• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peralatan Listrik untuk Memasak (kompor listrik, penghangat nasi, oven, microwave )

Daya peralatan (TV) adalah 65 Watt maka sama dengan 65/1000 = 0,065 kW (kilo Watt)

7 Kulkas 120 Liter 

10. Peralatan Listrik untuk Memasak (kompor listrik, penghangat nasi, oven, microwave )

a. Pilih peralatan sesuai dengan kapasitas memasak dan sesuai dengan jumlah anggota keluarga.

b. Pilih peralatan memasak yang memiliki timer, sehingga apabila makanan yang dimasak sudah matang peralatan listrik tersebut bisa mati secara otomatis

ABSTRACT

LAILI HIDAYATI. Analysis of Energy-Saving Forming Behavior with Norm Activation Model Approach (The Case Study of Household Consumer in Bogor ). Under direction of LILIK NOOR YULIATI and MOH. DJEMDJEM DJAMALUDIN. 

The use of electrical energy is an important factor to support some activities in daily life, industries, households, educational activities, transportations, lightings, and communications. Indonesian people are still doing inefficient utilization of energies, including electrical energy. Saving the energy is an important part of efficiency. The study was aimed to analyze: 1) characteristics of household at differnt electricity power class; 2) the correlations between awareness, responsibility, personal norms, behavior intention and electrical energy saving behavior in household; 3) factors that influence norm activation model in household; 4) some factors which influence the electrical energy saving behavior, electrical cost and the use of electrical tools in household. This study design was cross sectional study. This study was conductedin Taman Cimanggu region which is a location where KDK (Kedung Waringin Komplek) electrical substation exists, with the subject was household in Taman Cimanggu. The results found that respondent get the information about electrical energy saving from many medias and reference groups. The awareness, resposibility, personal norms, and behavior intention variable were not correlated with electrical energy saving behavior. Respondents were still to intend to save the energy, however they were not doing some actions. Althought respondents want to do some actions to save the electrical energy, but it is still on average level. The multiple linear regression result showed that some factors which have significant effect on electrical energy saving behavior, that were: electrical power class, knowledge, number of information and responsibility.

Keywords: electrical efficient, norm activation model, electrical energy saving, household

Latar Belakang

Hadirnya energi listrik ke dalam kehidupan manusia merupakan salah satu hal penting yang mendukung pesatnya perkembangan kemajuan kehidupan di dunia sekarang ini. Hampir setiap aktivitas yang dilakukan setiap hari membutuhkan energi listrik. Penggunaan energi listrik merupakan unsur penting yang menunjang berbagai kegiatan dalam kehidupan masyarakat, baik itu untuk industri, rumahtangga, pendidikan, transportasi, penerangan, dan komunikasi.

Energi listrik merupakan energi yang sangat fleksibel, karena energi listrik dengan mudah diubah menjadi energi lain, misalnya energi listrik dapat diubah menjadi energi panas, dingin, gerak, dan cahaya. Tanpa energi listrik, sebuah kota akan gelap gulita dan kehilangan keindahannya pada malam hari, seorang ibu akan kerepotan mencuci dan mengolah makanan serta menyimpannya, anak kesulitan tidur karena AC atau kipas angin tidak berfungsi. Efek yang ditimbulkan oleh energi listrik menjadikan ketergantungan pada masyarakat (Handoko 2010).

Energi listrik sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan merupakan parameter penting bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi di Indonesia mendorong peningkatan konsumsi listrik dari waktu ke waktu. Konsumsi listrik saat ini didominasi di wilayah Jawa-Bali yakni sekitar 80 persen dari konsumsi listrik nasional. Peningkatan konsumsi listrik nasional di tengah melambungnya harga minyak dunia sangat berpengaruh pada biaya produksi listrik sehingga sulit sekali diimbangi oleh peningkatan kapasitas produksi listrik. Hal ini menyebabkan terjadinya krisis pasokan listrik, yang dalam jangka panjang akan dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pola penggunaan listrik masyarakat Indonesia masih tidak efisien, sementara tarif listrik yang dikenakan masih sangat murah. Permintaan (demand) tinggi tetapi kebutuhan (suplai) lemah jadi demand dan suplai tidak seimbang oleh karenanya dimana-mana ada keluhan listrik (Mochtar 2009). Permasalahan kelangkaan listrik semakin nyata dengan adanya kebijakan pergiliran yang tidak resmi yang dilaksanakan oleh PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN). Menurut Kuncoro (2008) krisis kelistrikan terjadi akibat beberapa hal, pertama, menyangkut terbatasnya kapasitas pembangkit dan menyangkut keterbatasan kemampuan membeli energi. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dalam tujuh

2  

kuartal terakhir tumbuh di atas 6 persen ternyata tidak dibarengi ketersediaan daya listrik sebagai infrastruktur pendukung. Kedua, sejak terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), banyak industri yang mengalihkan konsumsi listrik ke PLN. Pengalihan itu dikarenakan biaya pengoperasian pembangkit listrik secara swadaya dengan solar menjadi mahal.

Berbagai upaya dilakukan oleh PLN untuk mengatasi masalah kekurangan pasokan listrik dan penghematan listrik. Sejumlah strategi yang dilakukan PLN, pertama mengelola pasokan (supply side management) diimplementasikan dalam bentuk program percepatan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara sebesar 10.000 MW. Kedua, mengelola permintaan dengan mengajak masyarakat untuk menghemat listrik. Demi memastikan gerakan penghematan listrik berjalan sesuai sasaran, PLN membagikan 51 juta lampu hemat energi (LHE) berkekuatan 8 Watt kepada 34 juta pelanggan rumahtangga. Pembagian secara gratis itu bertujuan mendorong masyarakat mengganti lampu pijar dengan LHE.

Lampu hemat energi dari sisi konsumsi daya, jauh lebih hemat ketimbang lampu pijar. Dengan memakai lampu LHE berkekuatan 8 Watt, pengguna bisa mendapatkan pencahayaan yang terangnya setara dengan lampu pijar berkekuatan 40 Watt (Noy 2008). Program LHE juga mendatangkan klaim CDM (Clean Development Mechanism) dimana program ini menghasilkan CO2 reduction, setiap 1 kWh yang dihemat dihindari 0,9 kilo CO2, setiap ton CO2 yang direduksi mendapat klaim 15 Euro (Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral 2008a).

Himbauan kepada seluruh pelanggan PLN agar ikut berpartisipasi dalam Gerakan Hemat Listrik, yang terkenal dengan “1722” yaitu menggunakan listrik cukup antara pukul 17.00 sampai 22.00 (waktu malam untuk pelanggan rumahtangga), melakukan inovasi-inovasi seperti meluncurkan produk teknologi listrik prabayar dalam bentuk voucher yang diharapkan membantu masyarakat mengendalikan konsumsi listrik (Praptono 2006). Pada sektor industri pemerintah dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) yang ditandatangani oleh Menteri Perindustrian, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara disebutkan, setiap perusahaan industri diwajibkan mengalihkan satu atau dua hari kerja dalam sebulan, bukan dua hari kerja setiap pekan, ke hari Sabtu atau Minggu (Kuncoro 2008). Kalangan industri diharapkan bisa melakukan libur

secara bergiliran, tidak semuanya pada Sabtu atau Minggu karena idle capacity listrik pada hari tersebut cukup besar sekitar 3.000 MW.

Hemat energi merupakan bagian dari efisiensi, dengan hemat energi listrik berarti membantu mengefisiensikan subsidi listrik yang diberikan pemerintah. Menggunakan listrik secara sia-sia, maka sama halnya telah menyianyiakan subsidi listrik yang diberikan oleh pemerintah. Pemberian subsidi oleh pemerintah menjadi lebih efektif jika masyarakat dapat menghemat pemakaian listrik. Sebaliknya, menyianyiakan pemakaian listrik, tentunya subsidi tersebut akan terbuang percuma.

Bagi masyarakat, hemat energi akan menghemat pengeluaran dan dapat mengalihkannya untuk keperluan yang lebih penting. Penghematan energi listrik yang terus meningkat, maka pada gilirannya kebutuhan terhadap pembangunan pembangkit-pembangkit baru dapat ditekan. Jika 10 juta pelanggan listrik dapat menghemat 50 W setiap hari selama 5 jam beban puncak, maka 10 juta x 50 W X 5 jam = 2500 juta Watt jam atau 2500 MWh dapat dihemat setiap hari (Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral 2006).

Untuk menghindari biaya rekening listrik yang tinggi, maka diperlukan perilaku penggunaan listrik yang efisien. Perilaku hemat energi listrik dimulai dengan menyambung daya listrik dari PLN sesuai dengan kebutuhan, memilih peralatan listrik yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan, membentuk perilaku anggota keluarga yang hemat listrik, seperti menggunakan listrik sesuai dengan keperluan, menggunakan energi listrik secara bergantian, menggunakan listrik untuk menambah pendapatan keluarga, memilih produk rumahtangga yang hemat energi listrik (Rasidi 2005)

Program hemat energi harus di tingkatkan karena saat ini sebagian besar pembangkit yang digunakan untuk memproduksi listrik di Indonesia digerakan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan batubara. Hanya beberapa pembangkit listrik saja yang menggunakan sumber energi terbarukan seperti air. Pemerintah memperkirakan penggunaan batubara untuk listrik pada 2015 meningkat tajam menjadi 90 juta ton. Konsumsi ini berarti nyaris tiga kali lipat dari penggunaan batubara untuk listrik pada tahun 2006 yang sebanyak 31,1 juta ton. Konsumsi batubara untuk listrik terus meningkat menjadi 200 juta ton tahun 2025. Indonesia memiliki cadangan batubara terbesar se Asia yaitu sebanyak 5,3 miliar ton. Andai saja tingkat produksi batubara nasional mencapai 200 juta ton

4  

per tahun, batubara sebanyak 5,3 miliar ton akan habis dalam kurun 26,5 tahun (Bhaskoro 2008).

Perlu diketahui bahwa pertambangan batubara menimbulkan sejumlah tantangan lingkungan yang diantaranya meliputi erosi tanah, debu, kebisingan, pencemaran air, serta gangguan terhadap keanekaragaman hayati yang ada disekitar area penambangan. Pembakaran sumber energi fosil (misalnya: minyak bumi, batu bara) melepaskan gas-gas, antara lain karbon dioksida (CO2), nitrogen oksida (NOx), dan sulfur dioksida (SO2) yang menyebabkan pencemaran udara (hujan asam, smog dan pemanasan global) (Bhaskoro 2008).

Pemerintah melalui SK Menteri ESDM No 2 th 2004: tentang kewajiban hemat energi dengan menggunakan teknologi efisien dan ramah lingkungan, INPRES No 10 tahun 2005 tentang penghematan energi pada sektor pemerintahan, INPRES No 2 tahun 2008: tentang penghematan energi di semua sektor. Pencanangan gerakan hemat listrik nasional pun dilakukan oleh pemerintah pada tanggal 27 April 2008, pemerintah berharap masyarakat memiliki kesadaran dan membudayakan perilaku hemat dalam mengkonsumsis listrik. Menggunakan maskot hemat listrik yang berbentuk lampu pijar bernama kak bili (bijak listrik) pemerintah berharap kepedulian akan penghematan listrik juga di tanamkan pada anak-anak sehingga akan tercipta Genematik (Generasi Hemat Listrik) (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2008b). 

Rumusan Masalah

Kehadiran listrik mengubah pola dan gaya hidup masyarakat. Penggunaan listrik terus berkembang pesat, tidak sebatas untuk mengaliri lampu pijar penerang ruangan seperti pada awal penggunaan tetapi penggunaannya listrik di rumahtangga sekarang adalah untuk menyalakan barang-barang elektronik yang beragam, semakin modern dan semuanya memerlukan listrik. Barang-barang elektronik terus diciptakan dan manusia terus mengkonsumsinya (Arif et al 2009).

Pengguna listrik di Indonesia hanya sekitar 125 juta dari 225 juta penduduk Indonesia, tetapi fenomena pemadaman bergilir yang secara umum karena kurangnya pasokan energi primer untuk pembangkitan energi listrik sampai sekarang masih menjadi persoalan yang tiada habisnya. Sehingga kelangkaan listrik menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. PLN menyatakan ada kemungkinan pemadaman listrik untuk malam

hari, PLN meminta agar pelanggan listrik Jawa dan Bali untuk mengurangi pemakaian listrik pada pukul 17.00-22.00 WIB (waktu beban puncak) (Yanuwirawan et al 2006).

Kelangkaan listrik di Indonesia juga terjadi karena gaya hidup konsumtif masyarakat. Pembelian barang elektronik yang lebih mengedepankan nilai prestige dari pada fungsi merupakan indikator yang juga cukup penting, disamping penggunaannya yang tidak sesuai. Semakin banyak barang elektronik yang dipakai dalam waktu yang tidak lama, tidak ada bedanya dengan menggunakan sedikit barang elektronik dengan durasi yang lama, karena sama- sama menggunakan daya listrik yang besar (Manurung 2008).

Pelanggan listrik rumahtangga dan bisnis besar sejumlah 22.007 pelanggan atau 43,4 persen dari 46.460 pelanggan di wilayah distribusi Jawa Barat dan Banten masih melakukan pemborosan. Sejak awal tahun 2009, konsumsi untuk listrik di wilayah tersebut mencapai 101.479.334 kWh. Jika di konversikan jumlah tersebut sama dengan penambahan daya di bawah 4.400 VA bagi 115.000 pelanggan. Hal ini bertolak belakang dengan 5 juta warga Jawa Barat dan Banten yang belum menikmati listrik (Sapta 2009).

Pelanggan PLN Area Pelayanan Jaringan (APJ) Bogor sekitar 800.000 lebih, dengan rincian sekitar 500.000 pelanggan di Kabupaten Bogor dan 300.000 pelanggan PLN di Kota Bogor. PLN APJ Bogor memiliki delapan Unit Pelayanan Jaringan (UPJ), empat UPJ berada di Kabupaten Bogor dan empat UPJ berada di Kota Bogor. UPJ Bogor Kota memiliki 160.869 pelanggan, terdiri dari 2.891 pelanggan kelompok sosial, 150.142 pelanggan kelompok rumahtangga dan 7.836 pelanggan kelompok bisnis. Pada kelompok rumahtangga terbagi atas tipe R1 dengan daya 450 VA sebanyak 65.072 pelanggan, 900 VA sebanyak 60.594 pelanggan, 1300 VA sebanyak 15.477 pelanggan, 2200 VA sebanyak 6.740 pelanggan. Tipe R2 dengan daya 2201 VA sampai dengan 6600 VA sebanyak 2.094 pelanggan dan tipe R3 dengan daya >6601 VA sebanyak 164 pelanggan (PT. PLN).

Perilaku masyarakat dalam melakukan hemat energi listrik ditentukan oleh karakteristik dari masyarakat itu sendiri. Perilaku tersebut juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yang ada pada masyarakat. Kesadaran seseorang dalam proses berpikir akan membentuk pola berpikir yang positif, serta dapat bertanggung jawab akan keadaan lingkungannya yang dapat dilakukan dengan tindakan merawat, melindungi, menjaga, dan melestarikan

6  

alam. Kesadaran dan tanggung jawab masyarakat yang beragam dikarenakan karakteristik seseorang dan akses informasi yang didapat berbeda-beda. Perilaku juga di tentukan oleh norma personal seseorang dalam kehidupannya yang terbentuk karena kepribadian dan lingkungan sosial yang ada di sekitarnya. Terciptanya kesadaran, tanggungjawab, dan norma personal dalam masyarakat dapat membentuk keinginan dari masyarakat untuk melakukan suatu tindakan yang positif yaitu untuk menghemat energi listrik. Tindakan yang positif tersebut akan membentuk perilaku hemat listrik yang diharapkan dapat mengurangi keluhan dari masyarakat tentang pemadaman, pembayaran tarif listrik yang mahal, menggunakan listrik dengan rasa aman, dan membantu mencegah kerusakan alam dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dirumuskan masalah yang akan diteliti yaitu :

1. Bagaimana perbedaan karakteristik pelanggan listrik rumahtangga pada kelompok daya yang berbeda?

2. Bagaimana hubungan antara variabel kesadaran, tanggungjawab, norma personal, maksud perilaku (intend to), dan perilaku hemat listrik pelanggan listrik rumahtangga?

3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi norm activation model pada pelanggan listrik rumahtangga?

4. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perilaku hemat listrik, pengeluaran rekening listrik, dan penggunaan peralatan listrik pada pelanggan listrik rumahtangga?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis perilaku hemat energi listrik pada pelanggan rumahtangga di PLN wilayah UPJ Bogor Kota di kota Bogor.

Tujuan Khusus

Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk : 1. Menganalisis perbedaan karakteristik pelanggan listrik rumahtangga pada

kelompok daya yang berbeda.

2. Menganalisis hubungan antara variabel kesadaran, tanggungjawab, norma personal, maksud perilaku (intend to), dan perilaku hemat listrik pelanggan listrik rumahtangga.

3. Menganalisis faktor-faktor apa yang mempengaruhi norm activation model pada pelanggan listrik rumahtangga.

4. Menganalisis faktor-faktor apa yang mempengaruhi perilaku hemat listrik, pengeluaran rekening listrik dan penggunaan peralatan listrik pada pelanggan listrik rumahtangga.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi pelanggan rumahtangga dalam penggunaan listrik yang hemat karena penghematan listrik tidak ditujukan untuk mengurangi kenyamanan, melainkan untuk merubah perilaku buruk (boros) menjadi lebih bijaksana dalam menggunakan peralatan listrik secara keseluruhan dan sebagai upaya untuk menghambat pemanasan global (global warming).

Penelitian ini diharapkan sebagai masukan bagi pemerintah dalam hal ini PT. PLN, agar kebijakan tentang sosialisasi hemat listrik kepada masyarakat yang telah di lakukan oleh PLN tidak sia-sia sehingga dapat menentukan kebijakan yang lebih baik dalam gerakan hemat listrik agar dapat meningkatkan kesadaran, tanggung jawab, norma personal dan maksud perilaku masyarakat dalam berperilaku hemat listrik.

Penelitian ini juga di harapkan bermanfaat bagi bidang ilmu konsumen khususnya tentang ilmu perilaku konsumen melalui pembentukan kesadaran, tanggung jawab, norma personal dan maksud perilaku pelanggan PLN akan hemat listrik di tinjau dari teori norm activation model, sehingga dapat mewujudkan perilaku pelanggan yang dapat menghemat listrik sebaik dan seefisien mungkin sehingga bumi akan semakin hijau.

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Perilaku Prososial

Perilaku prososial adalah perilaku yang memiliki konsekuensi positif, perilaku prososial sebagai tindakan yang ditujukan untuk memberi bantuan atau kebaikan pada orang lain atau kelompok orang tanpa mengharapkan balasan dengan cara-cara yang cenderung mentaati norma sosial. Tindakan itu kadang- kadang memerlukan pengorbanan atau resiko pada diri sipelaku. Orang yang prososial sama dengan orang yang sosial yaitu mereka yang perilakunya mencerminkan keberhasilan di dalam tiga proses sosialisasi, dimana proses sosialisasi itu sendiri adalah belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, memainkan peran sosial yang dapat diterima, dan perkembangan sikap sosial, sehingga mereka cocok dengan kelompok tempat mereka menggabungkan diri dan diterima sebagai anggota kelompok (Pradista 2009).

Menurut Tan (1981) dalam Pradista (2009) perilaku prososial meliputi penampilan seseorang dalam tindakan yang diinginkan atau dikehendaki oleh masyarakat sekitar, seperti mau menolong orang lain, mampu mengontrol sifat agresif, pengungkapan perasaan diri sendiri atau orang lain, mampu melawan godaan (seperti godaan untuk mencontek), pengungkapan perasaan simpati kepada orang lain, mendahulukan kepentingan orang lain, mampu menahan diri dari pengungkapan rasa atau kepuasan diri sendiri, menjalankan tugas sebagaimana mestinya dan menaati peraturan-peraturan yang ada. Sedangkan menurut Wibawa, Arif dan Sosiawan (1997) dalam Pradista (2009) perilaku prososial adalah perilaku yang memiliki konsekuensi positif sebagai tindakan yang ditujukan untuk memberi bantuan atau kebaikan pada orang lain atau kelompok orang tanpa mengharapkan balasan dengan cara-cara yang cenderung mentaati norma sosial. Tindakan itu kadang-kadang memerlukan pengorbanan atau resiko pada diri sipelaku.

Staub dalam Setiawan (2009) mendefinisikan perilaku prososial sebagai suatu perilaku yang memiliki konsekuensi sosial positif secara fisik maupun secara psikologis, dilakukan secara sukarela dan menguntungkan orang lain. Wrightsman dan Daux dalam Setiawan (2009) menjelaskan bahwa perilaku prososial merupakan tindakan yang mempunyai akibat sosial secara positif, yang ditujukan bagi kesejahteraan orang lain baik secara fisik maupun secara psikologis, dan perilaku tersebut merupakan perilaku yang lebih banyak

memberikan keuntungan pada orang lain daripada dirinya sendiri. Menurut Staub (Dayakisni dan Hudaniah 2006) dalam Setiawan (2009) ada tiga indikator yang menjadi tindakan prososial, yaitu:

a. Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku.

b. Tindakan itu dilahirkan secara sukarela. c. Tindakan itu menghasilkan kebaikan.

Beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu; a. Self-gain: harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari

kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan.

b. Personal values and norms: adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan tindakan prososial, seperti berkewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik.

c. Empathy: kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain.

Perilaku prososial mencakup tindakan-tindakan membagi (sharing), kejujuran (honesty), tanggung jawab (responsibility) kerjasama (kooperatif), menyumbang (donating), menolong (helping), dermawan (generousity) serta mempertimbangkan hak-hak kesejahteraan orang lain (Mussen et al, 1989 dalam Darmadji 2009).

Perilaku manusia tidak dapat lepas dari keadaan individu itu sendiri dan lingkungan di mana individu itu berada. Perilaku manusia itu didorong oleh motif tertentu sehingga manusia itu berperilaku tertentu pula (Walgito 2003). Perilaku prososial juga bisa muncul dalam diri seseorang kalau individu memilliki kepercayaan. Dalam konteks ini terdapat beberapa teori yang dirangkum dari berbagai pendapat para ahli, yaitu: (a) teori insting, yang merupakan perilaku innate, perilaku yang bawaan, dan insting akan mengalami perubahan karena pengalaman; (b) teori dorongan(drive theory), yang bertitik tolak dari pandangan bahwa organisme itu mempunyai dorongan-dorongan tertentu. Dorongan- dorongan ini berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme yang mendorong organisme berperilaku; (c) teori insentif (incentive theory), yang bertitik tolak dari pendapat bahwa perilaku organisme itu disebabkan karena

  10

adanya insentif. Insentif atau disebut juga reinforcement di mana ada yang positif dan ada yang negatif.

Reinforcement yang positif berkaitan dengan hadiah yang akan mendorong organisme dalam berbuat, sedangkan reinforcement yang negatif berkaitan dengan hukuman yang akan dapat menghambat dalam organisme berperilaku; (d) teori atribusi, yang menjelaskan tentang sebab-sebab perilaku orang apakah disebabkan oleh disposisi internal (seperti motif, sikap, dan sebagainya) ataukah disebabkan oleh keadaan eksternal; dan (e) teori kognitif, yang menjelaskan apabila seseorang harus memilih perilaku mana yang mesti dilakukan, maka yang bersangkutan akan memilih alternatif perilaku yang akan membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi yang bersangkutan (subjective expected utility).

Perilaku prososial konsumen adalah perilaku ekologis konsumen antara lain memperhatikan bagaimana dampak produk yang dikonsumsi, melakukan penghematan energi, melakukan daur ulang, membeli produk organik dan membeli produk serta memanfaatkan secara bijaksana. Perilaku prososial merupakan suatu perilaku cerminan dari aspek kognitif yang melandasi individu dalam mengolah informasi dan membuat suatu keputusan. Perilaku prososial merupakan perilaku yang dipertimbangkan dengan memperhatikan segala sesuatu risiko dan konsekuensinya. Tidak semua individu bisa menerapkannya dalam kegiatan sehari-hari. Perilaku ini tidak bisa tumbuh begitu saja, tetapi merupakan sesuatu yang dipahami oleh individu dalam jangka waktu yang lama.

Perilaku prososial merupakan perilaku yang ideal dan dianggap bisa menciptakan suatu tatanan hidup bermasyarakat yang bersih, langgeng, dan sehat. Keluarga bisa mengajarkan anak sebagai konsumen yang bijaksana sejak kecil. Orangtua bisa menjadi panutan anak dalam bertindak. Lingkungan sekitar yaitu teman, sekolah, dan masyarakat bisa mempengaruhi terbentuknya norma personal dalam diri individu.

Model Perilaku Prososial

Ada dua model psikologis tradisi yang telah diterapkan untuk menjelaskan perilaku prososial yaitu theory of reasoned action yang diformulasikan oleh Fishbein dan Ajzen yang dalam perkembangannya menjadi theory of planned behavior dan norm activation theory.

Theory of Reasoned Action

Menurut Jogiyanto (2007) dalam Ramdhani (2009) Theory Reasoned Action pertama kali dicetuskan oleh Ajzen pada tahun 1980. Teori ini disusun

Dokumen terkait