• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Kredit Macet Pada Bank BUMN Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi 77/PUU-IX/

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

PENYELESAIAN KREDIT MACET BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN BIDANG PERBANKAN

B. Penyelesaian Kredit Macet Pada Bank BUMN Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi 77/PUU-IX/

Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 77/PUU-IX/2011 yang dibacakan pada sidang terbuka pada hari Selasa, 25 September 2012 berkaitan dengan salah satu bank BUMN, yaitu BNI. Hal ini disebabkan para pemohon yang menjadi pihak yang berperkara merupakan debitur bank BNI dan mengalami kesulitan untuk menyelesaikan urusan hutang piutangnya dengan BNI. Akan tetapi, putusan MK tidak hanya menyangkut BNI namun juga keseluruhan Bank-Bank BUMN karena sifat putusan MK adala erga omnes (berlaku secara umum).75

Adapun pertanyaan yang diajukan oleh Pemohon adalah terkait dengan kewenangan Panitia Urusan Piutang Negara (selanjutnya disebut PUPN) dalam mengurus piutang Bank BUMN yang tidak dapat melakukan restrukturisasi hutang atas piutang para debitur Bank BUMN. Terhadap pertanyaan tersebut, pemohon meminta untuk menguji Pasal 4, Pasal 8, Pasal 10 dan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Mahkamah kemudian memutuskan dalam amarnya bahwa :

1. Frasa “atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini”

dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

       

75

Penyelesaian Piutang Bank BUMN Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

www.bumn.go.id/110361/publikasi/artikel/penyelesaian-piutang--bank-bumn-pasca-putusan- mahkamah-konstitusi/. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2013 

2. Frasa “/Badan-badan Negara” dalam Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

3. Frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8 UU Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

4. Frasa “dan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

Dengan demikian, pasca putusan MK, ketentuan tersebut harus dibaca menjadi:

Pasal 4

Panitia Urusan Piutang Negara bertugas:

1. Mengurus piutang Negara yang berdasarkan Peraturan telah diserahkan pengurusannya kepadanya oleh Pemerintah (atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam pasal 8 Peraturan ini, -frasa ini dihilangkan karena bertentangan dengan konstitusi-);

2. tetap/tidak berubah; 3. tetap/tidak berubah;

4. Melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang/kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh Negara (Badan-badan Negara, -frasa ini dihilangkan karena

bertentangan dengan konstitusi-) apakah kredit itu benar-benar dipergunakan sesuai dengan permohonan dan/atau syarat-syarat pemberian kredit dan menanyakan keterangan-keterangan yang berhubungan dengan itu kepada Bank-bank dengan menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1960 tentang Rahasia Bank.

Pasal 8

Yang dimaksud dengan piutang Negara atau hutang kepada Negara oleh Peraturan ini, ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara (atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara, -frasa ini dihilangkan karena bertentangan dengan konstitusi-) berdasarkan suatu Peraturan, perjanjian atau sebab apapun.

Pasal 12

1. Instansi-instansi Pemerintah (dan Badan-badan Negara, -frasa ini dihilangkan karena bertentangan dengan konstitusi-) yang dimaksudkan dalam pasal 8 Peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitya Urusan Piutang Negara. Adapun yang menjadi alasan Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pertimbangan ini adalah sebagai berikut:

1. Para pemohon, yang terdiri dari 7 (tujuh) perusahaan/badan hukum privat, mengajukan permohonan perkara pengujian UU (judicial review) ke MK. Para pemohon merupakan debitur PT. Bank Negara Indonesia Tbk. Pada saat terjadi

krisis moneter yang termasuk sebagai suatu peristiwa diluar kekuasaan (force majeure), pemohon tidak mendapatkan bantuan berupa pemberian keringanan kewajiban pembayaran termasuk pemotongan hutang (hair cut).

2. Disisi lain, debitur-debitur bermasalah yang tidak kooperatif yang menyelesaikan kreditnya melalui Lembaga BPPN, telah menikmati pengurangan hutang pokok (hair cut) hingga mencapai diatas 50% dari hutang pokoknya. Akan tetapi, para Pemohon yang direstrukturisasi kreditnya melalui Panitia Urusan Piutang Negara ternyata hutang pokoknya semakin bertambah besar. Adanya perbedaan perlakuan ini disebabkan karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Bank-bank BUMN (termasuk PT. BNI Tbk.) hanya dapat menyelesaikan utang tidak tertagih melalui PUPN tanpa memiliki keleluasaan untuk adanya restrukturisasi utang ataupun penundaan utang.

Terhadap kerugian pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa UU Nomor 49 tahun 1960 mengenal 2 (dua) jenis piutang, yaitu (i) piutang negara dan (ii) piutang badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara, dalam hal ini termasuk piutang Bank-Bank BUMN yang langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara. Pengaturan penyelesaian piutang terhadap 2 (dua) jenis piutang ini diperlakukan sama menurut UU Nomor 49 Tahun 1960.

Namun demikian, telah terjadi perubahan dalam politik hukum pengaturan tata cara penyelesaian piutang negara. Hal ini dikarenakan terdapat “UU baru”

yang membedakan antara piutang negara dan piutang badan-badan yang dikuasai negara. Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pengertian piutang negara adalah

“jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”.

Oleh karena itu, piutang negara hanyalah piutang Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, dan tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara termasuk piutang Bank- bank BUMN. Hal ini disebabkan, Pasal 1 angka 1 dan angka 10 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara mengatur bahwa BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum Perseroan Terbatas berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Dengan demikian, berlakunya UU Nomor 1 Tahun 2004, telah mengubah pengertian piutang negara yang dikandung dalam UU Nomor 49 Tahun 1960. Piutang BUMN adalah piutang perseroan terbatas BUMN atau piutang swasta yang dibedakan dengan piutang negara atau piutang publik. Klasifikasi utang atau piutang BUMN adalah piutang dari perseroan, sehingga mekanisme penyelesaiannya mengikuti mekanisme perseroan. Piutang Bank BUMN bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN. Piutang Bank-Bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank

BUMN dengan melakukan restrukturisasi baik dalam pola hair cut, konversi maupun rescheduling.

Selain itu, terdapat pertimbangan penting Mahkamah yang tidak termasuk dalam bagian amar putusan dimana MK memperhatikan kedudukan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Berdasarkan prinsip “undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang- undang yang lama” (lex posterior derogat legi priori) dan “peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah” (lex superior derogat legi inferiori), maka aturan dalam PP Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 sepanjang merujuk sebagai pelaksanaan UU nomor 49 tahun1960 (yaitu Pasal II ayat (i) huruf b PP 33/2006) merupakan aturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum. Dengan demikian, putusan MK ini memberikan kepastian hukum bagi para pihak sebagaimana dijamin oleh UUD 1945

Putusan Mahkamah, sejatinya telah seirama dengan beragam peraturan perundang-undangan terkait dengan tata cara pengurusan piutang Negara/Daerah. Tidak hanya seirama dengan peraturan perundang-undangan, putusan MK juga senada dengan Fatwa Mahkamah Agung nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 yang dulu pernah diminta oleh Pemerintah (c.q. Menteri Keuangan).

Salah satu perbedaan yang mencolok adalah bahwa MK secara tegas mempertimbangkan bahwa Pasal II ayat (1) huruf b PP nomor 33 tahun 2006 juga bertentangan dengan konstitusi, sehingga harus segera dialihkan kepada masing- masing Perusahaan Negara/Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya dan sesuai dengan mekanisme korporasi. Dengan demikian, untuk menunjang pelaksanaan putusan MK, pemerintah (c.q Menteri Keuangan dan/atau Menteri-menteri yang terkait) perlu segera menyusun perubahan peraturan perundang-undangan dalam rangka penyesuaian dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Kendati memperoleh keleluasaan dalam mengelola kredit bermasalah, bank-bank BUMN diharapkan tetap bisa menjaga integritasnya sehingga tidak menimbulkan moral hazard. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan yang memperbolehkan hair cut atau pemotongan pokok dari kredit itu harus dibuat aturan atau prosedur internal masing-masing BUMN yang mengatur tata cara penghapusan piutang yang baik.

Mengenai apakah kemudian diperlukan pengawasan eksternal oleh lembaga audit negara, misalnya BPK, untuk terlibat dalam pengawasan proses penyelesaian piutang bank-bank BUMN ini. Hal ini merupakan ranah akademis dimana masih banyak wacana akademisi melalui pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh para sarjana. Oleh karena itu, pemerintah harus juga segera mempertimbangkan perlu/tidaknya dan bagaimana proses pengawasan penyelesaian piutang ini. Selain untuk mencegah kemungkinan terjadinya moral

hazard, pengawasan bisa jadi juga untuk mencegah kemungkinan korupsi atas keuangan negara.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini, penyelesaian kredit macet tidak lagi dilakukan oleh PUPN, akan tetapi dilakukan oleh pihak bank itu sendiri sesuai dengan ketentua yang ada seperti; rencana kerja tahunan direksi yang akan melakukan haircut atau pengurangan suku bunga kredit debitur. Hal ini harus melalui persetujuan dari dewan komisaris ataupun RUPS terkecuali undang-undang menentukan hal yag lain.76 Apalagi Bank Indonesia telah menerbitkan surat edaran mengenai penyelesaian kredit macet secara restrukturisasi yang memungkinkan adanya penyelesaian kredit macet secara damai.

       

76

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sebagaimana telah dijelaskan ketiga permasalahan dari bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan ketiga pembahasan tersebut sebagai berikut: 1. Penyelesaian kredit macet pada dasarnya dua cara, yaitu melalui jalur hukum

dan jalur non hukum. Akan tetapi, didalam perbankan jalur non hukum adalah upaya yang sangat diutamakan dan salah satunya adalah restrukturisasi. Dasar hukum restrukturisasi adalah Surat Direksi Bank Indonesia nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998. Restrukturisasi merupakan upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), penataan kembali (restructuring). Selain itu, penyelesaian kredit macet juga dapat menggunakan media pengadilan sebagai jalur terkahir apabila kreditur memang benar tidak mampu untuk membayar hutangnya. Adapaun penyelesaian tersebut adalah dengan upaya eksekusi. Penyelesaian melalui eksekusi agunan di Indonesia, dikenal beberapa eksekusi agunan, yaitu:eksekusi hak tanggungan, eksekusi fidusia, eksekusi hipotek, eksekusi gadai, eksekusi perorangan.

2. BUMN sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari

kekayaan negara yang dipisahkan. Modal BUMN berasal dari harta kekayaan negara yang dipisahkan dan dipergunakan untuk pengelolaan dan pengembangan BUMN. Bentuk-bentuk BUMN dapat berupa Persero, Perum. Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Pasal 11 UU BUMN). Status hukum keuangan publik pada saat menjadi saham pada persero, tidak lagi merupakan keuangan publik yang tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan publik. Tata cara penyelesaian piutang negara pada awalnya dilakukan melalui PUPN, namun ada beberapa langkah sebelum masuk ke lembaga PUPN. Adapaun beberapa hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Tanggal 16 Agustus 2006, atas permintaan Menteri Keuangan kepada Mahkamah Agung, maka dikeluarkanlah Fatwa Mahkamah Agung Nomor: WKMA/Yud/20/VIII/2006 untuk merivisi peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Negara/Daerah. Dengan dikeluarkannya fatwa dari Mahkamah Agung tersebut, maka terbitlah Peraturan Nomor 33 Tahun 2006Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah yang pada intinya menyatakan bahwa piutang BUMN bukan piutang piutang negara. Adapun inti dari peraturan tersebut adalah PUPN tidak lagi berwenang untuk melakukan pengurusan piutang yang terdapat pada perusahaan BUMN.

3. Penyelesaian kredit macet pada bank BUMN sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 adalah melalui PUPN. PUPN dibentuk oleh pemerintah sebagai media dimana apabila kreditur tidak mampu membayar segala hutang yang dipinjamnya dari lembaga pemerintah khususnya perusahaan negara atau BUMN. PUPN bertindak sebagai langkah berikutnya atau kedua, ketika kemungkinan untuk pengembalian hutang akan sangat sulit dilakukan. Selain melalui PUPN, penyelesaian kredit macet dapat dilakukan oleh bank itu sendiri dengan cara restrukturisasi yang dasar hukumnya melalui Surat Direksi Bank Indonesia nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011, penyelesain kredit macet dilakukan dengan cara kebijakan yang dapat diambil oleh bank itu sendiri seperti haircut atau pemotongan suku bunga kredit

B. Saran

Adapun saran yang dapat dirangkum atas pembahasan skripsi ini, yaitu sebagai berikut:

1. Penyelesaian kredit macet pada dasarnya sangat dianjurkan diselesaikan melalui jalur non hukum, khususnya diselesaikan oleh bank itu sendiri. Jalur penjadwalan kembali (rescheduling), persyaratan kembali (reconditioning), penataan kembali (restructuring) adalah fasilitas yang disediakan oleh pihak bank dalam mempermudah kreditur dalam penyelesaian kredit macet. Selama ini bank-bank yang berstatus BUMN kalah berkompetisi dalam dunia perbankan dengan bank-bank yang berstatus swasta. Hal ini diakibatkan pada

bank swasta memberikan kemudahan dalam penyelesaian kredit macet, sedangkan pada bank BUMN penyelesaian itu akan selalui dikaitkan dengan lembaga pemerintah untuk mengurus piutang yang terjadi. Walaupun ada eksekusi dalam penyelesaian kredit macet, itu adalah cara terakhir yang diambil apabila kreditur benar-benat tidak mampu untuk membayar segala hutang kepada bank.

2. BUMN sebagai badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Modal BUMN berasal dari harta kekayaan negara yang dipisahkan dan dipergunakan untuk pengelolaan dan pengembangan BUMN. Maka seharusnya sudah dapat dipahami bahwa campur tangan pemerintah seharusnya ditiadakan. Hal ini sudah jelas adanya pemisahan kekayaan negara dengan modal yang diserahkan kepada BUMN. Oleh karena itu, sudah sdeharusnya bank BUMN dapat bertindak sendiri secara mandiri untuk mengurus segala kepentingannya tanpa ada intervensi dari pihak pemerintah.

3. Sudahlah benar akan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 77/PUU-IX/2011. Dan seyogyanya setiap bank BUMN harus melakanakan putusan ini dengan tanpa harus menyerahkan pengurusan piutang kepada PUPN lagi. Kepastian hukum yang telah diberikan oleh Mahkamah Konstitusi sudah seharusnya dipahami oleh setiap bank dan juga nasabah penyelesaian kredit macet pada bank BUMN tidak lagi harus melalui lembaga PUPN.