• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Penerapan CSR di Indonesia

2.3.1. Peran CSR Dalam Upaya Pemberdayaan Masyarakat

Salah satu sektor industri utama dalam tatanan ekonomi global adalah industri pertambangan yang dalam banyak kasus memiliki posisi dominan dalam pembangunan sosio-ekonomi negara maju dan berkembang. Sektor industri ini berdampak sangat signifikan dalam arti positif maupun negatif. Tanpa menafikan dampak positifnya, dampak negatif dalam ranah sosial, lingkungan, politik dan budaya yang ditimbulkan sektor industri ini sangat luar biasa. Dampak negatif tersebut cenderung membesar di negara-negara berkembang atau di negara-negara yang menghadapi kendala ketidakefektifan sistem pemerintahan, ketiadaan regulasi (dan perundangan) yang memadai serta tingginya gejolak sosial-politik.

Menurut Arif Siregar (2009) karakteristik industri pertambangan antara lain adalah sumber daya alam tak terbarukan, lokasi proyek yang terpencil, infrastruktur harus dibangun sendiri, resiko relatif tinggi, padat modal, investasi jangka panjang, dan berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan dampak sosial.

Hal ini terjadi di beberapa negara yang memiliki perusahaan pertambangan, termasuk di Republik Federasi Rusia. Kondisi seperti itu akan menjadi situasi buah simalakama bagi perusahaan pertambangan yang berupaya memperbaiki kinerja sosial, ekonomi dan lingkungan mereka. Upaya-upaya perbaikan kinerja multiaspek serta strategi pemenuhan tuntutan yang absah dari para pemangku kepentingan akan

menjadi tantangan yang sangat berat untuk bisa diwujudkan oleh perusahaan pertambangan di dalam atmosfer sosial, politik, budaya dan hukum yang tidak mendukung (Natalia Yakovleva, CSR dalam Industri Tambang: Berkaca dari Pengalaman Belahan Dunia Lain, Ashgate Publishing Limited, 2005).

Yakovleva memfokuskan analisisnya pada empat wilayah kunci penerapan konsep CSR, yakni pemeliharaan lingkungan; kesehatan dan keselamatan kerja; hubungan dengan karyawan; serta community development/CD). Salah satu yang paling penting disimak adalah menyangkut analisis yang cukup rinci tentang tiga model pelaksanaan program CD. Pada model pertama, perusahaan pertambangan bertindak sebagai agen utama penyelenggara CD. Model kedua, pembentukan dan pelaksanaan CD dilakukan oleh yayasan filantrofi perusahaan. Sedangkan model terakhir adalah pelaksanaan CD dengan nuansa tri-sector partnership yang melibatkan unsur administrasi pemerintah lokal, masyarakat dan perusahaan.

Dalam konteks Sumatera Utara, PT Agincourt Resources yang mengekplorasi emas di Batangtoru, Tapsel sudah menerapkan program CSR sejak 6 tahun lalu. Tahun 2003, dana untuk kegiatan CSR yang dianggarkan sebesar 30.000 US dollar. Tahun 2004-2005 sebesar 153,000 US dollar, tahun 2006 sebesar 70.000 US dollar, tahun 2007 sebesar 152.000 U dollar, dan tahun 2008 sebesar 200.000 US dollar.

Dana tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan seperti sosisalisasi kegiatan explorasi pertambangan, memberikan bantuan kepada masyarakat dalam berbagai aspek misalnya bantuan kesehatan, batuan pendidikan, peralatan kedokteran untuk Puskesmas Batangtoru, bantuan pendidikan, bantuan infrastruktur, donasi bagi korban

tsunami di Nias dan daerah lainnya, dan juga pengembangan ekonomi lokal, serta pelatihan-pelatihan bagi masyarakat sekitar.

Mas Achmad Daniri menyebutkan, salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering diterapkan di Indonesia adalah community development (pemberdayaan masyarakat). Perusahaan yang mengedepankan konsep ini akan lebih menekankan pembangunan sosial dan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat menciptakan peluang- peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra sebagai perusahaan yang ramah dan peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh rasa percaya dari masyarakat. Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga masyarakat merasakan bahwa kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna dan bermanfaat.

Dalam draf ISO 26000 on Social Responsibility, disebutkan juga bahwa secara konseptual pengembangan/pemberdayaan masyarakat adalah salah satu bagian dari tanggung jawab sosial. Draf tersebut menyatakan ada tujuh subyek inti tanggung jawab sosial, yaitu tata kelola organisasi, hak asasi manusia, ketenagakerjaan, lingkungan, praktek operasi yang adil, konsumen, dan, terakhir, pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat adalah upaya memandirikan kelompok masyarakat rentan.

Pengembangan atau pemberdayaan masyarakat menjadi bagian penting CSR, karena kelompok masyarakat rentan -baik itu secara struktural, kultural, maupun

individual- biasanya memiliki akses paling kecil terhadap dampak positif operasi perusahaan, sekaligus menerima dampak negatif paling parah. Kalau mereka tidak mendapatkan perhatian ekstra dari perusahaan, kondisi tersebut akan terus-menerus mendera mereka. Pengembangan masyarakat sebenarnya ditujukan untuk mewujudkan potensi terbaik dari masyarakat rentan, bukan meredamnya (Kesalahpahaman tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Harian Koran Tempo Tanggal 15 Januari 2009).

Menurut Jackie Ambadar (2008), salah satu yang menonjol dari praktik CSR di Indonesia adalah penekanan pada aspek pemberdayaan masyarakat (community develompent). Meskipun CSR bukan semata-mata merupakan community development, namun hal ini memang sangat sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat kita, yang masih bergelut dengan kemiskinan serta pengangguran dan rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan yang menjadi penyebab utama sulitnya memutus rantai kemiskinan. Maka CSR sebagai sebuah konsep yang berubah dan tumbuh sesuai dengan perkembangan dunia usaha dan kebutuhan masyarakat bisa menjadi salah satu jawaban.

Pemberdayaan masyarakat diyakini merupakan sebuah aktualisasi dari CSR yang lebih bermakna daripada hanya sekedar aktivitas charity ataupun 7 (tujuh) dimensi CSR lainnya, antara lain: community relation, hal ini juga disebabkan karena dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat, terdapat kolaborasi kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas dan keberkelanjutan.

Agus Suman (2010) menyebutkan program-program CSR dari perusahaan harus diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat sekitar sekaligus diharmonikan dengan program pemerintah yang sedang berlangsung. Ke depan harus ada persamaan kebijakan, khususnya dalam penyusunan program pengembangan masyarakat di sekitar wilayah perusahaan sehingga pemanfaatan dari dana-dana CSR benar-benar untuk pembangunan masyarakat.

Dengan demikian tampak bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan ruh pelaksanaan aktivitas CSR perusahaan. Khususnya di Indonesia, pelaksanaan kegiatan CSR memang tampaknya lebih pas dengan program pemberdayaan masyarakat. Diharapkan dengan aktivitas CSR yang bernafaskan pemberdayaan dapat mencapai tujuan strategis perusahaan, disamping untuk mencapai profit dengan adanya aktivitas tersebut, komunitas memiliki mitra yang peduli terhadap kemandiriannya.

Tahapan CSR dalam upaya pemberdayaan masyarakat bisa dimulai dengan melihat dan menilai kebutuhan (needs assessment) masyarakat sekitar. Caranya dengan mengidentifikasi masalah atau problem yang terjadi di masyarakat dan lingkungannya. Setelah itu dicarikan solusinya yang terbaik menurut kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, perusahaan tidak perlu melakukannya sendiri, melainkan dapat menggunakan sumber daya di luar perusahaan, misalnya menunjuk perusahaan atau lembaga lain melakukan riset dasar atau base line study.

Selanjutnya, membuat rencana aksi lengkap dengan anggaran, jadwal waktu, indikator untuk mengevaluasi dan sumber daya manusia yang ditunjuk untuk melakukannya. Dalam hal ini perusahaan dapat membagi program dalam bentuk

kegiatan jangka pendek, jangka menengah, hingga jangka panjang. Tujuannya agar masyarakat mandiri dalam arti yang sesungguhnya. Setelah itu, evaluasi dan monitoring dapat dilakukan melalui survei maupun kunjungan langsung.