juni 495 7. Juli 420 8. Agustus 287 9. September 579 10. Oktober 473 11. November 545 12. Desember 530

Tidak adanya pekerja pada bulan Januari (0 orang) disebabkan karena belum dimulainya proyek X pada bulan tersebut. Kemudian terjadi peningkatan dan pengurangan jumlah pekerja dari bulan Februaari hingga Desember. Hal itu disebabkan karena lingkup pekerjaan di proyek X berbeda setiap bulannya, sehingga jumlah pekerja juga disesuaikan dengan lingkup pekerjaan yang sedang dikerjakan ketika itu.

Berdasarkan kutipan wawancara kepada informan utama 1 (IU1), jumlah pekerja yang ada di proyek X terdapat kurang lebih sebanyak 300 orang. Berikut kutipan wawancaranya:

“Banyak. Ya sekitar 300orang.” –(IU1)

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan dari informan utama 2 (IU2) yang mengatakan bahwa jumlah pekerja yang ada di lapangan telah tersedia. Begitu pula dengan jumlah pekerja yang mengerjakan proyek X dan jumlah pekerja yang bertugas sebagai petugas K3. Berikut kutipan wawancaranya:

“Yang di lapangan cukup.”–(IU2)

“Yang untuk mengerjakan project cukup.”–(IU2)

“HSE juga cukup.”–(IU2)

Berdasarkan telaah dokumen, struktur organisasi HSE di proyek X sebagai berikut (Gambar 5.2):

Sumber: HSE Management System Implementation Policy Rev: F PT.Z No. 8000- PL-01 (PT. Z, 2014c)

Gambar 5.2 Struktur Organisasi HSE di Proyek X

Penanggung jawab tertinggi pelaksanaan K3 di site adalah Project HSE Manager. Berdasarkan peraturan PT. Z yang tercantum dalam HSE Management System Implementation Policy Rev: F PT. Z No. 8000-PL-01, tugas utama dari seorang project HSE manager ialah memastikan terlaksananya sistem K3LL perusahaan di proyeknya, termasuk diantaranya pelaksanaan semua policy, procedure, dan HSE work instruction yang telah dibuat oleh corporate.

Jika ditinjau dari unsur manusia mengenai kemampuan manajemen site dalam melaksanakan pemenuhan elemen 1: kebijakan dan kepemimpinan pada proyek X PT. Z tahun 2014, masih terdapat kelemahan. Informan utama 1 mengatakan, pengetahuan tentang K3 yang dimiliki oleh manajemen site masih kurang. Berikut kutipan wawancaranya:

“Iyaa..pengetahuan tentang K3, untuk membangun suatu sistem K3 masih banyak yang kurang.” –(IU1)

Sementara itu, menurut informan kunci (IK), salah satu kriteria manajemen site yang baik ialah minimal ia mengerti tentang sistem, dalam hal ini mangenai SMK3, dan memiliki safety leadership yang baik. Berikut kutipan wawancaranya:

“Kalo itu kan udah ada di..sebenernya sih udah harusnya..ini ya,

standarnya perusahaan udah punya gitu ya, kalo saya sih, minimal dia mengerti sistem, sistem manajemen K3. Itu standar minimal ya, gitu. Dia tahu, mengerti, kemudian bagaimana cara implementasinya, kemudian dari sisi leadershipnya (safety leadership) dia bisa memberikan contoh kepada karyawan gitu, bahwa dia sebagai orang yang bertanggungjawab terhadap safety ya dia harus menunjukkan itu, gitu.”-(IK)

Kurangnya pengetahuan tentang K3 yang dimiliki oleh manajemen site ketika itu terbukti dengan ditemukannya lima temuan pada elemen 1 yang disebabkan karena ketidaktahuan manajemen site untuk melakukan pemenuhan tersebut. Lima temuan itu adalah: belum adanya bukti pemasangan kebijakan SMK3LL di area kerja dan/atau bukti sosialisasi dalam lembar induksi; belum diajukannya struktur organisasi Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) atau Safety Committee Organization di site; tidak adanya sosialisasi kebijakan perusahaan tentang K3LL; belum ditentukannya objective/ target K3LL; dan belum adanya perwakilan manajemen khusus untuk melaksanakan SMK3LL di site.

Temuan di elemen 1 berupa belum adanya bukti pemasangan kebijakan SMK3LL di area kerja disebabkan karena adanya kelemahan pada unsur manusia, yaitu belum di print dan dipajangnya

kebijakan K3 tersebut di area kerja. Berikut kutipan wawancara dengan IU1:

“Ooh..dia belum ngeprint, kemudian belum majang”– (IU1)

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan dari IU2 yang mengatakan bahwa dirinya belum membingkai dan menempelnya di area kerja. Berikut adalah kutipan wawancara dengan IU2:

“Jadi, pada waktu itu ada, cuma kan waktu itu kan...tidak

ditempel, dibingkai.., kan gitu. Jadi posisi kebijakan itu harusnya ditempel dan dipasang bingkai, ya waktu itu posisinya ada di

dalam folder, gitu”- (IU2)

Informan utama 1 menambahkan bahwa dengan adanya temuan seperti itu menandakan bahwa manajemen site kurang memiliki komitmen dalam melaksanakan SMK3LL di lapangan. Berikut kutipan wawancara dengan IU1:

“Yaa...kalo di sistem ISO itu kan kalo ada temuan kaya gitu

artinya kan menunjukkan kalo kita tuh sebagai level manajemen itu tidak komit. Manajemen site tidak komit. Buktinya apa? Ada

komitmen dari top manajemen dia tidak tampilkan, gitu”- (IU1)

Berdasarkan telaah dokumen, komitmen dari top manajemen yang dimaksud oleh IU1 tercantum dalam HSE Management System Implementation Policy Rev: F PT. Z No. 8000-PL-01 sebagai berikut (Gambar 5.3):

Sumber: HSE Management System Implementation Policy Rev: F PT.Z No. 8000- PL-01 (PT. Z, 2014c)

Gambar 5.3 Komitmen Top Manajemen PT. Z

Menurut IK, cara sosialisasi kebijakan K3 yang baik di site dapat dilakukan pada saat weekly meeting/ toolbox meeting atau ditempel di papan pengumuman. Berikut kutipan wawancara dengan IK:

“Sosialisasi pada saat weekly meeting, bisa, atau pada saat

meeting berkala, atau toolbox meeting boleh, kemudian bisa via email juga bisa, atau ditempel di papan pengumuman bisa. Apapun lah jenis komunikasi.”-(IK)

Temuan di elemen 1 berupa belum diajukannya struktur organisasi P2K3 atau Safety Committee Organization ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) setempat disebabkan karena adanya kelemahan pada unsur manusia, yaitu manajemen site ketika itu tidak mengetahui prosedur pengajuan hal tersebut. Berikut kutipan wawancara dengan IU1:

“Iya..jadi di proyek itu belum diajukan ke Disnaker setempat

karna ngga tahu prosedurnya”- (IU1)

Informan utama 1 juga menyayangkan mengapa pembentukan struktur organisasi P2K3 dan pengajuannya tidak dilakukan di awal ketika project itu baru berjalan. Sementara menurut IU2, manajemen site ketika itu sudah menunjuk tim sebagai Safety Committee namun belum berjalan normal, sehingga hal tersebut belum diajukan ke Disnaker setempat. Berikut kutipan wawancaranya:

“Iya..kesalahan dari manajemen, kesalahan dari orang safety nya juga”- (IU1)

“Pada saat 2014 itu kita memang baru menunjuk tim-tim untuk sebagai Safety Committee itu hanya untuk belum dapat kepercayaan gitu. Jadi baru setelah dilakukan audit internal, kita baru membuat itu. Jadi kalau, organisasi itu waktu itu memang belum berjalan normal di project nya”- (IU2)

Berdasarkan wawancara dengan IK, pembentukan struktur organisasi P2K3/ Safety Committee di site adalah wajib di suatu perusahaan dan merupakan bentuk pematuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Berikut kutipan wawancaranya:

Eh..kalo kita liat peraturan Permenaker nomor 487 ya, kan itu jelas bahwa setiap perusahaan wajib membentuk P2K3. Nah perusahaan itu yang seperti apa? Yang pertama adalah yang memiliki karyawan 100 orang atau lebih, yang kedua, kalau karyawannya kurang dari 100 orang, tapi dia memiliki risiko tinggi terjadi kebakaran, ledakan, dan sebagainya itu wajib membentuk P2K3. Artinya ya kalo kita mau comply SMK3 ya kita comply juga segala peraturan-peraturan pemerintah, dan kalau peraturannya memang sesuai sama kita gitu. Kalau misalnya karyawan kita kurang dari 100 orang tapi risiko kita tinggi yaa itu wajib, yaa harus disegerakan, gitu. Comply terhadap peraturan yang dari peraturan perundang-undangan,gitu”- (IK)

Temuan di elemen 1 berupa tidak terdapatnya bukti sosialisasi kebijakan perusahaan tentang K3LL disebabkan karena adanya kelemahan pada unsur manusia. Manajemen site mengakui bahwa ketika itu ia belum memahami bahwa kebijakan tersebut harus didokumentasikan. Pendokumentasian yang dimaksud adalah melakukan penyimpanan informasi baik dalam bentuk tulisan, gambar atau suara dalam setiap langkah prosedur yang dilaksanakan oleh pekerja. Sosialisasi kebijakan tersebut perlu didokumentasikan, salah satunya dengan menempel kebijakan perusahaan di area kerja. Berikut kutipan wawancaranya:

“Tidak, gini, jadi ada beberapa hal yang memang kita belum

sempet begitu pahami ya, yaitu bagian dari temuan project ya, diakui aja, memang kita belum prepare untuk memasang itu, gitu lho. Hanya dokumen-dokumen itu sudah ada tapi disosialisasi melalui induction, gitu”-(IU2)

Safety induction adalah sebuah latihan tentang keselamatan dan kesehatan kerja yang diberikan kepada pekerja, kontraktor ataupun para tamu yang baru pertama kali datang di lokasi perusahaan. Tujuan dari safety induction ini adalah untuk mengkomunikasikan bahaya- bahaya keselamatan dan kesehatan kerja umum yang terdapat selama pekerjaan/ kunjungan sehingga mereka bisa melakukan tindakan pengendalian terhadap bahaya tersebut.

Informan kunci (IK) menyatakan bahwa sosialisasi kebijakan dapat saja dilakukan dengan melalui induction, namun hendaknya tidak lupa untuk menyertakan bukti-bukti pelaksanannya misalnya daftar hadir atau materi yang disampaikan. Berikut kutipan wawancaranya:

“Ketika safety induction itu sebaiknya didokumentasikan misalnya lewat daftarhadirnya,materi apa yang disampaikan”- (IK)

Temuan di elemen 1 berupa belum ditentukannya objective/ target K3LL yang disetujui oleh top manajemen disebabkan karena adanya kelemahan pada unsur manusia. Menurut IU1, manajemen site belum menentukan objective/ target K3LL karena mereka tidak mengetahui target-target yang ditetapkan PT. Z. Berikut kutipan wawancaranya:

“Iya karna dia ngga tahu target-targetnya PT. Z”- (IU1)

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan IU2 yang mengatakan bahwa manajemen site tidak mengetahui target-target yang ditetapkan dari home office. Menurutnya, hal itu terjadi karena pihak home office tidak mensosialisasikan target-target K3LL ke site. Berikut kutipan wawancaranya dengan IU2:

“Kalau bicara masalah target K3 yang diluncurkan dari home office itu memang ngga ada karna memang yang harus mengkomunikasikan kan HO, harusnya. Jadi posisinya gini, pada saat itu, HO tidak mensosialisasikan hal-hal yang memang harus dilakukan HSE site. Jadi, kita mengadopsi apa yang ada di client.”- (IU2)

Sementara, informan pendukung (IP2) menjelaskan bahwa alasan pihak home office ketika itu tidak mensosialisasikan target K3 ke site dikarenakan manajemen site proyek X ketika itu bukanlah orang yang ditunjuk dari PT. Z, melainkan orang yang ditunjuk sendiri oleh PT.ABC. Sehingga pihak home office pun enggan memberikan dokumen-dokumen perusahannya ke site. Berikut kutipannya:

“Ya cuman kan ngga semua data corporate itu dikirim kesana kan. Awalnya mereka minta dokumennya corporate:

prosedurnya, policy-nya. Cuman ngga boleh-lah dari PT. Z orang dia kan bukan orang PT. Z”- (IP2)

Kemudian pernyataan tersebut diperkuat oleh informan pendukung 1 (IP1) yang menyatakan bahwa manajemen site ketika itu memang bukanlah orang yang berasal dari PT. Z sehingga banyak informasi mengenai PT. Z yang tidak diketahui dan dimiliki oleh manajemen site ketika itu. Berikut kutipan wawancara kepada IP1:

“Orangnya adalah orang-orang yang bukan orang dari PT. Z asli yang mendapatkan pembekalan yang tepat sebelum ke lapangan.”- (IP1)

Temuan di elemen 1 berupa belum adanya perwakilan manajemen khusus yang terlepas dari tanggung jawab lain untuk melaksanakan dan mengontrol SMK3LL di site disebabkan karena adanya kelemahan pada unsur manusia yaitu perbedaan pemahaman mengenai arti dari perwakilan manajemen khusus itu sendiri. Menurut IU2, perwakilan manajemen khusus itu sudah ada yaitu dengan ditunjuknya IU2 sebagai HSE Manager di proyek X ketika itu. Menurutnya, komunikasi antara home office dan site ketika itu kurang baik, sehingga terjadi perbedaan pemahaman mengenai arti dari perwakilan manajemen khusus itu sendiri, seperti yang ada dalam kutipan berikut:

“Nah..jadi gini, mas FR itu kan dari HO, kalo dia menyebut

bahwa tidak ada yang memang ditugaskan khusus, artinya itu kewenangannya siapa? HO. Nah, maksud nya adalah pada saat itu memang koordinasi dari site dan HO itu dibangun lebih baik, ya seperti itu posisinya, bukan berarti tidak ada orang yang memang mengawasi khusus. Jadi gini, adamya didelegasikan saya kesini adalah untuk melakukan hal

Menurut IP2, masuknya IU2 sebagai HSE Manager lah yang menyebabkan koordinasi antara home office dan site kurang baik. Pada saat itu, home office tidak mengetahui proses penunjukkan IU2 sebagai HSE Manager proyek X, sehingga komunikasi diantara keduanya tidak berjalan dengan baik. Berikut kutipannya:

“HO ngga tahu bahwa tiba-tiba sudah ada manager. Harusnya manager itu atau Chief itu dari HO, dan yang menentukan adalah Pak JKS sebagai senior HSE manager PT. Z”- (IP2)

Dari lima temuan yang terdapat pada elemen 1, informan pendukung 1 menyayangkan mengapa hal tersebut bisa terjadi di proyek X. Informan pendukung 1 beranggapan semestinya temuan- temuan itu tidak terjadi di proyek X karena temuan-temuan yang ada merupakan hal yang standar. Informan pendukung 1 juga menyayangkan kompetensi manajemen site ketika itu yang menurutnya kurang berpengalaman. Berikut kutipannya:

“Kalau ini memang agak berbeda projectnya, jadi HSE Manager

nya juga bukan saya yang nunjuk. Kalo itu dari sini, itu ngga akan

terjadi.. kenapa? karena itu pengetahuan standar.”- (IP1)

“Kalo yang sudah pengalaman biasanya sudah pengalaman di lapangan. Artinya mereka sudah tahu bahwa itu harus dilakukan. Nah ini keliatannya orang baru. Bukan keliatannya, memang orang baru”- (IP1)

Berdasarkan wawancara, diketahui bahwa proses penunjukkan IU2 sebagai HSE manager proyek X bukan merupakan rekomendasi dari home office, melainkan seseorang yang direkrut langsung oleh PT. ABC. Berikut kutipannya:

“Rekrut sendiri...ya biasalah dari client nitip gitu kan masuk situ. Ya

jadinya kaya gitu”- (IP1)

Pernyataan tersebut didukung oleh IP2 yang mengatakan bahwa IU2 sebagai HSE manager proyek X merupakan “orang titipan” dari PT. ABC, sehingga aturan-aturan yang diterapkan di site ketika ia menjabat sebagai HSE manager bukanlah aturan yang berasal dari PT. Z, melainkan aturan-aturan dari PT. ABC. Berikut kutipannya:

“Ya..dia punya orang PT.ABC, katanya titipannya orang PT.ABC”- (IP2)

Kejadian “orang titipan” dari PT. ABC tersebut ditanggapi oleh informan kunci bahwa hal tersebut telah menyalahi aturan yang telah ditetapkan. Berikut kutipan wawancaranya:

“Dia berarti udah menyalahi aturan ini ya..aturan rekrutmen pegawai ya berarti” -(IK)

Berdasarkan pemaparan, dapat disimpulkan jika ditinjau dari unsur manusia mengenai kecukupan jumlah pekerja telah mencukupi. Namun jika ditinjau dari unsur manusia mengenai kemampuan pekerja atau kemampuan manajemen site dalam melaksanakan pemenuhan elemen 1 di proyek X masih terdapat kelemahan berupa kurangnya pengetahuan manajemen site di bidang K3, manajemen site belum memahami prosedur dan peraturan PT. Z, kurangnya pengalaman manajemen site dan hubungan komunikasi yang kurang baik antara home office dan site.

b. Anggaran Dana

Anggaran dana merupakan modal organisasi perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya yang harus tersedia setiap saat. Berdasarkan

wawancara, diketahui bahwa dana yang ada di proyek X telah tersedia untuk melaksanakan kegiatan di site. Berikut kutipan wawancara kepada IU1 dan IU2 ketika ditanyakan mengenai kecukupan anggaran dana yang ada di site sebagai berikut:

“Anggaran dana mah ada..”- (IU1)

“Ngga ngga, ngga kurang”- (IU2)

Pernyataan informan utama di atas sejalan dengan hasil wawancara dengan IP1, yang mengatakan bahwa anggaran dana di site telah tersedia. Berikut kutipan wawancaranya:

“Kalau di proyek X ini harusnya ada 2 itu, anggaran dari PT. Z

harus ada, anggaran dari PT.ABC nya sendiri harus ada. Kenapa? Karna mereka juga punya safety program kan. Dan mereka biasanya ada uang sendiri untuk itu., dan tidak masuk ke dalam

anggaran proyek”- (IP1)

Berdasarkan pemaparan, dapat disimpulkan jika ditinjau dari unsur anggaran dana di site dalam melaksanakan pemenuhan elemen 1 telah tersedia.

c. Material

Unsur material merupakan ketersediaan inventaris kantor atau material penunjang lainnya yang ada di perusahaan yang dibutuhkan untuk menjalankan aktivitas organisasi. Jika ditinjau dari unsur material mengenai ketersediaan inventaris kantor yang ada di proyek X PT. Z tahun 2014 dalam melaksanakan pemenuhan elemen 1: kebijakan dan kepemimpinan diketahui tidak memiliki kelemahan. Berdasarkan wawancara, diketahui bahwa peralatan (material) yang ada di proyek X telah tersedia untuk melaksanakan kegiatan di site

dan dalam melakukan pemenuhan elemen 1: kebijakan dan kepemimpinan. Hal ini diketahui berdasarkan kutipan wawancara kepada IU2 dan IP1 ketika ditanyakan mengenai ketersediaan perlengkapan seperti inventaris kantor dan material penunjang lainnya yang ada di site sebagai berikut:

“Sudah, sudah ada”- (IU2)

“Hmm...nggak ada masalah kalo PT. Z sendiri”- (IP1)

Menurut IK, inventaris kantor atau material penunjang lainnya yang harus tersedia di site untuk membantu implementasi SMK3 di site ialah komputer, printer, dan sebagainya. Berikut kutipan wawancaranya:

“Ooh..yaa..komputer, printer, foto copy, scanner, terus peralatan tulis, semuanya”- (IK)

Berdasarkan pemaparan, dapat disimpulkan jika ditinjau dari unsur material berupa ketersediaan inventaris kantor di site yang digunakan dalam melaksanakan pemenuhan elemen 1 tidak terdapat kelemahan dan telah tersedia.

d. Metode

Unsur metode merupakan cara pelaksanaan yang dilakukan dalam menjalankan elemen 1: kebijakan dan kepemimpinan di site, apakah sesuai dengan peraturan SMK3LL PT. Z atau tidak. Jika ditinjau dari unsur metode pelaksanaan meliputi cara manajemen site dalam melakukan sosialisasi kebijakan K3 pada proyek X PT. Z tahun 2014

diketahui memiliki kelemahan. Keseluruhan temuan pada elemen 1 disebabkan karena terdapat kelemahan pada metode pelaksanaannya.

Temuan di elemen 1 berupa belum adanya bukti pemasangan kebijakan SMK3LL di area kerja disebabkan karena adanya kelemahan pada unsur metode, yaitu tidak ditempel dan dibingkainya kebijakan SMK3LL di area kerja sebagai salah satu bentuk sosialisasi. Berikut adalah kutipan wawancara dengan IU2:

“Jadi, pada waktu itu ada, cuma kan waktu itu kan...tidak ditempel,

dibingkai.., kan gitu. Jadi posisi kebijakan itu harusnya ditempel dan dipasang bingkai, ya waktu itu posisinya ada di dalam folder, gitu”- (IU2)

Berdasarkan telaah dokumen, kebijakan SMK3LL PT. Z tertera dalam HSE Management System Implementation Policy Rev: F PT. Z No. 8000-PL-01 seperti pada Gambar 5.4 berikut:

Sumber: HSE Management System Implementation Policy Rev: F PT.Z No. 8000- PL-01 (PT. Z, 2014c)

Gambar 5.4 Kebijakan SMK3LL PT. Z

Berdasarkan wawancara dengan IK, cara sosialisasi kebijakan K3 yang baik di site salah satunya dapat dilakukan dengan menempelnya di papan pengumuman sehingga terlihat oleh orang-orang yang lewat di depannya. Berikut kutipan wawancaranya:

“Sosialisasi kebijakan K3 dapat ditempel di papan pengumuman”- (IK)

Temuan di elemen 1 berupa belum terdapat rencana pelaksanaan K3LL yang telah disetujui di proyek X disebabkan karena adanya kelemahan pada unsur metode, yaitu penyusunan rencana pelaksanaan K3LL yang dilakukan oleh manajemen site lebih mengacu kepada

peraturan client, bukan kepada peraturan home office PT. Z. Informan utama 1 menjelaskan bahwa hal tersebut menjadi temuan (finding) karena rencana pelaksanaan K3LL yang disusun oleh manajemen site proyek X ketika itu bukanlah rencana K3LL yang berasal home office (HO), melainkan rencana K3LL yang diminta oleh client. Menurut IU1, manajemen site proyek X ketika itu hanya mengikuti yang diperintahkan oleh client saja. Berikut kutipan wawancaranya:

“Rencana pelaksanaan K3LL belum disusun..iyaa..jadi dia cuma berdasarkan rutinitas. Dia ngga punya program sendiri”- (IU1)

“Tergantung client aja. Ibaratnya kata client „eh bikin atap‟, bikin..

„eh bikin pintu‟, bikin.. gitu loh”- (IU1)

Temuan di elemen 1 berupa tidak adanya bukti sosialisasi kebijakan perusahaan tentang K3LL disebabkan karena adanya kelemahan pada unsur metode, yaitu tidak ada pendokumentasian ketika induction dilakukan. Menurut IU2, pihaknya ketika itu telah melakukan sosialisasi kebijakan kepada karyawan di site melalui induction. Berikut kutipan wawancaranya:

“Karna kebijakan itu kita sosialisasikan lewat induction, seperti

itu”- (IU2)

Walaupun manajemen site telah melakukan sosialisasi kebijakan melalui induction, namun ia tidak mendokumentasikan hal tersebut, sehingga tidak terdapat bukti pelaksanaannya dan menjadi sebuah temuan (finding). Padahal, sosialisasi kebijakan tersebut perlu didokumentasikan, salah satunya dengan menempel kebijakan perusahaan di area kerja atau dengan memotret ketika induction sedang berlangsung.